“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian.
Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ *** Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, baik fisik maupun emosional. Tapi sebagai seorang bodyguard, ia tak bisa menunjukkan kelemahannya. Tidak di hadapan siapapun. Tangannya menggenggam pistol dengan erat, matanya menatap lurus ke sasaran. Tembakan pertama meleset sedikit, dan Gaura menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ini hanya latihan, bukan situasi berbahaya. Seharusnya ia bisa mengatasinya. Tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Rasa pusing yang datang semakin parah, ditambah dengan mual yang tak kunjung hilang. "Fokus, Gaura. Jangan sampai lengah," ia memotivasi dirinya sendiri. Namun, tubuhnya terasa semakin berat. Pandangannya mulai kabur. Terlalu sering ia terjaga di malam hari, terlalu banyak memikirkan masalah pribadi yang tak bisa ia atasi. Rasa takut terus menghantui pikirannya. Belum lagi rasa nyeri yang datang dari punggung dan kepala, akibat tuntutan fisik yang tak pernah ada habisnya. Satu tembakan lagi. Kali ini, ia menargetkan dengan hati-hati, tetapi tubuhnya tiba-tiba terasa melayang. Kepalanya berputar, dan dalam detik-detik yang teramat singkat, ia merasa kegelapan menyelubungi penglihatannya. Gaura berusaha untuk tetap tegak, tetapi kaki-kakinya terasa lemas. Sebelum ia sempat menyadarinya, tubuhnya jatuh terduduk ke tanah, pistol terlepas dari tangannya. "Gaura!" suara laki-laki yang familiar terdengar jelas. Itu suara Brian, salah satu rekan kerjanya. Brian berlari ke arahnya, dan dalam sekejap, dia sudah berada di samping Gaura. "Kamu baik-baik saja? Jangan paksakan dirimu seperti ini, Gaura. Kamu terlihat sangat lelah." Gaura berusaha mengangkat tangan, mencoba memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Namun, tubuhnya masih terasa sangat lemas, dan ia kesulitan untuk mengangkat kepala. "Aku... hanya... sedikit lelah," jawabnya, dengan suara yang terputus-putus. Brian tampak tak puas dengan jawaban itu. "Tidak seperti biasa, Gaura. Kamu harus istirahat," katanya dengan nada tegas. Ia membantu Gaura untuk berdiri dengan tegak, namun tubuh Gaura yang rapuh hampir saja jatuh lagi jika tidak segera disangga oleh Brian. "Benar-benar tak bisa menahan rasa lelah ini..." Gaura bergumam, bibirnya terasa kering. "Ada apa denganku?" guman Gaura sambil memijit pelipisnya. Wanita itu mengatur napasnya beberapa kali, kemudian melepaskan tangan Brian yang menyangga tubuhnya dengan perlahan. Namun, rasa mual yang tak tertahankan muncul. Gaura pun berlari menuju toilet untuk mengeluarkan isi perutnya, meninggalkan Brian yang menatapnya penuh kasihan. "Uh." Gaura menyeka sudut bibirnya. Tatapannya tertuju pada Wastafel. Tidak ada apapun yang dia keluarkan kecuali cairan berwarna kuning, membuat pikirnya cemas seketika. Hari ini, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Punggungnya yang terbiasa tegang setelah latihan fisik sebagai bodyguard kini terasa sangat nyeri. Sepertinya, kelelahan yang menumpuk akibat tugas berat akhir-akhir ini belum juga hilang. Sejak beberapa hari lalu, perasaan mual yang terus-menerus datang membuat Gaura merasa tidak karuan. Muntah berkali-kali dan tubuh yang semakin terasa lemah. Itu bukan gejala biasa. Waktu berlalu sejak kejadian itu, dan ia semakin sadar bahwa hal yang paling menakutkan dalam hidupnya kini mungkin menjadi kenyataan. Setelah pulang dan membeli test pack, semuanya terbukti. Dua garis merah. Ia hamil. Semuanya terasa kabur dalam benaknya. Tidak ada rasa bahagia, tidak ada euforia. Hanya ketakutan yang menghancurkan. Edrio. Pria yang tak pernah melibatkan dirinya dalam hubungan apa pun kecuali tentang pekerjaan. Gaura langsung teringat akan malam itu. Malam yang penuh dengan kebodohan dan penyesalan. Gaura mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. "Ini salah," bisiknya pada diri sendiri. "Aku tak bisa memberitahunya. Tidak mungkin Edrio menerima ini." Mungkin, jika ia tak pernah terjerumus ke dalam situasi ini, hidupnya bisa berjalan seperti biasa. Tetapi kenyataannya, ia kini harus menghadapi konsekuensi dari malam itu. Janin yang tumbuh di dalam rahimnya adalah sebuah beban yang tak sanggup ia pikul. Dengan keputusan yang telah bulat, Gaura memutuskan untuk pergi ke klinik. Namun, perjalanan menuju klinik terasa sangat panjang. Setiap langkah seolah membawa beban yang semakin berat. Gaura menahan napasnya, merasakan gemetar di seluruh tubuhnya. Tiba di klinik, ia segera menuju ruang pendaftaran dan tidak berlama-lama menunggu. Matanya kosong, tidak ada ekspresi yang terlukis di wajahnya. Ia hanya ingin semuanya selesai. Setelah beberapa saat, seorang perawat memanggilnya dan membimbing Vina ke ruang pemeriksaan. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Semua gerak tubuhnya terasa kaku. Hanya ada rasa takut yang menguasai pikirannya. Dokter yang menyambutnya memberikan senyuman hangat, tetapi Vina hanya membalasnya dengan tatapan kosong. "Bagaimana kondisi Anda, Ibu?" tanya dokter sambil membuka alat pemeriksaan. Gaura hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya. Semua instruksi dokter hanya terdengar samar. Matanya terfokus pada layar monitor di depan dokter yang mulai menggerakkan transducer ke perutnya. Tak lama, gambar yang tidak bisa dibohongi muncul di layar. "Ibu bisa lihat kantung kehamilannya?" tanya dokter dengan lembut. "Kandungan Anda sudah berusia empat minggu." Gaura membeku. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Sebuah rasa sesak muncul di dadanya. Semua yang ia rencanakan sebelumnya, semua yang ia pikirkan, terasa sia-sia. 'Apa yang harus aku lakukan?' pikirnya, tak mampu lagi berpikir jernih. Dokter yang melihat perubahan ekspresi di wajah Gaura berusaha menghiburnya. "Jangan khawatir, Ibu. Kami akan membantu Anda melalui ini. Kehamilan di usia dini memang penuh tantangan." Gaura berusaha menahan isak tangisnya. Semuanya terasa begitu absurd. Di satu sisi, ia merasa takut akan masa depannya, merasa tak siap menghadapi kehamilan ini. Namun di sisi lain, ada suara kecil dalam hatinya yang berbisik, 'Bayi ini tidak bersalah. Dia berhak hidup.' Gaura memejamkan matanya. Keputusan yang semula sudah bulat—untuk mengakhiri hidup janin ini—tiba-tiba saja terhenti. Ada suara hati yang lebih besar daripada ketakutannya. 'Tidak... Aku tidak bisa melakukannya.' Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri. 'Aku tak bisa mengakhiri hidupnya. Ini salah. Aku tidak bisa melakukan ini.' Tak lama, dokter membereskan alat-alatnya dan memberikan resep vitamin untuk Gaura. "Kita akan memantau keadaan Anda setiap minggu. Jangan khawatir, Bu, semuanya akan baik-baik saja." Gaura tidak bisa mendengar lagi kata-kata dokter. Ia hanya ingin keluar dari ruangan itu, menghindari kenyataan yang mengintainya. Begitu banyak pertanyaan di kepalanya, namun satu hal yang ia yakini, hidup ini tidak bisa diputuskan dengan satu langkah cepat. Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Gaura duduk di ruang tunggu, untuk mengambil obat. Matanya kosong. "Aku harus menerima kenyataan ini," gumamnya. "Bayi ini ada di dalam tubuhku, dan aku yang bertanggung jawab untuk hidupnya." Air mata mengalir deras di pipinya. Namun, kali ini bukan air mata penyesalan, melainkan air mata kelegaan. Untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, Gaura merasa sedikit tenang. Keputusan yang sebelumnya terasa sangat berat kini terasa lebih ringan. Ia tidak akan membunuh kehidupan yang ada di dalam dirinya. Namun, ada satu hal yang belum ia tentukan. bagaimana ia akan menghadapi Edrio? Apa yang akan terjadi jika pria itu tahu? Akankah Edrio menerima kenyataan ini, atau justru akan menolaknya dengan keras? Satu langkah besar telah Gaura ambil. Dan perjalanan hidupnya ke depan, baik atau buruk, hanya ia yang bisa tentukan. Namun, bagaimana ia akan menjelaskannya kepada sang Ibu? Akankah wanita yang telah melahirkannya itu dapat menerima kenyataan pahit ini? Tanpa Gaura sadari, seseorang tak sengaja melihat keberadaannya. Ia juga melihatnya keluar dari dalam ruang pemeriksaan kandungan. "Apa yang Gaura lakukan di sini?"Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan be
Aula penuh dengan tawa dan obrolan hangat. Prita, yang merupakan tunangan Edrio, berdiri di tengah ruangan, tersenyum lebar sambil menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang mengelilinginya. Gaun panjangnya berkilauan, dan tangannya yang mengenakan cincin pertunangan memegang lengan Edrio dengan posesif. Namun, Edrio tidak sepenuhnya peduli. Tatapannya, meski diarahkan ke tamu-tamu yang berbicara, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Gaura dan Galen berdiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia melihat anak kecil itu. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan anak itu. Prita menyadari sikap tunangannya yang tidak biasa. “Sayang,” ujarnya pelan sambil memiringkan kepala. “Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat… tidak fokus.” Edrio menoleh, wajahnya datar seperti biasa. “Tidak ada.” “Benarkah?” Priska menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau kenapa? Kau biasanya tidak begini.” Edrio menghela napas kecil, mencoba
Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
Edrio kembali ke kantornya dengan langkah berat. Meski ia adalah pria yang dikenal dingin dan fokus, pikirannya kini terasa kacau. Pertemuannya dengan Galen di sekolah tadi meninggalkan kesan mendalam. Wajah anak itu, senyumnya, bahkan caranya berbicara—semuanya terlalu mirip dengan dirinya. Edrio duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya. Jendela besar di belakangnya menyuguhkan pemandangan kota, tetapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mengusap dagunya sambil berpikir keras. “Gaura,” gumamnya pelan. Nama itu terasa begitu akrab, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali. Kantor Edrio yang biasanya sunyi kini dipenuhi aura ketegangan. Tumpukan dokumen di mejanya terlihat berantakan, dan meskipun ia mencoba menyusun strategi dalam pikirannya, semuanya terasa seperti potongan puzzle yang tak cocok satu sama lain. Ia memutuskan untuk menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dekat dengan Gaura. Edrio menekan tombol telepon di mejanya. ”Hubungi Brian s
”Bagaimana ini?” Gaura duduk di ruang tamunya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga antara Edrio dan Galen. Wajah anak itu sangat mirip dengan Edrio, dan itu membuat Gaura merasa sangat terancam. Gaura tahu bahwa Edrio tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Apa yang dia rencanakan? Apakah dia sengaja menemui Galen?” Gaura bergumam sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia memikirkan berbagai cara agar Galen dapat terhindar dari jangkauan Edrio. Ia benar-benar tak ingin mereka menjadi dekat dan menyadari ada sebuah ikatan di antara mereka. Ia takut, takut Galen akan di ambil dari dirinya. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang ia percayai. “Mika, aku butuh bantuanmu segera.” Suara Gaura terdengar tegas meski hatinya berdebar. Ia langsung berbicara tanpa basa-basi kepada salah satu asistennya itu. “Gaura, ada apa? Apa yang terjad
Siang itu, di luar gerbang sekolah Galen, Edrio berdiri di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh. Ia mengenakan kacamata hitam, memandang dari kejauhan, memastikan bahwa tidak ada yang menyadarinya. Matanya tertuju pada sosok kecil Galen yang keluar dari gerbang, ditemani oleh Mika. Edrio mengamati setiap langkah anak itu. Galen tampak ceria, berbicara dengan Mika tentang sesuatu yang tampaknya menyenangkan. Tetapi yang menarik perhatian Edrio bukanlah percakapan mereka, melainkan cara anak itu berjalan, senyum yang begitu familier, dan ekspresi wajah yang seolah mencerminkan dirinya sendiri. “Tidak mungkin hanya kebetulan...” gumam Edrio, menggenggam setir mobilnya dengan kuat. Namun, dia tidak mendekat. Dia tahu, jika terlalu gegabah, maka ia akan semakin sulit untuk mendekati anak itu. Oleh karenanya, Edrio memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya menjadi bayangan yang tak terlihat. Tapi dalam hatinya, dia bertekad untuk mencari tahu hal yang membuatnya merasa penasaran
Dengan tangan terangkat, Edrio memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa dari mereka membawa ke depan bukti-bukti kejahatan Jonathan. Transfer uang ilegal, dokumen palsu, bahkan rekaman percakapan dengan para pihak yang terlibat dalam pengaturan saham. Namun, di saat yang sama, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi. Jonathan menyeringai. Ia meraih mikrofon, dan matanya menyala dengan keputusasaan yang membara. "Kalian pikir bisa menjatuhkan saya dengan cara ini?! Kalian tidak tahu siapa saya sebenarnya! Para investor ini adalah milikku, dan mereka tidak akan pernah percaya pada fitnah kalian!" Tiba-tiba, pintu besar konferensi terbuka dengan keras, dan sejumlah pengawal Jonathan berlari masuk, dengan senjata terhunus. Mereka menuju Edrio dan pasukannya, membentuk formasi pertahanan yang rapat.Sontak, semua yang hadir pun terkejut dan beberapa mulai merasa takut. Sedetik kemudian, para investor ataupun para tamu berlarian untuk menyelamatkan diri. “Lindungi saya!” teriak Jona
"Di sini, di tengah keheningan ini, aku merasa terlindungi.” Edrio menoleh padanya, menatap mata wanita yang kini tak hanya menjadi pasangannya dalam medan pertempuran yang belum usai. “Aku akan melindungimu. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang melindungimu sepenuh hati.” Gaura mengangguk pelan, matanya mulai basah. Malam itu, meskipun dunia di luar masih dipenuhi dengan bahaya, rumah kecil itu menjadi tempat paling hangat di bumi. Di tengah perang rahasia, konspirasi, dan teror, mereka masih bisa tertawa, berpelukan, dan percaya bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang tak bisa disentuh oleh kekuatan jahat sekalipun. Cinta, keberanian, dan harapan. Dan Edrio, di dalam hatinya, bersumpah bahwa ia akan menuntaskan semua ini. Untuk Gaura. Untuk Galen. Untuk rumah yang ingin ia lindungi… selamanya.****Langit mendung menggantung pekat di atas gedung tua yang kini dijadikan markas darurat oleh Edrio. Tak ada papan nama. Tak ada sinyal ponsel yang kuat. Di te
“Itu simbol unit pengawasan pribadi milik Jonathan. 09-17 adalah sandi untuk proyek ‘September Black’—operasi bayangan miliknya dulu saat masih jadi bagian dari jaringan intel investasi gelap di Asia Tenggara.” Gaura menegang. “Kau serius? Jadi dia bukan cuma musuh bisnis biasa?” “Dia lebih dari itu,” kata Edrio. “Dia pernah jadi sekutuku. Salah satu orang terbaik di tim. Sampai akhirnya dia mengkhianati kita semua. Menjual informasi ke pihak asing, memanipulasi laporan keuangan, dan mencoba mencuri investor besar dariku.” Gaura menggeleng pelan, dadanya terasa sesak. “Kenapa aku baru dengar ini sekarang?” “Aku ingin menjauhkanmu dari bahaya,” jawab Edrio. “Tapi sekarang aku sadar, menyembunyikannya darimu malah membuatmu jadi target yang lebih mudah.” Gaura menarik napas dalam. “Lalu apa rencanamu?” Edrio berjalan ke arah jendela, menatap malam yang mulai gelap sempurna. “Kita akan memancingnya keluar. Tapi kali ini, kau tidak akan sendirian.” Ia menoleh ke arah Gaura. “Aku a
Terdengar suara dentuman keras dari halaman belakang. Gaura tersentak. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merunduk dan bergerak menuju sumber suara. Ia mengintip dari celah tirai. Sebuah kursi terjatuh di teras belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Tapi Gaura tahu lebih baik daripada menganggap ini hanya kebetulan. Ia menahan napas dan merapatkan punggungnya ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Ada suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, seperti seseorang berusaha bergerak dalam bayangan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan pencuri biasa. Ini peringatan, pikirnya. Gaura melirik ke cermin yang terletak di sudut ruangan. Cermin itu memantulkan bayangan dari jendela lain—dan di sanalah ia melihatnya. Seseorang berdiri di kebun belakang, mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana. Mengawasi. Dan orang itu, penampilannya mirip dengan sosok mereka temui di sekolah Galen beberapa har
"Sama-sama, Gaura, kapanpun kau butuh bantuanku, aku selalu bersedia," balas sosok itu hingga membuat Gaura tersenyum. **** Beberapa hari kemudian ketika malam hari, ruangan bawah tanah itu hanya diterangi oleh lampu LED redup di langit-langit. Aroma besi dan keringat memenuhi udara. Gaura berdiri tegap di depan papan sasaran, matanya tajam, penuh fokus. Di tangannya, pistol semi-otomatis yang baru saja ia isi pelurunya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat pistolnya dengan gerakan halus dan percaya diri. Dor! Dor! Dor! Tiga peluru menembus sasaran dalam hitungan detik. Tepat di tengah. Gaura tersenyum tipis. "Tanganku masih setajam dulu," gumamnya. Ia menurunkan pistolnya, melepaskan magazin kosong dan menggantinya dengan yang baru dalam satu gerakan cepat. Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia pertarungan, kini ia kembali menyentuh senjata, mengembalikan naluri yang dulu selalu menjadi bagian dari dirinya. Malam ini, ia tidak hanya berlatih. Ia kembali menjadi Gaur
"Tenang. Kau tidak perlu melakukan ini." Edrio mengangkat tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. Pria itu tersenyum miring. "Jonathan mengirim salam, Tuan Edrio." Edrio mengepalkan tangannya. Jadi ini memang ulah Jonathan. Vigo dan anak buah lainnya sudah mengepung lorong, tetapi pria itu tetap memegang pisau di leher Galen. Situasi semakin genting. Gaura berusaha menahan air matanya. "Tolong… jangan sakiti anakku." suaranya nyaris berbisik. Pria itu tertawa pelan. "Lucu sekali. Kau pikir aku peduli?" Dan saat itulah Edrio bergerak. Dalam sekejap, ia melemparkan sebuah benda kecil ke lantai—flash grenade. Blitz! Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Pria itu berteriak, kehilangan keseimbangan sejenak. Dalam sepersekian detik, Edrio melesat maju. Dor! Sebuah tembakan melesat. Gaura memejamkan matanya sejenak, pikirannya langsung membayangkan hal terburuk. Tapi saat ia membuka matanya, ia melihat pria bertopeng itu terjatuh ke lantai, mengg
Edrio terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Kemudian, ia menarik napas dalam dan berkata, "Namanya Jonathan." Gaura mengerutkan kening. "Siapa dia?" Edrio mengalihkan pandangannya ke layar. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang ia sembunyikan dengan susah payah. "Musuhku." Gaura tertegun. "Musuh? Maksudmu bagaimana?" Edrio mengepalkan tangannya, matanya masih terpaku pada rekaman buram di layar. "Dia adalah orang yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tapi dia kembali. Dan dia jelas mengincar kita." Gaura menelan ludah. "Apa dia yang mengirim semua ancaman ini?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Edrio mengangguk. "Aku yakin dia dalangnya. Dan dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Gaura menggigit bibirnya, perasaannya mulai tidak enak. "Dan apa yang dia inginkan?" Edrio menatapnya tajam. "Untuk menghancurkan hidupku." Seolah menjawab perkataan itu, tiba-tiba ponsel Edrio bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor
"Seseorang dengan akses tingkat tinggi masuk ke sistem beberapa menit sebelum CCTV mati. Aku masih mencoba mencari tahu siapa, tapi ini bukan kerjaan orang biasa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan." Vigo menatap mereka dengan ekspresi serius. Gaura mengepalkan tangannya. "Siapa pun dia, mereka pasti ada di sekitar kita. Bisa jadi salah satu karyawan atau seseorang yang sering masuk ke studio." Edrio mengangguk. "Dan mereka juga tahu kapan waktu yang tepat untuk bertindak." Ketegangan memenuhi ruangan itu. Lalu, ponsel Gaura kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Gaura langsung membelalakkan mata ketika melihatnya. "Ya Tuhan…" Edrio dan Vigo segera mendekat untuk melihat. Di layar ponsel, terpampang sebuah foto yang diambil dari jarak jauh. Foto Gaura dan Galen—saat mereka keluar dari rumah pagi tadi. Gaura merasa tubuhnya membeku. "Mereka dimanapun selalu mengawasi kita." Edrio langsung merampas ponsel Gaura dan menatapnya dengan rahang mengeras. "Ini sudah kelew
Gambar di layar mendadak gelap. Gaura menegang. "Apa yang terjadi?" Edrio mengernyit dan mundur beberapa detik sebelum titik mati itu terjadi. Rekaman berjalan lagi—normal. Namun, tepat ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 08.45, layar kembali gelap selama kurang lebih tiga menit, lalu kembali menyala seolah tidak ada yang terjadi. Ketika layar kembali aktif, amplop itu sudah ada di meja resepsionis. Gaura menggigit bibirnya. "Tidak mungkin…" Edrio mencoba mempercepat rekaman, mencari sudut lain dari kamera yang mungkin menangkap kejadian tersebut. Ia memutar ulang rekaman dari kamera yang menghadap pintu masuk studio. Namun, hasilnya sama. Tepat pada waktu yang sama, kamera itu juga mengalami gangguan. "Ini bukan kebetulan," gumam Vigo dari belakang. Gaura menatapnya. "Kau pikir ada yang meretas sistem kita?" Vigo mengangguk. "Seseorang jelas ingin menyembunyikan identitas mereka. Mereka cukup profesional untuk mengetahui cara menonaktifkan CCTV di waktu yang tepat." Ed