Di ruang klinik besar yang sunyi, Gaura terlihat berjalan perlahan dengan langkah yang goyah. Perawat yang menemaninya membantu menguatkan tubuhnya, tetapi wajah Gaura tetap tampak kosong, jauh di dalam pikirannya. Sejak kembali dari pemeriksaan, hatinya terasa begitu berat. Kehamilannya, yang tak pernah terpikirkan olehnya, kini terpampang nyata. Setiap langkahnya, setiap tarikan napasnya, seakan menjadi beban yang semakin tak tertahankan.
Gaura, yang terbiasa menjaga jarak dan tegar sebagai seorang bodyguard, kini harus menghadapi kenyataan pahit yang mengancam hidupnya. Kehamilan ini—yang tidak diinginkan—adalah bencana yang tidak bisa ia hindari. Hatinya bergejolak saat memikirkan bagaimana ibunya akan merespons. Sebagai seorang bodyguard, Gaura dilatih untuk menghadapi berbagai ancaman fisik, namun ancaman yang datang kali ini berasal dari dalam dirinya sendiri. Sesampainya di rumah, Gaura disambut dengan omelan Elia yang khawatir. Wajah ibunya yang sudah tak muda lagi terlihat begitu mencemaskannya. “Gaura, kamu dari mana saja? Kenapa kamu tidak mengangkat telepon? Ibu hampir saja melapor ke polisi jika kamu tak pulang juga!“ Elia berkata dengan suara serak penuh kecemasan. “Kamu sakit, bukan? Kenapa kamu tidak memberitahu Ibu?” Gaura hanya diam, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang. Tanpa berkata-kata, ia melangkah mendekat dan langsung memeluk Elia dengan erat. Air mata mulai tumpah, dan tubuhnya bergetar di pelukan ibunya. Selama ini, Gaura selalu berusaha kuat, tetapi kali ini ia merasa sangat rapuh. Ia merasa seperti telah mengkhianati ibu yang telah membesarkannya seorang diri. Pikirannya langsung tertuju pada janin di dalam kandungannya yang mungkin akan mengalami nasib yang sama. Hidup tanpa sosok Ayah. Elia kaget dengan tangisan Gaura yang tak tertahankan. “Sayang, ada apa? Kamu kenapa?” tanyanya, tetapi Gaura hanya menggelengkan kepala, tidak bisa mengatakan apapun. Hatinya begitu sesak, dan setiap pertanyaan yang datang seakan semakin menyakitkan. Akhirnya, setelah beberapa saat, Gaura pun bisa menenangkan diri. Elia menatapnya dengan penuh kekhawatiran, masih berusaha memahami apa yang terjadi pada anaknya. “Sayang, cerita sama Ibu. Apa yang terjadi?” Gaura memejamkan mata, seolah berjuang melawan perasaan yang terus mengguncangnya. “Ibu... aku sangat lelah. Aku... aku masuk kamar dulu, ya?” Suaranya hampir tak terdengar, dan dengan perlahan, Gaura meninggalkan ruang tamu menuju kamar. Hari pun berganti, namun Gaura tak juga keluar dari kamar dan izin dari pekerjaannya dengan alasan sakit. Setiap kali Elia mengantarkan makanan, Gaura hanya duduk termenung, tak menyentuhnya sedikitpun. Pikiran-pikiran buruk terus berputar di benaknya, sementara perutnya yang semakin membesar semakin tidak bisa disembunyikan. Kehamilannya semakin jelas, dan Gaura tahu, tidak lama lagi, dunia akan tahu apa yang terjadi. Sebagai seorang bodyguard, ia diajarkan untuk melindungi orang lain, tetapi kali ini, siapa yang akan melindunginya? Bagaimana ia bisa menghadapinya? Sementara itu, Edrio, atasannya yang selama ini tampak begitu tegas dan profesional, kini hanya menjadi bayang-bayang gelap yang menghantui Gaura. Apa yang harus ia lakukan? Jika dia mengungkapkan semuanya pada ibunya, apakah Elia akan menganggapnya sebagai anak durhaka? Setelah berjam-jam berpikir, Gaura memutuskan untuk keluar dari kamar. Elia duduk menunggu di ruang tamu, dan ketika melihat sang putri keluar, hatinya berdegup kencang. “Sayangku... kamu sudah siap cerita sama Ibu?” tanya Elia pelan, berharap ada penjelasan. Gaura berjalan mendekat, tubuhnya terasa lemah, namun ia mencoba untuk tegar. Ketika ia menggenggam tangan Elia, rasa sakit di hatinya semakin dalam. “Ibu... maafkan aku. Aku sudah melakukan kesalahan yang besar,” Gaura berkata dengan suara tertahan, air mata kembali mengalir. Elia mengusap puncak kepala Gaura dengan penuh kasih sayang. “Tidak apa-apa, sayang. Semua orang pasti membuat kesalahan. Ceritakan, Ibu akan mendengarkan.” Gaura terdiam lama, merasakan gelombang emosi yang begitu berat. Namun, akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan mengucapkan kata-kata yang selama ini ia pendam. “Ibu... aku, aku...“ Gaura merasakan lidahnya terasa kelu dan lehernya seakan tercekik ketika akan mengungkapkan kenyataan pahit yang ia alami. Namun, Elia dengan sabar menanti kata apa yang akan terucap dari bibir putrinya. “Aku.“ Gaura menarik napas dalam-dalam, kemudian berkata, “Aku hamil, Bu." Keheningan menyelimuti ruangan itu. Elia terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. “Kamu... hamil?” Suaranya hampir tidak terdengar. Tidak ada yang bisa membayangkan bagaimana rasanya mendengar kata-kata itu dari anak yang selama ini ia banggakan. Gaura menunduk, tak berani menatap mata ibunya. “Iya, Bu. Aku hamil,” jawabnya lirih, suaranya tercekat di tenggorokan. Elia diam, seakan tidak bisa menerima kenyataan itu. Gaura selalu menjadi anak yang kuat, selalu menjaga dirinya. Tidak ada pria yang pernah bisa mendekatinya, apalagi menghamilinya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? “Siapa... siapa yang melakukannya? Kamu harus bilang pada Ibu,” tanya Elia, suaranya mulai bergetar, namun kini ada nada marah yang jelas terdengar. Gaura menggigit bibirnya. Mengatakan nama Edrio, atasannya yang selama ini ia hormati, adalah hal yang paling sulit. Namun, keheningan yang mencekam itu membuatnya tak bisa berbohong lagi. “Ibu... dia... Edrio. Atasanku,” jawab Gaura dengan suara tercekat. Elia terperanjat, wajahnya memerah, dan tangannya gemetar. “Edrio? Apa kamu bercanda?” Suaranya naik, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja diungkapkan. “Bagaimana bisa dia—” Isak tangis Gaura terdengar menyakitkan di telinga Elia. “Apakah... apakah kamu dipaksa?" Gaura dengan pelan menganggukkan kepalanya. "Aku sudah berusaha melawan, Bu... tapi, ta-tapi-“ Elia tidak tahu harus berkata apa. Air mata mulai mengalir di wajahnya. Rasa marah, kecewa, dan khawatir bercampur aduk. “Jangan takut, sayang. Kita akan hadapi ini bersama. Bayi ini tidak bersalah.” Gaura menggenggam tangan ibunya lebih erat, merasakan kehangatan dari pelukanq Elia yang penuh kasih sayang. Meski hatinya terasa hancur, setidaknya ada satu orang yang tetap percaya padanya. “Maafkan aku, Bu,” Gaura berkata pelan penuh penyesalan. “Tidak apa-apa, sayang. Kamu tidak sendiri. Cucuku, adalah tanggung jawabku juga,” jawab Elia, memeluk anaknya dengan penuh kasih, mencoba memberikan ketenangan di tengah badai yang melanda hidup mereka. Gaura tahu, meski Edrio adalah bayangan kelam dalam hidupnya, ia tidak akan menyerah. Kini, ia punya alasan lebih untuk bertahan—untuk dirinya, untuk ibunya, dan untuk janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Esoknya, Gaura memutuskan untuk kembali ke kantor. Ia datang ke kantor dengan langkah yang berbeda. Tidak seperti biasanya, hari ini dia tampil berbeda. Rambutnya yang biasanya disanggul rapi kini dibiarkan tergerai indah, menyentuh bahunya dengan lembut. Wajahnya, yang biasanya tegas dan datar, kini dihiasi dengan riasan yang sempurna, menonjolkan kecantikan alami yang selama ini disembunyikan. Setelan jas hitam yang dipakainya bukan hanya menggambarkan sosok seorang bodyguard yang kuat, tetapi juga seorang wanita yang kini tahu betul apa yang ia inginkan dari hidupnya. Tiba di kantor, Gaura menarik perhatian banyak orang. Ada yang menatapnya dengan kagum, namun Gaura hanya berjalan dengan kepala tegak, penuh percaya diri. Setiap langkahnya terasa lebih mantap, meski hatinya penuh dengan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Perasaan gelisahnya semakin meningkat seiring dekatnya ruang kerja Edrio. Tadi malam, Gaura sudah memutuskan bahwa ini adalah waktunya. Waktunya untuk melepaskan masa lalu, meski itu terasa sangat menyakitkan. Ketika Gaura akhirnya memasuki ruang kerja Edrio, suasana dalam ruangan terasa berbeda. Edrio, yang biasanya tampak dominan dan tidak mudah terpengaruh, kali ini tampak sedikit terkejut melihat penampilannya yang berbeda. Namun, dia tidak mengungkapkan perasaannya. Wajahnya tetap datar, meski ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya yang langsung tertuju pada Gaura. Gaura berdiri di depan meja Edrio dengan tegas, menatapnya tanpa gentar. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Selamat pagi, Pak Edrio," sapanya, suaranya terdengar lebih tenang dan percaya diri dari biasanya. Edrio memandangnya sejenak, bingung dan sedikit tertegun. Namun, dia tidak berkata apa-apa, hanya menatap Gaura dengan mata yang penuh pertanyaan. "Pak Edrio," lanjut Gaura, matanya tetap menatap mata pria itu, "saya ingin mengundurkan diri hari ini." Kata-katanya keluar dengan penuh ketegasan, hampir seperti perintah. Keheningan menyelimuti ruangan. Edrio terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Tidak ada yang lebih mengejutkan baginya selain pengunduran diri Gaura, yang selama ini selalu menjadi sosok yang tidak pernah goyah. Apa yang terjadi? Mengapa setelah Gaura yang cukup lama izin dari pekerjaannya, dan dikenal tegas dan setia, tiba-tiba mengundurkan diri begitu saja? "Saya sudah memikirkan ini dengan matang, Pak. Saya rasa ini keputusan terbaik untuk saya." Gaura melanjutkan, sambil menyerahkan amplop putih yang berisi surat pengunduran dirinya. Edrio menyentuh amplop itu dengan ragu, lalu membuka perlahan. Matanya menelusuri setiap kata yang tertulis di dalamnya. Tidak ada kata penjelasan lebih lanjut, hanya kalimat tegas yang menyatakan bahwa Gaura mengundurkan diri. Gaura menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dipahami Edrio. Ada rasa kesedihan yang mendalam, tapi juga keberanian yang sangat jelas di mata wanita itu. "Terima kasih. Saya berharap Anda sukses ke depannya.""Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Kita harus berbicara tentang beberapa tugas besar yang harus kamu tangani setelah kamu tinggalkan." Gaura menatapnya dengan mata yang tidak bisa menyembunyikan sedikit pun keraguan. "Pak Edrio, saya merasa kesehatan saya semakin memburuk. Dokter menyarankan saya untuk beristirahat, fokus pada pengobatan dan pemulihan," jawab Gaura dengan suara yang sedikit gemetar, berusaha meyakinkan Edrio. Edrio menatapnya tajam, ragu. Sejak pertama kali bertemu Gaura, ia tahu wanita ini bukan tipe orang yang mudah mengeluh atau menyerah. Gaura selalu tampak kuat, tidak pernah menunjukkan kelemahan. "Tapi kamu tampak sehat-sehat saja, Gaura. Sepertinya tidak ada yang salah denganmu. Apa ini benar-benar alasanmu mengundurkan diri?" tanya Edrio, nada suaranya mulai berubah.Gaura menunduk, berusaha menahan perasaan yang mulai mencemaskan hati. Ia tahu bahwa kebohongannya ini harus tampak meyakinkan. "Sebenarnya, saya sudah merasa tidak enak badan sejak lama, Pa
Gaura berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menyentuh alat rias, tetapi ia mencoba tersenyum setenang mungkin. Edrio tampak terpaku di tempatnya, matanya masih menatap Gaura dengan ekspresi yang sulit diartikan—ada keterkejutan, rasa bersalah, dan sesuatu yang lebih dalam. Sementara itu, Galen, yang tak menyadari ketegangan di antara mereka, menatap pria itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Tuan, apakah sakit? Apa aku menabrak terlalu keras?" Edrio akhirnya tersadar, mengalihkan pandangan dari Gaura, lalu menunduk ke arah Galen. Suaranya serak saat berbicara. "Tidak apa-apa." Wanita yang sedang dirias oleh Gaura tersenyum sambil menoleh ke arah Edrio. "Sayang, kenapa diam di sana? Mendekatlah. Lihat, Gaura sudah hampir selesai. Sebentar lagi kita siap untuk acara ini." Gaura menelan ludah. Pikirannya berputar cepat. 'Sayang... jadi benar, dia pria itu. Edrio adalah calon tunangan wanita ini.' Edrio berjalan mendekat, langkahnya berat, seperti menahan be
Aula penuh dengan tawa dan obrolan hangat. Prita, yang merupakan tunangan Edrio, berdiri di tengah ruangan, tersenyum lebar sambil menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang mengelilinginya. Gaun panjangnya berkilauan, dan tangannya yang mengenakan cincin pertunangan memegang lengan Edrio dengan posesif. Namun, Edrio tidak sepenuhnya peduli. Tatapannya, meski diarahkan ke tamu-tamu yang berbicara, sesekali melirik ke sudut ruangan tempat Gaura dan Galen berdiri. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan—sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pertama kali ia melihat anak kecil itu. Entah mengapa, dia merasa dekat dengan anak itu. Prita menyadari sikap tunangannya yang tidak biasa. “Sayang,” ujarnya pelan sambil memiringkan kepala. “Apa kau baik-baik saja? Kau terlihat… tidak fokus.” Edrio menoleh, wajahnya datar seperti biasa. “Tidak ada.” “Benarkah?” Priska menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Kau kenapa? Kau biasanya tidak begini.” Edrio menghela napas kecil, mencoba
Pagi itu, rutinitas berjalan seperti biasa. Gaura menyiapkan sarapan sambil memastikan Galen tidak lupa membawa semua perlengkapannya ke sekolah. Namun, pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang Edrio. Pertemuan mereka telah mengguncang ketentraman hidupnya. “Bunda, aku sudah siap!” seru Galen sambil berlari ke meja makan. Gaura menoleh, tersenyum lembut meskipun hatinya gelisah. “Baiklah, habiskan sarapanmu dulu. Setelah itu kita berangkat.” Seperti biasa, ia mengantar Galen ke gerbang sekolah dan memastikan anaknya masuk dengan aman. Setelah melambaikan tangan, Gaura pergi menuju tempat kerjanya, mencoba mengabaikan perasaan ganjil yang tidak mau hilang dari benaknya. Namun, di balik pagar sekolah, seseorang memperhatikan Galen dengan seksama. *** Saat jam istirahat tiba, Galen duduk di taman sekolah. Ia memakan bekalnya dengan santai. Anak-anak lain bermain di sekitar, tetapi Galen memilih duduk sendirian, memperhatikan bunga-bunga yang bermekaran di taman kecil
Edrio kembali ke kantornya dengan langkah berat. Meski ia adalah pria yang dikenal dingin dan fokus, pikirannya kini terasa kacau. Pertemuannya dengan Galen di sekolah tadi meninggalkan kesan mendalam. Wajah anak itu, senyumnya, bahkan caranya berbicara—semuanya terlalu mirip dengan dirinya. Edrio duduk di kursi kulit hitam besar di ruang kerjanya. Jendela besar di belakangnya menyuguhkan pemandangan kota, tetapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mengusap dagunya sambil berpikir keras. “Gaura,” gumamnya pelan. Nama itu terasa begitu akrab, seperti luka lama yang tiba-tiba terbuka kembali. Kantor Edrio yang biasanya sunyi kini dipenuhi aura ketegangan. Tumpukan dokumen di mejanya terlihat berantakan, dan meskipun ia mencoba menyusun strategi dalam pikirannya, semuanya terasa seperti potongan puzzle yang tak cocok satu sama lain. Ia memutuskan untuk menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dekat dengan Gaura. Edrio menekan tombol telepon di mejanya. ”Hubungi Brian s
”Bagaimana ini?” Gaura duduk di ruang tamunya. Pikirannya terus melayang ke pertemuan tak terduga antara Edrio dan Galen. Wajah anak itu sangat mirip dengan Edrio, dan itu membuat Gaura merasa sangat terancam. Gaura tahu bahwa Edrio tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. “Apa yang dia rencanakan? Apakah dia sengaja menemui Galen?” Gaura bergumam sendiri, tangannya sedikit gemetar. Ia memikirkan berbagai cara agar Galen dapat terhindar dari jangkauan Edrio. Ia benar-benar tak ingin mereka menjadi dekat dan menyadari ada sebuah ikatan di antara mereka. Ia takut, takut Galen akan di ambil dari dirinya. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di pikirannya. Tanpa pikir panjang, ia langsung mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang ia percayai. “Mika, aku butuh bantuanmu segera.” Suara Gaura terdengar tegas meski hatinya berdebar. Ia langsung berbicara tanpa basa-basi kepada salah satu asistennya itu. “Gaura, ada apa? Apa yang terjad
Siang itu, di luar gerbang sekolah Galen, Edrio berdiri di dalam mobilnya yang diparkir tidak jauh. Ia mengenakan kacamata hitam, memandang dari kejauhan, memastikan bahwa tidak ada yang menyadarinya. Matanya tertuju pada sosok kecil Galen yang keluar dari gerbang, ditemani oleh Mika. Edrio mengamati setiap langkah anak itu. Galen tampak ceria, berbicara dengan Mika tentang sesuatu yang tampaknya menyenangkan. Tetapi yang menarik perhatian Edrio bukanlah percakapan mereka, melainkan cara anak itu berjalan, senyum yang begitu familier, dan ekspresi wajah yang seolah mencerminkan dirinya sendiri. “Tidak mungkin hanya kebetulan...” gumam Edrio, menggenggam setir mobilnya dengan kuat. Namun, dia tidak mendekat. Dia tahu, jika terlalu gegabah, maka ia akan semakin sulit untuk mendekati anak itu. Oleh karenanya, Edrio memilih untuk tetap diam, membiarkan dirinya menjadi bayangan yang tak terlihat. Tapi dalam hatinya, dia bertekad untuk mencari tahu hal yang membuatnya merasa penasaran
“Apa yang kau temukan?” tanya Edrio tanpa basa-basi, suaranya tenang tapi penuh ketegasan. ”Saya menemukan beberapa hal menarik tentang Gaura. Tapi ada bagian yang terasa… aneh," jawab seorang pria yang merupakan bawahannya sambil menyerahkan sebuah map berisi informasi tentang Gaura. “Aneh bagaimana?” Edrio membuka map tersebut, matanya langsung menyisir halaman-halaman yang penuh dengan informasi. “Setelah dia mengundurkan diri dari posisi bodyguard pribadi anda beberapa tahun lalu, dia menghilang selama beberapa bulan. Tidak ada jejak aktivitas, pekerjaan, atau bahkan keberadaannya. Baru setelah itu dia muncul kembali sebagai penata rias di kota ini.” Edrio menghentikan bacaannya, menatap bawahanya dengan tajam. “Menghilang? Tidak ada jejak sama sekali?” Pria itu mengangguk. “Ya. Saya mencoba melacak aktivitasnya, tapi semuanya tertutup rapat. Seolah-olah dia sengaja menghapus keberadaannya.” Edrio mengetuk meja dengan jarinya, pikirannya berputar cepat. “Apa ada hubu
“Sebagai wanita yang juga bergerak di dunia bisnis kecantikan, aku sangat prihatin dengan kabar ini. Jika benar studio itu menggunakan bahan berbahaya, maka ini sangat berbahaya bagi konsumen. Aku berharap pihak berwenang segera menyelidiki kasus ini agar tidak ada korban lain.” Sialan. Prita tidak hanya menghancurkan Gaura, tetapi juga berpura-pura menjadi pahlawan di depan publik. Jari-jari Edrio menegang, lalu dengan kasar ia meletakkan tablet itu kembali di meja. “Dia benar-benar cari mati.” Tanpa pikir panjang, ia meraih jas hitamnya dan berjalan keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Andre, yang baru saja kembali dari menyelidiki kasus ini, hampir terkejut melihat ekspresi dingin dan mematikan di wajah bosnya. “Tuan, saya baru saja menemukan sesuatu—” “Kita berangkat sekarang,” potong Edrio. “Ke mana, Tuan?” Edrio menatapnya tajam. “Studio Gaura.” **** Di Studio Gaura. Gaura masih berdiri di depan layar ponselnya, wajahnya pucat dan napasnya tidak b
Gaura mengerutkan kening, mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah video yang sudah ditonton oleh jutaan orang. Darahnya seakan berhenti mengalir ketika melihat seorang wanita dengan wajah rusak menangis dan menyebut namanya. Tangan Gaura bergetar saat membaca komentar yang terus mengalir di bawah video itu. “Astaga! Gaura? Aku tidak menyangka produk dari studionya menggunakan bahan berbahaya!” “Ini mengerikan! Aku baru saja menggunakan jasa make-upnya! Harus bagaimana jika wajahku juga hancur!?” “Hati-hati, guys! Jangan tertipu branding studio mahal, ternyata mereka menggunakan bahan murah yang beracun!” Tuduhan… kebohongan… fitnah… Mata Gaura membulat, dadanya terasa sesak. Lisa menggigit bibirnya. “Bu, ini sudah menyebar ke mana-mana. Selebriti dan influencer mulai mengomentarinya. Beberapa bahkan sudah membatalkan janji mereka dengan studio kita.” Gaura mundur selangkah, ponselnya hampir jatuh dari tangannya. Siapa… siapa yang melakukan ini? Perasaannya bergejolak ant
“Pastikan dia berlutut memohon di hadapanku sebelum semuanya berakhir.” Mata Prita berbinar penuh kegilaan. Ketiga pria itu akhirnya setuju. Dengan bayaran sebesar itu, mereka bisa mengatur strategi yang lebih rapi. Setelah mereka pergi, Prita kembali duduk di kursinya. Kali ini, senyum di wajahnya semakin lebar. “Gaura, mari kita lihat seberapa kuat kau bisa bertahan.” Ketiga pria itu akhirnya meninggalkan vila Prita dengan koper berisi uang dalam genggaman mereka. Dengan langkah mantap, mereka berjalan ke mobil hitam tanpa plat yang diparkir di dekat gerbang. Pria bertato, yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka, membuka pintu dan duduk di kursi pengemudi. “Kita mulai dari mana?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil. Pria dengan bekas luka di pipinya, yang duduk di kursi penumpang, menyalakan rokoknya dan menyeringai. “Kita mulai dengan merusak reputasi wanita itu. Tak perlu langsung menyerangnya, kita buat dia hancur dari dalam dulu.” Di kursi belakang, pria berb
'Aku harap, kebahagiaan selalu menyertai kehidupanku setelah ini.' Setelah mengucapkan doa dalam hati, Gaura meniup lilin itu sambil tersenyum lebar. Seluruh studio dipenuhi tepuk tangan dan tawa bahagia. Saat semua orang mulai berkemas untuk pulang, Gaura duduk sendirian di ruang pribadinya, memandangi foto Galen yang tersimpan di ponselnya. Ia merasa begitu bersyukur atas segala hal yang ia miliki saat ini: karier yang berkembang, tim yang mendukung, dan anak yang menjadi cahaya dalam hidupnya. Namun, ia di kejutkan dengan ponselnya yang tiba-tiba berdering dan menampilkan nama yang belakangan ini sering muncul di dalam pikirannya. Gaura terdiam sejenak, hatinya berdebar tak karuan. Ia ragu-ragu, tetapi akhirnya mengangkat panggilan itu. “Halo?” suaranya terdengar lebih lembut dari yang ia inginkan. “Selamat untuk kesuksesan studiomu,” suara berat Edrio terdengar di seberang sana, membuat dada Gaura semakin sesak. Gaura tersentak. “Dari mana kau tahu?” “Aku punya caraku s
”Klien VIP yang datang ini ternyata seorang aktris terkenal!”Mata Gaura melebar. “Benarkah?”Lina mengangguk. “Dan dia bilang dia sangat penasaran dengan hasil riasanmu setelah melihat postingan teman-temannya yang sudah datang ke sini.”Gaura segera melangkah ke ruang rias khusus untuk klien VIP. Di dalam, seorang wanita cantik dengan gaun berkelas duduk dengan anggun di kursi rias, menunggu dengan ekspresi ramah.“Selamat siang, Nona Gaura,” sapanya sambil tersenyum.Gaura mengenalinya dengan baik. Dia adalah seorang aktris yang sering muncul di layar kaca, terkenal dengan kecantikannya dan selera modenya yang luar biasa.“Selamat siang. Suatu kehormatan bagi saya bisa melayani Anda hari ini,” ujar Gaura dengan sopan.Aktris itu tersenyum. “Aku mendengar banyak pujian tentangmu, dan aku ingin mencoba sendiri hasil tanganmu. Aku harap kau bisa membuatku lebih mempesona untuk acara malam ini.”Gaura segera mempersiapkan perlengkapannya dan mulai bekerja. Dengan setiap sentuhan kuas d
“Silakan periksa,” ujar Prita dengan nada percaya diri setelah ia menekan tombol di ponselnya dan dalam hitungan detik, pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam masuk sambil membawa tiga koper besar.Dengan ekspresi datar, dia meletakkan koper-koper itu di atas meja kaca di hadapan tiga pria yang duduk di sofa kulit berwarna gelap.Ketiga pria itu saling bertukar pandang, sebelum akhirnya pria berambut hitam membuka salah satu koper dengan hati-hati. Begitu tutup koper itu terangkat, tumpukan uang seratus dolar yang tersusun rapi menyambut mata mereka.Mata pria berambut hitam itu membesar, sementara pria dengan luka di pipinya bersiul pelan, kagum. Pria ketiga, yang sejak tadi lebih banyak diam, mengulurkan tangan dan meraba lembaran uang itu seolah ingin memastikan bahwa semua ini bukan ilusi.“Ini…” suaranya terdengar setengah berbisik, “benar-benar nyata.”Prita menyeringai. “Seperti yang kukatakan, aku tidak main-main.”Pria berambut hitam menutup k
“Aku ingin Gaura dihancurkan.” Prita memainkan gelas anggurnya, lalu berbisik dengan suara penuh kebencian. Ketiga pria itu bertukar pandang. “Hancurkan dalam arti apa?” tanya pria yang duduk di tengah. Prita menatap mereka dengan tajam. “Aku ingin dia kehilangan segalanya. Bisnisnya, reputasinya, bahkan hidupnya. Aku ingin dia menderita.” Pria berambut hitam itu terkekeh kecil. “Ini bukan tugas yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin.” Prita meletakkan selembar cek kosong di atas meja. “Isi saja jumlahnya sesuka kalian. Aku tidak peduli.” Salah satu pria itu mengambil cek tersebut, menatapnya sejenak, lalu memasukkannya ke dalam jasnya. “Baiklah. Berikan kami informasi lebih lanjut. Kami akan menyusun rencana.” Prita tersenyum penuh kemenangan. “Aku ingin ini dilakukan dengan sempurna. Tidak boleh ada celah sedikit pun,” katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan beracun. Pria-pria itu mengangguk. “Kami akan menghubungimu begitu rencana sudah matang,”
“Apa sekarang aku bisa punya Ayah dan Bunda seperti anak-anak lain?” Suaranya lirih, hampir tidak terdengar, tapi cukup bagi dirinya sendiri untuk merasakan betapa besar harapan yang terselip dalam kata-kata itu. Galen menggigit bibirnya, menahan rasa gembira yang hampir meledak dalam dirinya. Jantungnya berdebar cepat, seolah ia baru saja menemukan hadiah yang telah lama ia impikan. “Apa kita bisa tinggal bersama?” gumamnya lagi, kali ini lebih pelan, seakan takut pertanyaannya akan buyar jika diucapkan terlalu keras. Ia ingin berlari dan memeluk mereka, ingin bertanya apakah benar mereka sudah tidak bertengkar lagi, ingin memastikan apakah mulai sekarang ia bisa hidup bersama mereka berdua. Namun, sesuatu menahannya. Entah kenapa, ia merasa ini bukan saat yang tepat. Ia tidak ingin merusak momen yang sedang terjadi di antara mereka. Maka, dengan langkah hati-hati, Galen membalikkan badan dan berjalan kembali ke kamarnya. Senyum kecil terukir di wajahnya. Ia ingin berbagi keb
"Tunggu!" ujar Gaura. Namun, saat akan mengatakan sesuatu, bibirnya terasa kelu. Edrio membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati Gaura. Tangan besar pria itu juga kembali mencengkram pelan bahu Gaura. "Kau tidak perlu menjawab sekarang," katanya pelan. "Tapi aku berharap, suatu hari nanti, kau akan percaya padaku lagi."Gaura merasakan seluruh tubuhnya menegang. Sentuhan tangan Edrio di bahunya terasa begitu nyata, terlalu nyata. Kata-kata pria itu masih bergema di telinganya, menghidupkan kembali kenangan yang telah lama ia pendam dalam-dalam.Ia mencoba menahan napasnya, mencoba menyangkal bahwa trauma yang selama ini ia tekan telah kembali muncul ke permukaan. Namun, tubuhnya tak bisa berbohong. Matanya mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar, dan sebelum ia bisa menghentikannya, air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya.Edrio melihatnya.Pria itu terkejut, matanya membulat saat menyadari perubahan ekspresi Gaura. Ia tidak pernah melihat wanita ini dalam keadaan seperti ini—b