Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
Edrio kembali ke kantornya dengan langkah berat. Meski ia adalah pria yang dikenal dingin dan fokus, pikirannya kini terasa kacau. Pertemuannya dengan Galen di sekolah tadi meninggalkan kesan mendalam. Wajah anak itu, senyumnya, bahkan caranya berbicara—semuanya terlalu mirip dengan dirinya. Edrio duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya. Jendela besar di belakangnya menyuguhkan pemandangan kota, tetapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mengusap dagunya sambil berpikir keras. “Gaura,” gumamnya pelan. Nama itu terasa begitu akrab, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali. Kantor Edrio yang biasanya sunyi kini dipenuhi aura ketegangan. Tumpukan dokumen di mejanya terlihat berantakan, dan meskipun ia mencoba menyusun strategi dalam pikirannya, semuanya terasa seperti potongan puzzle yang tak cocok satu sama lain. Ia memutuskan untuk menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dekat dengan Gaura. Edrio menekan tombol telepon di mejanya. ”Hubungi Brian s
”Bagaimana ini?” Gaura duduk di ruang tamunya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga antara Edrio dan Galen. Wajah anak itu sangat mirip dengan Edrio, dan itu membuat Gaura merasa sangat terancam. Gaura tahu bahwa Edrio tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Apa yang dia rencanakan? Apakah dia sengaja menemui Galen?” Gaura bergumam sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia memikirkan berbagai cara agar Galen dapat terhindar dari jangkauan Edrio. Ia benar-benar tak ingin mereka menjadi dekat dan menyadari ada sebuah ikatan di antara mereka. Ia takut, takut Galen akan di ambil dari dirinya. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang ia percayai. “Mika, aku butuh bantuanmu segera.” Suara Gaura terdengar tegas meski hatinya berdebar. Ia langsung berbicara tanpa basa-basi kepada salah satu asistennya itu. “Gaura, ada apa? Apa yang terjad
Siang itu, di luar gerbang sekolah Galen, Edrio berdiri di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh. Ia mengenakan kacamata hitam, memandang dari kejauhan, memastikan bahwa tidak ada yang menyadarinya. Matanya tertuju pada sosok kecil Galen yang keluar dari gerbang, ditemani oleh Mika. Edrio mengamati setiap langkah anak itu. Galen tampak ceria, berbicara dengan Mika tentang sesuatu yang tampaknya menyenangkan. Tetapi yang menarik perhatian Edrio bukanlah percakapan mereka, melainkan cara anak itu berjalan, senyum yang begitu familier, dan ekspresi wajah yang seolah mencerminkan dirinya sendiri. “Tidak mungkin hanya kebetulan...” gumam Edrio, menggenggam setir mobilnya dengan kuat. Namun, dia tidak mendekat. Dia tahu, jika terlalu gegabah, maka ia akan semakin sulit untuk mendekati anak itu. Oleh karenanya, Edrio memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya menjadi bayangan yang tak terlihat. Tapi dalam hatinya, dia bertekad untuk mencari tahu hal yang membuatnya merasa penasaran
“Apa yang kau temukan?” tanya Edrio tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi penuh ketegasan. ”Saya menemukan beberapa hal menarik tentang Gaura. Tapi ada bagian yang terasa… aneh," jawab seorang pria yang merupakan bawahannya sambil menyerahkan sebuah map berisi informasi tentang Gaura. “Aneh bagaimana?” Edrio membuka map tersebut, matanya langsung menyisir halaman-halaman yang penuh dengan informasi. “Setelah dia mengundurkan diri dari posisi bodyguard pribadi anda beberapa tahun lalu, dia menghilang selama beberapa bulan. Tidak ada jejak aktivitas, pekerjaan, atau bahkan keberadaannya. Baru setelah itu dia muncul kembali sebagai penata rias di kota ini.” Edrio menghentikan bacaannya, menatap bawahanya dengan tajam. “Menghilang? Tidak ada jejak sama sekali?” Pria itu mengangguk. “Ya. Saya mencoba melacak aktivitasnya, tapi semuanya tertutup rapat. Seolah-olah dia sengaja menghapus keberadaannya.” Edrio mengetuk meja dengan jarinya, pikirannya berputar cepat. “Apa ada hubu
"Aku harus mendekat," ucap Edrio. Setelah mengetahui fakta mengejutkan semalam, pagi ini, ia kembali duduk di dalam mobil hitamnya, menatap taman tempat Galen biasa bermain setelah sekolah. Dari balik jendela gelap, ia mengamati bocah itu dengan saksama. Tak jauh dari sana, Mika berdiri dengan waspada, memastikan Galen tetap dalam jangkauannya. Edrio mengepalkan tangan. Selama beberapa hari terakhir, ia hanya bisa mengamati dari jauh tanpa mendapatkan kesempatan untuk mendekat. Tapi hari ini berbeda. Ia tahu bahwa Mika biasanya meninggalkan Galen beberapa saat untuk mengambil air minum atau mengurus hal kecil lainnya. Itu adalah momen yang ia tunggu. “Ini waktunya,” gumam Edrio sambil membuka pintu mobil, berjalan perlahan dengan langkah mantap. Di sisi lain. Mika melirik Galen yang sedang asyik menggambar dengan teman-temannya. Ia mendekati Galen dan berkata, “Galen, aku akan ke mobil sebentar untuk mengambil sesuatu. Jangan ke mana-mana, oke?” Galen mengangguk. “Oke.” Mika
"Sudah selesai gambarnya, sayang?" tanya Gaura, mencoba bersikap biasa meskipun entah mengapa, hatinya terasa gusar. Pada siang hari, Gaura duduk di sofa, tangannya sibuk melipat pakaian sambil sesekali melirik Galen yang duduk di lantai dengan penuh semangat, mencoret-coret kertas gambar di hadapannya. Tawa kecil anak itu menggema di ruangan, tetapi hati Gaura terasa berat. Galen menoleh dengan senyum lebar. "Iya, sebentar lagi selesai, Bunda! Ini gambarnya untuk seseorang yang spesial." Gaura mengernyit. "Seseorang yang spesial? Siapa itu?" Galen tertawa kecil, wajahnya memerah. "Rahasia!" Ia terus mewarnai dengan antusias. Gaura tersenyum tipis, tetapi perasaannya tak enak. Ia tidak ingin memaksanya, tetapi naluri keibuannya memintanya untuk waspada. Tak lama kemudian, Galen berdiri dengan bangga, memegang hasil gambarnya. "Selesai!" serunya sambil mengangkat kertas itu ke udara. Gaura memeriksa gambar itu dengan hati-hati. Di kertas tersebut, ada tiga sosok yang dig
“Hasilnya positif, Tuan,” akhirnya pria itu berkata dengan nada pelan. “Anak itu adalah putra kandung anda.” Kata-kata itu menggantung di udara, seolah-olah memenuhi ruangan dengan bobot yang tak terlihat. Edrio menatap kertas di tangannya sekali lagi, memastikan bahwa apa yang ia baca benar-benar nyata. Angka-angka dan analisis di atas kertas itu tidak mungkin salah. "Keluar," ucap Edrio tiba-tiba, membuat pria itu tersentak. "T-tuan?" "Keluar. Sekarang," ulang Edrio dengan nada lebih tegas, namun tetap berusaha mengendalikan emosinya. Pria itu segera mengangguk, membungkuk cepat, lalu pergi meninggalkan ruangan tanpa berani berkata apa-apa lagi. Setelah pria itu pergi, Edrio mengusap rambutnya dengan kasar dengan tangannya yang lain masih memegang dokumen hasil tes DNA tersebut. Ia menatap kosong ke langit-langit, pikirannya penuh dengan pertanyaan. “Jadi, Galen memang anakku...” gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Namun, alih-alih merasa lega, ia justru m
Brak! Galen yang sedang bermain di lantai langsung tersentak dan berlari ke arah Gaura. Semua orang menoleh ke arah jendela, Edrio pun langsung berdiri, wajahnya berubah serius. “Ada apa itu?” Ayara bertanya panik. Elia juga terlihat cemas, tangannya refleks menggenggam lengan Gaura. Edrio berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada, sementara Edwin mengikutinya dari belakang. “Jangan buka pintunya dulu,” perintah Edwin, nada suaranya penuh kewaspadaan. Gaura bangkit berdiri, hatinya mulai dipenuhi rasa tak nyaman. Ia segera membawa Galen lebih dekat padanya, melindungi anak itu di belakang tubuhnya. Edrio melirik ke arah luar dari celah jendela, matanya menyipit tajam. “Ada mobil hitam asing yang terparkir di depan pagar…” gumamnya rendah. Edwin mengernyit. “Mobil siapa?” Belum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba terdengar suara derap langkah tergesa-gesa di luar rumah. Lalu, seseorang mulai mengetuk pintu—bukan ketukan biasa, tapi lebih seperti gedoran keras. Dug! Dug!
"Aku berharap..." Gaura hampir menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba terdengar suara keras dari dapur. Brak! Semua orang tersentak. Ayara langsung menaruh tangannya di dada, terkejut. “Astaga, suara apa itu?” Elia segera berdiri. “Mungkin kucing liar. Aku akan lihat.”Namun sebelum ia bisa melangkah, seorang pria berbaju hitam muncul dari arah dapur, wajahnya penuh keringat. Ia adalah salah satu pelayan yang bekerja untuk keluarga Edrio. "Maafkan saya, Tuan, Nyonya... saya... saya hanya tidak sengaja menjatuhkan nampan," katanya gugup. Gaura menatap tajam ke arah dapur. “Apa yang kau lakukan di sana?“ Pria itu terlihat semakin gelisah, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari jalan keluar. Edrio yang peka terhadap gerak-gerik orang langsung berdiri. “Siapa yang menyuruhmu kemari?” Pria itu menelan ludah. "Aku hanya... hanya ingin memastikan keadaan rumah ini aman..." "Jangan berbohong," suara Edrio kini terdengar jauh lebih dingin. “Aku tida
”Aku akan melakukannya,“ ucap Edrio tegas. **** Kini, Gaura sedang duduk di ruang tamu, menyesap teh hangat sembari memeriksa beberapa berkas yang berkaitan dengan studionya. Setelah kejadian kemarin, ia masih perlu waktu untuk memulihkan reputasi bisnisnya, dan itu bukan hal yang mudah. Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Ia melihat nama yang tertera di layar—Edrio. Gaura menghela napas sebelum mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya langsung. Di seberang telepon, suara Edrio terdengar tenang seperti biasa. “Apa kau ada waktu untuk bicara?” Gaura melirik jam di dinding. “Aku sedang istirahat sebentar. Jadi, cepatlah bicara.” Hening sejenak sebelum Edrio berkata, “Aku akan datang ke rumah bersama kedua orang tuaku.” Gaura tertegun. “Apa?” “Aku ingin melamarmu, Gaura,” lanjut Edrio, suaranya tegas dan tak terbantahkan. “Dan aku ingin melakukannya secara resmi, di hadapan orang tuaku dan Ibumu.” Jantung Gaura seakan berhenti berdetak sesaat. Lamaran? Ia bangkit d
Hari-hari berikutnya, Edrio membuktikan kata-katanya dengan tindakan nyata. Meskipun kesibukannya sebagai CEO menuntut banyak waktu, pria itu selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam kehidupan Galen dan Gaura. Pagi hari, sebelum berangkat ke kantor, ia akan mampir ke rumah Gaura untuk memastikan Galen siap berangkat ke sekolah. Jika Gaura terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, Edrio akan mengantar Galen secara langsung. Seperti pagi ini, Gaura sedang sibuk mengurus dokumen untuk kembali membuka studionya. “Bunda, aku berangkat!” seru Galen dengan penuh semangat, tas kecilnya sudah tergantung di punggung. Gaura berbalik dan hendak menghampirinya, tapi sebelum ia bisa bergerak, seseorang telah lebih dulu membungkuk di hadapan Galen. “Sudah siap?” Galen mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. “Ayah!” Gaura memandang Edrio yang sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitamnya. “Kau mau mengantarnya?” Edrio mengangguk. “Ya. Aku ada rapat nanti pagi, tapi aku masih punya
Setelah membawa belanjaan masuk ke dalam rumah, Gaura menghela napas panjang. Ia memandangi Galen yang masih tertidur di pelukannya, kemudian perlahan membaringkannya di sofa dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Di sisi lain, Edrio sibuk merapikan belanjaan mereka ke meja. Meskipun ia seorang CEO yang terbiasa menyuruh orang lain, pria itu tidak segan untuk turun tangan sendiri. Gaura memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika akhirnya mereka duduk di ruang tamu, keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Gaura menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan. “Aku masih belum terbiasa dengan ini,” katanya akhirnya, suaranya sedikit pelan. Edrio menatapnya. “Maksudmu?” “Kau yang tiba-tiba ada di sini, menghabiskan waktu bersama kami… Mengajak Galen berbelanja dan makan siang… Rasanya tidak nyata,” Gaura mengakui. Edrio menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap Gaura tanpa terburu-buru. “Kau masih berpikir
Sementara mereka berjalan menuju gerbang sekolah, beberapa orang tua murid yang mengenal Gaura menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang simpati, ada yang penasaran, bahkan ada yang berbisik-bisik. “Dia itu, kan, pemilik studio yang kemarin sempat kena skandal…” “Tapi katanya sudah terbukti tidak bersalah.” “Iya, dan ternyata Ayah dari Galen itu… CEO besar yang terkenal itu.” Gaura menundukkan kepalanya, menahan napas. Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai omongan orang, tapi kali ini berbeda. Kali ini, semuanya berhubungan dengan dirinya dan Edrio. “Bunda?” suara Galen menariknya kembali ke realitas. Gaura tersenyum dan mengusap kepala putranya. “Tidak apa-apa, Sayang. Sana masuk, ya. Belajar yang rajin.” Galen mengangguk. “Baik, Bunda!” Anak itu berlari masuk ke dalam sekolah, bergabung dengan teman-temannya. Gaura masih berdiri di tempatnya, memperhatikan putranya dengan tatapan lembut.Beberapa jam kemudian, akhirnya Galen keluar dari gerbang sekolah dengan wajah ceria
Setelah konferensi pers yang mengguncang dunia, Gaura akhirnya tiba di rumahnya dengan kepala penuh dengan berbagai macam pikiran. Ia masih tidak percaya bahwa Edrio telah mengungkapkan semuanya di depan publik—tentang Galen, tentang mereka, dan… tentang pernikahan.Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, mencoba mengatur napas dan pikirannya yang masih berantakan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama karena ibunya, Elia, muncul dari dapur dengan ekspresi serius.“Gaura…” suara lembut Elia memanggilnya.Gaura mengangkat wajahnya, menatap sang ibu yang kini berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Elia dengan nada penuh kekhawatiran.Gaura menghela napas panjang. "Aku… tidak tahu, Bu."Elia mengamati wajah putrinya yang terlihat lelah dan penuh kebingungan. “Aku melihat konferensi pers tadi di televisi. Itu… kejutan besar, Nak.”Gaura memijat pelipisnya. “Aku juga tidak menyangka Edrio akan melakukan hal itu, Bu. Dia mengatakannya begitu saja, di depan
Edrio melirik ke arah Gaura sejenak, lalu kembali menatap ke depan. "Selama ini, banyak yang berspekulasi tentang hubungan antara aku dan Gaura," lanjutnya. "Hari ini, aku akan mengungkapkan kebenarannya." Gaura semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Edrio, tetapi dari cara pria itu berbicara, ia bisa merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Edrio menatap langsung ke arah kamera, memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar jelas oleh seluruh dunia. "Aku dan Gaura tidak hanya memiliki hubungan bisnis," katanya, suaranya terdengar semakin tegas. "Kami memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dari itu. Kami telah memiliki seorang anak bersama." DEG! Gaura merasa jantungnya berhenti sesaat. Apa yang baru saja dia katakan?! Refleks, kepalanya menoleh cepat menatap pria itu yang hanya menampilkan wajah tegas. Ruangan pun langsung meledak dalam kehebohan. Wartawan berteriak-teriak, suara kamera yang memotret semakin riuh, dan bebera
"Selain pengakuan wanita yang menjadi korban, kami juga telah mengumpulkan bukti forensik bahwa tidak ada kandungan berbahaya dalam kosmetik dari Studio Gaura. Semua tuduhan yang telah beredar di media adalah hasil manipulasi." Sebuah dokumen resmi dari lembaga uji klinis ditampilkan di layar, memperkuat pernyataan Edrio. Gaura menghela napas dalam diam. Ini adalah bukti kuat yang akan membersihkan namanya. Namun, kejutan terbesar belum datang. Edrio menoleh padanya, lalu berkata, "Gaura, sekarang giliranmu." Gaura menegang. Ia telah mempersiapkan pidatonya, tetapi tetap saja, berbicara di hadapan ratusan orang bukanlah hal yang mudah. Namun, ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu. Dengan mantap, Gaura melangkah ke depan dan menatap langsung ke arah kamera. "Saya, Gaura, pemilik Studio Gaura, ingin menyampaikan sesuatu kepada semua pelanggan dan pendukung saya. Saya tidak pernah, sekalipun, menjual produk berbahaya. Saya telah bekerja keras untuk membangun bisnis i