“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”
Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?” “Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan. Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?” “Tidak lebih, Pak.” Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang terjadi semalam bukanlah hal sederhana. Karena, meskipun samar-samar, Edrio masih ingat terjadi sesuatu antara dirinya dengan Gaura. “Baik. Kalau begitu, aku anggap kejadian semalam selesai di sini,” ucap Edrio akhirnya, meskipun raut wajahnya masih menyimpan keraguan. Namun, Gaura tidak bisa menahan diri. “Maaf, Pak. Dengan segala hormat, saya tidak yakin ini akan selesai begitu saja. Anda harus bisa mengendalikan diri lain kali, karena ini bisa membahayakan reputasi Anda—dan pekerjaan saya.” Edrio sedikit terkejut mendengar keberanian Gaura. Tidak banyak orang yang berani menegurnya, apalagi seseorang yang bekerja di bawahnya. “Berani sekali kamu berbicara seperti itu,” kata Edrio, matanya menyipit. “Saya hanya menjalankan tugas, Pak. Dan tugas saya bukan hanya melindungi tubuh Anda, tapi juga nama baik Anda,” jawab Gaura tanpa ragu. Untuk sesaat, Edrio hanya diam. Dia tidak bisa membantah ucapan Gaura, meskipun harga dirinya tersentuh. Karena memang benar. Semalam, seharusnya dirinya waspada dengan jebakan musuh, tetapi entah mengapa dirinya lalai dan berakhir mabuk. “Baik. Kamu boleh kembali bekerja,” katanya akhirnya, mencoba menutup pembicaraan. Gaura membungkukkan badan sedikit sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan. Tapi, dalam hatinya, dia tahu ini belum berakhir. Edrio adalah tipe pria yang sulit ditebak, dan dia harus selalu waspada. Edrio menatap pintu yang tertutup dengan ekspresi rumit setelah Gaura pergi. Untuk pertama kalinya, dia merasa tidak sepenuhnya memegang kendali. “Dia memang berbeda,” gumam Edrio pelan, sebelum kembali tenggelam dalam pikirannya. Di luar ruangan, Gaura menghela napas panjang. Dia tahu tugas sebagai bodyguard tidak hanya soal kekuatan fisik, tapi juga mental. Dan bekerja untuk seseorang seperti Edrio adalah ujian terbesar dalam hidupnya. “Aku harus tetap kuat. Tidak peduli seberapa sulitnya,” pikir Gaura, melanjutkan langkahnya dengan tekad baru. Langkahnya membawanya ke sebuah ruang karyawan. Dia memeriksa seragam hitam ketatnya yang mencerminkan statusnya sebagai pengawal pribadi. Walau tubuhnya terasa letih, dia memaksakan diri untuk terlihat tegar. “Aku harus profesional. Tidak peduli apa yang terjadi semalam, aku tetap seorang bodyguard, bukan wanita biasa,” gumamnya, mencoba menguatkan diri di hadapan cermin yang memperlihatkan wajahnya. Meskipun terlihat jelas kantung matanya menghitam dan wajahnya sedikit kusut, wanita itu memaksakan diri untuk menarik sudut bibirnya untuk membentuk senyuman. Namun, bayangan kejadian itu masih menghantui pikirannya, membuat senyumannya kembali hilang. “Kenapa harus aku?” ucapnya getir. Dia mencoba melupakan semua itu dan kembali bekerja. Tapi, dia tahu, sebagai pengawal, dia tidak bisa menghindari Edrio. Mau bagaimanpun, dia bukanlah seorang gadis lagi. Dia hanyalah wanita yang sudah hilang kesucianya. Kenyataan pahit itu membuatnya lagi-lagi merasakan gemuruh menyesakkan di dada. Saat masih mencoba menguatkan diri, Gaura teringat, ada sebuah dokumen yang harus ia serahkan pada Edrio dan harus di tanda tangani oleh pria itu. "Sial! Aku harus bertemu dengannya lagi!" Gaura mendengus kesal. Kini, wanita itu telah berdiri di depan pintu ruang kerja Edrio, menggenggam dokumen yang harus ia serahkan. Sebagai bodyguard pribadi pria itu, tugas ini seharusnya sederhana. Tapi, perasaannya menjadi campur aduk karena bertemu dengan Edrio membuat pikirannya kembali kacau. Berkali-kali Gaura menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dari balik pintu yang sedikit terbuka, Gaura mendengar suara Edrio yang sedang berbicara dengan seseorang. "Pak Edrio, tolong pertimbangkan ini. Pak Edwin hanya ingin memastikan semuanya sesuai rencana," suara seseorang itu terdengar meyakinkan. Edrio mendesah penuh kekesalan. "Aku tahu maksud Daddy. Dia ingin aku menikah, lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga. Itu bukan rencanaku." “Kalau begitu, buat kompromi, Pak. Lagipula, Anda kan bisa memilih pasangan yang sesuai dengan kriteria anda,” balas seseorang itu. “Aku tidak punya waktu untuk kompromi. Hidupku terlalu sibuk untuk menambahkan drama keluarga. Aku tidak menginginkan istri atau anak. Membayangkannya saja sudah membuatku pusing!” balas Edrio dingin. Gaura menunduk, merasa dadanya sedikit sesak. Ia tak paham kenapa ucapan Rangga membuatnya gelisah. Ia semakin bertekad untuk tidak mengungkapkan apapun kepada atasannya itu. “Ah, aku tidak peduli. Dasar pria brengsek!“ gumam Gaura kemudian mendengus. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengetuk pintu ruang kerja Edrio dengan sikap tenang namun penuh emosi yang ia tahan mati-matian. Ketika suara Edrio mempersilakan masuk, ia membuka pintu dengan perlahan, membawa dokumen yang harus diserahkan. “Ini laporan proyek terbaru, Pak,” ujar Gaura dengan nada datar, tanpa basa-basi. Ia meletakkan dokumen itu di meja, sedikit lebih keras dari biasanya. Ia sedikit melirik pada seseorang yang berdiri di sisi Edrio yang ternyata adalah salah satu karyawan dengan jabatan cukup tinggi bernama Brian. Edrio yang sedang memeriksa layar laptopnya mengangkat kepala. Tatapannya langsung mengarah pada Gaura. Ia menangkap sesuatu yang tidak biasa. "Ada masalah?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya. “Tidak ada, Pak,” jawab Gaura singkat. Ia berdiri tegak, menghindari tatapan Edrio. Edrio mengambil dokumen itu dan mulai membacanya. Ruangan itu menjadi sunyi, hanya diisi oleh suara lembut halaman yang dibalik. Tapi keheningan itu tidak mengurangi ketegangan yang terasa. Saat Edrio selesai membaca dan mulai menandatangani dokumen, ia mendongak. “Ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?” Gaura menelan ludah. Ia menatap Edrio dengan ekspresi dingin yang berusaha ia pertahankan. “Tidak ada, Pak. Tugas saya hanya menyerahkan dokumen ini.” Edrio terdiam sejenak, lalu mengembalikan dokumen yang telah ditandatangani. “Jangan biarkan emosi atau hal lain mengganggu pekerjaanmu. Fokus pada tugasmu, Gaura.” ’Kau yang membuatku emosi! Sialan!’ umpat Gaura di dalam hati. “Baik, Pak,” jawab Gaura singkat sebelum meninggalkan ruangan. Edrio menatap punggung Gaura hingga bayangan wanita itu menghilang di balik pintu. “Pak, pak Edwin meminta untuk bertemu," ujar Brian yang masih berada di dalam ruangan. “Tunda,” jawab Edrio pendek. “Kenapa, Pak? Ini penting.” Edrio menghela napas lelah. “Ada sesuatu yang lebih mendesak.“ Brian terlihat berpikir. “Apakah tentang pertemuan bisnis semalam, Pak?“ Tatapan pria itu mengikuti arah pandang Edrio, kemudian berkata, “Apakah ini ada hubungannya dengan Gaura?““Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beb
“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beb
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?”“Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan.Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?”“Tidak lebih, Pak.”Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang
“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men