“Aku… aku baik-baik saja.” Gaura menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Mika tidak percaya begitu saja. Ia dengan sigap menarik Gaura ke sofa di ruang pribadinya, memaksanya duduk sebelum berlari ke pantry kecil di sudut ruangan. Tak lama kemudian, Mika kembali dengan segelas air dingin dan menyodorkannya kepada Gaura. “Minumlah dulu. Kau terlihat sangat buruk.” Gaura menerima gelas itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia meneguk air perlahan, merasakan sensasi dinginnya yang sedikit meredakan kegelisahan di dadanya. Mika duduk di sampingnya, menatapnya dengan penuh perhatian. “Gaura, aku tidak akan memaksa kau bercerita kalau kau tidak mau. Tapi aku bisa lihat kalau sesuatu yang serius baru saja terjadi. Aku tidak pernah melihatmu sekacau ini sebelumnya.” Gaura menggigit bibirnya, menatap kosong ke depan. Sejujurnya, ia ingin menceritakan semuanya pada Mika. Namun, semakin banyak orang yang tahu, semakin besar risiko yang harus ia tanggung. “Mika… aku hanya mer
“Kau tidak perlu dan berhak datang ke sini dan menuntut hal yang kau inginkan, Edrio.” Edrio terkekeh sinis. “Tidak berhak? Aku adalah Ayah dari anak yang kau sembunyikan selama ini, Gaura! Dan Galen berhak tahu siapa Ayahnya.” Gaura menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk. “Kau tidak tahu apa pun, Edrio. Kau bahkan tidak tahu bagaimana rasanya saat aku sendirian mengandung Galen.” Edrio mendekat, tatapannya penuh kemarahan yang tertahan. “Lalu kenapa kau tidak memberitahuku? Kau pikir aku tidak akan bertanggung jawab?” Gaura tertawa sinis. “Oh, aku tidak tahu, Edrio. Mungkin karena saat itu kau lebih sibuk mengurusi bisnis dan pekerjaanmu.” Mata Edrio menyipit. ”Itu tidak dapat dijadikan sebuah alasan.” “Tapi itu tetap saja! Kau tak pernah memikirkanku yang hanya bodyguard-mu, Edrio. Malam itu… hanya kesalahan. Dan aku memutuskan untuk pergi karena aku tahu, aku dan Galen tidak akan pernah menjadi bagian dari hidupmu.” Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Tatapan mere
"Tuan harus sering datang ke rumah, ya!" seru Galen dengan riang, tangannya menarik jas Edrio dengan semangat. Kini, Edrio berdiri di depan pintu rumah Gaura dan telah mengenakan jasnya kembali dengan rapi. Senyum tipisnya masih terpatri, sesuatu yang jarang terjadi, tetapi kali ini, ia tidak bisa menyembunyikannya. Di sampingnya, Galen berdiri dengan mata berbinar, seolah baru saja melewati hari terbaik dalam hidupnya. Gaura, yang berdiri di belakang Galen, menegang mendengar permintaan anaknya. Ia menggigit bibir, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Edrio menatap anak itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Sesuatu dalam dirinya menghangat, tetapi ia juga sadar bahwa ini tidak sesederhana keinginan seorang anak. "Mungkin aku bisa mampir lagi. Tapi, apakah boleh?" jawab Edrio sekaligus bertanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Galen segera menoleh ke Gaura, matanya penuh harap. "Boleh, kan, Bunda? Tuan Edrio bermain lagi bersamaku?" Gaura tersentak. Ia
"Suara ini..." gumam Mika sangat pelan. Mika membeku. Ia perlahan menoleh, dan di sana, berdiri Prita dengan tatapan menilai ke arah Galen. Galen memandang Prita dengan rasa penasaran, tapi tidak merasa terancam. "Halo, Tante! Aku Galen!" ucapnya dengan ceria. Prita tersenyum tipis. "Halo, sayang. Aku teman Bundamu." Mika segera berdiri dan menarik Galen ke belakangnya. "Maaf, tapi kami harus pergi." Namun, Prita tetap tersenyum, tatapannya penuh dengan arti yang sulit dibaca. "Santai saja. Aku hanya ingin melihat bocah ini lebih dekat. Lucu sekali… wajahnya benar-benar mirip dengan... seseorang yang sangat aku kenal." Mika menggenggam tangan Galen erat, lalu menatap Prita dengan waspada. "Saya tidak tahu apa yang anda inginkan, tapi sebaiknya Anda pergi sekarang." Prita tertawa kecil. "Aku hanya ingin mengenal calon keluargaku lebih dekat. Tidak ada yang salah dengan itu, kan?" Mika semakin merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Ia tahu ini bukan pertemuan biasa
"Apa?!" Suara Gaura meninggi saat mendengar kabar dari Mika. Ponsel di tangannya hampir terjatuh karena tubuhnya tiba-tiba melemas. "Mika, jangan bercanda! Dimana Galen?!" Di seberang telepon, suara Mika terdengar tersengal dan kacau. "Aku tidak tahu! Aku hanya meninggalkannya sebentar, dan ketika aku kembali, dia sudah tidak ada!" Jantung Gaura berdetak kencang, rasa takut dan panik bercampur menjadi satu. "Cari dia! Cari di setiap sudut sekolah! Aku akan segera ke sana!" Tanpa menunggu lebih lama, Gaura langsung mengambil kunci mobilnya dan berlari keluar rumah. Namun, saat sampai di pintu, ia hampir bertabrakan dengan Elia, yang baru saja keluar dari dapur. "Gaura, apa yang terjadi?" tanya Elia khawatir, melihat ekspresi putrinya yang begitu ketakutan. Gaura menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Bu… Galen... Galen hilang!" Mata Elia membesar, napasnya tercekat. "Apa?!" "Aku harus ke sekolahnya sekarang!" Gaura bergegas keluar, tapi Elia dengan sigap
BOOM! Semua orang menahan napas. Plat nomor mobil itu buram. Tidak terbaca sama sekali. Seolah-olah memang sudah direncanakan agar tak terlacak. Gaura mengepalkan tangan. "Tidak… ini tidak mungkin!" Mika memegang mulutnya dengan tangan gemetar. "Mereka… sepertinya sudah merencanakan ini." Elia menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. "Siapa pun mereka, mereka tahu cara menghilangkan jejak." Kepala sekolah tampak khawatir. "Kami akan segera melaporkan ini ke polisi, dan mereka mungkin bisa membantu melacak mobil itu dengan metode lain." Tapi Gaura tak bisa menunggu. Ia berdiri dengan tubuh bergetar. "Aku tidak bisa diam saja. Aku akan menemukan Galen, bagaimanapun caranya!" Matanya bersinar penuh tekad. Siapa pun penculiknya, mereka tidak akan bisa lari dari Gaura. Di tempat lain… Prita duduk dengan tenang di dalam ruangan gelap, menatap layar laptopnya yang menampilkan rekaman penculikan itu. Ia tersenyum puas. "Permainan baru saja dimulai, Gaura." Pri
"Ini tidak menakutkan sama sekali, tidak seperti di film yang aku lihat," celotehnya sendiri, merasa bosan. Perutnya berbunyi lagi membuatnya menghela napas panjang dan merapatkan jaketnya. "Aku ingin makan kue coklat buatan Bunda," ucapnya lirih. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengabaikan rasa laparnya. Dalam hati, ia berharap seseorang akan segera datang. "Tuan Edrio pasti datang," gumamnya pelan. Entah kenapa, keyakinan itu begitu kuat dalam benaknya. Ia memang belum lama mengenal pria itu, tapi hatinya merasa bahwa Edrio tidak akan membiarkannya sendirian di tempat seperti ini. Sambil menunggu, Galen membaringkan tubuhnya di ranjang. Matanya tetap terbuka, memandang langit-langit kusam dengan lampu redup. "Mungkin kalau aku tidur, waktu akan terasa lebih cepat," pikirnya. Ia menarik selimut tipis di ujung ranjang dan menutup tubuhnya, meskipun baunya apek. "Ih, ini bau sekali," keluhnya, tapi tetap membiarkannya menyelimuti tubuh mungilnya. Sebelum benar-benar te
”Sayang, dengarkan kami. Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih benar. Ini tentang menyelamatkan Galen sebelum terlambat,” ucap Elia sambil meletakkan tangannya di bahu Gaura, mencoba menenangkannya. “ Gaura memejamkan mata erat-erat. Bayangan Edrio muncul di benaknya—pria itu yang selama ini ia coba hindari, pria yang pernah membuatnya terpuruk hingga memilih pergi jauh. Ia tidak ingin memberikan Edrio alasan untuk merasa punya hak lebih atas hidup mereka. Namun, saat itu juga, bayangan Galen terlintas di pikirannya. Anak kecil itu… sendirian, mungkin ketakutan, mungkin kelaparan, mungkin dalam bahaya… Tangannya mengepal lebih erat hingga buku jarinya memutih. Mika mendesah putus asa. “Baiklah, kalau kau tidak mau melakukannya, aku sendiri yang akan menghubungi Edrio.” Gaura sontak menoleh dengan tatapan tajam. “Jangan!” “Terserah! Aku tidak peduli kau marah padaku atau tidak, tapi aku tidak akan duduk diam sementara anakmu—anak kita semua—berada da
"Hmhh.." lenguh Gaura menahan semua sensasi yang tubuhnya rasakan. Edrio menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, kemudian memulai aksinya untuk 'bertarung' dengan Gaura. Di saat mereka berdua tengah saling bertarung di dalam kamar, di sebuah kamar lain tepatnya kamar tidur milik Galen, terdapat bocah itu bersama neneknya. Kamar Galen dihiasi cahaya lampu malam berbentuk bintang-bintang yang memantul di langit-langit. Bocah itu sudah mengenakan piyama bergambar dinosaurus, tapi matanya masih terbuka lebar, tak kunjung mengantuk.Di sebelahnya, Elia—nenek tercintanya—sedang duduk di tempat tidur, membacakan buku dongeng dengan suara lembut. Namun, Galen tampaknya lebih sibuk berpikir daripada mendengarkan cerita.“Nenek…” Galen memanggil dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.“Iya, sayang?” Elia menutup buku dan menoleh penuh perhatian.Galen duduk bersila di tempat tidurnya, alisnya mengernyit lucu. “Kenapa Bunda sama Ayah tidur di hotel? Kenap
“Karena aku takut akan kehilanganmu kalau kau tahu siapa aku dulu… Tapi sekarang, aku lebih takut kehilanganmu kalau aku tetap diam.” Gaura menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. “Kau seharusnya percaya bahwa aku cukup kuat untuk berdiri di sampingmu, bahkan saat yang terburuk sekalipun.” Edrio tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ekspresi damai kembali menghiasi wajahnya. “Maafkan aku, Gaura.” Ia memeluk Gaura erat di hadapan semua tamu. Suasana kembali hangat, bahkan lebih dari sebelumnya. Galen berlari ke arah mereka, memeluk kaki kedua orang tuanya dengan senyum polos dan bahagia. Beberapa detik kemudian, pendeta yang masih berdiri terpaku akhirnya berkata sambil tertawa kecil, “Kalau begitu… bolehkah saya melanjutkan? Saya pikir kita masih punya satu bagian yang tertunda…” Para tamu tertawa dan bersorak. Musik lembut kembali diputar. Edrio dan Gaura berdiri berhadapan lagi, dan kali ini, saat pendeta menyuruh mereka mengucapkan “I do,” keduanya menga
“Matikan itu!" perintahnya ke tim teknis. Tapi layar tidak bergeming. Wanita itu sudah meng-hack sistem sepenuhnya. Gambar berikutnya menunjukkan Edrio sedang berada dalam pertemuan gelap bersama pria-pria bersenjata, membawa koper uang dan dokumen. Kemudian, rekaman suara mulai terdengar—diskusi mengenai distribusi logistik “tak terdaftar” dari pelabuhan. “Jadi… semua ini cuma kedok?” bisik salah satu pejabat tamu yang hadir. Gaura berdiri kaku. Senyumnya lenyap. Matanya tak percaya melihat Edrio di layar. Ia menoleh ke suaminya yang kini menatap layar dengan rahang mengeras. “Edrio…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Apa maksud semua ini?” Edrio menatap Gaura dengan ekspresi bersalah, namun tak gentar. Ia meraih tangannya, tapi Gaura menariknya pelan. “Aku bisa jelaskan.” “Kapan?” suara Gaura kini bergetar. “Kapan kau akan memberitahuku tentang masa lalu ini? Galen... aku harus melindungi dia.” Edrio menarik napas dalam. “Itu sudah lama berlalu. Dan aku keluar dari itu semua s
Langit biru membentang sempurna di atas gedung berarsitektur klasik yang berdiri megah di pinggir kota. Udara pagi itu sejuk, diselimuti semilir angin yang membawa wangi bunga mawar putih dan lili yang menghiasi setiap sudut halaman. Musik lembut dari gesekan biola mengalun indah, berpadu dengan tawa riang para tamu yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri.Di dalam ruang rias, Gaura duduk di hadapan cermin besar dengan bingkai emas. Gaun putih gading yang membalut tubuhnya begitu anggun, memancarkan keanggunan dan kekuatan seorang wanita yang telah melewati badai dan tetap berdiri tegak.Dari belakang, salah satu asistennya membetulkan veil panjang yang menjuntai dengan indah.“Gaura… kau tampak luar biasa,” bisiknya sambil tersenyum haru.Gaura menoleh sedikit dan membalas dengan senyum yang tenang. “Terima kasih. Aku... sempat berpikir hari ini tak akan pernah datang.”Wanita itu menggenggam tangannya. “Tapi kau di sini sekarang. Kau pantas mendapat kebahagiaan ini.”Sementara
Dengan tangan terangkat, Edrio memberi isyarat pada anak buahnya. Beberapa dari mereka membawa ke depan bukti-bukti kejahatan Jonathan. Transfer uang ilegal, dokumen palsu, bahkan rekaman percakapan dengan para pihak yang terlibat dalam pengaturan saham. Namun, di saat yang sama, sesuatu yang lebih menegangkan terjadi. Jonathan menyeringai. Ia meraih mikrofon, dan matanya menyala dengan keputusasaan yang membara. "Kalian pikir bisa menjatuhkan saya dengan cara ini?! Kalian tidak tahu siapa saya sebenarnya! Para investor ini adalah milikku, dan mereka tidak akan pernah percaya pada fitnah kalian!" Tiba-tiba, pintu besar konferensi terbuka dengan keras, dan sejumlah pengawal Jonathan berlari masuk, dengan senjata terhunus. Mereka menuju Edrio dan pasukannya, membentuk formasi pertahanan yang rapat.Sontak, semua yang hadir pun terkejut dan beberapa mulai merasa takut. Sedetik kemudian, para investor ataupun para tamu berlarian untuk menyelamatkan diri. “Lindungi saya!” teriak Jona
"Di sini, di tengah keheningan ini, aku merasa terlindungi.” Edrio menoleh padanya, menatap mata wanita yang kini tak hanya menjadi pasangannya dalam medan pertempuran yang belum usai. “Aku akan melindungimu. Tidak hanya sebagai pasangan, tapi sebagai seseorang yang melindungimu sepenuh hati.” Gaura mengangguk pelan, matanya mulai basah. Malam itu, meskipun dunia di luar masih dipenuhi dengan bahaya, rumah kecil itu menjadi tempat paling hangat di bumi. Di tengah perang rahasia, konspirasi, dan teror, mereka masih bisa tertawa, berpelukan, dan percaya bahwa mereka masih memiliki sesuatu yang tak bisa disentuh oleh kekuatan jahat sekalipun. Cinta, keberanian, dan harapan. Dan Edrio, di dalam hatinya, bersumpah bahwa ia akan menuntaskan semua ini. Untuk Gaura. Untuk Galen. Untuk rumah yang ingin ia lindungi… selamanya.****Langit mendung menggantung pekat di atas gedung tua yang kini dijadikan markas darurat oleh Edrio. Tak ada papan nama. Tak ada sinyal ponsel yang kuat. Di te
“Itu simbol unit pengawasan pribadi milik Jonathan. 09-17 adalah sandi untuk proyek ‘September Black’—operasi bayangan miliknya dulu saat masih jadi bagian dari jaringan intel investasi gelap di Asia Tenggara.” Gaura menegang. “Kau serius? Jadi dia bukan cuma musuh bisnis biasa?” “Dia lebih dari itu,” kata Edrio. “Dia pernah jadi sekutuku. Salah satu orang terbaik di tim. Sampai akhirnya dia mengkhianati kita semua. Menjual informasi ke pihak asing, memanipulasi laporan keuangan, dan mencoba mencuri investor besar dariku.” Gaura menggeleng pelan, dadanya terasa sesak. “Kenapa aku baru dengar ini sekarang?” “Aku ingin menjauhkanmu dari bahaya,” jawab Edrio. “Tapi sekarang aku sadar, menyembunyikannya darimu malah membuatmu jadi target yang lebih mudah.” Gaura menarik napas dalam. “Lalu apa rencanamu?” Edrio berjalan ke arah jendela, menatap malam yang mulai gelap sempurna. “Kita akan memancingnya keluar. Tapi kali ini, kau tidak akan sendirian.” Ia menoleh ke arah Gaura. “Aku a
Terdengar suara dentuman keras dari halaman belakang. Gaura tersentak. Dengan gerakan cepat dan senyap, ia merunduk dan bergerak menuju sumber suara. Ia mengintip dari celah tirai. Sebuah kursi terjatuh di teras belakang, namun tidak ada siapa pun di sana. Tapi Gaura tahu lebih baik daripada menganggap ini hanya kebetulan. Ia menahan napas dan merapatkan punggungnya ke dinding, mendengarkan dengan saksama. Ada suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, seperti seseorang berusaha bergerak dalam bayangan. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ini bukan pencuri biasa. Ini peringatan, pikirnya. Gaura melirik ke cermin yang terletak di sudut ruangan. Cermin itu memantulkan bayangan dari jendela lain—dan di sanalah ia melihatnya. Seseorang berdiri di kebun belakang, mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. Orang itu tidak bergerak. Hanya berdiri di sana. Mengawasi. Dan orang itu, penampilannya mirip dengan sosok mereka temui di sekolah Galen beberapa har
"Sama-sama, Gaura, kapanpun kau butuh bantuanku, aku selalu bersedia," balas sosok itu hingga membuat Gaura tersenyum. **** Beberapa hari kemudian ketika malam hari, ruangan bawah tanah itu hanya diterangi oleh lampu LED redup di langit-langit. Aroma besi dan keringat memenuhi udara. Gaura berdiri tegap di depan papan sasaran, matanya tajam, penuh fokus. Di tangannya, pistol semi-otomatis yang baru saja ia isi pelurunya. Ia menarik napas dalam, lalu mengangkat pistolnya dengan gerakan halus dan percaya diri. Dor! Dor! Dor! Tiga peluru menembus sasaran dalam hitungan detik. Tepat di tengah. Gaura tersenyum tipis. "Tanganku masih setajam dulu," gumamnya. Ia menurunkan pistolnya, melepaskan magazin kosong dan menggantinya dengan yang baru dalam satu gerakan cepat. Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia pertarungan, kini ia kembali menyentuh senjata, mengembalikan naluri yang dulu selalu menjadi bagian dari dirinya. Malam ini, ia tidak hanya berlatih. Ia kembali menjadi Gaur