Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam.
Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beban besar. Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, ia menghentikan langkah dan berkata, "Lama tak bertemu." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Suara yang dulu begitu akrab kini terdengar seperti kenangan yang menghantui. Gaura berusaha mengontrol ekspresinya, tapi getaran kecil di bibirnya tak bisa disembunyikan. "Ya, Tuan," jawab Gaura singkat, tanpa menatapnya langsung. "Lama sekali." Wanita itu tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan yang memenuhi udara. "Oh, kalian saling kenal? Apakah sudah lama? Dunia memang sempit! Gaura adalah penata rias terbaik di kota ini. Aku beruntung bisa mendapat jasanya hari ini." Edrio hanya mengangguk kecil. "Iya, dunia memang sempit." Matanya kembali menatap Gaura, kali ini lebih dalam, seolah mencoba menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata. Gaura mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi rasanya mustahil. Kehadiran Edrio seperti bayangan gelap yang tidak bisa ia abaikan. Tangannya gemetar saat merapikan riasan terakhir pada wajah wanita itu, tetapi ia menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman tipis. "Edrio, sayang, kau terlihat aneh hari ini," ujar wanita itu sambil bercanda. "Apa kau gugup?" "Mungkin," jawabnya singkat, pandangannya tidak beralih dari Gaura. Wanita itu tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan yang melingkupi ruangan. "Oh, sayang, kau ini! Biasanya kau begitu tenang dan percaya diri. Jangan-jangan kau takut aku berubah pikiran?" candanya, lalu menoleh ke Gaura dengan senyum lebar. "Bagaimana menurutmu, Gaura? Dia tidak terlihat seperti pria yang akan panik, kan?" Gaura memaksakan senyum tipis. "Tentu saja tidak." Namun, wanita itu belum selesai. Ia terus berbicara, dengan nada yang ceria namun menusuk bagi Gaura. "Aku yakin kau pasti punya banyak cerita tentang Edrio di masa lalu, ya? Kalian pasti sudah lama saling kenal, kan? Sepertinya ada banyak hal menarik." Gaura merasa dadanya semakin sesak. Ia mencoba menjaga ketenangannya sambil membereskan alat rias. "Tidak terlalu banyak," jawabnya singkat, berharap percakapan itu segera berakhir. Wanita itu malah tertawa. "Oh, masa? Aku yakin ada sesuatu. Kau tahu, Edrio ini pria yang sulit ditebak. Kadang dia seperti menyimpan banyak rahasia." Ia menatap Edrio dengan pandangan genit. "Kan, sayang?" Edrio hanya mengangguk pelan, ekspresinya tidak berubah. Namun, matanya kembali melirik Gaura, seolah menantikan sesuatu. Wanita itu melanjutkan, tanpa menyadari perubahan di udara. "Ayolah, Gaura, beritahu aku satu hal kecil saja. Hal yang lucu, mungkin?" Gaura berhenti sejenak, menggenggam kuas riasnya lebih erat. Napasnya tertahan, dan ia merasa seperti terjebak di sudut tanpa jalan keluar. "Saya rasa itu bukan hal yang penting untuk dibahas," katanya akhirnya, mencoba terdengar tenang. Wanita itu mengerutkan kening sebentar, tetapi kemudian tertawa lagi. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu." Ia lalu menoleh ke Edrio, mengangkat alis. "Tapi aku penasaran, kenapa kau tidak pernah bercerita tentang Gaura sebelumnya? Bukannya kau harus menceritakan hal-hal dari masa lalu?" Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih dingin. Edrio terdiam, dan Gaura menunduk, mencoba menghindari tatapan mereka berdua. Edrio akhirnya menjawab, dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. "Nanti." Gaura menahan napas, merasakan ketegangan yang semakin nyata. Wanita itu hanya mengangkat bahu, tidak mengerti maksud ucapan itu. "Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan bertanya lagi. Kau memang misterius seperti biasa, sayang." Udara di ruangan terasa semakin berat. Ia menutup kotak riasnya dengan bunyi klik yang terdengar lebih keras dari seharusnya. "Semua sudah selesai. Anda terlihat sangat cantik," katanya, suaranya sedikit bergetar. Wanita itu tersenyum lebar, senang dengan pujian itu. "Terima kasih, Gaura. Aku benar-benar menyukainya!" Ia berdiri, lalu menggandeng lengan Edrio dengan penuh kasih sayang. "Sayang, ayo kita lihat ke aula. Para tamu pasti sudah menunggu." Galen yang bingung dengan suasana itu, menarik tangan Gaura. "Bunda, ada apa?" Gaura tertegun, lalu berlutut agar sejajar dengan putranya. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terguncang. "Tidak ada apa-apa, sayang. Bunda hanya... sedikit lelah." Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, suara pengumuman terdengar dari arah aula. "Acara pertunangan akan dimulai dalam sepuluh menit. Semua tamu diharapkan bersiap." Wanita itu tersenyum bahagia. "Akhirnya, waktunya tiba! Gaura, terima kasih atas semua bantuanmu. Aku benar-benar merasa cantik hari ini." Ia menatap Edrio dan menggandeng lengannya. "Sayang, ayo kita harus ke aula." Edrio terlihat ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah Gaura. "Kita harus bicara." Gaura tidak menjawab, hanya menatap punggung Edrio dan wanita itu yang berjalan menjauh. Hatinya terasa seperti dicengkeram kuat. Bicara? Tentang apa? Setelah bertahun-tahun? Lalu, apa yang akan aku katakan? Di dalam pikirannya, kenangan masa lalu mulai bermunculan satu persatu. Menghadirkan kembali rasa sakit yang selama ini susah payah ia lupakan. Tapi satu hal yang jelas, kini, kedatangan Edrio kembali ke kehidupannya akan membawa badai besar. Dan Gaura tahu, ia tak mungkin dapat menghindarinya. Apakah Edrio akan mengungkit masa lalu mereka? Ataukah ada rahasia lain yang lebih besar di balik semua ini?“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?”“Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan.Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?”“Tidak lebih, Pak.”Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beb
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?”“Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan.Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?”“Tidak lebih, Pak.”Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang
“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men