Aku berjalan dengan perlahan. Tiga meter dari hadapanku Papa berdiri menunggu. Sementara, nenek duduk di sofa dengan ekspresi menakutkan. Nenek tua itu menatap tajam padaku.
"Dasar anak tak berguna, Alex! Dari mana saja kamu?" Ayah langsung mengumpat dan bertanya saat melihatku membuka pintu.
Papa membelalakkan mata, ia berkacak pinggang. Urat halus di wajahnya terukir dengan jelas. Nadanya terus meninggi. Aku memasukkan satu tangan ke dalam saku. Tak sabar akan mengeluarkan benda dalam saku ke hadapan kedua orang di ruang tamu itu.
"Alex! Nenek, tidak habis pikir. Kenapa kamu selalu mempermalukan keluarga? Kamu pikir nenek tak tahu, soal berakhirnya pertunanganmu dengan, Tamara dari Hilton Coorporation?"
"Selamat sore, Nyonya Liliana?" Seorang lelaki mengenakan jas dokter mendekat pada Mama, mencoba menyapa. Namun, Mama tetap tak bereaksi. Ia tetap pada posisi memeluk lututnya. Menatap kosong ke arah kaca jendela. "Bagian mana yang terasa sakit? Boleh saya memeriksa, Ibu?" Dokter itu masih terus mencoba berkomunikasi dengan Mama. Nihil. Mama tak bereaksi apapun. Seakan-akan tak ada orang di sekitarnya. Dokter Candra meraih pergelangan tangan Mama, memeriksa denyut nadi. Ia mengeluarkan senter kecil. Mengarahkan alat itu ke arah pupil mata Mama. Mama tetap tak berkedip.
"Bagaimana keadaan Mama Loe, Bro?"David menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk berwarna putih. Berjalan ke arahku."Dia udah baikan. Sekarang lagi tidur!"Aku menatap ke arah kamar, pintunya sedikit terbuka. Mama terlihat masih berbaring dalam balutan selimut."Mau kopi?" Aku mengangkat segelas kopi di tangan. Menawarkannya pada David."No, Thanks. Belum sarapan, takut asam lambung naik," jawabnya cepat.Kepalaku sedikit pusing, tak nyenyak tidur. Sejak Mama berteriak dan terbangun. Aku tak bisa tidur lagi. Kepala rasanya berdenyut dan berat.
"Ayo, masuk!" Aku mengajak Wulan dan Mama kembali masuk ke dalam villa.Matahari kian tinggi. Namun, cuaca tetap terasa dingin. Puncak Bogor, terlebih di kawasan villaku selalu berkabut. Hujan yang sering tiba-tiba datang walaupun cuaca panas sekalipun. Menoleh ke wajah Mama, di ujung bulu matanya ada setitik air. Cukup lama Mama menghilang, dan cuaca sangat dingin di luar. Aku menyeka embun di bulu mata Mama. Menggenggam tangannya yang dingin, "Jangan pergi lagi, Ma."Mama tak merespon kata-kataku. Aku merangkul pundak Mama agar berjalan lebih cepat menuju ke dalam villa. Rumput hijau yang kami pijak berair. Cuaca disini sangat dingin, sekitar 19°C. Di Jakarta bila hari sangat panas bisa mencapai 34-35°C.David membuka pintu
"Halo?" Terpaksa kuangkat panggilan itu. Terdengar suara berat dari seberang panggilan. Seorang laki-laki! Entah kenapa aku merasa tak menyukai suara itu! Aku keluar dari kamar. Takut Mama akan terganggu bahkan terbangun jika kujawab panggilan telepon itu di sana. Baru kali ini kulihat Mama tidur dengan begitu nyenyak. Kutekan tombol pengeras suara. "Halo, siapa di sana?" "Hahahha!" Bukannya menjawab si penelepon malah tertawa. Aneh! "Halo, jika tak ada hal penting yang ingin kau sa
David mengangguk perlahan. Memberi kode untuk membuka kaca jendela.Aku menekan tombol, menurunkan kaca mobil pelan. Hanya memberi lebar sekitar sejengkal tangan. Hawa dingin langsung menerobos masuk. Menatap lelaki berpakaian serba hitam itu. Berhati-hati jika terjadi sesuatu."Ada apa?" tanyaku tegas.Lelaki dengan memakai kacamata hitam itu mengulurkan secarik kertas lewat sela jendela. Setelah memberikan kertas ia berbalik badan dan kembali menuju mobilnya.Aku dan David saling pandang, "Apa maksudnya?"David menggelengkan kepala, lalu menatap mobil hitam yang kian menjauh, "Coba bu
"Tetapi Pa …." Aku tak dapat melanjutkan kata-kata. Papa benar-benar ingin menekanku. Apa ini adalah cara mereka menyingkirkanku dari The One Property? Bagaimana bisa Papa mengalihkan perusahaan pada si bedebah Jhonny. Anak haram Papa itu akan semakin besar kepala. Bagaimana mungkin Papa berbuat sangat tak adil seperti ini hanya karena aku menolak perjodohan. Nafsu makanku hilang. Aku segera berlalu dari meja makan. Tanpa sempat mencicipi bahkan duduk sedetik pun di sana. "Alex, kamu mau pergi kemana?" "Alex, kita belum selesai berbicara!" Suara Papa semakin tinggi.
"Apa yang akan kau lakukan dengan rekaman itu, Alex?" Penjahat itu bertanya apa yang akan kulakukan dengan rekaman tadi? Bodoh! Aku mengangkat ponsel, menatap layarnya sebentar dan memutar ulang percakapan di dalamnya. "Aku tahu kamu lah dalang di balik penculikan Alicia." "Kalau memang aku yang melakukannya, kamu bisa apa? Kamu tak punya cukup bukti untuk memasukkanku ke penjara. Polisi saja telah menutup kasus itu." Rekaman di dalam ponsel kembali terputar. Pengakuan bodoh pertamanya terdengar di telinga kami. Jhonny menatap tajam padaku. Wajahnya memerah menahan amarah. Urat-urat halus di sekitar keningnya
"Kurang ajar, berani sekali mereka menggunakan cara licik untuk menyerangku!" "Bagaimana sekarang, Lex?" "Kita langsung berangkat ke Puncak, Bro!" Aku memerintahkan David untuk menuju Bogor. Nyawa Mama dan Wulan dalam bahaya, "Berapa lama waktu yang dibutuhkan?" "Kalo gak macet dalam satu setengah jam kita sudah sampai," jawab David. Ia menambah kecepatan mobil. Dalam perjalanan menuju villa keluarga David kami tak banyak berbicara. David benar-benar memasang wajah serius. Ia berkonsentrasi pada jalanan beraspal dan waktu yang terus berputar. ***CEO Yang Hilang Ingatan***