“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian.
Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ *** Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, baik fisik maupun emosional. Tapi sebagai seorang bodyguard, ia tak bisa menunjukkan kelemahannya. Tidak di hadapan siapapun. Tangannya menggenggam pistol dengan erat, matanya menatap lurus ke sasaran. Tembakan pertama meleset sedikit, dan Gaura menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini hanya latihan, bukan situasi berbahaya. Seharusnya ia bisa mengatasinya. Tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Rasa pusing yang datang semakin parah, ditambah dengan mual yang tak kunjung hilang. "Fokus, Gaura. Jangan sampai lengah," ia memotivasi dirinya sendiri. Namun, tubuhnya terasa semakin berat. Pandangannya mulai kabur. Terlalu sering ia terjaga di malam hari, terlalu banyak memikirkan masalah pribadi yang tak bisa ia atasi. Rasa takut terus menghantui pikirannya. Belum lagi rasa nyeri yang datang dari punggung dan kepala, akibat tuntutan fisik yang tak pernah ada habisnya. Satu tembakan lagi. Kali ini, ia menargetkan dengan hati-hati, tetapi tubuhnya tiba-tiba terasa melayang. Kepalanya berputar, dan dalam detik-detik yang teramat singkat, ia merasa kegelapan menyelubungi penglihatannya. Gaura berusaha untuk tetap tegak, tetapi kaki-kakinya terasa lemas. Sebelum ia sempat menyadarinya, tubuhnya jatuh terduduk ke tanah, pistol terlepas dari tangannya. "Gaura!" suara laki-laki yang familiar terdengar jelas. Itu suara Brian, salah satu rekan kerjanya. Brian berlari ke arahnya, dan dalam sekejap, dia sudah berada di samping Gaura. "Kamu baik-baik saja? Jangan paksakan dirimu seperti ini, Gaura. Kamu terlihat sangat lelah." Gaura berusaha mengangkat tangan, mencoba memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Namun, tubuhnya masih terasa sangat lemas, dan ia kesulitan untuk mengangkat kepala. "Aku... hanya... sedikit lelah," jawabnya, dengan suara yang terputus-putus. Brian tampak tak puas dengan jawaban itu. "Tidak seperti biasa, Gaura. Kamu harus istirahat," katanya dengan nada tegas. Ia membantu Gaura untuk berdiri dengan tegak, namun tubuh Gaura yang rapuh hampir saja jatuh lagi jika tidak segera disangga oleh Brian. "Benar-benar tak bisa menahan rasa lelah ini..." Gaura bergumam, bibirnya terasa kering. "Ada apa denganku?" guman Gaura sambil memijit pelipisnya. Wanita itu mengatur napasnya beberapa kali, kemudian melepaskan tangan Brian yang menyangga tubuhnya dengan perlahan. Namun, rasa mual yang tak tertahankan muncul. Gaura pun berlari menuju toilet untuk mengeluarkan isi perutnya, meninggalkan Brian yang menatapnya penuh kasihan. "Uh." Gaura menyeka sudut bibirnya. Tatapannya tertuju pada Wastafel. Tidak ada apapun yang dia keluarkan kecuali cairan berwarna kuning, membuat pikirnya cemas seketika. Hari ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Punggungnya yang terbiasa tegang setelah latihan fisik sebagai bodyguard kini terasa sangat nyeri. Sepertinya, kelelahan yang menumpuk akibat tugas berat akhir-akhir ini belum juga hilang. Sejak beberapa hari lalu, perasaan mual yang terus-menerus datang membuat Gaura merasa tidak karuan. Muntah berkali-kali dan tubuh yang semakin terasa lemah. Itu bukan gejala biasa. Waktu berlalu sejak kejadian itu, dan ia semakin sadar bahwa hal yang paling menakutkan dalam hidupnya kini mungkin menjadi kenyataan. Setelah pulang dan membeli test pack, semuanya terbukti. Dua garis merah. Ia hamil. Semuanya terasa kabur dalam benaknya. Tidak ada rasa bahagia, tidak ada euforia. Hanya ketakutan yang menghancurkan. Edrio. Pria yang tak pernah melibatkan dirinya dalam hubungan apa pun kecuali tentang pekerjaan. Gaura langsung teringat akan malam itu. Malam yang penuh dengan kebodohan dan penyesalan. Gaura mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. "Ini salah," bisiknya pada diri sendiri. "Aku tak bisa memberitahunya. Tidak mungkin Edrio menerima ini." Mungkin, jika ia tak pernah terjerumus ke dalam situasi ini, hidupnya bisa berjalan seperti biasa. Tetapi kenyataannya, ia kini harus menghadapi konsekuensi dari malam itu. Janin yang tumbuh di dalam rahimnya adalah sebuah beban yang tak sanggup ia pikul. Dengan keputusan yang telah bulat, Gaura memutuskan untuk pergi ke klinik. Namun, perjalanan menuju klinik terasa sangat panjang. Setiap langkah seolah membawa beban yang semakin berat. Gaura menahan napasnya, merasakan gemetar di seluruh tubuhnya. Tiba di klinik, ia segera menuju ruang pendaftaran dan tidak berlama-lama menunggu. Matanya kosong, tidak ada ekspresi yang terlukis di wajahnya. Ia hanya ingin semuanya selesai. Setelah beberapa saat, seorang perawat memanggilnya dan membimbing Vina ke ruang pemeriksaan. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Semua gerak tubuhnya terasa kaku. Hanya ada rasa takut yang menguasai pikirannya. Dokter yang menyambutnya memberikan senyuman hangat, tetapi Vina hanya membalasnya dengan tatapan kosong. "Bagaimana kondisi Anda, Ibu?" tanya dokter sambil membuka alat pemeriksaan. Gaura hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Semua instruksi dokter hanya terdengar samar. Matanya terfokus pada layar monitor di depan dokter yang mulai menggerakkan transducer ke perutnya. Tak lama, gambar yang tidak bisa dibohongi muncul di layar. "Ibu bisa lihat kantung kehamilannya?" tanya dokter dengan lembut. "Kandungan Anda sudah berusia empat minggu." Gaura membeku. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Sebuah rasa sesak muncul di dadanya. Semua yang ia rencanakan sebelumnya, semua yang ia pikirkan, terasa sia-sia. 'Apa yang harus aku lakukan?' pikirnya, tak mampu lagi berpikir jernih. Dokter yang melihat perubahan ekspresi di wajah Gaura berusaha menghiburnya. "Jangan khawatir, Ibu. Kami akan membantu Anda melalui ini. Kehamilan di usia dini memang penuh tantangan." Gaura berusaha menahan isak tangisnya. Semuanya terasa begitu absurd. Di satu sisi, ia merasa takut akan masa depannya, merasa tak siap menghadapi kehamilan ini. Namun di sisi lain, ada suara kecil dalam hatinya yang berbisik, 'Bayi ini tidak bersalah. Dia berhak hidup.' Gaura memejamkan matanya. Keputusan yang semula sudah bulat—untuk mengakhiri hidup janin ini—tiba-tiba saja terhenti. Ada suara hati yang lebih besar daripada ketakutannya. 'Tidak... Aku tidak bisa melakukannya.' Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. 'Aku tak bisa mengakhiri hidupnya. Ini salah. Aku tidak bisa melakukan ini.' Tak lama, dokter membereskan alat-alatnya dan memberikan resep vitamin untuk Gaura. "Kita akan memantau keadaan Anda setiap minggu. Jangan khawatir, Bu, semuanya akan baik-baik saja." Gaura tidak bisa mendengar lagi kata-kata dokter. Ia hanya ingin keluar dari ruangan itu, menghindari kenyataan yang mengintainya. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya, namun satu hal yang ia yakini, hidup ini tidak bisa diputuskan dengan satu langkah cepat. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Gaura duduk di ruang tunggu, untuk mengambil obat. Matanya kosong. "Aku harus menerima kenyataan ini," gumamnya. "Bayi ini ada di dalam tubuhku, dan aku yang bertanggung jawab untuk hidupnya." Air mata mengalir deras di pipinya. Namun, kali ini bukan air mata penyesalan, melainkan air mata kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, Gaura merasa sedikit tenang. Keputusan yang sebelumnya terasa sangat berat kini terasa lebih ringan. Ia tidak akan membunuh kehidupan yang ada di dalam dirinya. Namun, ada satu hal yang belum ia tentukan. bagaimana ia akan menghadapi Edrio? Apa yang akan terjadi jika pria itu tahu? Akankah Edrio menerima kenyataan ini, atau justru akan menolaknya dengan keras? Satu langkah besar telah Gaura ambil. Dan perjalanan hidupnya ke depan, baik atau buruk, hanya ia yang bisa tentukan. Namun, bagaimana ia akan menjelaskannya kepada sang Ibu? Akankah wanita yang telah melahirkannya itu dapat menerima kenyataan pahit ini? Tanpa Gaura sadari, seseorang tak sengaja melihat keberadaannya. Ia juga melihatnya keluar dari dalam ruang pemeriksaan kandungan. "Apa yang Gaura lakukan di sini?"Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan be
Aula penuh dengan tawa dan obrolan hangat. Prita, yang merupakan tunangan Edrio, berdiri di tengah ruangan, tersenyum lebar sambil menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang mengelilinginya. Gaun panjangnya berkilauan, dan tangannya yang mengenakan cincin pertunangan memegang lengan Edrio dengan posesif. Namun, Edrio tidak sepenuhnya peduli. Tatapannya, meski diarahkan ke tamu-tamu yang berbicara, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Gaura dan Galen berdiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia melihat anak kecil itu. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan anak itu. Prita menyadari sikap tunangannya yang tidak biasa. “Sayang,” ujarnya pelan sambil memiringkan kepala. “Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat… tidak fokus.” Edrio menoleh, wajahnya datar seperti biasa. “Tidak ada.” “Benarkah?” Priska menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau kenapa? Kau biasanya tidak begini.” Edrio menghela napas kecil, mencoba
Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
Edrio kembali ke kantornya dengan langkah berat. Meski ia adalah pria yang dikenal dingin dan fokus, pikirannya kini terasa kacau. Pertemuannya dengan Galen di sekolah tadi meninggalkan kesan mendalam. Wajah anak itu, senyumnya, bahkan caranya berbicara—semuanya terlalu mirip dengan dirinya. Edrio duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya. Jendela besar di belakangnya menyuguhkan pemandangan kota, tetapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mengusap dagunya sambil berpikir keras. “Gaura,” gumamnya pelan. Nama itu terasa begitu akrab, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali. Kantor Edrio yang biasanya sunyi kini dipenuhi aura ketegangan. Tumpukan dokumen di mejanya terlihat berantakan, dan meskipun ia mencoba menyusun strategi dalam pikirannya, semuanya terasa seperti potongan puzzle yang tak cocok satu sama lain. Ia memutuskan untuk menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dekat dengan Gaura. Edrio menekan tombol telepon di mejanya. ”Hubungi Brian s
”Bagaimana ini?” Gaura duduk di ruang tamunya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga antara Edrio dan Galen. Wajah anak itu sangat mirip dengan Edrio, dan itu membuat Gaura merasa sangat terancam. Gaura tahu bahwa Edrio tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Apa yang dia rencanakan? Apakah dia sengaja menemui Galen?” Gaura bergumam sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia memikirkan berbagai cara agar Galen dapat terhindar dari jangkauan Edrio. Ia benar-benar tak ingin mereka menjadi dekat dan menyadari ada sebuah ikatan di antara mereka. Ia takut, takut Galen akan di ambil dari dirinya. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang ia percayai. “Mika, aku butuh bantuanmu segera.” Suara Gaura terdengar tegas meski hatinya berdebar. Ia langsung berbicara tanpa basa-basi kepada salah satu asistennya itu. “Gaura, ada apa? Apa yang terjad
Siang itu, di luar gerbang sekolah Galen, Edrio berdiri di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh. Ia mengenakan kacamata hitam, memandang dari kejauhan, memastikan bahwa tidak ada yang menyadarinya. Matanya tertuju pada sosok kecil Galen yang keluar dari gerbang, ditemani oleh Mika. Edrio mengamati setiap langkah anak itu. Galen tampak ceria, berbicara dengan Mika tentang sesuatu yang tampaknya menyenangkan. Tetapi yang menarik perhatian Edrio bukanlah percakapan mereka, melainkan cara anak itu berjalan, senyum yang begitu familier, dan ekspresi wajah yang seolah mencerminkan dirinya sendiri. “Tidak mungkin hanya kebetulan...” gumam Edrio, menggenggam setir mobilnya dengan kuat. Namun, dia tidak mendekat. Dia tahu, jika terlalu gegabah, maka ia akan semakin sulit untuk mendekati anak itu. Oleh karenanya, Edrio memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya menjadi bayangan yang tak terlihat. Tapi dalam hatinya, dia bertekad untuk mencari tahu hal yang membuatnya merasa penasaran
“Sebagai wanita yang juga bergerak di dunia bisnis kecantikan, aku sangat prihatin dengan kabar ini. Jika benar studio itu menggunakan bahan berbahaya, maka ini sangat berbahaya bagi konsumen. Aku berharap pihak berwenang segera menyelidiki kasus ini agar tidak ada korban lain.” Sialan. Prita tidak hanya menghancurkan Gaura, tetapi juga berpura-pura menjadi pahlawan di depan publik. Jari-jari Edrio menegang, lalu dengan kasar ia meletakkan tablet itu kembali di meja. “Dia benar-benar cari mati.” Tanpa pikir panjang, ia meraih jas hitamnya dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Andre, yang baru saja kembali dari menyelidiki kasus ini, hampir terkejut melihat ekspresi dingin dan mematikan di wajah bosnya. “Tuan, saya baru saja menemukan sesuatu—” “Kita berangkat sekarang,” potong Edrio. “Ke mana, Tuan?” Edrio menatapnya tajam. “Studio Gaura.” **** Di Studio Gaura. Gaura masih berdiri di depan layar ponselnya, wajahnya pucat dan napasnya tidak b
Gaura mengerutkan kening, mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah video yang sudah ditonton oleh jutaan orang. Darahnya seakan berhenti mengalir ketika melihat seorang wanita dengan wajah rusak menangis dan menyebut namanya. Tangan Gaura bergetar saat membaca komentar yang terus mengalir di bawah video itu. “Astaga! Gaura? Aku tidak menyangka produk dari studionya menggunakan bahan berbahaya!” “Ini mengerikan! Aku baru saja menggunakan jasa make-upnya! Harus bagaimana jika wajahku juga hancur!?” “Hati-hati, guys! Jangan tertipu branding studio mahal, ternyata mereka menggunakan bahan murah yang beracun!” Tuduhan… kebohongan… fitnah… Mata Gaura membulat, dadanya terasa sesak. Lisa menggigit bibirnya. “Bu, ini sudah menyebar ke mana-mana. Selebriti dan influencer mulai mengomentarinya. Beberapa bahkan sudah membatalkan janji mereka dengan studio kita.” Gaura mundur selangkah, ponselnya hampir jatuh dari tangannya. Siapa… siapa yang melakukan ini? Perasaannya bergejolak ant
“Pastikan dia berlutut memohon di hadapanku sebelum semuanya berakhir.” Mata Prita berbinar penuh kegilaan. Ketiga pria itu akhirnya setuju. Dengan bayaran sebesar itu, mereka bisa mengatur strategi yang lebih rapi. Setelah mereka pergi, Prita kembali duduk di kursinya. Kali ini, senyum di wajahnya semakin lebar. “Gaura, mari kita lihat seberapa kuat kau bisa bertahan.” Ketiga pria itu akhirnya meninggalkan vila Prita dengan koper berisi uang dalam genggaman mereka. Dengan langkah mantap, mereka berjalan ke mobil hitam tanpa plat yang diparkir di dekat gerbang. Pria bertato, yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi. “Kita mulai dari mana?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil. Pria dengan bekas luka di pipinya, yang duduk di kursi penumpang, menyalakan rokoknya dan menyeringai. “Kita mulai dengan merusak reputasi wanita itu. Tak perlu langsung menyerangnya, kita buat dia hancur dari dalam dulu.” Di kursi belakang, pria berb
'Aku harap, kebahagiaan selalu menyertai kehidupanku setelah ini.' Setelah mengucapkan doa dalam hati, Gaura meniup lilin itu sambil tersenyum lebar. Seluruh studio dipenuhi tepuk tangan dan tawa bahagia. Saat semua orang mulai berkemas untuk pulang, Gaura duduk sendirian di ruang pribadinya, memandangi foto Galen yang tersimpan di ponselnya. Ia merasa begitu bersyukur atas segala hal yang ia miliki saat ini: karier yang berkembang, tim yang mendukung, dan anak yang menjadi cahaya dalam hidupnya. Namun, ia di kejutkan dengan ponselnya yang tiba-tiba berdering dan menampilkan nama yang belakangan ini sering muncul di dalam pikirannya. Gaura terdiam sejenak, hatinya berdebar tak karuan. Ia ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkat panggilan itu. “Halo?” suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia inginkan. “Selamat untuk kesuksesan studiomu,” suara berat Edrio terdengar di seberang sana, membuat dada Gaura semakin sesak. Gaura tersentak. “Dari mana kau tahu?” “Aku punya caraku s
”Klien VIP yang datang ini ternyata seorang aktris terkenal!”Mata Gaura melebar. “Benarkah?”Lina mengangguk. “Dan dia bilang dia sangat penasaran dengan hasil riasanmu setelah melihat postingan teman-temannya yang sudah datang ke sini.”Gaura segera melangkah ke ruang rias khusus untuk klien VIP. Di dalam, seorang wanita cantik dengan gaun berkelas duduk dengan anggun di kursi rias, menunggu dengan ekspresi ramah.“Selamat siang, Nona Gaura,” sapanya sambil tersenyum.Gaura mengenalinya dengan baik. Dia adalah seorang aktris yang sering muncul di layar kaca, terkenal dengan kecantikannya dan selera modenya yang luar biasa.“Selamat siang. Suatu kehormatan bagi saya bisa melayani Anda hari ini,” ujar Gaura dengan sopan.Aktris itu tersenyum. “Aku mendengar banyak pujian tentangmu, dan aku ingin mencoba sendiri hasil tanganmu. Aku harap kau bisa membuatku lebih mempesona untuk acara malam ini.”Gaura segera mempersiapkan perlengkapannya dan mulai bekerja. Dengan setiap sentuhan kuas d
“Silakan periksa,” ujar Prita dengan nada percaya diri setelah ia menekan tombol di ponselnya dan dalam hitungan detik, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam masuk sambil membawa tiga koper besar.Dengan ekspresi datar, dia meletakkan koper-koper itu di atas meja kaca di hadapan tiga pria yang duduk di sofa kulit berwarna gelap.Ketiga pria itu saling bertukar pandang, sebelum akhirnya pria berambut hitam membuka salah satu koper dengan hati-hati. Begitu tutup koper itu terangkat, tumpukan uang seratus dolar yang tersusun rapi menyambut mata mereka.Mata pria berambut hitam itu membesar, sementara pria dengan luka di pipinya bersiul pelan, kagum. Pria ketiga, yang sejak tadi lebih banyak diam, mengulurkan tangan dan meraba lembaran uang itu seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukan ilusi.“Ini…” suaranya terdengar setengah berbisik, “benar-benar nyata.”Prita menyeringai. “Seperti yang kukatakan, aku tidak main-main.”Pria berambut hitam menutup k
“Aku ingin Gaura dihancurkan.” Prita memainkan gelas anggurnya, lalu berbisik dengan suara penuh kebencian. Ketiga pria itu bertukar pandang. “Hancurkan dalam arti apa?” tanya pria yang duduk di tengah. Prita menatap mereka dengan tajam. “Aku ingin dia kehilangan segalanya. Bisnisnya, reputasinya, bahkan hidupnya. Aku ingin dia menderita.” Pria berambut hitam itu terkekeh kecil. “Ini bukan tugas yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin.” Prita meletakkan selembar cek kosong di atas meja. “Isi saja jumlahnya sesuka kalian. Aku tidak peduli.” Salah satu pria itu mengambil cek tersebut, menatapnya sejenak, lalu memasukkannya ke dalam jasnya. “Baiklah. Berikan kami informasi lebih lanjut. Kami akan menyusun rencana.” Prita tersenyum penuh kemenangan. “Aku ingin ini dilakukan dengan sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun,” katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan beracun. Pria-pria itu mengangguk. “Kami akan menghubungimu begitu rencana sudah matang,”
“Apa sekarang aku bisa punya Ayah dan Bunda seperti anak-anak lain?” Suaranya lirih, hampir tidak terdengar, tapi cukup bagi dirinya sendiri untuk merasakan betapa besar harapan yang terselip dalam kata-kata itu. Galen menggigit bibirnya, menahan rasa gembira yang hampir meledak dalam dirinya. Jantungnya berdebar cepat, seolah ia baru saja menemukan hadiah yang telah lama ia impikan. “Apa kita bisa tinggal bersama?” gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, seakan takut pertanyaannya akan buyar jika diucapkan terlalu keras. Ia ingin berlari dan memeluk mereka, ingin bertanya apakah benar mereka sudah tidak bertengkar lagi, ingin memastikan apakah mulai sekarang ia bisa hidup bersama mereka berdua. Namun, sesuatu menahannya. Entah kenapa, ia merasa ini bukan saat yang tepat. Ia tidak ingin merusak momen yang sedang terjadi di antara mereka. Maka, dengan langkah hati-hati, Galen membalikkan badan dan berjalan kembali ke kamarnya. Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia ingin berbagi keb
"Tunggu!" ujar Gaura. Namun, saat akan mengatakan sesuatu, bibirnya terasa kelu. Edrio membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati Gaura. Tangan besar pria itu juga kembali mencengkram pelan bahu Gaura. "Kau tidak perlu menjawab sekarang," katanya pelan. "Tapi aku berharap, suatu hari nanti, kau akan percaya padaku lagi."Gaura merasakan seluruh tubuhnya menegang. Sentuhan tangan Edrio di bahunya terasa begitu nyata, terlalu nyata. Kata-kata pria itu masih bergema di telinganya, menghidupkan kembali kenangan yang telah lama ia pendam dalam-dalam.Ia mencoba menahan napasnya, mencoba menyangkal bahwa trauma yang selama ini ia tekan telah kembali muncul ke permukaan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar, dan sebelum ia bisa menghentikannya, air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya.Edrio melihatnya.Pria itu terkejut, matanya membulat saat menyadari perubahan ekspresi Gaura. Ia tidak pernah melihat wanita ini dalam keadaan seperti ini—b