"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan."
Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah. Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pak. Tapi saya terus memaksakan diri. Dokter bilang saya harus benar-benar fokus pada perawatan agar bisa sembuh," jawab Gaura, berusaha terdengar penuh keyakinan. Edrio mengamati setiap gerakan tubuh Gaura, mencoba menilai apakah ada yang salah dengan apa yang ia dengar. "Jika masalah kesehatanmu serius, kenapa tidak memberitahuku lebih dulu? Aku bisa membantu mencari solusi," katanya dengan nada dingin, meskipun ada sedikit kecurigaan di matanya. Gaura merasakan kepanikan yang mulai menghimpit. Ia tahu Edrio mulai merasa ada yang tidak beres. "Ini keputusan yang sudah saya pikirkan matang-matang," jawab Gaura dengan suara yang lebih pelan. "Saya rasa ini keputusan terbaik bagi saya." Edrio terdiam sejenak, menarik napas panjang. Ia tahu betul bahwa Gaura adalah orang yang sangat profesional, dan jika dia mengundurkan diri, pasti ada alasan yang kuat. "Baiklah, kalau kamu sudah yakin. Tapi aku harap kamu tahu bahwa keputusan ini akan memengaruhi pekerjaanmu. Dan jika terjadi sesuatu denganmu, itu bukan lagi urusanku." Gaura mengangguk, meski hatinya terasa seperti tertusuk ketika mendengar perkataan itu. "Saya mengerti, Pak. Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Saya akan selalu menghargai pengalaman yang saya dapatkan di sini." Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Gaura meninggalkan ruangan itu dengan langkah cepat, meninggalkan Edrio dengan wajah dinginnya. Begitu melangkah keluar, ia merasa seolah ada beban berat yang terlepas dari pundaknya. Namun, di sisi lain, ada rasa cemas yang menyelimuti hatinya. Kebohongan yang ia buat untuk mengundurkan diri sebagai bodyguard Edrio harus tetap tersembunyi. Gaura tidak ingin Edrio tahu alasan sebenarnya—bahwa ia tak bisa lagi bertahan di perusahaan itu, bukan karena alasan kesehatan, tetapi karena ada sesuatu yang jauh lebih dalam yang membuatnya harus keluar. Suatu hal yang terkait dengan hatinya sendiri dan masa depan yang ingin ia tentukan tanpa bayang-bayang masa lalu. *** Beberapa Tahun Kemudian. Setelah meninggalkan dunia yang dulu dikenalnya sebagai bodyguard, Gaura memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya. Meski awalnya merasa bingung, ia akhirnya menemukan jalan yang penuh gairah dan harapan. Keahlian dalam merias wajah yang sudah ia pelajari sejak kecil, akhirnya membawanya untuk mengembangkan usaha sebagai Make-Up Artist (MUA). Gaura mewarisi usaha sang ibu yang dulu juga seorang MUA profesional. Usaha itu mulai dengan panggilan teman-teman dekat yang mempercayakan momen penting mereka pada Gaura. Awalnya, ia merias mereka di rumah, namun dengan semangat dan kerja keras, ia berhasil mengumpulkan dana untuk membuka sebuah studio kecil. Tidak hanya itu, ia juga mulai membangun timnya, merekrut beberapa asisten yang sudah berpengalaman, hingga kini menjadi MUA yang memiliki studio make-up profesional yang dikenal banyak orang. Tak hanya mempersiapkan riasan untuk pernikahan atau acara-acara besar, Gaura kini juga memiliki berbagai klien dari kalangan selebriti dan pengusaha terkenal. Dengan tim yang solid dan penuh dedikasi, Gaura tak hanya mengandalkan keahliannya, tetapi juga menanamkan nilai-nilai profesionalisme yang diajarkan ibunya. "Gaura, semuanya sudah siap untuk acara besar ini. Kita akan merias seseorang di hotel, kan?" tanya Mika, asisten utama Gaura. "Iya, kita harus memastikan semuanya berjalan lancar. Pastikan semua peralatan sudah dipersiapkan dengan baik, ya?" "Siap!" jawab Mika dengan semangat. Di tengah kesibukannya, Gaura tak pernah melupakan putra kecilnya yang ia beri nama Galenio Vilas dan kini sudah berusia tiga tahun. Meskipun banyak yang bilang ia telah menjadi wanita sukses, Gaura selalu memastikan bahwa waktu untuk Galen adalah yang terpenting. Pagi itu, setelah memastikan semuanya siap, Gaura dan timnya berangkat ke hotel tempat acara besar akan diadakan. Acara tersebut adalah pertunangan mewah dari salah satu klien penting mereka. Setibanya di hotel, Gaura dan tim langsung disambut oleh staf hotel yang sudah menunggu mereka. Gaura segera mempersiapkan perlengkapan dan mulai merias seorang wanita yang akan melangsungkan pertunangan. Ia memulai dengan percaya diri, seolah dunia hanya miliknya dan klien yang ada di depannya, tentu saja di bantu oleh beberapa asistennya. Suasana di ruang rias sangat sibuk. Gaura yang sedang merias, dikejutkan oleh suara langkah kecil terdengar mendekat, wanita itu menoleh ke arah pintu. Ternyata itu Galen yang masuk dengan ceria. "Bunda, aku ikut!" teriak Galen dengan senyum lebar menggemaskan, sebelum berlari kecil menuju meja rias. "Galen, kamu di sini? Tidak boleh lari-lari di sini, sayang. Kamu harus diam sebentar ya, Bunda sedang kerja," kata Gaura dengan lembut, meskipun senyumannya sedikit dipaksakan karena konsentrasinya terbagi. "Maaf, Gaura," kata Mika, yang masuk setelah Galen. "Tadi Galen merengek meminta untuk menyusulmu, jadi aku bawa dan ikut masuk ke sini. Aku akan menjaganya." Gaura mengangguk, tetap sibuk dengan peralatan riasnya. Wanita yang duduk di depan cermin besar dengan gaun merah elegannya, tersenyum penuh percaya diri. "Gak masalah, kok, Gaura. Anak kecil memang suka penasaran, kan?" Wanita itu tertawa ringan, sesekali memandang dirinya di cermin untuk melihat riasannya yang hampir sempurna. Namun, suasana tenang tiba-tiba terganggu ketika pintu ruangan terbuka sedikit lebih keras dari biasanya. Sebuah suara berat terdengar di ambang pintu, "Apakah sudah selesai?" Gaura menoleh dengan cepat, terkejut. Seorang pria tinggi, mengenakan jas hitam rapi, berdiri di sana. Wajahnya familiar, namun untuk beberapa detik, Gaura terdiam. Galen, yang merasa penasaran, berlari ke arah pria itu dengan tawa riang. "Bunda, itu siapa?" tanyanya dengan mata berbinar. Pria itu, yang sedang memandang ke arah Gaura, terkejut melihat Galen yang mendekat. Sebelum sempat menjawab, Galen yang lincah berlari ke arah pria tersebut dan tanpa sengaja menabraknya dengan sedikit keras. "Ups!" Galen tertawa lucu, tak menyadari keheranan yang sedang melanda orang dewasa di sekitarnya. "Maaf, Tuan!" Galen mengangkat wajahnya dengan polos. Tiba-tiba, Gaura merasa seperti ada yang mengganjal di dadanya. Semua gerakan di ruangan itu terasa melambat, dan dalam detik itu, mata Gaura bertemu dengan mata pria yang baru saja ditabrak oleh putranya. Edrio. Tubuh Gaura seakan membeku saat ia mengenali wajah yang tidak asing lagi. Meskipun telah lama berlalu, wajah itu tetap sama, tegas, dingin, dan penuh misteri. Hatinya langsung berdebar keras, pikirannya berkelip cepat mencoba mencerna kenyataan. Kenapa Edrio ada di sini? "Ah, sayang? Sebentar lagi aku selesai, apakah acaranya sudah di mulai?" tanya wanita yang telah Gaura rias. Hal itu sontak membuatnya semakin terkejut. 'Sayang? Apakah... Edrio yang akan bertunangan dengan wanita ini?'Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beb
“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?”“Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan.Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?”“Tidak lebih, Pak.”Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini. Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan beb
"Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan. Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat
“Ya, ini ada hubungannya dengan Gaura. Kau, cari tahu siapa yang berusaha menjebakku semalam di bar," perintah Edrio pada Brian. Brian menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Pria itu dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Baik, Pak. Saya akan menyelidikinya sekarang," balasnya sambil membuka ponsel miliknya kemudian mengutak-atiknya. Beberapa saat kemudian, Brian begitu terkejut melihat hasilnya. "Pak, saya sudah mengirimkan hasil penyelidikannya pada anda," ucapnya. Edrio segera membuka laptopnya, kemudian melihat semua hasil penyelidikan Brian. Tangannya mengepal dengan rahang yang mengeras. “Singkirkan semuanya tikus-tikus itu!“ ***Satu bulan telah berlalu. Kini, Gaura tengah berdiri tegak di lapangan tembak, matanya fokus pada target yang terletak beberapa meter di depannya. Udara pagi yang sejuk terasa menyegarkan, namun tubuhnya yang sudah mulai lelah tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa minggu terakhir, Gaura merasa semakin lelah, b
“Saya di sana karena tugas, Pak. Anda mabuk dan menahan saya untuk tidak meninggalkan Anda.”Edrio duduk di kursi kebesarannya, tangannya mengetuk-ngetuk meja dengan ritme tak beraturan. Pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Mata tajamnya melihat ke depan dimana Gaura berada. Pagi tadi, saat dia terkejut melihat keberadaan Gaura di dalam kamar mandi, wanita itu langsung pergi tanpa mengatakan sepatah katapun. Maka dari itu, kini ia meminta kejelasan. Edrio menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari Gaura. “Tugas? Apakah itu termasuk tinggal semalaman di kamarku?”“Saya mencoba pergi, tapi Anda tidak mengizinkan. Saya hanya menjalankan perintah Anda, Pak,” jawab Gaura dengan nada tegas, namun tetap sopan.Edrio mendengus. “Jadi, kamu hanya mengikuti perintahku? Tidak lebih dari itu?”“Tidak lebih, Pak.”Hening melingkupi ruangan. Edrio menatap Gaura dengan intens, mencoba membaca pikirannya. Tapi Gaura tidak menunjukkan celah sedikit pun. Pria itu yakin. Yang
“Ah! Pak! Lepaskan saya!”Dengan gerakan cepat, Edrio menarik pergelangan tangan Gaura, membuat wanita itu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Gaura, yang selama ini dikenal sebagai bodyguard tangguh, tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini—ditawan oleh pria yang seharusnya ia lindungi.“Pak Edrio, sadarlah! Anda bukan diri Anda sendiri!” teriak Gaura, mencoba meronta dari cengkeraman pria itu.Namun, Edrio tidak mendengarkan. Matanya yang biasanya penuh kendali kini memancarkan sesuatu yang liar dan gelap. “Diam, Gaura. Aku tidak butuh nasihatmu sekarang,” desisnya, mendorong tubuh Gaura ke dinding dengan kasar. Suaranya terdengar sangat berat dengan napas yang tidak beraturan karena gairah yang tertahan. “Jangan sentuh saya!” Gaura berusaha menendang Edrio untuk mempertahankan diri, tetapi pria itu terlalu cepat. Tangan besar pria itu dengan sigap menahan gerakannya, membuat Gaura semakin terpojok.“Kamu tidak bisa kabur dariku,” gumam Edrio sambil men