Papa masuk ke kamar dan menutup pintunya perlahan. Aku mengamati sekitar, sepi. Berbalik badan menuju ruang kerja Papa. Membuka pintu dan segera mengambil amplop putih di laci meja kerja.
Apa ini?
Catatan medis siapa ini?
Nyonya Liliana Yasmeen Abraham?
Apa itu nama Mama? Di bagian depan amplop tadi tertera nama itu. Segera membuka amplop dan mengambil kertas di dalamnya. Sebuah catatan kesehatan.
Tertulis di sana Nyonya Liliana Yasmeen Abraham menderita depresi dan ketergantungan alkohol. Siapa wanita ini? Apa dia Mamaku?
Seorang wanita dengan gaun vintage berwarna tosca. Menatap ke arahku. Aku menatapnya penuh tanya. "Alexander Ibrahim?" Aku mengangguk pelan. Merasa tak mengenali lawan bicara. "Siapa?" Manik mata kecokelatan gadis yang berdiri di sebelah suiteku masih membesar, menatapku dengan dua sudut bibir yang melengkung naik ke atas. "Gue Sintya, temen Tamara!" Gadis itu menaikkan kedua alisnya, berdiri mematung menatapku, "Kita ketemu di restoran cepat saji." Aku masih berusaha mengingat-ingat siap lawan bicaraku ini. Rasanya aku pernah bertemu dengannya dan Ta
"Tenanglah Tamara," ucapku pelan. Berusaha memeluknya, mengambil pecahan kaca di tangannya."Gue sakit hati Lex, Jhonny manfaatin gue. Loe ninggalin gue …."Ia menangis dalam pelukanku. Pundaknya bergetar. Apakah aku sudah terlalu jahat padanya? Apa rasanya sesakit itu hingga ia ingin bunuh diri?Astaga. Harusnya aku tak menyetujui usul David. Lebih baik aku bersantai di kamar, mengistirahatkan badan atau sedikit mengemas barang.Aku memandang lurus ke luar lounge. Lautan manusia sedang asyik berjoged mengikuti irama. Tua, muda, laki-laki ataupun perempuan melepaskan beban pikiran mereka. Semakin cepat irama musik, semakin energik goyanga
"Apa kau yakin? Apa aku perlu bertanya langsung pada, Jhonny?" Tamara mengedipkan matanya beberapa kali. Alisnya berkerut, ia seperti berpikir dengan keras. Ah, wanita ini. Aku bisa membaca hatimu lewat ekspresi wajah yang kau tampilkan. "Sebenarnya …." Kalimat Tamara terjeda lama. Aku menunggu kejujurannya. Melirik jam Rolex berbahan besi keemasan di pergelangan tangan. Astaga, Tamara membuang-buang waktuku. Aku belum beristirahat sejak selesai meeting tadi pagi dan beberapa jam lagi pesawat akan take off. "Jangan membuang waktuku Tamara," desakku. "Jhonny mendatangiku beberapa hari yang lalu," terang Tam
Pagar besi tinggi bercat putih bergeser perlahan. Kali ini tak menimbulkan bunyi gesekan antara roda dengan jalan besi di bawahnya. Tampak delapan pilar besar menyangga bagian depan sebuah rumah. Dengan dekorasi minimalis bergaya Eropa, terdapat dua balkon di sisi kiri dan kanan pada lantai duanya. "185 A." Aku tersenyum menatap sebuah nomor rumah mewah. Tiga hari melakukan perjalanan ke wae2Singapura. Membuatku merasa asing menatap rumahku sendiri. "Dah sampai, Den!" Pak Malik menolehku yang duduk di belakang. Aku menjawabnya dengan senyuman. "Tolong nanti bawakan bonekanya ke atas, ya, Pak!" Segera membuka pintu mobil dan turun sstelahnya.
Melissa Hartono, gadis cantik putri kedua dari keluarga Hartono. Orang kaya yang menempati daftar keluarga terkaya setelah keluarga Ibrahim di Indonesia pada tahun ini. Sebuah artikel dalam majalah Forbes yang kubaca beberapa hari yang lalu. Mereka memiliki beberapa real estate mewah dan sebuah perusahaan rokok terkenal di Indonesia. Aku menatap gadis itu dari kejauhan. Mata sipit dan bulu mata lentik, bibir tipis bergincu merah dengan rambut hitam panjangnya. Lebih cantik dan anggun dari Tamara. Ia sedang berbicara dengan beberapa kolega, sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Bersandar pada dinding di balkon rumah keluarga Melissa. Menatap ke arah langit gelap sambil memainkan gelas kaca berisi minuman kemerahan, kupikir itu sejenis wine. Cairan di dalamnya berputar-putar, memercik ke dinding gelas.
Aku berjalan dengan perlahan. Tiga meter dari hadapanku Papa berdiri menunggu. Sementara, nenek duduk di sofa dengan ekspresi menakutkan. Nenek tua itu menatap tajam padaku. "Dasar anak tak berguna, Alex! Dari mana saja kamu?" Ayah langsung mengumpat dan bertanya saat melihatku membuka pintu. Papa membelalakkan mata, ia berkacak pinggang. Urat halus di wajahnya terukir dengan jelas. Nadanya terus meninggi. Aku memasukkan satu tangan ke dalam saku. Tak sabar akan mengeluarkan benda dalam saku ke hadapan kedua orang di ruang tamu itu. "Alex! Nenek, tidak habis pikir. Kenapa kamu selalu mempermalukan keluarga? Kamu pikir nenek tak tahu, soal berakhirnya pertunanganmu dengan, Tamara dari Hilton Coorporation?"
"Selamat sore, Nyonya Liliana?" Seorang lelaki mengenakan jas dokter mendekat pada Mama, mencoba menyapa. Namun, Mama tetap tak bereaksi. Ia tetap pada posisi memeluk lututnya. Menatap kosong ke arah kaca jendela. "Bagian mana yang terasa sakit? Boleh saya memeriksa, Ibu?" Dokter itu masih terus mencoba berkomunikasi dengan Mama. Nihil. Mama tak bereaksi apapun. Seakan-akan tak ada orang di sekitarnya. Dokter Candra meraih pergelangan tangan Mama, memeriksa denyut nadi. Ia mengeluarkan senter kecil. Mengarahkan alat itu ke arah pupil mata Mama. Mama tetap tak berkedip.
"Bagaimana keadaan Mama Loe, Bro?"David menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk berwarna putih. Berjalan ke arahku."Dia udah baikan. Sekarang lagi tidur!"Aku menatap ke arah kamar, pintunya sedikit terbuka. Mama terlihat masih berbaring dalam balutan selimut."Mau kopi?" Aku mengangkat segelas kopi di tangan. Menawarkannya pada David."No, Thanks. Belum sarapan, takut asam lambung naik," jawabnya cepat.Kepalaku sedikit pusing, tak nyenyak tidur. Sejak Mama berteriak dan terbangun. Aku tak bisa tidur lagi. Kepala rasanya berdenyut dan berat.
~Perpisahan paling menyakitkan adalah terpisahnya dua hati tanpa kejelasan alasan. Saling memendam perasaan tanpa bisa menjelaskan.~"Wulan sedih Ali, ternyata selama ini Emak Wulan masih hidup, tapi dia gak pernah kasih kabar sedikit pun," ungkap Wulan di sela isak tangisnya."Sudahlah Wulan. Mungkin semua ini sudah takdir."Aku menepuk-nepuk punggung Wulan. Setelah bertemu dan saling mengungkapkan isi hati dengan ibunya beberapa jam, kami kembali pulang."Emak Jahat, Ali. Dia tega ninggalin Wulan dan abah.""Bukan ibumu yang meninggalkan, tetapi takdir memaksanya meninggalkan kalian. Dia juga terpaksa."
"Nak order ape?" Pelayan tadi kembali mengajukan pertanyaan. Menatap bingung pada kami berdua. Duduk di kursi restoran tapi tak memesan makanan. "Emak …." Suara Wulan bergetar. Matanya berkaca-kaca dan memerah. Pramusaji yang mendatangi meja kami refleks. Menatap Wulan dengan serius, kedua alisnya mengernyit, "Wulan?" "Kamu teh, Wulan Kirana?" Akhirnya. Perjumpaan yang kubayangkan seperti perkiraan. Istriku $ berdiri dari kursinya memeluk pramusaji di depannya. Sang pramusaji membeku. Kertas catatan order dan bolpoinnya terjatuh.
"Terima kasih untuk malam yang indah ini, Sayang." Wulan mencium bibirku setelah berkata. "Sudah tugasku untuk membahagiakanmu," ucapku sambil menatap mata bulat Wulan, "tidurlah, besok kita akan mulai jalan-jalan." Wulan tersenyum, wajahnya lebih ceria dari saat pertama aku mengenalnya dulu. Tak terlihat wajah lelah bahkan mengantuk seperti sebelum kuajak dia mengunjungi Suria KLCC. "Kemana? Besok kita akan kemana?" tanya Wulan bersemangat. "Tidurlah, besok kamu akan tahu kemana tujuan kita." Aku menaikkan selimut sampai dadanya. Ia menurut dan mulai memejamkan matanya. Malam ini akan menjadi malam yang takkan terlupakan oleh Wu
~Tempat ternyaman~ Aku memeluk Wulan dari belakang. Kami menikmati malam pertama di tengah kota Kuala Lumpur dari balkon hotel. Gedung-gedung tinggi menjulang membuat kota ini terlihat seperti kota metropolitan. Bias lampu warna-warni berpendar menyemarakkan malam. Di bawah sana jalanan beraspal padat oleh berbagai kendaraan. Bunyi klakson dan mesin mobil menggema hingga balkon, tempat kami berdiri. "Apa kau suka dengan bulan madu kita?" "Tentu saja, ini pertama kalinya Wulan keluar negeri." Wulan mendongak ke wajahku. Aku menghadiahinya sebuah ciuman hangat. Ia tersenyum.
KLIA 2, Malaysia. Aku menggandeng istriku, telapak tangan Wulan terasa sangat dingin, "Apa kamu kedinginan?" Wulan menggeleng pelan, "Wulan kalo gerogi emang suka panas dingin begini." Tersenyum menatap wajah istriku itu. Ini pengalaman pertamanya naik pesawat terbang. Aku berjalan lebih cepat. Satu langkah kakiku sama dengan dua kali langkah Wulan. Sontak istriku itu menarik tangan, "Kenapa sih, cepet-cepet?" "Pelan-pelan," katanya lagi. Aku tersenyum tak menjawab pertanyaan Wulan, hanya memelankan jalan. Keluar dari koridor para penumpang berbelok ke arah kiri menuju baggage claim area. Ada banyak passenger lain yang juga mencari koper mereka.
Pukul sembilan pagi aku dan Wulan sudah selesai bersiap-siap. Abah Dadang dan dua asisten rumah tangga mengantar sampai di teras. "Abah jaga diri ya, Jangan lupa makan. Kalau Wulan telepon harus diangkat." "Iya, Neng geulis." Keduanya melepaskan pelukan. Aku ganti bersalaman dengan Abah Dadang. "Kami berangkat dulu," pamitku kemudian. Mengajak istriku segera masuk ke dalam mobil. Dua jam dari sekarang pesawat akan take off. Perjalanan dari villa menuju bandara memakan waktu sekitar satu setengah jam. "Ini pertama kalinya Wulan, naik pesawat."  
~Hidup terlalu singkat untuk digunakan membahas masa lalu. Kehidupan yang sekarang adalah sebaik-baiknya pilihan yang sudah kita ambil.~***Kucium kening Wulan. Istriku mengerjap, bulu mata lentiknya bergetar ia menatapku sejenak, "Gak tidur?"Aku menggelengkan kepala pelan. Mengelus rambut sehitam jelaganya."Jam berapa sekarang?""Pukul 00.15 Sayang," jawabku.Sejak kami resmi menjadi suami istri, entah sudah berapa kali aku bercinta dengannya. Seakan-akan tak pernah puas, dan selalu kurang. Wulan pasti kelelahan meladeni keinginanku.
Tok … tok … tok!Seseorang mengetuk pintu kamar. Aku dan Wulan sama-sama kelelahannya. Setelah bercinta di sofa kami melanjutkannya di kamar."Sayang, bangun." Aku mencoba membangunkan Wulan. Ia mengerjapkan mata, menoleh ke arahku."Ada apa?""Ada yang mengetuk pintu.""Ahhh, kamu yang bukain. Aku males," sahutnya sambil membelakangiku. Menarik selimut untuk menutupi tubuhnya lebih erat.Terpaksa aku bangun. Meraih celana pendek dan kaos yang tercecer di lantai. Membuka pintu dan keluar dari kamar.
Aku merangkul Wulan, membimbingnya masuk ke dalam villa kami. Menutup pintunya kembali. Aku mengajak Wulan duduk di sofa."Apa?" tanya Wulan dengan penasaran.Langsung saja kulumat bibir ranum Wulan. Suasana rumah sangat sepi, tak ada orang lain selain kami. Tentu saja kesempatan ini tak boleh dilewatkan.Kali ini aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Kuarahkan istriku untuk duduk di atas pangkuan. Wulan bahkan mungkin tak sadar jika sudah berada di atasku. Ia memejamkan mata, sementara bibir kami terus bertaut. Sesekali li*ahnya ikut terhisap.Tanganku mulai bergerak lincah menjamah tubuh sintal Wulan. Aku mulai hapal dimana saja titik sensitif istriku ini. Menghentikan pagutan kami, beralih pad