"Aku tidak perlu menjelaskan apa pun padamu." Edrio mengertakkan giginya. Prita tertawa kecil, tetapi ada nada sinis di dalamnya. "Oh, aku rasa kau memang perlu. Karena kalau kau tidak menjelaskan sekarang, aku akan mencari tahu dengan caraku sendiri." Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Edrio merasa bahwa Prita bukan hanya masalah kecil yang bisa diabaikan. Dia adalah ancaman nyata. Prita melipat tangan di depan dada, menatap ketiga orang di hadapannya dengan ekspresi penuh selidik. Matanya yang tajam menyapu wajah Edrio, lalu bergeser ke Edwin dan Ayara yang tampak tegang. "Baiklah," Prita akhirnya berkata, suaranya terdengar manis, tetapi ada nada tajam yang terselip di dalamnya. "Aku mengerti kalau kalian semua berusaha menyembunyikan sesuatu. Tapi lucu sekali, ya? Sepertinya aku adalah satu-satunya yang tidak diizinkan tahu." Tidak ada yang menjawab. Prita menghela napas, lalu tersenyum kecil—senyum yang jelas mengandung ejekan. "Kupikir kita sudah bertunan
Sementara itu, di dalam dapur yang hangat dan penuh aroma manis, Gaura tengah sibuk mengaduk adonan kue coklat di sebuah mangkuk besar. Galen berdiri di sampingnya dengan celemek kecil bergambar kartun favoritnya. Wajah anak itu masih sedikit murung, tetapi tangannya tetap sibuk menuangkan tepung dengan hati-hati. Di sudut lain, Elia yang mulai menua tersenyum lembut sambil mengawasi mereka. Ia tahu bahwa putrinya sedang berusaha mengalihkan pikiran Galen dari Edrio, meskipun itu tidak akan semudah yang mereka kira. "Oke, Galen sayang, sekarang kita tuang coklat lelehnya, ya," kata Gaura dengan suara ceria, berusaha membuat suasana tetap ringan. Galen mengangguk, tetapi ia hanya mengaduk perlahan tanpa semangat. Elia melihat itu dan memutuskan untuk ikut berbicara. "Nak, kau tahu tidak? Waktu Bunda masih kecil, Bunda juga sering membantu Nenek membuat kue seperti ini," ucap Elia, mencoba menghangatkan suasana. Galen menatapnya dengan sedikit lebih tertarik. "Benarkah, Nek?
"Ah, aku harus secepatnya melakukan sesuatu." *** Kini, di sebuah sudut kota, di dalam restoran mewah yang sepi pelanggan pada malam hari, seorang pria berpakaian rapi dengan wajah dingin duduk di depan meja, menunggu seseorang. Tak lama kemudian, seorang wanita bergaun merah anggun memasuki ruangan. Prita melangkah dengan percaya diri, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis yang menyiratkan kemenangan. Pria di depannya, yang telah ia tugaskan untuk menyelidiki Gaura dan Galen, menganggukkan kepala dengan hormat sebelum menyerahkan sebuah amplop tebal. "Pekerjaan sudah selesai," katanya datar. "Dan saya yakin informasi ini akan sangat berguna bagi Anda." Prita mengambil amplop itu dengan antusias. Begitu ia membukanya, matanya membesar saat melihat isinya. Ada foto-foto Gaura yang sedang mengandung, catatan medis yang menunjukkan bahwa dia pernah menjalani pemeriksaan kehamilan bertahun-tahun lalu. Tangannya mengepal. Napasnya memburu. "Jadi… benar-benar anaknya?" gumamnya,
"Aku ingin kau pergi." Prita mencondongkan tubuhnya ke depan. Gaura mengangkat alis. "Pergi?" "Ya," jawab Prita santai. "Aku ingin kau pergi dari hidup Edrio. Pergilah sejauh mungkin, bawa anak itu, dan jangan pernah kembali." Gaura tertawa dingin. "Dan apa yang membuatmu berpikir aku akan menurut?" Prita menyandarkan diri ke meja, tatapannya penuh kesombongan. "Karena aku bisa membuat hidupmu berantakan dalam sekejap, Gaura. Aku punya koneksi, aku punya kekuatan, dan aku punya segalanya yang kau tidak miliki." Gaura mendekat, menatapnya dengan penuh kebencian. "Dengar baik-baik, Prita. Aku tidak butuh Edrio dalam hidupku, apalagi dalam hidup Galen. Jika kau berpikir aku menginginkan pria itu untuk menjadi bagian dari hidupku, kau salah besar." Prita terkekeh. "Oh, sungguh? Tapi nyatanya, kau telah menyembunyikan anak itu selama ini." Gaura mengepalkan tangannya. "Bukan menyembunyikan. Aku melindunginya." Prita menatapnya dengan tajam. "Kau melindunginya? Dari apa? Dar
“Aku… aku baik-baik saja.” Gaura menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mika tidak percaya begitu saja. Ia dengan sigap menarik Gaura ke sofa di ruang pribadinya, memaksanya duduk sebelum berlari ke pantry kecil di sudut ruangan. Tak lama kemudian, Mika kembali dengan segelas air dingin dan menyodorkannya kepada Gaura. “Minumlah dulu. Kau terlihat sangat buruk.” Gaura menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia meneguk air perlahan, merasakan sensasi dinginnya yang sedikit meredakan kegelisahan di dadanya. Mika duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Gaura, aku tidak akan memaksa kau bercerita kalau kau tidak mau. Tapi aku bisa lihat kalau sesuatu yang serius baru saja terjadi. Aku tidak pernah melihatmu sekacau ini sebelumnya.” Gaura menggigit bibirnya, menatap kosong ke depan. Sejujurnya, ia ingin menceritakan semuanya pada Mika. Namun, semakin banyak orang yang tahu, semakin besar risiko yang harus ia tanggung. “Mika… aku hanya mer
“Kau tidak perlu dan berhak datang ke sini dan menuntut hal yang kau inginkan, Edrio.” Edrio terkekeh sinis. “Tidak berhak? Aku adalah Ayah dari anak yang kau sembunyikan selama ini, Gaura! Dan Galen berhak tahu siapa Ayahnya.” Gaura menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk. “Kau tidak tahu apa pun, Edrio. Kau bahkan tidak tahu bagaimana rasanya saat aku sendirian mengandung Galen.” Edrio mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tertahan. “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku? Kau pikir aku tidak akan bertanggung jawab?” Gaura tertawa sinis. “Oh, aku tidak tahu, Edrio. Mungkin karena saat itu kau lebih sibuk mengurusi bisnis dan pekerjaanmu.” Mata Edrio menyipit. ”Itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan.” “Tapi itu tetap saja! Kau tak pernah memikirkanku yang hanya bodyguard-mu, Edrio. Malam itu… hanya kesalahan. Dan aku memutuskan untuk pergi karena aku tahu, aku dan Galen tidak akan pernah menjadi bagian dari hidupmu.” Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Tatapan mere
"Tuan harus sering datang ke rumah, ya!" seru Galen dengan riang, tangannya menarik jas Edrio dengan semangat. Kini, Edrio berdiri di depan pintu rumah Gaura dan telah mengenakan jasnya kembali dengan rapi. Senyum tipisnya masih terpatri, sesuatu yang jarang terjadi, tetapi kali ini, ia tidak bisa menyembunyikannya. Di sampingnya, Galen berdiri dengan mata berbinar, seolah baru saja melewati hari terbaik dalam hidupnya. Gaura, yang berdiri di belakang Galen, menegang mendengar permintaan anaknya. Ia menggigit bibir, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Edrio menatap anak itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sesuatu dalam dirinya menghangat, tetapi ia juga sadar bahwa ini tidak sesederhana keinginan seorang anak. "Mungkin aku bisa mampir lagi. Tapi, apakah boleh?" jawab Edrio sekaligus bertanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Galen segera menoleh ke Gaura, matanya penuh harap. "Boleh, kan, Bunda? Tuan Edrio bermain lagi bersamaku?" Gaura tersentak. Ia
"Suara ini..." gumam Mika sangat pelan. Mika membeku. Ia perlahan menoleh, dan di sana, berdiri Prita dengan tatapan menilai ke arah Galen. Galen memandang Prita dengan rasa penasaran, tapi tidak merasa terancam. "Halo, Tante! Aku Galen!" ucapnya dengan ceria. Prita tersenyum tipis. "Halo, sayang. Aku teman Bundamu." Mika segera berdiri dan menarik Galen ke belakangnya. "Maaf, tapi kami harus pergi." Namun, Prita tetap tersenyum, tatapannya penuh dengan arti yang sulit dibaca. "Santai saja. Aku hanya ingin melihat bocah ini lebih dekat. Lucu sekali… wajahnya benar-benar mirip dengan... seseorang yang sangat aku kenal." Mika menggenggam tangan Galen erat, lalu menatap Prita dengan waspada. "Saya tidak tahu apa yang anda inginkan, tapi sebaiknya Anda pergi sekarang." Prita tertawa kecil. "Aku hanya ingin mengenal calon keluargaku lebih dekat. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?" Mika semakin merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ia tahu ini bukan pertemuan biasa
Suasana di dalam rumah berubah drastis setelah Edrio menunjukkan isi pesan itu pada Gaura. Wajah wanita itu menegang, sementara tangan Elia yang menggenggamnya mulai gemetar. “Ini… ancaman,” gumam Elia dengan suara pelan namun penuh ketakutan. Ayara menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Apa kita harus melibatkan aparat?” tanyanya, meski dari suaranya terdengar jelas bahwa ia juga cemas. Edrio meremas kertas itu di tangannya. Matanya dipenuhi ketajaman, seperti elang yang siap memburu mangsanya. “Tidak. Jika kita langsung melibatkan aparat, mereka mungkin akan bersembunyi dan kita tidak akan pernah tahu siapa dalang sebenarnya.” Edwin mengangguk setuju. “Aku setuju dengan Edrio. Kita perlu tahu siapa yang benar-benar menginginkan pernikahan ini gagal. Jika kita gegabah, mereka bisa saja menghilang dan menyerang dengan cara lain.” Gaura menggigit bibirnya. Ia memandangi Galen yang masih berada dalam pelukannya, anak itu tampak kebingungan dengan situasi yang terjadi.
Brak! Galen yang sedang bermain di lantai langsung tersentak dan berlari ke arah Gaura. Semua orang menoleh ke arah jendela, Edrio pun langsung berdiri, wajahnya berubah serius. “Ada apa itu?” Ayara bertanya panik. Elia juga terlihat cemas, tangannya refleks menggenggam lengan Gaura. Edrio berjalan ke arah pintu dengan langkah waspada, sementara Edwin mengikutinya dari belakang. “Jangan buka pintunya dulu,” perintah Edwin, nada suaranya penuh kewaspadaan. Gaura bangkit berdiri, hatinya mulai dipenuhi rasa tak nyaman. Ia segera membawa Galen lebih dekat padanya, melindungi anak itu di belakang tubuhnya. Edrio melirik ke arah luar dari celah jendela, matanya menyipit tajam. “Ada mobil hitam asing yang terparkir di depan pagar…” gumamnya rendah. Edwin mengernyit. “Mobil siapa?” Belum sempat ada yang menjawab, tiba-tiba terdengar suara derap langkah tergesa-gesa di luar rumah. Lalu, seseorang mulai mengetuk pintu—bukan ketukan biasa, tapi lebih seperti gedoran keras. Dug! Dug!
"Aku berharap..." Gaura hampir menyelesaikan kalimatnya ketika tiba-tiba terdengar suara keras dari dapur. Brak! Semua orang tersentak. Ayara langsung menaruh tangannya di dada, terkejut. “Astaga, suara apa itu?” Elia segera berdiri. “Mungkin kucing liar. Aku akan lihat.”Namun sebelum ia bisa melangkah, seorang pria berbaju hitam muncul dari arah dapur, wajahnya penuh keringat. Ia adalah salah satu pelayan yang bekerja untuk keluarga Edrio. "Maafkan saya, Tuan, Nyonya... saya... saya hanya tidak sengaja menjatuhkan nampan," katanya gugup. Gaura menatap tajam ke arah dapur. “Apa yang kau lakukan di sana?“ Pria itu terlihat semakin gelisah, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mencari jalan keluar. Edrio yang peka terhadap gerak-gerik orang langsung berdiri. “Siapa yang menyuruhmu kemari?” Pria itu menelan ludah. "Aku hanya... hanya ingin memastikan keadaan rumah ini aman..." "Jangan berbohong," suara Edrio kini terdengar jauh lebih dingin. “Aku tida
”Aku akan melakukannya,“ ucap Edrio tegas. **** Kini, Gaura sedang duduk di ruang tamu, menyesap teh hangat sembari memeriksa beberapa berkas yang berkaitan dengan studionya. Setelah kejadian kemarin, ia masih perlu waktu untuk memulihkan reputasi bisnisnya, dan itu bukan hal yang mudah. Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Ia melihat nama yang tertera di layar—Edrio. Gaura menghela napas sebelum mengangkatnya. “Ada apa?” tanyanya langsung. Di seberang telepon, suara Edrio terdengar tenang seperti biasa. “Apa kau ada waktu untuk bicara?” Gaura melirik jam di dinding. “Aku sedang istirahat sebentar. Jadi, cepatlah bicara.” Hening sejenak sebelum Edrio berkata, “Aku akan datang ke rumah bersama kedua orang tuaku.” Gaura tertegun. “Apa?” “Aku ingin melamarmu, Gaura,” lanjut Edrio, suaranya tegas dan tak terbantahkan. “Dan aku ingin melakukannya secara resmi, di hadapan orang tuaku dan Ibumu.” Jantung Gaura seakan berhenti berdetak sesaat. Lamaran? Ia bangkit d
Hari-hari berikutnya, Edrio membuktikan kata-katanya dengan tindakan nyata. Meskipun kesibukannya sebagai CEO menuntut banyak waktu, pria itu selalu menyempatkan diri untuk hadir dalam kehidupan Galen dan Gaura. Pagi hari, sebelum berangkat ke kantor, ia akan mampir ke rumah Gaura untuk memastikan Galen siap berangkat ke sekolah. Jika Gaura terlalu sibuk dengan urusannya sendiri, Edrio akan mengantar Galen secara langsung. Seperti pagi ini, Gaura sedang sibuk mengurus dokumen untuk kembali membuka studionya. “Bunda, aku berangkat!” seru Galen dengan penuh semangat, tas kecilnya sudah tergantung di punggung. Gaura berbalik dan hendak menghampirinya, tapi sebelum ia bisa bergerak, seseorang telah lebih dulu membungkuk di hadapan Galen. “Sudah siap?” Galen mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. “Ayah!” Gaura memandang Edrio yang sudah siap dengan kemeja putih dan jas hitamnya. “Kau mau mengantarnya?” Edrio mengangguk. “Ya. Aku ada rapat nanti pagi, tapi aku masih punya
Setelah membawa belanjaan masuk ke dalam rumah, Gaura menghela napas panjang. Ia memandangi Galen yang masih tertidur di pelukannya, kemudian perlahan membaringkannya di sofa dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Di sisi lain, Edrio sibuk merapikan belanjaan mereka ke meja. Meskipun ia seorang CEO yang terbiasa menyuruh orang lain, pria itu tidak segan untuk turun tangan sendiri. Gaura memperhatikannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika akhirnya mereka duduk di ruang tamu, keheningan menyelimuti mereka untuk beberapa saat. Gaura menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk membuka pembicaraan. “Aku masih belum terbiasa dengan ini,” katanya akhirnya, suaranya sedikit pelan. Edrio menatapnya. “Maksudmu?” “Kau yang tiba-tiba ada di sini, menghabiskan waktu bersama kami… Mengajak Galen berbelanja dan makan siang… Rasanya tidak nyata,” Gaura mengakui. Edrio menyandarkan punggungnya ke sofa, menatap Gaura tanpa terburu-buru. “Kau masih berpikir
Sementara mereka berjalan menuju gerbang sekolah, beberapa orang tua murid yang mengenal Gaura menatapnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang simpati, ada yang penasaran, bahkan ada yang berbisik-bisik. “Dia itu, kan, pemilik studio yang kemarin sempat kena skandal…” “Tapi katanya sudah terbukti tidak bersalah.” “Iya, dan ternyata Ayah dari Galen itu… CEO besar yang terkenal itu.” Gaura menundukkan kepalanya, menahan napas. Ia sudah terbiasa menghadapi berbagai omongan orang, tapi kali ini berbeda. Kali ini, semuanya berhubungan dengan dirinya dan Edrio. “Bunda?” suara Galen menariknya kembali ke realitas. Gaura tersenyum dan mengusap kepala putranya. “Tidak apa-apa, Sayang. Sana masuk, ya. Belajar yang rajin.” Galen mengangguk. “Baik, Bunda!” Anak itu berlari masuk ke dalam sekolah, bergabung dengan teman-temannya. Gaura masih berdiri di tempatnya, memperhatikan putranya dengan tatapan lembut.Beberapa jam kemudian, akhirnya Galen keluar dari gerbang sekolah dengan wajah ceria
Setelah konferensi pers yang mengguncang dunia, Gaura akhirnya tiba di rumahnya dengan kepala penuh dengan berbagai macam pikiran. Ia masih tidak percaya bahwa Edrio telah mengungkapkan semuanya di depan publik—tentang Galen, tentang mereka, dan… tentang pernikahan.Ia menghempaskan tubuhnya di sofa, mencoba mengatur napas dan pikirannya yang masih berantakan. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama karena ibunya, Elia, muncul dari dapur dengan ekspresi serius.“Gaura…” suara lembut Elia memanggilnya.Gaura mengangkat wajahnya, menatap sang ibu yang kini berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Elia dengan nada penuh kekhawatiran.Gaura menghela napas panjang. "Aku… tidak tahu, Bu."Elia mengamati wajah putrinya yang terlihat lelah dan penuh kebingungan. “Aku melihat konferensi pers tadi di televisi. Itu… kejutan besar, Nak.”Gaura memijat pelipisnya. “Aku juga tidak menyangka Edrio akan melakukan hal itu, Bu. Dia mengatakannya begitu saja, di depan
Edrio melirik ke arah Gaura sejenak, lalu kembali menatap ke depan. "Selama ini, banyak yang berspekulasi tentang hubungan antara aku dan Gaura," lanjutnya. "Hari ini, aku akan mengungkapkan kebenarannya." Gaura semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Edrio, tetapi dari cara pria itu berbicara, ia bisa merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Edrio menatap langsung ke arah kamera, memastikan bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya akan terdengar jelas oleh seluruh dunia. "Aku dan Gaura tidak hanya memiliki hubungan bisnis," katanya, suaranya terdengar semakin tegas. "Kami memiliki hubungan yang jauh lebih dalam dari itu. Kami telah memiliki seorang anak bersama." DEG! Gaura merasa jantungnya berhenti sesaat. Apa yang baru saja dia katakan?! Refleks, kepalanya menoleh cepat menatap pria itu yang hanya menampilkan wajah tegas. Ruangan pun langsung meledak dalam kehebohan. Wartawan berteriak-teriak, suara kamera yang memotret semakin riuh, dan bebera