"Terus, Wulan maunya gimana?"
"Ali 'kan udah janji, jangan berubah ...."
Skesta ingatan saat aku mengunjungi Wulan dan Abah beberapa hari yang lalu terputar di ingatan. Saat aku berpamitan di depan rumah Wulan.
"Janji ya, jangan lupain Abah dan Wulan? Sebenarnya tadi, aku tahu itu kamu. Namun, aku takut. Masihkah Ali yang dulu kukenal sama seperti dahulu atau sudah berubah!"
Saat itu Wulan ternyata sudah mengenaliku sejak aku datang. Namun, ia sengaja bersikap galak dan judes untuk mengujiku. Terkadang sebuah perubahan yang terjadi tak sengaja menciptakan dinding antara kita dan orang lain.
Aku menggeliat, merentangkan kedua tangan. Mengerjapkan mata pelan, melihat sekeliling. Sepi. Mungkin Wulan sudah pergi sejak tadi malam. Terakhir yang kuingat, menyuruhnya menggosok punggungku dan bernyanyi.Tak sengaja aku menoleh ke arah kursi panjang di dekat dinding. Gadis cempreng itu tertidur di sana mengangkat kakinya, meringkuk agar cukup di dalam kursi panjang.Jadi semalam dia tidak kembali ke kamar Bik Asih? Apa dia tidur di kursi itu semalaman? Jadi dia pikir aku ini benar-benar sakit? Dasar gadis bodoh!Terpikir ide untuk mengerjai gadis bodoh itu kembali, "Aduh ... tolong ... sakit!"Aku berteriak, mengerang kesakitan. memasang wajah kesakita
"Ayo, Wulan!" Wulan mendorong kursi rodaku, patuh pada perintah. Aku menatap tajam Jhonny. Seperti biasa anak haram Papa itu tersenyum menyeringai ke arahku. Sorot mata liciknya menyiratkan banyak tipu muslihat yang ia sembunyikan. Apa tujuan Jhonny datang lagi ke rumah ini. Bukankah sudah jelas hasil keputusan rapat dewan direksi saat itu. Pemimpin The One Property selanjutnya adalah aku, pemilik saham terbesar kedua di perusahaan. Apa yang direncanakannya kali ini? Apa yang dibicarakannya dengan Papa? Keluar dari pintu kamar. Tak lupa Wulan menutupnya kembali. Memberikan waktu Pa
Pagi-pagi sekali aku telah bangun, duduk di pinggir ranjang. Jam digital pada layar ponsel tampak menunjukkan angka sembilan lebih lima belas menit. Aku akan menelepon Wulan, menyuruhnya ke kamar dan membantuku bersiap-siap.Ini adalah waktu terpagi saat aku tak punya kesibukan apapun. Biasanya Aku bangun pukul sepuluh atau sebelas siang. Lama tidak masuk ke kantor aku lupa caranya bangun pagi. Ah, sudahlah. Bangun siang itu sudah jadi kebiasaan lumrah para lelaki. Camkan itu!Terdengar suara pintu yang diketuk. Seorang gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang dikuncir ekor kuda berjalan masuk setelahnya. Kedua tangannya memegang nampan, ada satu mangkuk dan segelas air putih di atasnya. Semoga tidak bubur lagi aku bosan.Kuurungkan
Aku mengerutkan alis. Mencoba berpikir dengan keras, "Bagaimana membuat Tamara, mundur? Benci padaku lalu memutuskan pertunangan?" David tersenyum lebar. Sepertinya ia sudah punya ide! Apapun ide David itu kuharap berhasil. ***CEO Yang Hilang Ingatan*** Mengeluarkan beberapa kertas berstempel dari amplop cokelat. Hasil pemeriksaan kandungan obat. Juga satu lembar lagi, pemalsuan kesehatanku sendiri. Satu sudut bibirku terangkat naik. Besok aku akan melihat bagaimana ekspresi Tamara bila mengetahui tulisan di selembar surat ini. [Tamara, ada yang ingin kubicarakan denganmu. Datanglah ke rumahku besok.]
"Yes! Good job Alex!" Aku mengepalkan tangan dengan erat. Mengayunkannya dari atas ke bawah. Merayakan kemenangan.Akhirnya urusan dengan Tamara selesai juga. Semoga dengan surat keterangan kesehatan palsuku tadi, bisa membuat Tamara benar-benar berhenti untuk mendekatiku.Tak ada gunanya bersama jika tak ada rasa di antara kami. Buat apa berpura-pura bahwa hubungan kami baik-baik saja nyatanya kami tersiksa."Ali?!" Wajah Wulan menyembul dibalik pintu."Aarrgh," teriakku. Berpura-pura terjatuh di lantai. Menggeliat, memegang kaki kanan."Apa yang kau lakuk
Sebenarnya aku sudah lelah berpura-pura menjadi seorang penyakitan. Kemana-mana harus dibantu orang lain. Harga diriku sedikit turun saat menaiki kursi roda. Ketampananku berkurang hingga lima puluh persen. Kini, masalah dengan Tamara selesai. Hilton Coorporation telah membatalkan kerjasama secara sepihak. Aku tak perlu membayar apapun. Kalaupun ada yang harus diselesaikan, itu antara pihak keuangan kedua pihak. Tentunya, pihak Hilton yang membayar pada The One Property. Beberapa hari lagi aku harus terbang ke Singapura mengurus proyek terbaru dari perusahaan. Aah, lupa aku belum mengambil data-data yang harus dipelajari. Om Pramudya pasti telah mengirimkan semua datanya ke Papa. Baiklah aku akan mengambilnya ke sana. Melirik sebentar ke
Papa masuk ke kamar dan menutup pintunya perlahan. Aku mengamati sekitar, sepi. Berbalik badan menuju ruang kerja Papa. Membuka pintu dan segera mengambil amplop putih di laci meja kerja.Apa ini?Catatan medis siapa ini?Nyonya Liliana Yasmeen Abraham?Apa itu nama Mama? Di bagian depan amplop tadi tertera nama itu. Segera membuka amplop dan mengambil kertas di dalamnya. Sebuah catatan kesehatan.Tertulis di sana Nyonya Liliana Yasmeen Abraham menderita depresi dan ketergantungan alkohol. Siapa wanita ini? Apa dia Mamaku?
Seorang wanita dengan gaun vintage berwarna tosca. Menatap ke arahku. Aku menatapnya penuh tanya. "Alexander Ibrahim?" Aku mengangguk pelan. Merasa tak mengenali lawan bicara. "Siapa?" Manik mata kecokelatan gadis yang berdiri di sebelah suiteku masih membesar, menatapku dengan dua sudut bibir yang melengkung naik ke atas. "Gue Sintya, temen Tamara!" Gadis itu menaikkan kedua alisnya, berdiri mematung menatapku, "Kita ketemu di restoran cepat saji." Aku masih berusaha mengingat-ingat siap lawan bicaraku ini. Rasanya aku pernah bertemu dengannya dan Ta