"Tetapi Pa …." Aku tak dapat melanjutkan kata-kata. Papa benar-benar ingin menekanku.
Apa ini adalah cara mereka menyingkirkanku dari The One Property?
Bagaimana bisa Papa mengalihkan perusahaan pada si bedebah Jhonny. Anak haram Papa itu akan semakin besar kepala. Bagaimana mungkin Papa berbuat sangat tak adil seperti ini hanya karena aku menolak perjodohan.
Nafsu makanku hilang. Aku segera berlalu dari meja makan. Tanpa sempat mencicipi bahkan duduk sedetik pun di sana.
"Alex, kamu mau pergi kemana?"
"Alex, kita belum selesai berbicara!" Suara Papa semakin tinggi.
"Apa yang akan kau lakukan dengan rekaman itu, Alex?" Penjahat itu bertanya apa yang akan kulakukan dengan rekaman tadi? Bodoh! Aku mengangkat ponsel, menatap layarnya sebentar dan memutar ulang percakapan di dalamnya. "Aku tahu kamu lah dalang di balik penculikan Alicia." "Kalau memang aku yang melakukannya, kamu bisa apa? Kamu tak punya cukup bukti untuk memasukkanku ke penjara. Polisi saja telah menutup kasus itu." Rekaman di dalam ponsel kembali terputar. Pengakuan bodoh pertamanya terdengar di telinga kami. Jhonny menatap tajam padaku. Wajahnya memerah menahan amarah. Urat-urat halus di sekitar keningnya
"Kurang ajar, berani sekali mereka menggunakan cara licik untuk menyerangku!" "Bagaimana sekarang, Lex?" "Kita langsung berangkat ke Puncak, Bro!" Aku memerintahkan David untuk menuju Bogor. Nyawa Mama dan Wulan dalam bahaya, "Berapa lama waktu yang dibutuhkan?" "Kalo gak macet dalam satu setengah jam kita sudah sampai," jawab David. Ia menambah kecepatan mobil. Dalam perjalanan menuju villa keluarga David kami tak banyak berbicara. David benar-benar memasang wajah serius. Ia berkonsentrasi pada jalanan beraspal dan waktu yang terus berputar. ***CEO Yang Hilang Ingatan***
Mama mematung menatap kepergian para penjahat itu. Mata Mama bersemburat merah, ia berkaca-kaca.Aku memeluk mama, berbisik di telinganya "Alex akan membalaskan semua sakit hati Mama."Entah apa yang terjadi di masa lalu. Namun, saat melihat Mama begitu emosional menatap ibu dari Jhonny tadi, pasti hubungan mereka tak baik.Perlahan suara sirine mobil polisi semakin menjauh. Sepi kembali hadir menyelimuti.Kemenangan atas Paula Stephanie membuatku sedikit lega."Apa rencanamu sekarang, Lex?" David menghempaskan badan duduk di kursi sofa panjang.
"Ma, sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga kita? Kenapa Papa mengatakan Mama telah meninggal sejak Alex kecil? Kenapa Mama berada di rumah sakit jiwa itu?"Lama Mamaku terdiam. Pandangan matanya kembali kosong. Namun, air mata mulai menuruni pipinya.Wulan mendekat dan duduk di sebelah ranjang. Mengelus pundak Mama."Mama …."Alicia mendekat ia memeluk Mama yang sedari kecil tak pernah dilihatnya. Adik kecilku itu menyeka air mata Mama, "Tenang Ma. Sekarang, Mama gak perlu takut lagi. Ada Kak Alex, dan Alicia yang akan melindungi Mama.""Sebaiknya biarkan Tante beristirahat dulu. Mungkin Tante sedang lela
Seseorang terkejut menatapku. Kami bertatapan cukup lama, "Apa yang kau lakukan di sini?" selidikku."Sa-saya sedang …." Bik Asih terbata menjawab pertanyaanku. Bola matanya berputar seakan-akan mencari sebuah alasan, "Tadi, saya dengar suara orang teriak Den, jadi saya cari suara itu dan kesini!"Jarak dari kamar pembantu di bawah dan kamar Mama ini cukup jauh. Benarkah yang dikatakan Bik Asih? Jangan-jangan ini hanya alasan?Aku selalu merasa Bik Asih ada hubungannya dengan semua yang terjadi di rumah ini. Ia pasti tahu sesuatu!"Bik Asih, yakin mendengar teriakan Mama?" Aku mengulangi pertanyaan.Jarak kamar asi
"Wulan, sepertinya aku punya ide untuk mengungkap kebenaran yang terjadi di rumah ini lima belas tahun yang lalu!""Caranya?" Wulan menatapku penuh tanya."Tolong jaga mamaku di sini."Setelah memberikan pesan aku beranjak keluar dari kamar. Menyusuri koridor di lantai dua. Tujuanku ruang kerja Papa.Jika dugaanku benar, komputer di meja kerja Papa dapat mengakses seluruh CCTV yang terpasang di rumah ini. Namun, sepertinya tak semua ruangan terpasang kamera pengawas. Aku harus mencari tahu sendiri.Kamar Alicia tertutup. Adik kesayanganku itu mungkin sudah berangkat ke sekolah. Melewati kamar Papa di sebelahnya.
"Jadi siapa yang menyelingkuhi siapa sekarang?" sindirku sambil melirik pada Papa."Alex? Kamu!?" Papa membelalakkan mata, terlihat marah padaku."Ini adalah kenyataan yang terjadi Pa, ada Paula Stephanie yang saat itu nyata-nyata naik ke ranjang Papa. Dari hubungan kalian itu melahirkan Jhonny! Lihatlah Mama, ia adalah korban. Namun, kalian tega memasukkan Mama ke rumah sakit jiwa?!""Papa, jahat!" ketus Alicia.Terdengar suara ketukan di pintu. Bik Asih berjalan menuju pintu. Tak berapa lama Bik Asih kembali berjalan ke ruang tamu. Di belakangnya ada seorang lelaki dengan setelan celana kain berwarna hitam dan kemeja berwarna putih.
Segera keluar dari kamar. Menyusuri lorong kemudian menuruni tangga. Di lantai dasar Bik Asih berdiri di tepi pintu. Sepertinya menungguku mendekat."Den," ucap Bik Asih pelan. Wajahnya terlihat serius, "Kata Tuan Besar, Den Alex harus ke Rumah Sakit Medica, sekarang.""Untuk apa, Bik?"Aku mengernyitkan alis. Benarkah Papa menyuruhku ke sana? Kenapa tadi saat berbicara di kamarnya ia tak menyuruhku langsung?"Anu, Tuan Besar akan mengadakan tes DNA!""Apa?!"Apa maksud Papa sebenarnya? Kukira masalah ini sudah selesai dengan Jhonny dan Paula Stephanie yang