Berita kejatuhan bisnis Jordan dan Tuan Baldi tersebar luas, dan kabar itu akhirnya sampai ke telinga Erlan. Saat itu, Erlan sedang duduk di kantornya, mendiskusikan strategi bisnis terbaru dengan kedua sepupunya, Vito dan Bara."Bro Erlan, Lo sudah dengar tentang Jordan dan Tuan Baldi?" tanya Vito sambil menyandarkan diri di kursinya.Erlan mengangguk."Ya, gue sudah dengar. Apa mereka benar-benar telah jatuh?"Bara tersenyum penuh arti."Itu semua karena Arjuna. Dia yang merancang rencana untuk menjatuhkan mereka."Apa?”Erlan terkejut mendengar ini. Perasaannya seketika menjadi campur aduk, antara rasa terima kasih dan rasa bersalah. Arjuna telah banyak membantunya, namun dia juga ingat saat-saat marahnya kepada Arjuna.Vito melihat perubahan ekspresi Erlan dan menepuk pundaknya. "Bro Erlan, gue pikir ini saatnya Lo menemui Arjuna. Ucapkan terima kasih padanya dan mungkin ... meminta maaf."Erlan menarik napas dalam. "Kalian benar. Gue sudah terlalu lama menyimpan perasaan bersal
Sore itu, selepas pulang kantor, Erlan merasa gugup dan penuh harap. Dia masih mengingat nasihat sepupunya, Arjuna, yang memintanya untuk mendekati Mitha dengan hati terbuka. Pertengkaran terakhir mereka telah membuat jarak di antara keduanya semakin lebar, terutama setelah Mitha mengalami keguguran. Erlan tahu dia harus memperbaiki hubungan mereka, dan sore ini sang pria bertekad untuk melakukannya.Erlan mengemudi mobilnya menuju rumah orang tuanya, Kediaman Levin, di mana Mitha telah tinggal sejak mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Di kursi penumpang, seikat bunga mawar merah terletak rapi, siap untuk diberikan kepada istrinya sebagai tanda permintaan maaf dan cintanya yang begitu besar untuk Mitha. Saat mobilnya meluncur di jalan, Erlan merasa hatinya, campur aduk antara harapan dan ketakutan. “Apa yang akan aku katakan pada Mitha? Apakah dia akan menerima ku kembali?”Setibanya di rumah, Erlan memarkir mobilnya dan melangkah keluar dengan membawa bunga di tangannya. Rumah
Beberapa waktu yang lalu,Saat mobil sedan mewah milik Opa Robi melaju di jalan berliku menuju Lembang, Bandung, hati Mitha terasa berdebar. Vila pribadi milik Keluarga Levin, mertuanya, menjadi tempat yang akan menjadi pelariannya sementara, tampak semakin dekat. Dengan latar belakang perbukitan yang hijau dan udara yang sejuk, vila itu seolah-olah menyambutnya dengan keheningan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya.Opa Robi menoleh ke belakang, melihat Mitha yang duduk di kursi belakang dengan tatapan kosong. Oma Rini di sampingnya memegang tangannya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Mereka tahu betapa berat beban yang dipikul Mitha saat ini."Vilanya sudah hampir dekat. Sabar ya," ucap Opa Robi, suaranya penuh kasih sayang.Mitha mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya masih terluka. Vila Keluarga Levin, tempat yang diperuntukkan untuk momen liburan keluarga , kini menjadi tempat perlindungannya dari dunia luar. Dari suaminya, Erlan, dan kenangan
Mitha tersenyum lebar ketika mobil yang dikemudikan Ayah Riski, mulai memasuki jalan berliku yang menanjak ke arah desa. Opa Robi yang baik hati itu, meminjam satu mobilnya untuk dipakai oleh keluarga Pak Riski. Pemandangan hijau yang membentang di sekeliling Mitha membuat hatinya terasa ringan. Sudah lama perempuan itu tidak merasakan udara sejuk dan segar seperti ini. Di sebelahnya duduk ibunya, Bunda Luna,juga tampak ceria. Mereka bertiga akhirnya akan menghabiskan waktu bersama di rumah Nenek Remi di sebuah desa yang masih berlokasi di daerah Jawa Barat."Bunda, lihat! Itu kebun teh!" seru Mitha dengan antusias saat mereka melewati deretan tanaman teh yang rapi. "Iya, Mitha. Cantik sekali, ya?" jawab Bunda Luna sambil tersenyum. "Nanti kita bisa jalan-jalan di sana."Tak berapa lama setelah itu, mobil berhenti di depan rumah Nenek Remi, sebuah rumah kayu sederhana tapi hangat. Nenek Remi sudah berdiri di depan pintu, melambaikan tangan dengan semangat. "Selamat datang! Mitha,
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyelimuti langit biru yang cerah, sementara Erlan melajukan mobilnya di jalan berkelok-kelok menuju desa kecil di daerah Jawa Barat. Dia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan pagi, sementara mobilnya meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan dan kebun teh yang membentang di sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak karuan. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam pikirannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melihat Mitha, istrinya. Apa Mitha akan menerimanya kembali, pertanyaan itu terus menghantuinya dari tadi.Sesampainya di desa, Erlan memarkir mobilnya di dekat pasar kecil yang ramai dengan aktivitas pagi. Dia turun dari mobil, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu-ibu yang sedang membawa keranjang belanjaan.“Permisi, Bu. Apa Ibu tahu rumah Nenek Remi?” tanyanya dengan sopan.Ibu itu menatapnya sebentar, kemudian tersenyum. “Oh, Nenek Remi? Tentu saja. Rumahnya ada
Setelah percakapan yang tegang di ruang tamu, Bunda Luna merasakan bahwa Erlan dan Mitha butuh waktu bersama untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka. Dengan suara lembut namun tegas, sang ibu berkata, “Mitha, bawakan koper Erlan ke dalam kamarmu. Ajak dia untuk tidur siang, suamimu pasti lelah setelah perjalanan jauh.”Mitha menatap ibunya sejenak, ada keraguan di matanya. Namun, dia tahu bahwa menolak permintaan ibunya bukanlah pilihan. Mitha menghela napas dan mengangguk. “Baik, Bu.” Kemudian dia beranjak ke arah koper Erlan yang tergeletak di sudut ruangan.Mitha mengangkat koper itu dan berjalan menuju kamarnya. Erlan mengikutinya dengan langkah pelan, rasa canggung jelas terlihat di wajahnya. Mereka berdua diam, hanya terdengar derit langkah mereka yang bergema di lantai rumah Nenek Remi.Begitu tiba di kamarnya, Mitha meletakkan koper Erlan di samping lemari kecil. Kamar itu sederhana, dengan dinding yang dihiasi beberapa foto keluarga dan jendela besar yang menghadap ke keb
Hari demi hari berlalu, dan Erlan tetap tinggal di desa bersama istrinya, Mitha. Sejak kedatangannya, Erlan berusaha keras untuk mendapatkan maaf dari Mitha atas semua kesalahannya di masa lalu. Setiap pagi, Erlan selalu bangun lebih awal dan membantu mertuanya dengan berbagai pekerjaan di desa, mencoba menunjukkan kesungguhannya untuk berubah.Pagi itu, saat sarapan bersama di meja makan yang sederhana, Ayah Riski membuka percakapan tentang bisnis Erlan di Jakarta. "Erlan, bagaimana kabar perusahaanmu di Jakarta? Siapa yang mengurusnya sekarang?"Erlan tersenyum tipis, menyesap kopi hitam yang disajikan oleh Bunda Luna. "Perusahaan saya sekarang dikelola oleh ketiga sepupu saya, Ayah. Arjuna, Vito, dan Bara. Mereka semua sangat kompeten dan sudah lama bekerja bersama saya. Jadi, saya bisa lebih fokus di sini untuk sementara waktu."Ayah Riski mengangguk mengerti. "Bagus kalau begitu. Kamu pasti bisa lebih tenang di sini. Tapi ingat, meskipun kamu sedang di sini, tetap pantau perke
Siang itu, hujan turun dengan derasnya di desa tempat di mana Mitha dan keluarganya tinggal. Saat pulang dari mencari kayu bakar bersama Ayah Riski, Erlan, sang menantu menjadi basah kuyup. Mereka berjalan cepat, mencoba menghindari hujan, akan tetapi tak ada tempat berlindung di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui. Sesampainya di rumah, keduanya seperti baru saja keluar dari sungai.Bunda Luna dan Mitha yang melihat kondisi mereka segera menyuruh keduanya untuk masuk dan mengganti pakaian. "Cepat ganti baju kalian! Jangan sampai sakit," seru Bunda Luna khawatir.Erlan yang biasa tinggal di kota merasa tubuhnya mulai menggigil karena dingin. "Iya, Bunda," jawabnya dengan suara bergetar. Pria itu segera menuju kamar untuk mengganti pakaiannya.Malam harinya, tubuh Erlan mulai menunjukkan tanda-tanda demam. Dia merasa kepalanya berat dan suhu tubuhnya naik dengan cepat.Ketika Mitha masuk ke kamar untuk mengecek keadaannya, dia melihat wajah suaminya pucat dan berkeringat dingin
Sebulan setelah pulang liburan romantis di Gili Trawangan, Mitha mulai merasakan perubahan pada tubuhnya. Awalnya, dia mengira hanya kelelahan biasa, akan tetapi setelah beberapa hari, gejala yang dirasakan olehnya semakin jelas. Perutnya terasa kembung, mual setiap pagi, dan keinginan makan yang tidak biasanya. Mitha pun memutuskan untuk melakukan tes kehamilan dan hasilnya menunjukkan dua garis merah.Dengan hati berdebar, Mitha memanggil suaminya, Erlan. "Mas, kamu bisa ke sini sebentar?" serunya dari dalam kamar mandi.Erlan yang sedang membaca di dalam kamar segera bergegas menuju kamar mandi. "Ada apa, Sayang?"Mitha, dengan senyum lebar dan mata berbinar, lalu mengangkat tes kehamilan itu."Kita akan punya bayi lagi!"“Apa? Jadi hasil goyangan maut yang kita lakukan saat liburan di Pulau Lombok, berhasil, Sayang?” seru Erlan sambil tersenyum bahagia.Erlan menatap tes kehamilan itu, kemudian wajah Mitha, dan seketika kebahagiaan membanjiri hatinya. "Oh Tuhan, Sayangku Mitha!
Pagi itu, mentari baru saja terbit ketika Erlan dan Mitha sedang mempersiapkan keberangkatan mereka ke Gili Trawangan, Lombok. Asher, putra mereka yang baru saja genap berusia dua tahun, sedang asyik bermain dengan mainan favoritnya di ruang keluarga. Wajah mungilnya memancarkan kebahagiaan dan kepolosan masa kanak-kanak. Namun, hari itu berbeda dari biasanya. Erlan dan Mitha berencana akan memberikan adik kepada Asher, dan untuk mewujudkan impian itu, mereka memutuskan untuk pergi berlibur berdua."Sayang, apa sudah siap?" tanya Erlan sembari merapikan koper di depan pintu.Mitha menoleh dan tersenyum, "Sudah, Mas. Kita pamit dulu sama Asher, ya."Mereka berdua lalu berjalan menuju ruang tamu dan mendekati Asher. Mitha mengangkat putra kecilnya dan berkata dengan lembut, "Asher, Mami dan Papi mau pergi sebentar ya. Asher akan main sama Oma Anisa. Janji, kita akan segera kembali."Asher hanya tersenyum dan meraih mainannya. Anisa, ibu dari Erlan, muncul dari dapur dengan senyum ramah
Sembilan bulan telah berlalu sejak Mitha mengetahui bahwa dia hamil. Pagi itu, dia dan Erlan berada di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta, menunggu momen yang telah dinantikan oleh seluruh anggota keluarga selama berbulan-bulan. Mitha sedang bersiap-siap untuk melahirkan bayi laki-laki mereka yang akan diberi nama Asher Levin. Di ruang bersalin, Erlan dengan setia mendampingi istrinya. "Mas Erlan, aku takut," ucap Mitha dengan suara lemah namun penuh harap. Erlan pun menggenggam tangan Mitha erat-erat dan memandangnya dengan penuh kasih, "Kamu pasti bisa melakukannya, Sayang. Aku ada di sini bersamamu. Kita pasti bisa melewati ini bersama. Percaya kepadaku." Mitha mulai merasakan kontraksi yang semakin kuat dan intens. Erlan tetap berada di sampingnya, memberikan dukungan dan kekuatan yang dibutuhkan oleh istrinya. "Tarik napas dalam-dalam, Sayang. Ingat teknik pernapasan yang kita pelajari," tutur Erlan dengan tenang sambil mengelus rambut Mitha. Dokter dan perawat
Pagi itu, sinar matahari yang lembut masuk melalui jendela kamar Erlan dan Mitha, membangunkan mereka dengan hangat. Hari dimulai seperti biasa hingga tiba-tiba Mitha berlari ke kamar mandi dan muntah-muntah. Erlan, yang masih setengah mengantuk, segera terbangun dengan panik.“Mitha, kamu kenapa?” Erlan bertanya dengan cemas sambil mengikuti istrinya ke kamar mandi.Mitha terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. “Aku tidak tahu, Mas. Tiba-tiba saja aku merasa mual.”Erlan dengan cepat mengambil handuk kecil dan membasahinya dengan air dingin, lalu memberikan kepada Mitha. “Ini, coba lap wajahmu. Kita ke rumah sakit sekarang juga, ya?”Mitha mengangguk lemah. “Baik, Mas.”Dalam perjalanan ke rumah sakit, pikiran Erlan dipenuhi dengan berbagai kekhawatiran. Dia terus memegang tangan Mitha, memberikan kekuatan dan dukungan bagi istrinya.“Mas, aku merasa agak lebih baik sekarang,” ucap Mitha mencoba menenangkan suaminya.“Tetap saja, kita perlu memastikan semuanya baik-baik saja. L
Setelah pulang berbulan madu,Pagi itu, suasana di rumah Erlan dan Mitha dipenuhi oleh kegembiraan dan semangat. Mitha sedang bersiap-siap untuk wisuda yang akan diadakan beberapa jam lagi. Hari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Mitha mengenakan kebaya modern berwarna lilac, dipadukan dengan make-up natural yang membuatnya terlihat sangat cantik. Di sebelahnya, Erlan, suaminya, mengenakan setelan jas dengan warna senada, membuat mereka tampak serasi seperti pangeran dan putri kerajaan.“Mitha, Sayangku! Kamu cantik sekali hari ini,” puji Erlan dengan tatapan kagum.Mitha tersenyum,“Terima kasih, Mas. Kamu juga tampan sekali. Terima kasih sudah selalu ada untukku.”“Sudah seharusnya, Sayang. Hari ini adalah hari yang spesial untukmu, aku sangat bangga padamu, Istriku.” jawab Erlan sambil merapikan rambut Mitha yang terurai indah.Di ruang tamu, para orang tua mereka sudah berkumpul. Mami Anisa dan Papi Fred, kedua orang tua Erlan, tampak anggun dan gagah. Kakek dan nenek Erla
Tengah malam di kabin kayu di Lake Tahoe terasa begitu tenang, dengan hanya suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan pinus di luar. Di dalam kabin, kehangatan dari perapian yang masih menyala menciptakan suasana nyaman dan tenang.Namun tiba-tiba saja Erlan terbangun, merasakan kehangatan tubuh Mitha yang sedang tidur di sebelahnya. Sebuah dorongan tiba-tiba muncul dalam dirinya, kerinduan untuk merasakan kedekatan yang lebih erat dengan istrinya.Erlan menatap wajah damai Mitha yang tertidur, rambutnya terurai di atas bantal. Dengan lembut, Erlan mengusap pipi Mitha, dan membangunkannya perlahan."Mitha, Sayang," bisiknya pelan di telinga istrinya.Mitha membuka matanya perlahan, mencoba mengatasi kantuknya. "Ada apa, Mas Erlan?" tanyanya dengan suara lembut, sedikit bingung karena suaminya tiba-tiba membangunkannya di tengah malam itu.Erlan tersenyum, menatap istrinya dengan penuh kasih."Aku merindukanmu, Sayang. Aku ingin kita menikmati malam ini bersama, dan lebih d
Pagi berikutnya, sinar matahari yang cerah kembali membangunkan Erlan dan Mitha di kamar suite mewah mereka di The Ritz-Carlton Hotel. Mereka menikmati sarapan ringan di balkon kamar, dengan pemandangan Kota Los Angeles yang mulai sibuk di bawah sana."Sudah siap untuk petualangan hari ini, Sayang?" tanya Erlan sambil menyeruput kopi hangatnya."Tentu saja, Mas. Aku sungguh tidak sabar untuk melihat Napa Valley dan Big Sur," jawab Mitha dengan tersenyum lebar.“Okay, Cintaku!”Setelah sarapan, Mitha dan Erlan segera berkemas dan bersiap-siap untuk perjalanan panjang menuju Napa Valley. Keduanya menyewa mobil dan meninggalkan Los Angeles, menyusuri jalan bebas hambatan dengan pemandangan indah di sekitar mereka. Perjalanan keduanya diwarnai dengan obrolan ringan dan canda tawa, serta sesekali mobil mereka berhenti untuk menikmati pemandangan.Setelah beberapa jam berkendara, akhirnya Mitha dan Erlan tiba di Napa Valley, yang terkenal dengan kebun anggurnya yang luas dan pemandangan ya
Pagi yang cerah di Kota Los Angeles menyambut Erlan dan Mitha dengan sangat hangat. Sinar matahari mulai menyusup melalui tirai jendela di kamar suite mereka di hotel The Ritz-Carlton, yang membangunkan keduanya dari tidur nyenyak. Erlan terbangun terlebih dahulu, tersenyum melihat wajah damai Mitha yang masih tertidur. Pria itu perlahan bangun dan menuju kamar mandi untuk mengisi bathtub dengan air hangat."Mitha, bangun, Sayang. Ada kejutan kecil untukmu," ucap Erlan sambil membangunkan Mitha dengan lembut.Mitha membuka mata dan tersenyum lebar ketika melihat suaminya. "Apa itu, Mas Erlan?" tanyanya dengan suara yang masih mengantuk."Ayo, kita habiskan pagi ini dengan bersantai di bathtub," jawab Erlan sambil membimbing Mitha menuju kamar mandi.“Ih … nggak mau! Nanti Mas aneh-aneh lagi!” protes Mitha.“Ha-ha-ha. Nggak kok, Sayang. Aku janji. Kita hanya menghabiskan waktu berdua saja. I promise you, Baby!” sahut Erlan.“Ya sudah, kalau begitu aku mau. Ingat janjimu ya, Mas?” tut
Setelah mendapatkan lampu hijau dari istrinya, Erlan pun segera melakukan awal penyerangan di tubuh sang istri.Pria itu mulai mencium dan melahap bibir istrinya dan menikmati manisnya. Mitha juga membalas ciuman dari suaminya walaupun masih terasa kaku.Tangan Erlan sudah tidak tinggal diam, mengelus sekujur tubuh istrinya. Bermain di dua gundukan Mitha yang menjulang tinggi dan terasa kenyal di kedua tangannya.Erlan juga membenamkan bibirnya di leher istrinya dan meninggalkan bekas merah yang banyak di sana.Tubuh Mitha sudah terlihat berantakan saat ini. Akibat ulah Erlan yang ganas. Lidah suaminya terus menjilati area favoritnya di tubuh Mitha.Pria itu pun turut membenamkan bibirnya di puncak gundukan Mitha yang sungguh indah, dan bermain lama dengan lidahnya. Hanya terdengar desahan dari bibir istrinya menahan geli dan hasrat yang semakin membuncah. "Ah ... Mas ... ah!" Tangan Mitha mulai sibuk menarik-narik rambut suaminya dan meremasnya kuat.Dia pun mendesis berkali-kali