“Entah kenapa, aku merasa Galen itu mirip sekali denganmu! Lucu, kan?” Deg! Edrio, yang awalnya terdiam, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Matanya yang gelap menatap tajam ke arah Prita. Ia tidak mengatakan apa-apa, tapi rahangnya mengeras. Prita, yang tidak menyadari ketegangan yang muncul, melanjutkan dengan nada candaan. “Kau tahu, wajah anak itu benar-benar seperti miniatur dirimu! Kalau aku tidak tahu kau hanya pernah bersamaku selama ini, aku pasti sudah bertanya apakah dia anakmu!” “Prita,” Edrio akhirnya membuka mulut. Suaranya datar, namun ada nada peringatan yang jelas. “Hentikan.” Prita tersentak mendengar nada suaranya yang dingin. Ia menatap Edrio dengan bingung, senyumnya mulai memudar. “Kenapa? Aku hanya bercanda. Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?” Namun, Edrio tidak menjawab. Ia hanya mengalihkan pandangannya, matanya kembali mencari sosok Gaura dan Galen yang kini sudah tidak terlihat di dalam restoran. Napasnya berat, seperti sedang menahan sesuatu. “Edrio,
“Ada sesuatu di antara mereka,” gumam Prita setelah keluar dari restoran, Prita masuk ke dalam mobilnya dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Jemarinya mencengkeram erat setir, napasnya berat, dadanya terasa sesak. Tatapan Edrio yang penuh emosi saat menatap Gaura dan Galen tadi terus terngiang di benaknya. Prita tidak bodoh. Selama bertahun-tahun mengenal Edrio, pria itu selalu memiliki kendali atas emosinya. Tapi malam ini? Tidak. Prita bisa melihat ada sesuatu yang Edrio sembunyikan. Sesuatu yang besar. Ia mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah kontak, lalu menekan tombol panggil. “Ya, ada apa?” Suara seorang pria di ujung telepon terdengar dalam dan tenang. “Aku butuh bantuanmu,” kata Prita tanpa basa-basi. “Hm? Apa yang terjadi?” Prita menggigit bibirnya sejenak, mencoba menyusun kata-kata. “Aku ingin kau menyelidiki sesuatu. Tentang Edrio... dan seorang wanita bernama Gaura. Juga anak kecil bernama Galen." Ada jeda sejenak di telepon sebelum seseorang itu menja
"Atau Bunda menyembunyikan sesuatu dariku?" Gaura tersentak. Kata-kata itu begitu tajam, seolah menyayat pertahanannya yang selama ini ia bangun. Tanpa menunggu jawaban, Galen meraih gambarnya yang belum selesai dan berlari menuju kamarnya sendiri, membanting pintu di belakangnya. Gaura terdiam di tempat, merasakan hatinya semakin berat. Ia memijat pelipisnya, menahan perasaan bersalah yang mulai merayap di dadanya. Ia tahu hari itu akan datang—hari di mana Galen mulai mempertanyakan semuanya. Tapi ia belum siap. Ia belum siap menghadapi kenyataan bahwa suatu saat nanti, Galen mungkin akan membenci dirinya karena telah menyembunyikan kebenaran. Di balik pintu kamar, suara isakan kecil terdengar samar. Dan untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, , Gaura kembali merasa benar-benar takut. Gaura duduk di tepi ranjangnya, kepalanya tertunduk, dan bahunya bergetar hebat. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan yang terus mendesak keluar. Namun, pertahanannya runt
Aku sudah membesarkan Galen sendirian, aku sudah melewati semua penderitaan itu... dan sekarang dia datang begitu saja, menuntut sesuatu yang bahkan tidak pernah dia ketahui!" Elia menatap putrinya dengan penuh kelembutan, lalu meraih bahunya kemudian menariknya ke dalam pelukan. Gaura terisak dalam dekapan Ibunya, membiarkan dirinya kembali menjadi anak kecil yang hanya ingin dipeluk dan diyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Nak, aku tahu ini tidak mudah. Aku tahu betapa kerasnya kamu berjuang selama ini. Aku melihat semua luka dan air matamu," ujar Elia pelan, mengelus punggung Gaura dengan lembut. "Tapi kamu tidak bisa membiarkan ketakutanmu mengendalikanmu. Kamu harus menghadapi ini." Gaura menggigit bibirnya, jemarinya mencengkeram erat lengan ibunya. "Aku takut, Bu... Aku takut kehilangan Galen. Aku takut dia akan lebih memilih Edrio daripada aku." Elia menggeleng pelan. "Dengar, Galen tumbuh dengan kasih sayangmu. Dia mengenalmu lebih dari siapa pun. Seorang a
"Edrio, kau pikir ini permainan?!" suara Edwin menggelegar, memenuhi ruangan. Edrio menghentikan langkahnya sejenak, kemudian berbalik untuk menatap Daddynya dengan ekspresi tajam. "Aku tidak pernah menganggap ini sebagai permainan. Tapi aku tidak akan membiarkan bisnis kalian menentukan hidupku!" "Dan kau pikir hidupmu tidak dipengaruhi oleh bisnis keluarga ini?" Ayara menyela dengan suara penuh sindiran. "Kau hidup dalam kemewahan, kau dibesarkan untuk memimpin perusahaan ini. Sekarang, kau ingin menolak semua itu hanya karena seorang anak yang baru saja kau ketahui keberadaannya?!" "Dia anakku, Mom!" Edrio membalas dengan suara penuh tekanan. "Aku tidak bisa mengabaikannya lebih lama lagi!" Ayara menatapnya dengan tajam. "Gaura tidak akan membiarkanmu begitu saja masuk ke dalam kehidupannya, Edrio! Coba kau pikir baik-baik!" Edrio terdiam. Ia tahu Mommynya benar. Gaura tidak akan menerimanya dengan mudah. Bahkan wanita secara terang-terangan menolaknya mentah-mentah. E
"Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu." Edrio mengertakkan giginya. Prita tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di dalamnya. "Oh, aku rasa kau memang perlu. Karena kalau kau tidak menjelaskan sekarang, aku akan mencari tahu dengan caraku sendiri." Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Edrio merasa bahwa Prita bukan hanya masalah kecil yang bisa diabaikan. Dia adalah ancaman nyata. Prita melipat tangan di depan dada, menatap ketiga orang di hadapannya dengan ekspresi penuh selidik. Matanya yang tajam menyapu wajah Edrio, lalu bergeser ke Edwin dan Ayara yang tampak tegang. "Baiklah," Prita akhirnya berkata, suaranya terdengar manis, tetapi ada nada tajam yang terselip di dalamnya. "Aku mengerti kalau kalian semua berusaha menyembunyikan sesuatu. Tapi lucu sekali, ya? Sepertinya aku adalah satu-satunya yang tidak diizinkan tahu." Tidak ada yang menjawab. Prita menghela napas, lalu tersenyum kecil—senyum yang jelas mengandung ejekan. "Kupikir kita sudah bertunan
Sementara itu, di dalam dapur yang hangat dan penuh aroma manis, Gaura tengah sibuk mengaduk adonan kue coklat di sebuah mangkuk besar. Galen berdiri di sampingnya dengan celemek kecil bergambar kartun favoritnya. Wajah anak itu masih sedikit murung, tetapi tangannya tetap sibuk menuangkan tepung dengan hati-hati. Di sudut lain, Elia yang mulai menua tersenyum lembut sambil mengawasi mereka. Ia tahu bahwa putrinya sedang berusaha mengalihkan pikiran Galen dari Edrio, meskipun itu tidak akan semudah yang mereka kira. "Oke, Galen sayang, sekarang kita tuang coklat lelehnya, ya," kata Gaura dengan suara ceria, berusaha membuat suasana tetap ringan. Galen mengangguk, tetapi ia hanya mengaduk perlahan tanpa semangat. Elia melihat itu dan memutuskan untuk ikut berbicara. "Nak, kau tahu tidak? Waktu Bunda masih kecil, Bunda juga sering membantu Nenek membuat kue seperti ini," ucap Elia, mencoba menghangatkan suasana. Galen menatapnya dengan sedikit lebih tertarik. "Benarkah, Nek?
"Ah, aku harus secepatnya melakukan sesuatu." *** Kini, di sebuah sudut kota, di dalam restoran mewah yang sepi pelanggan pada malam hari, seorang pria berpakaian rapi dengan wajah dingin duduk di depan meja, menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang wanita bergaun merah anggun memasuki ruangan. Prita melangkah dengan percaya diri, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang menyiratkan kemenangan. Pria di depannya, yang telah ia tugaskan untuk menyelidiki Gaura dan Galen, menganggukkan kepala dengan hormat sebelum menyerahkan sebuah amplop tebal. "Pekerjaan sudah selesai," katanya datar. "Dan saya yakin informasi ini akan sangat berguna bagi Anda." Prita mengambil amplop itu dengan antusias. Begitu ia membukanya, matanya membesar saat melihat isinya. Ada foto-foto Gaura yang sedang mengandung, catatan medis yang menunjukkan bahwa dia pernah menjalani pemeriksaan kehamilan bertahun-tahun lalu. Tangannya mengepal. Napasnya memburu. "Jadi… benar-benar anaknya?" gumamnya,
Langit biru membentang sempurna di atas gedung berarsitektur klasik yang berdiri megah di pinggir kota. Udara pagi itu sejuk, diselimuti semilir angin yang membawa wangi bunga mawar putih dan lili yang menghiasi setiap sudut halaman. Musik lembut dari gesekan biola mengalun indah, berpadu dengan tawa riang para tamu yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri.Di dalam ruang rias, Gaura duduk di hadapan cermin besar dengan bingkai emas. Gaun putih gading yang membalut tubuhnya begitu anggun, memancarkan keanggunan dan kekuatan seorang wanita yang telah melewati badai dan tetap berdiri tegak.Dari belakang, salah satu asistennya membetulkan veil panjang yang menjuntai dengan indah.“Gaura… kau tampak luar biasa,” bisiknya sambil tersenyum haru.Gaura menoleh sedikit dan membalas dengan senyum yang tenang. “Terima kasih. Aku... sempat berpikir hari ini tak akan pernah datang.”Wanita itu menggenggam tangannya. “Tapi kau di sini sekarang. Kau pantas mendapat kebahagiaan ini.”Sementara
Dengan tangan terangkat, Edrio memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa dari mereka membawa ke depan bukti-bukti kejahatan Jonathan. Transfer uang ilegal, dokumen palsu, bahkan rekaman percakapan dengan para pihak yang terlibat dalam pengaturan saham. Namun, di saat yang sama, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi. Jonathan menyeringai. Ia meraih mikrofon, dan matanya menyala dengan keputusasaan yang membara. "Kalian pikir bisa menjatuhkan saya dengan cara ini?! Kalian tidak tahu siapa saya sebenarnya! Para investor ini adalah milikku, dan mereka tidak akan pernah percaya pada fitnah kalian!" Tiba-tiba, pintu besar konferensi terbuka dengan keras, dan sejumlah pengawal Jonathan berlari masuk, dengan senjata terhunus. Mereka menuju Edrio dan pasukannya, membentuk formasi pertahanan yang rapat.Sontak, semua yang hadir pun terkejut dan beberapa mulai merasa takut. Sedetik kemudian, para investor ataupun para tamu berlarian untuk menyelamatkan diri. “Lindungi saya!” teriak Jona
"Di sini, di tengah keheningan ini, aku merasa terlindungi.” Edrio menoleh padanya, menatap mata wanita yang kini tak hanya menjadi pasangannya dalam medan pertempuran yang belum usai. “Aku akan melindungimu. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang melindungimu sepenuh hati.” Gaura mengangguk pelan, matanya mulai basah. Malam itu, meskipun dunia di luar masih dipenuhi dengan bahaya, rumah kecil itu menjadi tempat paling hangat di bumi. Di tengah perang rahasia, konspirasi, dan teror, mereka masih bisa tertawa, berpelukan, dan percaya bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang tak bisa disentuh oleh kekuatan jahat sekalipun. Cinta, keberanian, dan harapan. Dan Edrio, di dalam hatinya, bersumpah bahwa ia akan menuntaskan semua ini. Untuk Gaura. Untuk Galen. Untuk rumah yang ingin ia lindungi… selamanya.****Langit mendung menggantung pekat di atas gedung tua yang kini dijadikan markas darurat oleh Edrio. Tak ada papan nama. Tak ada sinyal ponsel yang kuat. Di te
“Itu simbol unit pengawasan pribadi milik Jonathan. 09-17 adalah sandi untuk proyek ‘September Black’—operasi bayangan miliknya dulu saat masih jadi bagian dari jaringan intel investasi gelap di Asia Tenggara.” Gaura menegang. “Kau serius? Jadi dia bukan cuma musuh bisnis biasa?” “Dia lebih dari itu,” kata Edrio. “Dia pernah jadi sekutuku. Salah satu orang terbaik di tim. Sampai akhirnya dia mengkhianati kita semua. Menjual informasi ke pihak asing, memanipulasi laporan keuangan, dan mencoba mencuri investor besar dariku.” Gaura menggeleng pelan, dadanya terasa sesak. “Kenapa aku baru dengar ini sekarang?” “Aku ingin menjauhkanmu dari bahaya,” jawab Edrio. “Tapi sekarang aku sadar, menyembunyikannya darimu malah membuatmu jadi target yang lebih mudah.” Gaura menarik napas dalam. “Lalu apa rencanamu?” Edrio berjalan ke arah jendela, menatap malam yang mulai gelap sempurna. “Kita akan memancingnya keluar. Tapi kali ini, kau tidak akan sendirian.” Ia menoleh ke arah Gaura. “Aku a
Terdengar suara dentuman keras dari halaman belakang. Gaura tersentak. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merunduk dan bergerak menuju sumber suara. Ia mengintip dari celah tirai. Sebuah kursi terjatuh di teras belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Tapi Gaura tahu lebih baik daripada menganggap ini hanya kebetulan. Ia menahan napas dan merapatkan punggungnya ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Ada suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, seperti seseorang berusaha bergerak dalam bayangan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan pencuri biasa. Ini peringatan, pikirnya. Gaura melirik ke cermin yang terletak di sudut ruangan. Cermin itu memantulkan bayangan dari jendela lain—dan di sanalah ia melihatnya. Seseorang berdiri di kebun belakang, mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana. Mengawasi. Dan orang itu, penampilannya mirip dengan sosok mereka temui di sekolah Galen beberapa har
"Sama-sama, Gaura, kapanpun kau butuh bantuanku, aku selalu bersedia," balas sosok itu hingga membuat Gaura tersenyum. **** Beberapa hari kemudian ketika malam hari, ruangan bawah tanah itu hanya diterangi oleh lampu LED redup di langit-langit. Aroma besi dan keringat memenuhi udara. Gaura berdiri tegap di depan papan sasaran, matanya tajam, penuh fokus. Di tangannya, pistol semi-otomatis yang baru saja ia isi pelurunya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat pistolnya dengan gerakan halus dan percaya diri. Dor! Dor! Dor! Tiga peluru menembus sasaran dalam hitungan detik. Tepat di tengah. Gaura tersenyum tipis. "Tanganku masih setajam dulu," gumamnya. Ia menurunkan pistolnya, melepaskan magazin kosong dan menggantinya dengan yang baru dalam satu gerakan cepat. Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia pertarungan, kini ia kembali menyentuh senjata, mengembalikan naluri yang dulu selalu menjadi bagian dari dirinya. Malam ini, ia tidak hanya berlatih. Ia kembali menjadi Gaur
"Tenang. Kau tidak perlu melakukan ini." Edrio mengangkat tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. Pria itu tersenyum miring. "Jonathan mengirim salam, Tuan Edrio." Edrio mengepalkan tangannya. Jadi ini memang ulah Jonathan. Vigo dan anak buah lainnya sudah mengepung lorong, tetapi pria itu tetap memegang pisau di leher Galen. Situasi semakin genting. Gaura berusaha menahan air matanya. "Tolong… jangan sakiti anakku." suaranya nyaris berbisik. Pria itu tertawa pelan. "Lucu sekali. Kau pikir aku peduli?" Dan saat itulah Edrio bergerak. Dalam sekejap, ia melemparkan sebuah benda kecil ke lantai—flash grenade. Blitz! Cahaya putih menyilaukan memenuhi ruangan. Pria itu berteriak, kehilangan keseimbangan sejenak. Dalam sepersekian detik, Edrio melesat maju. Dor! Sebuah tembakan melesat. Gaura memejamkan matanya sejenak, pikirannya langsung membayangkan hal terburuk. Tapi saat ia membuka matanya, ia melihat pria bertopeng itu terjatuh ke lantai, mengg
Edrio terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Kemudian, ia menarik napas dalam dan berkata, "Namanya Jonathan." Gaura mengerutkan kening. "Siapa dia?" Edrio mengalihkan pandangannya ke layar. Tatapannya dingin, penuh kemarahan yang ia sembunyikan dengan susah payah. "Musuhku." Gaura tertegun. "Musuh? Maksudmu bagaimana?" Edrio mengepalkan tangannya, matanya masih terpaku pada rekaman buram di layar. "Dia adalah orang yang seharusnya sudah tidak ada lagi dalam hidupku. Tapi dia kembali. Dan dia jelas mengincar kita." Gaura menelan ludah. "Apa dia yang mengirim semua ancaman ini?" tanyanya, meski ia sudah tahu jawabannya. Edrio mengangguk. "Aku yakin dia dalangnya. Dan dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan." Gaura menggigit bibirnya, perasaannya mulai tidak enak. "Dan apa yang dia inginkan?" Edrio menatapnya tajam. "Untuk menghancurkan hidupku." Seolah menjawab perkataan itu, tiba-tiba ponsel Edrio bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor
"Seseorang dengan akses tingkat tinggi masuk ke sistem beberapa menit sebelum CCTV mati. Aku masih mencoba mencari tahu siapa, tapi ini bukan kerjaan orang biasa. Mereka tahu apa yang mereka lakukan." Vigo menatap mereka dengan ekspresi serius. Gaura mengepalkan tangannya. "Siapa pun dia, mereka pasti ada di sekitar kita. Bisa jadi salah satu karyawan atau seseorang yang sering masuk ke studio." Edrio mengangguk. "Dan mereka juga tahu kapan waktu yang tepat untuk bertindak." Ketegangan memenuhi ruangan itu. Lalu, ponsel Gaura kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Gaura langsung membelalakkan mata ketika melihatnya. "Ya Tuhan…" Edrio dan Vigo segera mendekat untuk melihat. Di layar ponsel, terpampang sebuah foto yang diambil dari jarak jauh. Foto Gaura dan Galen—saat mereka keluar dari rumah pagi tadi. Gaura merasa tubuhnya membeku. "Mereka dimanapun selalu mengawasi kita." Edrio langsung merampas ponsel Gaura dan menatapnya dengan rahang mengeras. "Ini sudah kelew