“Mas, kita kok pergi diam-diam gini sih? Kenapa nggak ngabarin Papa sama Mama kamu, Mas?” tanya Gea.Mereka berdua sudah tiba di sebuah rumah tipe 45 yang di desain minimalis, dengan halaman yang cukup luas, sejak pagi tadi. Rencananya, lahan kosong itu akan dibangun sebuah kios kecil untuk berjualan sembako. Ervan sudah merencanakan semua ini dengan cepat, tentunya dibantu oleh Herman.Mereka berangkat dari Jakarta Pusat menuju Semarang melalui jalur penerbangan pada pukul 06.00 pagi. Hanya menempuh waktu sekitar satu jam lebih sepuluh menit, mereka sudah sampai di bandara Kota Semarang. Dan jarak dari bandara menuju rumah mereka sekarang cukup jauh, sekitar 500 meter.Ervan sengaja merahasiakan kepergian mereka agar Bagus tidak sempat melarangnya. Bisa makin gawat urusannya jika Bagus tahu bahwa Ervan sedang menghindar.“Sayang, kalau kita pamit sama mereka, otomatis mereka bakal ngelarang kita. Makanya aku sengaja nggak kasih tahu ke mereka,” ujar Ervan setelah selesai merapikan is
Dua minggu sudah berlalu, namun Bagus dan Nurma tak kunjung menemukan Ervan dan Gea. Hampir setiap hari mereka mengunjungi kediaman lama Ervan dan hasilnya tetap sama saja. Rumah itu kosong dan Abdi tidak bisa ditanyai karena ia juga tidak tahu kemana majikannya pergi.Karena sudah terlalu lelah mencari, dan nomor Ervan serta nomor Gea juga tidak bisa dihubungi, Bagus beserta Nurma berinisiatif menemui Lastri. Mereka yakin, Lastri pasti mengetahui dimana keberadaan Ervan dan Gea.Hingga sampai tiba di hari Minggu pagi, Bagus dan Nurma benar-benar berkunjung ke rumah Lastri. Lastri yang baru pulang dari pasar pun terkejut melihat keberadaan dua besannya itu.“Loh, Pak Bagus? Bu Nurma?”“Pagi, Bu Lastri,” Nurma menyapa dengan ramah. “Habis darimana, Bu?”“Oh, saya habis belanja di pasar, Bu. Ayo, silahkan masuk. Kita ngobrol di dalam aja,” ucap Lastri dan bergegas membuka pintu agar kedua besannya bisa masuk.Mereka bertiga masuk ke dalam dan duduk di sofa ruang tamu. “Saya tinggal ke da
Nurma terus melamun di sepanjang perjalanan pulang. Semua ucapan Lastri masih terngiang di telinganya. Apalagi Lastri membongkar semua aib yang selama ini ditutupi oleh Ervan dan Gea. Nurma menyalahkan diri sendiri karena belum bisa mendidik Ervan dengan baik selama ini. Nurma mencoba mengingat kesalahan apa saja yang pernah ia perbuat, sampai karma yang ia terima bisa separah ini.Tapi, Nurma juga kesal karena Ervan lebih memilih menceritakan semuanya secara gamblang dengan Lastri, daripada dirinya. Padahal Ervan sempat cerita tentang masa lalunya, namun tidak sampai tuntas. Nurma kesal sekali harus mengetahui fakta ini dari besannya sendiri.“Ini semua salah kamu, Ma,” celetuk Bagus di tengah perjalanan, setelah beberapa saat hening melanda di antara mereka.“Loh? Kok jadi Mama yang salah?” tanya Nurma dengan nada tidak terima. “Papa juga salah. Jangan coba-coba alihkan kesalahan Papa ke Mama.”Bagus mendengus. “Ya jelas kamu yang lebih banyak salah. Nggak becus ngurus anak. Lihat k
Nurma tiba di Semarang pada pukul 10.00 pagi menggunakan jalur penerbangan. Ia berangkat dari Jakarta sekitar pukul 09.00 pagi dan kepergiannya tidak diketahui Bagus. Nurma sengaja merahasiakan ini karena tidak ingin melanggar janjinya pada Ervan.Nurma menaiki sebuah taksi dan memberitahukan alamat rumah Ervan pada sang sopir. Taksi itu berangkat dari bandara menuju alamat yang tertera di sebuah kertas.Setelah berkendara sejauh 500 meter, sampailah Nurma di depan rumah Ervan. Nurma segera membayar ongkos taksi lalu keluar dari mobil. Ia masuk setelah membuka gerbang rumah Ervan, namun pintu dan jendela terkunci rapat.“Apa mungkin mereka lagi pergi? Atau aku yang salah rumah?” gumam Nurma sendirian.“Cari siapa ya, Bu?”Nurma tersentak saat seseorang berbicara padanya dari arah belakang. Nurma langsung menoleh dan ternyata yang berbicara adalah tetangga Ervan. “Oh, saya cari Ervan sama Gea. Ini bener rumah mereka, kan?”“Oh, iya bener, Bu. Ini rumah Mas Ervan sama Mbak Gea.”“Alhamd
“Mama yakin mau pulang? Nggak mau nginap di sini dulu sampai seminggu?” Ervan bertanya karena ia baru saja melihat Nurma mengemasi pakaian ke dalam tas, esok harinya. Waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi.Nurma yang sudah selesai dengan agenda kemas-mengemasnya pun lantas menghampiri Ervan dan tersenyum. “Mama harus pulang sekarang, Nak. Papa kamu masih butuh Mama. Mama nggak mau nambah dosa karena pergi tanpa izin dalam waktu yang lama. Nanti, kalau semua masalah di sana udah selesai, Mama pasti datang lagi ke sini,” ujarnya.Ervan pun tidak bisa melarang jika hal ini sudah menyangkut tentang dosa. Ia juga tidak ingin membuat Nurma menjadi istri yang durhaka pada suaminya. Mau tidak mau, Ervan harus membiarkan Nurma pulang setelah menginap satu malam di rumahnya.“Ya udah, nanti Ervan antar ke bandara ya. Sekarang, kita sarapan dulu. Gea udah siap masak,” ajak Ervan sambil menggandeng tangan Nurma.“Iya, Van.”***Selesai sarapan, Ervan bergegas mengantar Nurma ke bandara. Kali i
“Ma, makan dulu ya,” bujuk Bagus sambil membawa semangkuk bubur hangat yang baru dimasak oleh asisten rumah tangganya.Sudah dua hari sejak pertengkaran itu, Nurma jatuh sakit dan susah sekali untuk makan. Apapun yang dimakan Nurma terasa pahit. Hingga membuat wajah Nurma semakin pucat karena kurangnya asupan makanan ke dalam tubuh.Seperti pagi ini, lagi-lagi Bagus harus bekerja keras membujuk Nurma untuk makan. Akan tetapi, sama dengan hari sebelumnya, Nurma menolak. Bahkan Nurma enggan menatap Bagus. Wanita itu masih kesal pada suaminya. Sulit rasanya melupakan pertengkaran mereka setelah Nurma kembali ke Jakarta waktu itu.“Ma, kalau nggak mau makan, nanti nggak sembuh-sembuh,” bujuk Bagus untuk kesekian kalinya.“Biarin. Biar mati sekalian. Kan Papa senang kalau Mama sakit. Itu kan maunya Papa?” Nurma mencibir sambil melengos.Bagus menghela napas berat. “Jangan ngomong gitu dong, Ma. Ucapan itu doa. Papa nggak mau lihat Mama sakit kayak gini. Papa tuh maunya Mama sehat.”“Kalau
Seminggu sudah Bagus lewati. Di setiap saat, Bagus merenungi ucapan Nurma waktu itu. Dan inilah saatnya, Bagus menurunkan sedikit rasa egonya demi keutuhan rumah tangganya dengan Nurma. Walaupun memiliki sifat keras kepala, Bagus tidak sanggup jika harus kehilangan Nurma.Dengan langkah mantap, Bagus menemui Nurma yang sedang duduk bersantai di taman belakang sambil membaca sebuah buku. Bagus meletakkan secangkir teh hangat untuk sang istri di atas meja kecil, lalu duduk di sisi kiri Nurma.“Diminum dulu tehnya, Ma,” ucap Bagus.Nurma melirik sekilas, lalu kembali fokus pada buku bacaannya. Kemudian, ia berkata tanpa menoleh ke arah Bagus, “Papa lupa sama omongan Mama waktu itu? Jangan temui Mama kalau Papa belum sadar.”“Justru karena udah sadar makanya Papa di sini,” ujar Bagus lalu mengambil buku bacaan istrinya. Ia meletakkan buku tersebut di atas meja. “Ma, maafin Papa ya. Papa sadar kalau Papa ini egois. Harusnya Papa nggak maksa Ervan untuk cerai. Papa bener-bener minta maaf ya
Hari yang ditunggu Ervan pun tiba. Kedua orang tuanya benar-benar datang berkunjung ke rumahnya. Ervan menyambut keduanya dengan sangat baik dan begitu antusias. Untuk sejenak, Ervan melupakan masalahnya dengan Bagus. Itu semua karena Nurma yang meminta Ervan untuk bersikap baik pada Bagus agar masalah cepat terselesaikan.Gea juga menyambut mertuanya, namun hatinya masih merasakan keraguan. Entahlah. Selama hamil, Gea selalu merasakan hal-hal negatif. Padahal Gea sudah berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif seperti itu. Namun, tetap tidak bisa.Bagus dan Nurma dipersilahkan masuk oleh Ervan dan Gea. Gea langsung pamit ke dapur untuk membuatkan minuman dan menyiapkan beberapa makanan ringan. Nurma ingin membantu, namun Gea melarangnya.“Gimana kabar kalian? Baik-baik aja, kan?” tanya Bagus membuka pembicaraan.“Alhamdulillah baik, Pa,” jawab Ervan. “Kalian sendiri bagaimana kabarnya? Ervan dengar, Mama sempat sakit.”“Iya. Sakit dikit doang. Sekarang udah lebih baik kok,” ucap N