Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam.
Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beban besar. Saat jarak mereka hanya beberapa langkah, ia menghentikan langkah dan berkata, "Lama tak bertemu." Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Suara yang dulu begitu akrab kini terdengar seperti kenangan yang menghantui. Gaura berusaha mengontrol ekspresinya, tapi getaran kecil di bibirnya tak bisa disembunyikan. "Ya, Tuan," jawab Gaura singkat, tanpa menatapnya langsung. "Lama sekali." Wanita itu tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan yang memenuhi udara. "Oh, kalian saling kenal? Apakah sudah lama? Dunia memang sempit! Gaura adalah penata rias terbaik di kota ini. Aku beruntung bisa mendapat jasanya hari ini." Edrio hanya mengangguk kecil. "Iya, dunia memang sempit." Matanya kembali menatap Gaura, kali ini lebih dalam, seolah mencoba menyampaikan sesuatu tanpa kata-kata. Gaura mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, tetapi rasanya mustahil. Kehadiran Edrio seperti bayangan gelap yang tidak bisa ia abaikan. Tangannya gemetar saat merapikan riasan terakhir pada wajah wanita itu, tetapi ia menyembunyikan kegelisahannya di balik senyuman tipis. "Edrio, sayang, kau terlihat aneh hari ini," ujar wanita itu sambil bercanda. "Apa kau gugup?" "Mungkin," jawabnya singkat, pandangannya tidak beralih dari Gaura. Wanita itu tertawa kecil lagi tanpa merasa curiga. "Oh, sayang, kau ini! Biasanya kau begitu tenang dan percaya diri. Jangan-jangan kau takut aku berubah pikiran?" candanya, lalu menoleh ke Gaura dengan senyum lebar. "Bagaimana menurutmu, Gaura? Dia tidak terlihat seperti pria yang akan panik, kan?" Gaura memaksakan senyum tipis. "Tentu saja tidak." Namun, wanita itu belum selesai. Ia terus berbicara, dengan nada yang ceria namun menusuk bagi Gaura. "Aku yakin kau pasti punya banyak cerita tentang Edrio di masa lalu, ya? Kalian pasti sudah lama saling kenal, kan? Sepertinya ada banyak hal menarik." Gaura merasa dadanya semakin sesak. Ia mencoba menjaga ketenangannya sambil membereskan alat rias. "Tidak terlalu banyak," jawabnya singkat, berharap percakapan itu segera berakhir. Wanita itu malah tertawa geli. "Oh, masa? Aku yakin ada sesuatu. Kau tahu, Edrio ini pria yang sulit ditebak. Kadang dia seperti menyimpan banyak rahasia." Ia menatap Edrio dengan pandangan genit. "Kan, sayang?" Edrio hanya mengangguk pelan, ekspresinya tidak berubah. Namun, matanya kembali melirik Gaura, seolah menantikan sesuatu. Wanita itu melanjutkan, tanpa menyadari perubahan di udara. "Ayolah, Gaura, beritahu aku satu hal kecil saja. Hal yang lucu, mungkin?" Gaura berhenti sejenak, menggenggam kuas riasnya lebih erat. Napasnya tertahan, dan ia merasa seperti terjebak di sudut tanpa jalan keluar. "Saya rasa itu bukan hal yang penting untuk dibahas," katanya akhirnya, mencoba terdengar tenang. Wanita itu mengerutkan kening sebentar, tetapi kemudian tertawa lagi. "Baiklah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu." Ia lalu menoleh ke Edrio dan mengangkat alis. "Tapi aku penasaran, kenapa kau tidak pernah bercerita tentang Gaura sebelumnya? Bukannya kau harus menceritakan hal-hal dari masa lalu?" Pertanyaan itu membuat ruangan terasa lebih dingin. Edrio terdiam, dan Gaura menunduk, mencoba menghindari tatapan mereka berdua. Edrio akhirnya menjawab, dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. "Nanti." Gaura menahan napas, merasakan ketegangan yang semakin nyata. Wanita itu hanya mengangkat bahu, tidak mengerti maksud ucapan itu. "Baiklah, kalau begitu. Aku tidak akan bertanya lagi. Kau memang misterius seperti biasa, sayang." Udara di ruangan terasa semakin berat. Ia menutup kotak riasnya dengan bunyi klik yang terdengar lebih keras dari seharusnya. "Semua sudah selesai. Anda terlihat sangat cantik," katanya, suaranya sedikit bergetar. Wanita itu tersenyum lebar, senang dengan pujian itu. "Terima kasih, Gaura. Aku benar-benar menyukainya!" Ia berdiri, lalu menggandeng lengan Edrio dengan penuh kasih sayang. "Sayang, ayo kita lihat ke aula. Para tamu pasti sudah menunggu." Galen yang bingung dengan suasana itu, menarik tangan Gaura. "Bunda, ada apa?" Gaura tertegun, lalu berlutut agar sejajar dengan putranya. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya masih terguncang. "Tidak ada apa-apa, sayang. Bunda hanya... sedikit lelah." Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih banyak, suara pengumuman terdengar dari arah aula. "Acara pertunangan akan dimulai dalam sepuluh menit. Semua tamu diharapkan bersiap." Wanita itu tersenyum bahagia. "Akhirnya, waktunya tiba! Gaura, terima kasih atas semua bantuanmu. Aku benar-benar merasa cantik hari ini." Ia menatap Edrio dan menggandeng lengannya. "Sayang, ayo kita harus ke aula sekarang." Edrio terlihat ragu, tetapi akhirnya mengangguk. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah Gaura. "Kita harus bicara." Gaura tidak menjawab, hanya menatap punggung Edrio dan wanita itu yang berjalan menjauh. Hatinya terasa seperti dicengkeram kuat. Bicara? Tentang apa? Setelah bertahun-tahun? Lalu, apa yang akan aku katakan? Di dalam pikirannya, kenangan masa lalu mulai bermunculan satu persatu. Menghadirkan kembali rasa sakit yang selama ini susah payah ia lupakan. Tapi satu hal yang jelas, kini, kedatangan Edrio kembali ke kehidupannya akan membawa badai besar. Dan Gaura tahu, ia tak mungkin dapat menghindarinya. Apakah Edrio akan mengungkit masa lalu mereka? Ataukah ada rahasia lain yang lebih besar di balik semua ini?Aula penuh dengan tawa dan obrolan hangat. Prita, yang merupakan tunangan Edrio, berdiri di tengah ruangan, tersenyum lebar sambil menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang mengelilinginya. Gaun panjangnya berkilauan, dan tangannya yang mengenakan cincin pertunangan memegang lengan Edrio dengan posesif. Namun, Edrio tidak sepenuhnya peduli. Tatapannya, meski diarahkan ke tamu-tamu yang berbicara, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Gaura dan Galen berdiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia melihat anak kecil itu. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan anak itu. Prita menyadari sikap tunangannya yang tidak biasa. “Sayang,” ujarnya pelan sambil memiringkan kepala. “Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat… tidak fokus.” Edrio menoleh, wajahnya datar seperti biasa. “Tidak ada.” “Benarkah?” Priska menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau kenapa? Kau biasanya tidak begini.” Edrio menghela napas kecil, mencoba
Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
Edrio kembali ke kantornya dengan langkah berat. Meski ia adalah pria yang dikenal dingin dan fokus, pikirannya kini terasa kacau. Pertemuannya dengan Galen di sekolah tadi meninggalkan kesan mendalam. Wajah anak itu, senyumnya, bahkan caranya berbicara—semuanya terlalu mirip dengan dirinya. Edrio duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya. Jendela besar di belakangnya menyuguhkan pemandangan kota, tetapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mengusap dagunya sambil berpikir keras. “Gaura,” gumamnya pelan. Nama itu terasa begitu akrab, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali. Kantor Edrio yang biasanya sunyi kini dipenuhi aura ketegangan. Tumpukan dokumen di mejanya terlihat berantakan, dan meskipun ia mencoba menyusun strategi dalam pikirannya, semuanya terasa seperti potongan puzzle yang tak cocok satu sama lain. Ia memutuskan untuk menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dekat dengan Gaura. Edrio menekan tombol telepon di mejanya. ”Hubungi Brian s
”Bagaimana ini?” Gaura duduk di ruang tamunya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga antara Edrio dan Galen. Wajah anak itu sangat mirip dengan Edrio, dan itu membuat Gaura merasa sangat terancam. Gaura tahu bahwa Edrio tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Apa yang dia rencanakan? Apakah dia sengaja menemui Galen?” Gaura bergumam sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia memikirkan berbagai cara agar Galen dapat terhindar dari jangkauan Edrio. Ia benar-benar tak ingin mereka menjadi dekat dan menyadari ada sebuah ikatan di antara mereka. Ia takut, takut Galen akan di ambil dari dirinya. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang ia percayai. “Mika, aku butuh bantuanmu segera.” Suara Gaura terdengar tegas meski hatinya berdebar. Ia langsung berbicara tanpa basa-basi kepada salah satu asistennya itu. “Gaura, ada apa? Apa yang terjad
Siang itu, di luar gerbang sekolah Galen, Edrio berdiri di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh. Ia mengenakan kacamata hitam, memandang dari kejauhan, memastikan bahwa tidak ada yang menyadarinya. Matanya tertuju pada sosok kecil Galen yang keluar dari gerbang, ditemani oleh Mika. Edrio mengamati setiap langkah anak itu. Galen tampak ceria, berbicara dengan Mika tentang sesuatu yang tampaknya menyenangkan. Tetapi yang menarik perhatian Edrio bukanlah percakapan mereka, melainkan cara anak itu berjalan, senyum yang begitu familier, dan ekspresi wajah yang seolah mencerminkan dirinya sendiri. “Tidak mungkin hanya kebetulan...” gumam Edrio, menggenggam setir mobilnya dengan kuat. Namun, dia tidak mendekat. Dia tahu, jika terlalu gegabah, maka ia akan semakin sulit untuk mendekati anak itu. Oleh karenanya, Edrio memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya menjadi bayangan yang tak terlihat. Tapi dalam hatinya, dia bertekad untuk mencari tahu hal yang membuatnya merasa penasaran
“Apa yang kau temukan?” tanya Edrio tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi penuh ketegasan. ”Saya menemukan beberapa hal menarik tentang Gaura. Tapi ada bagian yang terasa… aneh," jawab seorang pria yang merupakan bawahannya sambil menyerahkan sebuah map berisi informasi tentang Gaura. “Aneh bagaimana?” Edrio membuka map tersebut, matanya langsung menyisir halaman-halaman yang penuh dengan informasi. “Setelah dia mengundurkan diri dari posisi bodyguard pribadi anda beberapa tahun lalu, dia menghilang selama beberapa bulan. Tidak ada jejak aktivitas, pekerjaan, atau bahkan keberadaannya. Baru setelah itu dia muncul kembali sebagai penata rias di kota ini.” Edrio menghentikan bacaannya, menatap bawahanya dengan tajam. “Menghilang? Tidak ada jejak sama sekali?” Pria itu mengangguk. “Ya. Saya mencoba melacak aktivitasnya, tapi semuanya tertutup rapat. Seolah-olah dia sengaja menghapus keberadaannya.” Edrio mengetuk meja dengan jarinya, pikirannya berputar cepat. “Apa ada hubu
"Aku harus mendekat," ucap Edrio. Setelah mengetahui fakta mengejutkan semalam, pagi ini, ia kembali duduk di dalam mobil hitamnya, menatap taman tempat Galen biasa bermain setelah sekolah. Dari balik jendela gelap, ia mengamati bocah itu dengan saksama. Tak jauh dari sana, Mika berdiri dengan waspada, memastikan Galen tetap dalam jangkauannya. Edrio mengepalkan tangan. Selama beberapa hari terakhir, ia hanya bisa mengamati dari jauh tanpa mendapatkan kesempatan untuk mendekat. Tapi hari ini berbeda. Ia tahu bahwa Mika biasanya meninggalkan Galen beberapa saat untuk mengambil air minum atau mengurus hal kecil lainnya. Itu adalah momen yang ia tunggu. “Ini waktunya,” gumam Edrio sambil membuka pintu mobil, berjalan perlahan dengan langkah mantap. Di sisi lain. Mika melirik Galen yang sedang asyik menggambar dengan teman-temannya. Ia mendekati Galen dan berkata, “Galen, aku akan ke mobil sebentar untuk mengambil sesuatu. Jangan ke mana-mana, oke?” Galen mengangguk. “Oke.” Mika
"Sudah selesai gambarnya, sayang?" tanya Gaura, mencoba bersikap biasa meskipun entah mengapa, hatinya terasa gusar. Pada siang hari, Gaura duduk di sofa, tangannya sibuk melipat pakaian sambil sesekali melirik Galen yang duduk di lantai dengan penuh semangat, mencoret-coret kertas gambar di hadapannya. Tawa kecil anak itu menggema di ruangan, tetapi hati Gaura terasa berat. Galen menoleh dengan senyum lebar. "Iya, sebentar lagi selesai, Bunda! Ini gambarnya untuk seseorang yang spesial." Gaura mengernyit. "Seseorang yang spesial? Siapa itu?" Galen tertawa kecil, wajahnya memerah. "Rahasia!" Ia terus mewarnai dengan antusias. Gaura tersenyum tipis, tetapi perasaannya tak enak. Ia tidak ingin memaksanya, tetapi naluri keibuannya memintanya untuk waspada. Tak lama kemudian, Galen berdiri dengan bangga, memegang hasil gambarnya. "Selesai!" serunya sambil mengangkat kertas itu ke udara. Gaura memeriksa gambar itu dengan hati-hati. Di kertas tersebut, ada tiga sosok yang dig
Dengan tangan terangkat, Edrio memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa dari mereka membawa ke depan bukti-bukti kejahatan Jonathan. Transfer uang ilegal, dokumen palsu, bahkan rekaman percakapan dengan para pihak yang terlibat dalam pengaturan saham. Namun, di saat yang sama, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi. Jonathan menyeringai. Ia meraih mikrofon, dan matanya menyala dengan keputusasaan yang membara. "Kalian pikir bisa menjatuhkan saya dengan cara ini?! Kalian tidak tahu siapa saya sebenarnya! Para investor ini adalah milikku, dan mereka tidak akan pernah percaya pada fitnah kalian!" Tiba-tiba, pintu besar konferensi terbuka dengan keras, dan sejumlah pengawal Jonathan berlari masuk, dengan senjata terhunus. Mereka menuju Edrio dan pasukannya, membentuk formasi pertahanan yang rapat.Sontak, semua yang hadir pun terkejut dan beberapa mulai merasa takut. Sedetik kemudian, para investor ataupun para tamu berlarian untuk menyelamatkan diri. “Lindungi saya!” teriak Jona
"Di sini, di tengah keheningan ini, aku merasa terlindungi.” Edrio menoleh padanya, menatap mata wanita yang kini tak hanya menjadi pasangannya dalam medan pertempuran yang belum usai. “Aku akan melindungimu. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang melindungimu sepenuh hati.” Gaura mengangguk pelan, matanya mulai basah. Malam itu, meskipun dunia di luar masih dipenuhi dengan bahaya, rumah kecil itu menjadi tempat paling hangat di bumi. Di tengah perang rahasia, konspirasi, dan teror, mereka masih bisa tertawa, berpelukan, dan percaya bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang tak bisa disentuh oleh kekuatan jahat sekalipun. Cinta, keberanian, dan harapan. Dan Edrio, di dalam hatinya, bersumpah bahwa ia akan menuntaskan semua ini. Untuk Gaura. Untuk Galen. Untuk rumah yang ingin ia lindungi… selamanya.****Langit mendung menggantung pekat di atas gedung tua yang kini dijadikan markas darurat oleh Edrio. Tak ada papan nama. Tak ada sinyal ponsel yang kuat. Di te
“Itu simbol unit pengawasan pribadi milik Jonathan. 09-17 adalah sandi untuk proyek ‘September Black’—operasi bayangan miliknya dulu saat masih jadi bagian dari jaringan intel investasi gelap di Asia Tenggara.” Gaura menegang. “Kau serius? Jadi dia bukan cuma musuh bisnis biasa?” “Dia lebih dari itu,” kata Edrio. “Dia pernah jadi sekutuku. Salah satu orang terbaik di tim. Sampai akhirnya dia mengkhianati kita semua. Menjual informasi ke pihak asing, memanipulasi laporan keuangan, dan mencoba mencuri investor besar dariku.” Gaura menggeleng pelan, dadanya terasa sesak. “Kenapa aku baru dengar ini sekarang?” “Aku ingin menjauhkanmu dari bahaya,” jawab Edrio. “Tapi sekarang aku sadar, menyembunyikannya darimu malah membuatmu jadi target yang lebih mudah.” Gaura menarik napas dalam. “Lalu apa rencanamu?” Edrio berjalan ke arah jendela, menatap malam yang mulai gelap sempurna. “Kita akan memancingnya keluar. Tapi kali ini, kau tidak akan sendirian.” Ia menoleh ke arah Gaura. “Aku a
Terdengar suara dentuman keras dari halaman belakang. Gaura tersentak. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merunduk dan bergerak menuju sumber suara. Ia mengintip dari celah tirai. Sebuah kursi terjatuh di teras belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Tapi Gaura tahu lebih baik daripada menganggap ini hanya kebetulan. Ia menahan napas dan merapatkan punggungnya ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Ada suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, seperti seseorang berusaha bergerak dalam bayangan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan pencuri biasa. Ini peringatan, pikirnya. Gaura melirik ke cermin yang terletak di sudut ruangan. Cermin itu memantulkan bayangan dari jendela lain—dan di sanalah ia melihatnya. Seseorang berdiri di kebun belakang, mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana. Mengawasi. Dan orang itu, penampilannya mirip dengan sosok mereka temui di sekolah Galen beberapa har
"Sama-sama, Gaura, kapanpun kau butuh bantuanku, aku selalu bersedia," balas sosok itu hingga membuat Gaura tersenyum. **** Beberapa hari kemudian ketika malam hari, ruangan bawah tanah itu hanya diterangi oleh lampu LED redup di langit-langit. Aroma besi dan keringat memenuhi udara. Gaura berdiri tegap di depan papan sasaran, matanya tajam, penuh fokus. Di tangannya, pistol semi-otomatis yang baru saja ia isi pelurunya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat pistolnya dengan gerakan halus dan percaya diri. Dor! Dor! Dor! Tiga peluru menembus sasaran dalam hitungan detik. Tepat di tengah. Gaura tersenyum tipis. "Tanganku masih setajam dulu," gumamnya. Ia menurunkan pistolnya, melepaskan magazin kosong dan menggantinya dengan yang baru dalam satu gerakan cepat. Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia pertarungan, kini ia kembali menyentuh senjata, mengembalikan naluri yang dulu selalu menjadi bagian dari dirinya. Malam ini, ia tidak hanya berlatih. Ia kembali menjadi Gaur
"Tenang. Kau tidak perlu melakukan ini." Edrio mengangkat tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. Pria itu tersenyum miring. "Jonathan mengirim salam, Tuan Edrio." Edrio mengepalkan tangannya. Jadi ini memang ulah Jonathan. Vigo dan anak buah lainnya sudah mengepung lorong, tetapi pria itu tetap memegang pisau di leher Galen. Situasi semakin genting. Gaura berusaha menahan air matanya. "Tolong… jangan sakiti anakku." suaranya nyaris berbisik. Pria itu tertawa pelan. "Lucu sekali. Kau pikir aku peduli?" Dan saat itulah Edrio bergerak. Dalam sekejap, ia melemparkan sebuah benda kecil ke lantai—flash grenade. Blitz! Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Pria itu berteriak, kehilangan keseimbangan sejenak. Dalam sepersekian detik, Edrio melesat maju. Dor! Sebuah tembakan melesat. Gaura memejamkan matanya sejenak, pikirannya langsung membayangkan hal terburuk. Tapi saat ia membuka matanya, ia melihat pria bertopeng itu terjatuh ke lantai, mengg
Edrio terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Kemudian, ia menarik napas dalam dan berkata, "Namanya Jonathan." Gaura mengerutkan kening. "Siapa dia?" Edrio mengalihkan pandangannya ke layar. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang ia sembunyikan dengan susah payah. "Musuhku." Gaura tertegun. "Musuh? Maksudmu bagaimana?" Edrio mengepalkan tangannya, matanya masih terpaku pada rekaman buram di layar. "Dia adalah orang yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tapi dia kembali. Dan dia jelas mengincar kita." Gaura menelan ludah. "Apa dia yang mengirim semua ancaman ini?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Edrio mengangguk. "Aku yakin dia dalangnya. Dan dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Gaura menggigit bibirnya, perasaannya mulai tidak enak. "Dan apa yang dia inginkan?" Edrio menatapnya tajam. "Untuk menghancurkan hidupku." Seolah menjawab perkataan itu, tiba-tiba ponsel Edrio bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor
"Seseorang dengan akses tingkat tinggi masuk ke sistem beberapa menit sebelum CCTV mati. Aku masih mencoba mencari tahu siapa, tapi ini bukan kerjaan orang biasa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan." Vigo menatap mereka dengan ekspresi serius. Gaura mengepalkan tangannya. "Siapa pun dia, mereka pasti ada di sekitar kita. Bisa jadi salah satu karyawan atau seseorang yang sering masuk ke studio." Edrio mengangguk. "Dan mereka juga tahu kapan waktu yang tepat untuk bertindak." Ketegangan memenuhi ruangan itu. Lalu, ponsel Gaura kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Gaura langsung membelalakkan mata ketika melihatnya. "Ya Tuhan…" Edrio dan Vigo segera mendekat untuk melihat. Di layar ponsel, terpampang sebuah foto yang diambil dari jarak jauh. Foto Gaura dan Galen—saat mereka keluar dari rumah pagi tadi. Gaura merasa tubuhnya membeku. "Mereka dimanapun selalu mengawasi kita." Edrio langsung merampas ponsel Gaura dan menatapnya dengan rahang mengeras. "Ini sudah kelew
Gambar di layar mendadak gelap. Gaura menegang. "Apa yang terjadi?" Edrio mengernyit dan mundur beberapa detik sebelum titik mati itu terjadi. Rekaman berjalan lagi—normal. Namun, tepat ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 08.45, layar kembali gelap selama kurang lebih tiga menit, lalu kembali menyala seolah tidak ada yang terjadi. Ketika layar kembali aktif, amplop itu sudah ada di meja resepsionis. Gaura menggigit bibirnya. "Tidak mungkin…" Edrio mencoba mempercepat rekaman, mencari sudut lain dari kamera yang mungkin menangkap kejadian tersebut. Ia memutar ulang rekaman dari kamera yang menghadap pintu masuk studio. Namun, hasilnya sama. Tepat pada waktu yang sama, kamera itu juga mengalami gangguan. "Ini bukan kebetulan," gumam Vigo dari belakang. Gaura menatapnya. "Kau pikir ada yang meretas sistem kita?" Vigo mengangguk. "Seseorang jelas ingin menyembunyikan identitas mereka. Mereka cukup profesional untuk mengetahui cara menonaktifkan CCTV di waktu yang tepat." Ed