Mama mematung menatap kepergian para penjahat itu. Mata Mama bersemburat merah, ia berkaca-kaca.
Aku memeluk mama, berbisik di telinganya "Alex akan membalaskan semua sakit hati Mama."
Entah apa yang terjadi di masa lalu. Namun, saat melihat Mama begitu emosional menatap ibu dari Jhonny tadi, pasti hubungan mereka tak baik.
Perlahan suara sirine mobil polisi semakin menjauh. Sepi kembali hadir menyelimuti.
Kemenangan atas Paula Stephanie membuatku sedikit lega.
"Apa rencanamu sekarang, Lex?" David menghempaskan badan duduk di kursi sofa panjang.
"Ma, sebenarnya apa yang terjadi pada keluarga kita? Kenapa Papa mengatakan Mama telah meninggal sejak Alex kecil? Kenapa Mama berada di rumah sakit jiwa itu?"Lama Mamaku terdiam. Pandangan matanya kembali kosong. Namun, air mata mulai menuruni pipinya.Wulan mendekat dan duduk di sebelah ranjang. Mengelus pundak Mama."Mama …."Alicia mendekat ia memeluk Mama yang sedari kecil tak pernah dilihatnya. Adik kecilku itu menyeka air mata Mama, "Tenang Ma. Sekarang, Mama gak perlu takut lagi. Ada Kak Alex, dan Alicia yang akan melindungi Mama.""Sebaiknya biarkan Tante beristirahat dulu. Mungkin Tante sedang lela
Seseorang terkejut menatapku. Kami bertatapan cukup lama, "Apa yang kau lakukan di sini?" selidikku."Sa-saya sedang …." Bik Asih terbata menjawab pertanyaanku. Bola matanya berputar seakan-akan mencari sebuah alasan, "Tadi, saya dengar suara orang teriak Den, jadi saya cari suara itu dan kesini!"Jarak dari kamar pembantu di bawah dan kamar Mama ini cukup jauh. Benarkah yang dikatakan Bik Asih? Jangan-jangan ini hanya alasan?Aku selalu merasa Bik Asih ada hubungannya dengan semua yang terjadi di rumah ini. Ia pasti tahu sesuatu!"Bik Asih, yakin mendengar teriakan Mama?" Aku mengulangi pertanyaan.Jarak kamar asi
"Wulan, sepertinya aku punya ide untuk mengungkap kebenaran yang terjadi di rumah ini lima belas tahun yang lalu!""Caranya?" Wulan menatapku penuh tanya."Tolong jaga mamaku di sini."Setelah memberikan pesan aku beranjak keluar dari kamar. Menyusuri koridor di lantai dua. Tujuanku ruang kerja Papa.Jika dugaanku benar, komputer di meja kerja Papa dapat mengakses seluruh CCTV yang terpasang di rumah ini. Namun, sepertinya tak semua ruangan terpasang kamera pengawas. Aku harus mencari tahu sendiri.Kamar Alicia tertutup. Adik kesayanganku itu mungkin sudah berangkat ke sekolah. Melewati kamar Papa di sebelahnya.
"Jadi siapa yang menyelingkuhi siapa sekarang?" sindirku sambil melirik pada Papa."Alex? Kamu!?" Papa membelalakkan mata, terlihat marah padaku."Ini adalah kenyataan yang terjadi Pa, ada Paula Stephanie yang saat itu nyata-nyata naik ke ranjang Papa. Dari hubungan kalian itu melahirkan Jhonny! Lihatlah Mama, ia adalah korban. Namun, kalian tega memasukkan Mama ke rumah sakit jiwa?!""Papa, jahat!" ketus Alicia.Terdengar suara ketukan di pintu. Bik Asih berjalan menuju pintu. Tak berapa lama Bik Asih kembali berjalan ke ruang tamu. Di belakangnya ada seorang lelaki dengan setelan celana kain berwarna hitam dan kemeja berwarna putih.
Segera keluar dari kamar. Menyusuri lorong kemudian menuruni tangga. Di lantai dasar Bik Asih berdiri di tepi pintu. Sepertinya menungguku mendekat."Den," ucap Bik Asih pelan. Wajahnya terlihat serius, "Kata Tuan Besar, Den Alex harus ke Rumah Sakit Medica, sekarang.""Untuk apa, Bik?"Aku mengernyitkan alis. Benarkah Papa menyuruhku ke sana? Kenapa tadi saat berbicara di kamarnya ia tak menyuruhku langsung?"Anu, Tuan Besar akan mengadakan tes DNA!""Apa?!"Apa maksud Papa sebenarnya? Kukira masalah ini sudah selesai dengan Jhonny dan Paula Stephanie yang
Brakgh!Aku membanting pintu kamar dengan keras dan kasar. Bunyi berdebum antara pintu dan dinding memenuhi koridor. Kuyakin Papa juga mendengarnya di kamarnya."Alex, ada apa ini?"Mama memasuki kamar. Matanya menelisik ke dalam ruang tidurku, "Ada apa denganmu?""Alex emosi Ma," jawabku dengan pelan."Kenapa? Karena tes DNA, tadi?" Mama menebak dengan benar pemicu kemarahanku."Bayangkan Ma, bagaimana bisa Papa, meragukan Mama, sebagai istrinya? Jelas-jelas Papa, berselingkuh hingga memiliki, Jhonny!? sungutku.
"Alicia dulu, Ma!"Adik kesayanganku itu mengulurkan piringnya. Ingin segera sarapan dan berangkat ke sekolah sepertinya.Mama tersenyum padaku."Sebentar, Alex!" Mama mengambil nasi dari dalam magicom. Lalu memberikan piring itu pada Alicia. Baru setelah itu mama mengambil piringku.Seperti biasa pagi itu kami sedang berada di meja makan. Kami akan melakukan sarapan pagi bersama. Alicia sudah memakai seragamnya, kali ini dia memakai rok berwarna coklat tua dan atasan berwarna coklat susu.Hari ini, hari Jumat ia harus memakai pakaian pramuka. Mama sudah memakai seragam kebanggannya, celemek bermotif hello kitty. Dari pagi ia membantu
"Semuanya sudah siap Bos," lapor David. Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku.Aku mengangguk dengan yakin, "Ayo kita berangkat sekarang!"Kami berdua segera berdiri. Keluar dari ruanganku. Menyusuri koridor kantor. Menatap sekilas orang-orang di gedung The One Property. Semua pegawai sedang bekerja. Semua orang berusaha mendapatkan uang.Aku ingin uang yang bekerja untukku. Akan tiba saatnya ketika manusia hanya duduk diam di rumah, profit terus merangkak naik tanpa kita bergerak. Inilah misiku.Ponselku berdering saat menunggu lift datang. Aku merogoh saku celana, segera mengangkat panggilan."Iya, Halo, Nek