“Mama yakin mau pulang? Nggak mau nginap di sini dulu sampai seminggu?” Ervan bertanya karena ia baru saja melihat Nurma mengemasi pakaian ke dalam tas, esok harinya. Waktu masih menunjukkan pukul 07.00 pagi.Nurma yang sudah selesai dengan agenda kemas-mengemasnya pun lantas menghampiri Ervan dan tersenyum. “Mama harus pulang sekarang, Nak. Papa kamu masih butuh Mama. Mama nggak mau nambah dosa karena pergi tanpa izin dalam waktu yang lama. Nanti, kalau semua masalah di sana udah selesai, Mama pasti datang lagi ke sini,” ujarnya.Ervan pun tidak bisa melarang jika hal ini sudah menyangkut tentang dosa. Ia juga tidak ingin membuat Nurma menjadi istri yang durhaka pada suaminya. Mau tidak mau, Ervan harus membiarkan Nurma pulang setelah menginap satu malam di rumahnya.“Ya udah, nanti Ervan antar ke bandara ya. Sekarang, kita sarapan dulu. Gea udah siap masak,” ajak Ervan sambil menggandeng tangan Nurma.“Iya, Van.”***Selesai sarapan, Ervan bergegas mengantar Nurma ke bandara. Kali i
“Ma, makan dulu ya,” bujuk Bagus sambil membawa semangkuk bubur hangat yang baru dimasak oleh asisten rumah tangganya.Sudah dua hari sejak pertengkaran itu, Nurma jatuh sakit dan susah sekali untuk makan. Apapun yang dimakan Nurma terasa pahit. Hingga membuat wajah Nurma semakin pucat karena kurangnya asupan makanan ke dalam tubuh.Seperti pagi ini, lagi-lagi Bagus harus bekerja keras membujuk Nurma untuk makan. Akan tetapi, sama dengan hari sebelumnya, Nurma menolak. Bahkan Nurma enggan menatap Bagus. Wanita itu masih kesal pada suaminya. Sulit rasanya melupakan pertengkaran mereka setelah Nurma kembali ke Jakarta waktu itu.“Ma, kalau nggak mau makan, nanti nggak sembuh-sembuh,” bujuk Bagus untuk kesekian kalinya.“Biarin. Biar mati sekalian. Kan Papa senang kalau Mama sakit. Itu kan maunya Papa?” Nurma mencibir sambil melengos.Bagus menghela napas berat. “Jangan ngomong gitu dong, Ma. Ucapan itu doa. Papa nggak mau lihat Mama sakit kayak gini. Papa tuh maunya Mama sehat.”“Kalau
Seminggu sudah Bagus lewati. Di setiap saat, Bagus merenungi ucapan Nurma waktu itu. Dan inilah saatnya, Bagus menurunkan sedikit rasa egonya demi keutuhan rumah tangganya dengan Nurma. Walaupun memiliki sifat keras kepala, Bagus tidak sanggup jika harus kehilangan Nurma.Dengan langkah mantap, Bagus menemui Nurma yang sedang duduk bersantai di taman belakang sambil membaca sebuah buku. Bagus meletakkan secangkir teh hangat untuk sang istri di atas meja kecil, lalu duduk di sisi kiri Nurma.“Diminum dulu tehnya, Ma,” ucap Bagus.Nurma melirik sekilas, lalu kembali fokus pada buku bacaannya. Kemudian, ia berkata tanpa menoleh ke arah Bagus, “Papa lupa sama omongan Mama waktu itu? Jangan temui Mama kalau Papa belum sadar.”“Justru karena udah sadar makanya Papa di sini,” ujar Bagus lalu mengambil buku bacaan istrinya. Ia meletakkan buku tersebut di atas meja. “Ma, maafin Papa ya. Papa sadar kalau Papa ini egois. Harusnya Papa nggak maksa Ervan untuk cerai. Papa bener-bener minta maaf ya
Hari yang ditunggu Ervan pun tiba. Kedua orang tuanya benar-benar datang berkunjung ke rumahnya. Ervan menyambut keduanya dengan sangat baik dan begitu antusias. Untuk sejenak, Ervan melupakan masalahnya dengan Bagus. Itu semua karena Nurma yang meminta Ervan untuk bersikap baik pada Bagus agar masalah cepat terselesaikan.Gea juga menyambut mertuanya, namun hatinya masih merasakan keraguan. Entahlah. Selama hamil, Gea selalu merasakan hal-hal negatif. Padahal Gea sudah berusaha untuk menghilangkan pikiran negatif seperti itu. Namun, tetap tidak bisa.Bagus dan Nurma dipersilahkan masuk oleh Ervan dan Gea. Gea langsung pamit ke dapur untuk membuatkan minuman dan menyiapkan beberapa makanan ringan. Nurma ingin membantu, namun Gea melarangnya.“Gimana kabar kalian? Baik-baik aja, kan?” tanya Bagus membuka pembicaraan.“Alhamdulillah baik, Pa,” jawab Ervan. “Kalian sendiri bagaimana kabarnya? Ervan dengar, Mama sempat sakit.”“Iya. Sakit dikit doang. Sekarang udah lebih baik kok,” ucap N
Tiga hari kemudian, Ervan yang sedang sibuk memantau pengerjaan kios, dikejutkan dengan kehadiran Bagus. Tidak ada pemberitahuan sebelumnya jika Bagus akan datang. Jelas hal itu memicu amarah Ervan. Apalagi hubungan dirinya dan sang istri sedikit renggang akibat permintaan Bagus beberapa hari lalu.Bagus menarik Ervan untuk menjauh dari lokasi pembangunan kios. Namun, Ervan menepis tangan Bagus dengan cepat. Kali ini, Ervan tidak ingin tertipu lagi."Mau apa lagi sih, Pa? Belum puas Papa bikin hubungan aku sama Gea renggang?" hardik Ervan."Van, dengerin Papa dulu. Perusahaan lagi butuh kamu sekarang untuk menangkan tender besar. Selama ini, cuma kamu yang bisa. Jujur, Papa sekarang udah nggak sejago dulu. Jadi, tolong ya, bantu Papa. Sekali ini aja," pinta Bagus.Ervan menghela napas panjang. Harus berapa kali ia menjelaskan pada Bagus bahwa dirinya sudah tidak berminat lagi terjun ke dunia perusahaan? Ervan ingin memulai usahanya sendiri. Sudah cukup dirinya mengandalkan perusahaan
Karena tidak puas dengan penolakan Ervan, Bagus menyuruh anak buahnya untuk membuat kekacauan di rumah Ervan dan membawa Ervan secara paksa. Sementara dirinya menunggu di hotel agar nanti bisa segera membawa Ervan ke Jakarta. Cara licik ini harus Bagus gunakan untuk menjauhkan Ervan dari Gea dan perusahaannya akan tetap memiliki seorang pemimpin pengganti, setelah dirinya pensiun."Lakukan sesuai rencana!" perintah Bagus pada anak buah bayarannya."Baik, Pak."Dan sesuai rencana, malam hari, tepat pukul 21.00, orang suruhan Bagus tiba di rumah Ervan. Beberapa dari mereka merusak gerbang, sementara yang lainnya bertugas menghalau warga sekitar. Jumlah mereka cukup banyak dan tidak mungkin juga Ervan bisa mengalahkan mereka sendirian.Bangunan kios yang sudah mulai berdiri dihancurkan oleh mereka. Sampai membuat para warga berteriak agar mereka berhenti melakukan aksi gila itu. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan terus merusak bangunan kios sampai benar-benar hancur."Siapa kalian?!" t
"Loh, Ervan?" Nurma terkejut saat melihat kehadiran Ervan di meja makan, esok paginya. Ia yang baru saja meletakkan sayur asam di atas meja seketika menghampiri Ervan. "Van, kamu kok di sini? Gea mana? Kamu tinggal sendirian di Semarang?"Ervan hanya mengangguk. Jujur saja, dirinya sudah lelah dengan semua ini. Ingin hidup tenang bersama sang istri, namun ada saja hal yang mengganggu kehidupannya. Entah sampai kapan dirinya akan menjalani kehidupan seperti ini."Mama tanya aja sama Papa," ucap Ervan dengan nada ketus.Nurma mengernyit. "Maksud kamu apa? Kenapa bawa-bawa Papa?""Ya karena ini ulahnya!" Ervan yang geram langsung berseru sambil menggebrak meja makan. Setelah itu, tangan kanannya terkepal di atas meja. "Semua ini karena ulah Papa! Dia yang bawa Ervan ke sini secara paksa! Bahkan dia ancam mau bunuh Gea kalau aku nggak turuti keinginan dia!""BANGSAT!"Brak! Ervan meninju meja makan sampai membuat tangannya terluka. Namun ia tidak peduli. Ervan hanya ingin meluapkan kekesa
Sudah hampir dua jam lamanya Ervan mempelajari berkas. Matanya semakin lelah karena terus membaca. Belum lagi pinggangnya yang mulai terasa sakit. Ervan pun berhenti sejenak lalu meneguk segelas air putih sampai tandas. Kemudian Ervan menatap Herman yang sedang mengerjakan tugasnya di depan laptop.Ervan berdiri dari kursinya, lalu berjalan mendekati Herman. "Man, aku mau ke toilet sebentar.""Oh, iya silahkan, Pak."Salah satu alis Ervan naik ke atas. "Nggak ditemenin? Katanya suruh jagain," sindirnya."Kalau soal buang air, saya nggak mungkin ikutin Bapak. Itu kan privasi. Lagian toilet Bapak juga ada di ruangan ini. Jadi, buat apa saya ikuti Bapak?""Jawaban cerdas," puji Ervan. "Ya udah, aku ke toilet bentar ya. Kalau Pak Bagus masuk, bilang aku ada di toilet. Sekalian aja bawa di ke depan toilet."Herman terkekeh mendengar ucapan Ervan. Ia menganggukkan kepala. "Iya, Pak. Nanti saya bawa sampai depan toilet.""Bagus," kelakar Ervan.Setelah itu, Ervan pun bergegas masuk ke ruang