“Edrio, jangan bicara seperti itu pada Mommy-mu!” Edwin membentak. Ayara menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Kami tidak hanya memikirkan reputasi, Edrio. Tapi ini tentang tanggung jawab. Kalau benar Galen adalah anakmu, kau harus mengambil tanggung jawab atas hidupnya.” “Itulah yang akan kulakukan,” jawab Edrio dengan tegas. “Aku datang ke sini bukan untuk dihakimi. Aku datang karena aku butuh bantuan.” Keduanya terdiam. Suasana di ruang itu terasa mencekam. Edwin akhirnya duduk kembali, wajahnya serius. “Baiklah. Kalau begitu, ceritakan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi dengan... Gaura? Kenapa dia menyembunyikan ini darimu?” Edrio menarik napas dalam. “Aku belum tahu sepenuhnya. Tapi yang aku tahu, Gaura mengundurkan diri dariku dengan alasan kesehatan, lalu pergi ke luar kota. Aku tidak pernah tahu dia hamil, Daddy. Kalau aku tahu, aku pasti akan—” “Melakukan apa?” potong Edwin tajam. “Kau mungkin akan tetap fokus pada kariermu dan melupakan semuany
“Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan meninggalkan Galen. Apa pun yang terjadi," jawabnya dengan menggeleng pelan. Edwin menggelengkan kepalanya dengan frustrasi. “Kau membuat semuanya lebih rumit, Edrio. Tapi jika itu keputusanmu, kami tidak bisa menghentikanmu. Tapi jangan harap semuanya akan berjalan mulus.” Ayara menghela napas panjang, lalu menatap Edrio dengan tatapan penuh kasih sayang meski masih ada sedikit kekecewaan. “Kami tidak akan menghalangimu, Edrio. Tapi pikirkan baik-baik. Jangan sampai kau menyesali keputusan ini nanti.” Edrio mengangguk pelan, menatap kedua orang tuanya dengan penuh tekad. “Terima kasih. Aku tahu ini tidak mudah untuk kita semua, tapi aku harus melakukan ini.” Ayara dan Edwin saling berpandangan, mencoba mencerna keputusan putra mereka. Di dalam hati Edrio, ia tahu bahwa jalan di depannya akan penuh dengan rintangan. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan mundur. Tidak sekarang, tidak setelah mengetahui kebenaran tentan
Gaura bisa merasakan air mata yang hampir muncul di matanya, namun ia berusaha menahannya. “Ya. Saya sangat tahu anda seperti apa. Tapi kini, anda bukan siapa-siapa saya. Jadi tolong, tak perlu membicarakan hak anda.” Edrio menggeleng pelan, mencoba memahami kata-kata Gaura. “Tapi aku memang berhak Gaura. Aku berhak mengetahui apa yang terjadi. Kenapa kamu memutuskan untuk pergi dan menyembunyikan segalanya?” Gaura berdiri, langkahnya cepat dan tegas. “Aku tidak akan memberi anda jawaban, Tuan. Aku sudah membuat keputusan dan itu tidak bisa diubah.” Kemudian, Edrio berdiri di depan Gaura, menatap wanita itu dengan mata yang penuh ketegasan. Hatinya masih bergejolak dengan berbagai perasaan—kecewa, marah, dan entah apa lagi. Ia tahu Gaura ingin menghindarinya, namun kali ini ia tidak akan membiarkan wanita itu melarikan diri. Tanpa kata, Edrio dengan cepat melangkah dan menahan bahu Gaura, menariknya sedikit lebih kuat sehingga wanita itu menatapnya. “Tuan, lepaskan Saya!” Ga
"Gaura, aku...” Edrio terdiam sejenak, kaget mendengar Gaura meluapkan kemarahan seperti itu. Wajahnya yang dingin mulai menunjukkan raut kebingungannya. Gaura mendekat, suaranya semakin keras dan penuh ketegangan. "Kamu tidak tahu, Edrio? Kamu tidak tahu betapa kamu merusak hidupku? Betapa malam itu menghancurkan segalanya? Kamu menjadi perusak dalam hidupku, tanpa izin dan tanpa perasaan, kamu mengambil sesuatu yang telah aku jaga. Kamu… kamu merenggut kesucianku dengan paksa dan memperlakukanku seperti seorang pelacur!" Edrio hanya bisa menatap Gaura dengan tatapan kosong, meskipun hatinya terasa teriris mendengar kata-kata Gaura. "Gaura, aku... aku mengerti... aku tidak tahu harus bagaimana untuk menebus semuanya. Tapi aku hanya ingin semuanya baik-baik saja setelah kita bertemu kembali. Aku hanya ingin..." "Sudah cukup, Edrio!" Gaura mengangkat tangannya, menahan pria itu untuk tidak melanjutkan kata-katanya. “Tidak ada yang bisa baik-baik saja setelah apa yang terjadi. Se
Gaura melangkah mendekat, jarak mereka semakin dekat. "Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan yang sudah terjadi. Kamu mengambil segalanya dari aku malam itu. Aku bahkan tak tahu harus bagaimana menghadapi diriku sendiri setelah itu. Kamu ingin tahu mengapa aku pergi? Karena aku takut, Edrio. Takut kamu akan kembali untuk mengambil lebih banyak lagi!" Edrio menggertakkan giginya, perasaan bersalah dan frustrasi melanda dirinya. Ia mendekat, mencoba menahan emosi yang mulai meledak. “Aku tidak tahu, Gaura! Aku tidak tahu bahwa itu akan jadi seperti ini! Aku bahkan tidak tahu kalau itu mempengaruhi kamu seperti ini. Itu terjadi begitu saja!” Gaura menatap Edrio dengan tatapan yang penuh kekecewaan. “Kamu pikir itu 'terjadi begitu saja'? Kamu pikir itu hanya sebuah kecelakaan? Tidak, Edrio, itu adalah pilihanmu! Kamu memaksaku untuk melakukan hal yang aku tidak ingin lakukan! Aku tidak pernah ingin berada dalam posisi itu!” Edrio merasa ada sebuah ketegangan yang menyesakkan dada.
"Tunggu!" Edrio kembali mengejar langkah Gaura, rasa putus asa meliputi dirinya. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih lengan Gaura sekali lagi, lebih kuat dari sebelumnya. "Kamu tidak bisa terus seperti ini, Gaura! Kamu tidak bisa mengambil semuanya dariku, termasuk Galen. Aku punya hak untuk bertemu anakku!" suaranya bergetar, penuh emosi yang tertahan. Gaura menoleh, kemarahan dan rasa sakit yang tak terperi terpancar dari matanya. "Kamu kehilangan hak itu malam itu, saat kamu menghancurkan hidupku! Kamu tidak pantas menjadi Ayah bagi Galen, sama seperti kamu tidak pantas untuk mendapatkan maaf dariku!" Edrio menggertakkan rahangnya, napasnya memburu. "Galen adalah anakku juga, Gaura! Aku tahu aku salah, aku tahu aku telah menyakitimu, tapi aku tidak bisa membiarkan kamu menjauhkan dia dariku. Aku ingin bertanggung jawab sebagai ayahnya! Aku berhak atas itu!" Gaura tertawa sinis, lalu menggeleng perlahan, air mata terus mengalir di pipinya. "Tanggung jawab? Kamu pikir aku pe
"Ada apa?" jawab Edrio dengan nada datar. Ternyata, Prita mengabari suatu hal yang membuat pria itu harus segera menemuinya. Mau tak mau, akhirnya Edrio pun meninggalkan ruang pribadi milik Gaura tersebut. Beberapa hari kemudian, di sebuah restoran. Restoran mewah itu dipenuhi dengan aroma makanan lezat dan gemerincing suara peralatan makan. Gaura duduk bersama Galen di meja dekat jendela besar yang menghadap ke taman luar. Mereka menikmati makan malam sederhana, meskipun suasana hati Gaura tampak sedikit gelisah. Sejak kejadian terakhir dengan Edrio, pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan yang membuatnya resah. Namun, ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tersenyum di depan Galen. “Bunda, lihat! Ini gambar yang aku buat di sekolah tadi.” Galen dengan bangga menunjukkan sebuah gambar di kertas kepada Gaura. Gambar itu menunjukkan seorang pria, wanita, dan seorang anak kecil yang saling bergandengan tangan. Gaura tersenyum, meskipun hatinya terasa sesak. “Gambar yang
“Entah kenapa, aku merasa Galen itu mirip sekali denganmu! Lucu, kan?” Deg! Edrio, yang awalnya terdiam, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Matanya yang gelap menatap tajam ke arah Prita. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi rahangnya mengeras. Prita, yang tidak menyadari ketegangan yang muncul, melanjutkan dengan nada candaan. “Kau tahu, wajah anak itu benar-benar seperti miniatur dirimu! Kalau aku tidak tahu kau hanya pernah bersamaku selama ini, aku pasti sudah bertanya apakah dia anakmu!” “Prita,” Edrio akhirnya membuka mulut. Suaranya datar, namun ada nada peringatan yang jelas. “Hentikan.” Prita tersentak mendengar nada suaranya yang dingin. Ia menatap Edrio dengan bingung, senyumnya mulai memudar. “Kenapa? Aku hanya bercanda. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?” Namun, Edrio tidak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya, matanya kembali mencari sosok Gaura dan Galen yang kini sudah tidak terlihat di dalam restoran. Napasnya berat, seperti sedang menahan sesuatu. “Edrio,
Dengan tangan terangkat, Edrio memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa dari mereka membawa ke depan bukti-bukti kejahatan Jonathan. Transfer uang ilegal, dokumen palsu, bahkan rekaman percakapan dengan para pihak yang terlibat dalam pengaturan saham. Namun, di saat yang sama, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi. Jonathan menyeringai. Ia meraih mikrofon, dan matanya menyala dengan keputusasaan yang membara. "Kalian pikir bisa menjatuhkan saya dengan cara ini?! Kalian tidak tahu siapa saya sebenarnya! Para investor ini adalah milikku, dan mereka tidak akan pernah percaya pada fitnah kalian!" Tiba-tiba, pintu besar konferensi terbuka dengan keras, dan sejumlah pengawal Jonathan berlari masuk, dengan senjata terhunus. Mereka menuju Edrio dan pasukannya, membentuk formasi pertahanan yang rapat.Sontak, semua yang hadir pun terkejut dan beberapa mulai merasa takut. Sedetik kemudian, para investor ataupun para tamu berlarian untuk menyelamatkan diri. “Lindungi saya!” teriak Jona
"Di sini, di tengah keheningan ini, aku merasa terlindungi.” Edrio menoleh padanya, menatap mata wanita yang kini tak hanya menjadi pasangannya dalam medan pertempuran yang belum usai. “Aku akan melindungimu. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang melindungimu sepenuh hati.” Gaura mengangguk pelan, matanya mulai basah. Malam itu, meskipun dunia di luar masih dipenuhi dengan bahaya, rumah kecil itu menjadi tempat paling hangat di bumi. Di tengah perang rahasia, konspirasi, dan teror, mereka masih bisa tertawa, berpelukan, dan percaya bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang tak bisa disentuh oleh kekuatan jahat sekalipun. Cinta, keberanian, dan harapan. Dan Edrio, di dalam hatinya, bersumpah bahwa ia akan menuntaskan semua ini. Untuk Gaura. Untuk Galen. Untuk rumah yang ingin ia lindungi… selamanya.****Langit mendung menggantung pekat di atas gedung tua yang kini dijadikan markas darurat oleh Edrio. Tak ada papan nama. Tak ada sinyal ponsel yang kuat. Di te
“Itu simbol unit pengawasan pribadi milik Jonathan. 09-17 adalah sandi untuk proyek ‘September Black’—operasi bayangan miliknya dulu saat masih jadi bagian dari jaringan intel investasi gelap di Asia Tenggara.” Gaura menegang. “Kau serius? Jadi dia bukan cuma musuh bisnis biasa?” “Dia lebih dari itu,” kata Edrio. “Dia pernah jadi sekutuku. Salah satu orang terbaik di tim. Sampai akhirnya dia mengkhianati kita semua. Menjual informasi ke pihak asing, memanipulasi laporan keuangan, dan mencoba mencuri investor besar dariku.” Gaura menggeleng pelan, dadanya terasa sesak. “Kenapa aku baru dengar ini sekarang?” “Aku ingin menjauhkanmu dari bahaya,” jawab Edrio. “Tapi sekarang aku sadar, menyembunyikannya darimu malah membuatmu jadi target yang lebih mudah.” Gaura menarik napas dalam. “Lalu apa rencanamu?” Edrio berjalan ke arah jendela, menatap malam yang mulai gelap sempurna. “Kita akan memancingnya keluar. Tapi kali ini, kau tidak akan sendirian.” Ia menoleh ke arah Gaura. “Aku a
Terdengar suara dentuman keras dari halaman belakang. Gaura tersentak. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merunduk dan bergerak menuju sumber suara. Ia mengintip dari celah tirai. Sebuah kursi terjatuh di teras belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Tapi Gaura tahu lebih baik daripada menganggap ini hanya kebetulan. Ia menahan napas dan merapatkan punggungnya ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Ada suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, seperti seseorang berusaha bergerak dalam bayangan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan pencuri biasa. Ini peringatan, pikirnya. Gaura melirik ke cermin yang terletak di sudut ruangan. Cermin itu memantulkan bayangan dari jendela lain—dan di sanalah ia melihatnya. Seseorang berdiri di kebun belakang, mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana. Mengawasi. Dan orang itu, penampilannya mirip dengan sosok mereka temui di sekolah Galen beberapa har
"Sama-sama, Gaura, kapanpun kau butuh bantuanku, aku selalu bersedia," balas sosok itu hingga membuat Gaura tersenyum. **** Beberapa hari kemudian ketika malam hari, ruangan bawah tanah itu hanya diterangi oleh lampu LED redup di langit-langit. Aroma besi dan keringat memenuhi udara. Gaura berdiri tegap di depan papan sasaran, matanya tajam, penuh fokus. Di tangannya, pistol semi-otomatis yang baru saja ia isi pelurunya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat pistolnya dengan gerakan halus dan percaya diri. Dor! Dor! Dor! Tiga peluru menembus sasaran dalam hitungan detik. Tepat di tengah. Gaura tersenyum tipis. "Tanganku masih setajam dulu," gumamnya. Ia menurunkan pistolnya, melepaskan magazin kosong dan menggantinya dengan yang baru dalam satu gerakan cepat. Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia pertarungan, kini ia kembali menyentuh senjata, mengembalikan naluri yang dulu selalu menjadi bagian dari dirinya. Malam ini, ia tidak hanya berlatih. Ia kembali menjadi Gaur
"Tenang. Kau tidak perlu melakukan ini." Edrio mengangkat tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. Pria itu tersenyum miring. "Jonathan mengirim salam, Tuan Edrio." Edrio mengepalkan tangannya. Jadi ini memang ulah Jonathan. Vigo dan anak buah lainnya sudah mengepung lorong, tetapi pria itu tetap memegang pisau di leher Galen. Situasi semakin genting. Gaura berusaha menahan air matanya. "Tolong… jangan sakiti anakku." suaranya nyaris berbisik. Pria itu tertawa pelan. "Lucu sekali. Kau pikir aku peduli?" Dan saat itulah Edrio bergerak. Dalam sekejap, ia melemparkan sebuah benda kecil ke lantai—flash grenade. Blitz! Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Pria itu berteriak, kehilangan keseimbangan sejenak. Dalam sepersekian detik, Edrio melesat maju. Dor! Sebuah tembakan melesat. Gaura memejamkan matanya sejenak, pikirannya langsung membayangkan hal terburuk. Tapi saat ia membuka matanya, ia melihat pria bertopeng itu terjatuh ke lantai, mengg
Edrio terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Kemudian, ia menarik napas dalam dan berkata, "Namanya Jonathan." Gaura mengerutkan kening. "Siapa dia?" Edrio mengalihkan pandangannya ke layar. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang ia sembunyikan dengan susah payah. "Musuhku." Gaura tertegun. "Musuh? Maksudmu bagaimana?" Edrio mengepalkan tangannya, matanya masih terpaku pada rekaman buram di layar. "Dia adalah orang yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tapi dia kembali. Dan dia jelas mengincar kita." Gaura menelan ludah. "Apa dia yang mengirim semua ancaman ini?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Edrio mengangguk. "Aku yakin dia dalangnya. Dan dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Gaura menggigit bibirnya, perasaannya mulai tidak enak. "Dan apa yang dia inginkan?" Edrio menatapnya tajam. "Untuk menghancurkan hidupku." Seolah menjawab perkataan itu, tiba-tiba ponsel Edrio bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor
"Seseorang dengan akses tingkat tinggi masuk ke sistem beberapa menit sebelum CCTV mati. Aku masih mencoba mencari tahu siapa, tapi ini bukan kerjaan orang biasa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan." Vigo menatap mereka dengan ekspresi serius. Gaura mengepalkan tangannya. "Siapa pun dia, mereka pasti ada di sekitar kita. Bisa jadi salah satu karyawan atau seseorang yang sering masuk ke studio." Edrio mengangguk. "Dan mereka juga tahu kapan waktu yang tepat untuk bertindak." Ketegangan memenuhi ruangan itu. Lalu, ponsel Gaura kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Gaura langsung membelalakkan mata ketika melihatnya. "Ya Tuhan…" Edrio dan Vigo segera mendekat untuk melihat. Di layar ponsel, terpampang sebuah foto yang diambil dari jarak jauh. Foto Gaura dan Galen—saat mereka keluar dari rumah pagi tadi. Gaura merasa tubuhnya membeku. "Mereka dimanapun selalu mengawasi kita." Edrio langsung merampas ponsel Gaura dan menatapnya dengan rahang mengeras. "Ini sudah kelew
Gambar di layar mendadak gelap. Gaura menegang. "Apa yang terjadi?" Edrio mengernyit dan mundur beberapa detik sebelum titik mati itu terjadi. Rekaman berjalan lagi—normal. Namun, tepat ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 08.45, layar kembali gelap selama kurang lebih tiga menit, lalu kembali menyala seolah tidak ada yang terjadi. Ketika layar kembali aktif, amplop itu sudah ada di meja resepsionis. Gaura menggigit bibirnya. "Tidak mungkin…" Edrio mencoba mempercepat rekaman, mencari sudut lain dari kamera yang mungkin menangkap kejadian tersebut. Ia memutar ulang rekaman dari kamera yang menghadap pintu masuk studio. Namun, hasilnya sama. Tepat pada waktu yang sama, kamera itu juga mengalami gangguan. "Ini bukan kebetulan," gumam Vigo dari belakang. Gaura menatapnya. "Kau pikir ada yang meretas sistem kita?" Vigo mengangguk. "Seseorang jelas ingin menyembunyikan identitas mereka. Mereka cukup profesional untuk mengetahui cara menonaktifkan CCTV di waktu yang tepat." Ed