“Tau, ah. Aku ngambek.” Tias membuang mukanya ke jendela.
“Gampang kalau ngambek. Tinggal ku cium saja,” tukas Ilham. Dia menghentikan mobilnya, di tempat parkir.
“Kok ke sini, mau ngapain?” Tias heran melihat tempat yang mereka tuju.
“Menurutmu?” Tias memutar bola matanya sangat malas. Terlihat butik Natasha terpampang di sana. Ilham membuka sabuk pengamannya, kemudian berlari memutar arah untuk membukakan pintu bagi sang permaisurinya. Rasanya sangat bahagia, sebentar lagi dirinya akan memiliki wanita itu seutuhnya. Perasaan itu sangat menyilaukan, sehingga dia merasa dunia sedang memihak padanya. Ini terlihat sangat mudah.
“Silakan, Permaisuriku.” Ilham membungkuk seraya mempersilakan calon istrinya tersebut untuk melangkah. Tias menepuk pundak Ilham sehingga lelaki itu tertawa. Ilham memberikan lengannya untuk Tias gandeng, sehingga Tias
“Mang, sudah masak?” Ilham mmbukakan pintu untuk Tias masuk ke dalam mobil.“Belum, sih. Tapi, nanti masak yang gampang saja. Sepertinya ada udang. Kita bikin itu yang cepat,” tukas Tias.“Ah, tidak salah aku memilihmu.” Ilham memandang lekat mata wanitanya. Setelah itu, turun ke bibir. Ingin rasanya dia menenggelamkan bibir itu menjadi santapan siang ini sebelum makan siang. Tapi, tentu tidak boleh karena belum resmi menjadi istrinya.Bibir itu yang selalu menyuarakan kata-kata merdu pembangkit semangatnya, bibir itu yang selalu membuatnya hidup, bibir itu yang membuatnya tidak lupa untuk kembali ke Indonesia. Bibir itu pula yang mendorong dia untuk menerima jabatan sebagai pemangku kepala dinas, walau sejujurnya gajinya sangat jauh, dari pada menjadi pebisnis.“Ah, mari kita pulang.” Dia memotong sendiri pikiran mesumnya, untuk kemudian memakaikan sab
“Ah, biar aku saja, Mas. Silakan tunggu di meja makan.” Tias dengan canggung mendekati Ilham. Lelaki itu memberikan spatulanya, membiarkan Tias mengaduk bumbunya. Namun, jangan harap melepaskan tubuh sang kekasih. Dia memeluknya dari belakang, sambil sesekali ikut mengaduk.“Aku kesusahan bergerak, ih.” Tias menggerakkan tubuhnya agar dilepaskan oleh Ilham.“Kamu yang memintanya untuk di peluk,” bisik Ilham didekat telinga Tias. Wajah merah bersemu jingga menghiasi pipi Tias yang merona karena godaan dari Ilham tersebut.“Ih, siapa juga?” Akhirnya Tias mengalah untuk memberikan spatulanya kepada lelaki itu, sedangkan dirinya akan keluar dari dapur itu dan sebelum keluar melepas celemek dan di gantungkan kembali di gantungan. Setelah itu, Tias naik tangga menuju kamarnya. Ganti baju mungkin lebih baik. Mengenakan dres tidak cocok dengan gayanya. Namun, demi melihat perubahan
“Ck, susah juga. Ternyata cowok semuanya baperan. Dih, susah deh.” Tias duduk di meja dapur. Dia berfikir bagaimana caranya untuk meminta maaf. Secangkir kopi mungkin cara terampuh untuk meminta mamar. Dia membubuhkan krimer di atasnya, kemudian didikuti kata maaf yang terukir dengan krimer tersebut. Tias memang memilikijemari yang terampil apapun yang pernah dia lihat, hampir semuanya dapat ditrukan.Camilan kecil biskuit menjadi teman makan kopi. Dia membuat satu kopi dan satulagi coklat. Sebab dirinya tidak menyukai kopi.Tias mengetuk pintu ruangan kerja Ilham. Namun, hening. Lelaki itu tidak menyahut.“Aku masuk ya, Mas?” Tias membuka pintu itu, kemudian melihat Ilham mendengkur sangat halus di kursinya. Sepertinya lelaki itu sangat lelah. Tapi, Ilham merasakan kehadirin Tias. Dia tersenyum dalam tidurnya. Tentu saja, Tias tidak menyadarinya karena dia sibuk membersihkan ruangan itu.&
“Ku kira muka brangasan kayak kalian nggak kenal sholat?” Ilham terkekeh menggoda para body guard itu.“Hahaha. Kita muslim, Bos. Harus sholatlah. Kalau Thomas dan Erdigo itu baru ke Gereja.”“Baiklah. Yang paling tua yang jadi imam.”Seorang tukang kebun yang biasa menjadi penjaga malam juga maju ke depan, karena Ilham yang menyuruh. Mereka menghadap Tuhannya dengan khusuk.Hari demi hari telah berlalu. Kini tiba sudah pernikahan mereka berdua. Tidak ada pernikahan megah ala raja dan ratu. Walau seluruh seserahan dan baju sangat mewah, tapi pernikahan terjadi di rumah Tias saja, di Semarang. Mereka juga dadakan memberi tahu pada orang tua Tias.*Flas Back On*“Sayang, kita pulang ke Semarang dan Surabaya kapan? Tinggal dua minggu lho, aku juga pingin melamar kamu,
“Mas, sudah ramai, ya? Saya lama tidak ke Surabaya.” Tias mengedarkan pandangan sambil berjalan sedikit menjingkat. Mereka sudah di jemput oleh sopir ayahnya Ilham.“Selamat siang, Mas Ilham.” Sopir itu membungkuk. Dia sudah berkerja bersama ayahnya Ilham beberapa puluh tahun yang lalu, saat Ilham masih remaja.“Siang, Pak Kirman. Sehat?” Mereka ahirnya melaju menuju rumah ayahnya Ilham. Meskipun sudah uzur, tapi dia masih sangat gagah dan mempesona. Usianya hampir tujuh puluh tahun, namun masih saja aura kegantengannya sangat memukau.Mereka sudah sampai di rumah Ilham. Ayah dan anak itu berpelukan gaya khas anak laki-laki dengan ayahnya. Tias hanya melihat saja. Dia berada di belakang Ilham sambil menangkupkan kedua tangannya. Tidak tahu harus berbuat apa.“Siapa yang di belakangmu?” tanya ayah Ilham. Mahardika Dwi Saloka sampai saat ini masih menjadi
“Aku merindukan ibumu. Sudah sekian lama dia pergi. Tapi, perhatiannya tidak pernah hilang dari diri ayah. Seandainya dia masih di sini, dia yang pertama kali akan mengomelimu, karena menganggap mudah segala pernikahan dan pernak-perniknya.” Mahardika mengelus foto sang istri yang terpampang jelas. Senyum khas priyayi Jawa tergambar jelas di wajah ayunya.“Saya bukan menggampangkan, Yah. Ada banyak hal yang terjadi. Ini termasuk darurat. Sebenarnya, ada yang harus saya tanyakan. Tapi, biarlah nanti. Untuk saat ini, kita bahagia dulu.” Mereka berangkulan. Betapa akrabnya ayah dan anak itu, walau jarang saling bersua.Esok harinya terlihat sibuk. Dua mobil terparkir sempurna sudah berisi bebrapa parsel untuk lamaran. Bahkan sekalian uang mahar dan lain sebagainya. Yang paling mengejutkan adalah jumlah uang mahar yang di persiapkan sangat unik. Yaitu uang pecahan paling kecil jaman dahulu, d
“Turun!” Mereka mengetuk kaca mobil yang buram dari luar.“Ham, biar ayah yang turun,” tukas Mahardika.“Tidak! Ayah dan Tias di sini saja. Saya sanggup mengahdapi mereka.” Ilham turun, kemudian berdiri di samping pintu yang baru saja di tutup. Dia menyenderkan punggungnya pada mobil.“Kalian perlu apa? Kenapa memakai cara seperti ini. Uang?” Ilham dengan santai mengatakannya, sambil bersedakap di depan mereka.“Kurang ajar! Kamu menghina kami?” geram salah seorang.“Tidak! Aku tidak menghinamu. Kalau kamu merasa terhina, berarti memang benar kamu butuh.” Lelaki itu maju dan menyerang Ilham. Ilham hanya menghindar saja, sehingga lelaki itu nyusruk hanya menemukan ruang hampa.“Aku ajarin bung. Menyerang itu begini.” Ilham mmeutar tubuhnya, kemudian mengangkat kakinya de
“ Aku juga maunya begitu, Mas. Tapi ....” Tias terdiam, ketika telunjuk Ilham menempel pada bibirnya. Dia menundukan kepala, sehingga Ilham menegakkannya dengan memegang dagunya.“Telepon bapak dan ibu agar lebih tenang hatimu, bahwa kita sudah sampai di sini. Sekitar setengah jam sampai.” Ilham memberikan telepon miliknya, untuk Tias gunakan sebagai alat menghubungi keluarganya.“Ah, sepertinya ponsel yang dibelikan kemarin masih utuh. Aku pakai punyaku sendiri saja,” tolak Tias.“Ini agar bapak dan ibu juga tenang. Bahwa kamu bersamaku,” bujuk Ilham.Tias tersenyum kemudian. Tias sudah tahu sandinya adalah hari lahir dirinya. Ilham pernah mengatakan hal itu. Tias mengabari orang rumah, bahwa dirinya sudah hampir sampai bersama keluarga Ilham. Setelah menghubungi ibunya, ajaib. Tias sedikit tenang. Dia tidak gelisah lagi. Mereka sudah sampai di d
“Sepertinya, sudah waktunya.”“Oh, Galih maaf, aku harus membawanya.” Ilham menggendong sang istri untuk keluar dari pesta itu dia sangat panik. Sedangkan orang-orang juga memandang ke arah kepergian mereka. Ada bisik-bisik doa dari mereka, semoga baik-baik saja.***Meyyis_GN***Ilham langsung memasukkan tubuh sang istri ke dalam mobilnya. Keringatnya bercucuran, karena merasa tegang. “Huff … aduhhh ….”“Tahan, Sayang. Kamu kesakitan begitu. Ya Allah, semoga ….”“Mas, konsen nyetir … hufff ….” Tias menarik napas dan mengembuskan dengan berlahan lewat muluah.“Ahh … sabar, Sayang. Papa sedang berusaha, kita ke rumah sakit, ya?” Tias mengelus perutnya dan menahan rasa sakit yang teramat hebat. Dia menggigit bibir bawahnya. Ahirnya, lelaki itu
“Kamu tidak perlu mengajariku, kamu tahu … Mas Galih tidak akan pernah menyukai gaya itu lagi. Aku akan selalu membuatnya puas, sehingga tidak akan ada waktu lagi untuk memikirkan hal lain selain diriku. Apalagi, memikirkan masa lalu yang menjijikkan.” Mira sepertinya bukan lawan yang sangat tanggung bagi Milea. Dia tersenyum dan mulai berbalik turun. Kepala Milea sudah panas dan berasap. Ingin dia meledak sekarang, tapi tunggu nanti, hingga seluruh orang fokus pada makanannya, itu akan lebih mudah.Milea turun. Dia mengambil gelas dan sendok dan menabuhnya. Mereka semua melihat ke arah Milea. “Mohon perhatiannya, permisi!” Galih sudah tidak tahan lagi, tapi Mira mencegahnya.“Jangan, Mas. Biarkan dia berbuat semaunya. Nanti dia sendiri yang akan malu.” Galih mengangguk.“Kalian tahu, kedua mempelai? Mereka adalah pembatu dan suamiku, ups aku lupa … tepatnya mantan.
“Sudahlah, aku siap mendengarmu kapan saja. Tapi tidak sekarang, pengantin priamu sudah menunggu.” Mira bangkit dibantu oleh Tias. Mereka keluar menuju pelaminan. Karpet merah yang membentang menambah suasana dramatis, bagai ratu sejagad. Tias membantu memegang gaunnya, dengan anggun Mira melewati sejegkal demi sejengkal karpet merah itu. Kelopak mawar ditabur dari kanan dan kiri. Di ujung sebelum mencapai puncak Galih sudah siap menyambut pengantinnya dengan stelan jas tuxedo.***Meyyis_GN***Jangan lupa musik pengiring yang membuat suasana semakin sakral. Seluruh pasang mata berpusat ke arah kedatangan pengantin. Bisik-bisik terdengar, sehingga membuat suasana hati Milea semakin panas.“Kalian nora, pengantin ya cantik, tapi tidak alami.” Yang ada di sebelah Milea tersenyum sinis.“Kau iri? Makanya jangan berulah.” Milea yang sedang marah rasanya ingin meledak da
“Tidak ada, hanya sedikit merasa menekan perut.” Ilham menggangguk.“Mau makan apa? Biar aku ambilkan, sebelum pengantin wanita keluar dan kita akan sibuk memandangnya.” Tias mencubit pinggang suaminya.***Meyyis_GN***“Sepertinya aku mau sate saja. Tapi tolong lepaskan dari tusuknya, ya? Kata mama tidak boleh orang hamil makan langsung dari tusuknya.” Ilham tersenyum. Dia meninggalkan sang istri duduk sendiri dan mengambilkan makanannya yang sudah dipesan istrinya. Lelaki itu dengan elegan menuju ke tempat prasmanan.“Oh, mantan istrinya Mas Galih diundang semua ternyata?” Milea mendekati Tias. Tias tersenyum.“Sebagai mantan istri, tentu masih berkewajiban menjaga tali silaturahmi ‘kan? Bagaimana pun, pernah tidur satu ranjang, jadi tidak ada salahnya kalau berbaik hati mengucapkan selamat pada wanita yang menggantikan menemaninya t
“Satu minggu terasa sangat lama. Sabar ya, Sayang. Kamu akan puas setelah ijab-kabul.” Galih menunjuk miliknya dan tersenyum setelah tatanan rambut selesai. Siang ini, dia akan bermanja-manja dengan Mira. Dia memiliki energi baru untuk memulai sebuah kehidupan. Senyumnya merekah membuai siang yang terasa terik, namun baginya berbalut dengan kesejukan. Dia sduah merindukan sentuhan wanita, menyata kulitnya yang begitu sensitif dengan rangsangan.Galih mempersiapkan pernikahan ini dengan sangat baik. Dia menyewa jasa wedding organizer terbaik untuk mempersiapkan pernikahan ini. Di gedung hotel ternama, sudah disusun acara dengan sangat baik. Galih mengenakan stelan jan warna hitam, karena memang konsepnya internasional. Dia mengenakan tuxedo itu dan memandang penampilannya sendiri di depan cermin. “Ini untuk yang ke tiga kalinya aku mengucapkan ijab kabul. Semoga ini yang terakhir.” Galih berdoa salam hati. Dia membetulkan dasi kupu-k
“Aku ingin lihat! Pertontonkan saja!” Galih mengatakannya tanpa menoleh, dia melenggang pergi. Milea terasa meledak. Dia mengumpat sejadi-jadinya dan membuang benda apa saja ke arah kepergian Galih. Galih merasa lega setelah ancaman kepada Milea tersebut terlaksana. Dia menjadi geli sendiri, pernah tergila-gila pada wanita sejenis itu. Galih menyetir mobilnya dengan cepat menuju ke rumah, harus memastikan kekasihnya baik-baik saja.Galih langsung berlari menuju ke dalam rumah. Dia melihat kekasihnya sedang menggendong putranya, membuat dirinya lega. “Ada apa? Ada yang tertinggal?” Galih menggeleng. Dia memeluk sang istri dari belakang.“Aku mengkhawatirkanmu.” Mira mengerutkan keningya.“Mengkhawatirkanku? Kenapa?” Karena Gibran sudah tenang, maka dia menurunkan anak itu ke lantai yang dilapisi karpet tebal.“Milea tadi datang ‘kan?” M
Mira luruh ke kursi. Dia menyadari, bahwa serangan dari Milea itu normal. Namun dia berpikir lagi, apakah yang dikatakan oleh Milea itu benar? Bahwa dirinya merebut Galih dari tangan Milea? Mira mengingat kembali, kapan mulai saling jatuh cinta dan menyesap indahnya ciuman nikmat.Milea pergi dari rumah Galih dengan tersenyum smirk. Dia yakin pasti Mira merasa tertekan. Dia mengenal Mira selama beberapa tahun, wanita itu berhati baik. Dia pasti akan merasa bersalah dengan tekanan yang diberikan oleh Mira.Sementara itu, Galih menyaksikan aksi manatan istrinya lewat CCTV yang memang sengaja dia pasang. Galih pernah menjadi manusia paling brengsek di muka bumi ini, jadi dia sangat hafal dengan trik brengsek yang dimainkan oleh Milea. Dia menarik napas untuk menenangkan syarafnya. Galih menyuruh ajudannya untuk menyiapkan mobil pribadinya. Dia akan mencari MIlea untuk memberinya pelajaran yang akan wanita itu sesali seumur hidupnya.
“Aku mencintaimu, apa pun yang kau inginkan akan aku lakukan. Apalagi hanya menemani tidur,” bisik Ilham. Lelaki itu tidak berapa lama kemudian terlelap ke alam mimpi menyusul sang istri. Terkadang memang bumil akan sedikit manja.***Meyyis_GN***Milea tidak terima dengan penolakan dari Galih. Dia mencari tahu penyebabnya, bahkan menyelidiki. Dia menemukan Mira sebagai pengasuh dari putranya yang dicintai Galih. Dia menunggu Galih pergi kerja. Pagi itu, terlihat Galih sedang berpamitan dengan Mira. Lelaki itu mencium kening Mira. Semakin terbakar hati Milea.“Kamu lihat nanti! Kalian terlalu enak menikmati masa pacaran, hingga lupa dengan aku yang sakit hati.” Milea menggenggam tanggannya dengan erat, hingga kukunya menancap ke telapak tangannya.“Sayang, jangan lupa kunci rumah. Jangan biarkan siapa pun masuk. Kecuali aku meneleponmu dan memperbolehkan dia masuk.
“Kan bisa mengingatkan baik-baik, kenapa harus teriak, sih?” protes Tias.“Aku nggak teriak, Sayang. Maaf, ih jangan nangis, dong!” Tias sudah hampir nangis karena ucapan Ilham yang agak bernada tinggi. Dasar bumil!Ilham meraih tubuh sang istri yang hampir bergoyang karena menangis. “Ah, seperti inikah orang hamil? Kenapa selalu saja sensitif,” batin Ilham.“Aku akan menggendongmu,” ucap Ilham. Lelaki itu memang sangat memanjakan sang istri. Walau Tias begitu sedikit ceroboh dan jorok, namun lelaki itu tidak masalah untuk membereskn kekacauan yang dibuat oleh istrinya. Terkadang, memang kekurangan pasangan kita yang menjadi dasar pemicu pertengkaran. Tapi tidak dengan Ilham. Dia menjadikan kekurang sang istri sebagai semangat. Terkadang, sepulang kerja dia harus rela membereskan beberapa kekacauan istrinya.Sebenarnya, kadang Tias sudah h