Sore itu, selepas pulang kantor, Erlan merasa gugup dan penuh harap. Dia masih mengingat nasihat sepupunya, Arjuna, yang memintanya untuk mendekati Mitha dengan hati terbuka. Pertengkaran terakhir mereka telah membuat jarak di antara keduanya semakin lebar, terutama setelah Mitha mengalami keguguran. Erlan tahu dia harus memperbaiki hubungan mereka, dan sore ini sang pria bertekad untuk melakukannya.Erlan mengemudi mobilnya menuju rumah orang tuanya, Kediaman Levin, di mana Mitha telah tinggal sejak mereka memutuskan untuk tidur terpisah. Di kursi penumpang, seikat bunga mawar merah terletak rapi, siap untuk diberikan kepada istrinya sebagai tanda permintaan maaf dan cintanya yang begitu besar untuk Mitha. Saat mobilnya meluncur di jalan, Erlan merasa hatinya, campur aduk antara harapan dan ketakutan. “Apa yang akan aku katakan pada Mitha? Apakah dia akan menerima ku kembali?”Setibanya di rumah, Erlan memarkir mobilnya dan melangkah keluar dengan membawa bunga di tangannya. Rumah
Beberapa waktu yang lalu,Saat mobil sedan mewah milik Opa Robi melaju di jalan berliku menuju Lembang, Bandung, hati Mitha terasa berdebar. Vila pribadi milik Keluarga Levin, mertuanya, menjadi tempat yang akan menjadi pelariannya sementara, tampak semakin dekat. Dengan latar belakang perbukitan yang hijau dan udara yang sejuk, vila itu seolah-olah menyambutnya dengan keheningan dan ketenangan yang sangat dibutuhkannya.Opa Robi menoleh ke belakang, melihat Mitha yang duduk di kursi belakang dengan tatapan kosong. Oma Rini di sampingnya memegang tangannya dengan lembut, memberikan dukungan tanpa kata-kata. Mereka tahu betapa berat beban yang dipikul Mitha saat ini."Vilanya sudah hampir dekat. Sabar ya," ucap Opa Robi, suaranya penuh kasih sayang.Mitha mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya masih terluka. Vila Keluarga Levin, tempat yang diperuntukkan untuk momen liburan keluarga , kini menjadi tempat perlindungannya dari dunia luar. Dari suaminya, Erlan, dan kenangan
Mitha tersenyum lebar ketika mobil yang dikemudikan Ayah Riski, mulai memasuki jalan berliku yang menanjak ke arah desa. Opa Robi yang baik hati itu, meminjam satu mobilnya untuk dipakai oleh keluarga Pak Riski. Pemandangan hijau yang membentang di sekeliling Mitha membuat hatinya terasa ringan. Sudah lama perempuan itu tidak merasakan udara sejuk dan segar seperti ini. Di sebelahnya duduk ibunya, Bunda Luna,juga tampak ceria. Mereka bertiga akhirnya akan menghabiskan waktu bersama di rumah Nenek Remi di sebuah desa yang masih berlokasi di daerah Jawa Barat."Bunda, lihat! Itu kebun teh!" seru Mitha dengan antusias saat mereka melewati deretan tanaman teh yang rapi. "Iya, Mitha. Cantik sekali, ya?" jawab Bunda Luna sambil tersenyum. "Nanti kita bisa jalan-jalan di sana."Tak berapa lama setelah itu, mobil berhenti di depan rumah Nenek Remi, sebuah rumah kayu sederhana tapi hangat. Nenek Remi sudah berdiri di depan pintu, melambaikan tangan dengan semangat. "Selamat datang! Mitha,
Pagi itu, sinar matahari yang hangat menyelimuti langit biru yang cerah, sementara Erlan melajukan mobilnya di jalan berkelok-kelok menuju desa kecil di daerah Jawa Barat. Dia melirik arlojinya yang menunjukkan pukul delapan pagi, sementara mobilnya meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan dan kebun teh yang membentang di sepanjang jalan. Sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak karuan. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam pikirannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia melihat Mitha, istrinya. Apa Mitha akan menerimanya kembali, pertanyaan itu terus menghantuinya dari tadi.Sesampainya di desa, Erlan memarkir mobilnya di dekat pasar kecil yang ramai dengan aktivitas pagi. Dia turun dari mobil, menarik napas dalam-dalam, dan memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu-ibu yang sedang membawa keranjang belanjaan.“Permisi, Bu. Apa Ibu tahu rumah Nenek Remi?” tanyanya dengan sopan.Ibu itu menatapnya sebentar, kemudian tersenyum. “Oh, Nenek Remi? Tentu saja. Rumahnya ada
Setelah percakapan yang tegang di ruang tamu, Bunda Luna merasakan bahwa Erlan dan Mitha butuh waktu bersama untuk mencoba memperbaiki hubungan mereka. Dengan suara lembut namun tegas, sang ibu berkata, “Mitha, bawakan koper Erlan ke dalam kamarmu. Ajak dia untuk tidur siang, suamimu pasti lelah setelah perjalanan jauh.”Mitha menatap ibunya sejenak, ada keraguan di matanya. Namun, dia tahu bahwa menolak permintaan ibunya bukanlah pilihan. Mitha menghela napas dan mengangguk. “Baik, Bu.” Kemudian dia beranjak ke arah koper Erlan yang tergeletak di sudut ruangan.Mitha mengangkat koper itu dan berjalan menuju kamarnya. Erlan mengikutinya dengan langkah pelan, rasa canggung jelas terlihat di wajahnya. Mereka berdua diam, hanya terdengar derit langkah mereka yang bergema di lantai rumah Nenek Remi.Begitu tiba di kamarnya, Mitha meletakkan koper Erlan di samping lemari kecil. Kamar itu sederhana, dengan dinding yang dihiasi beberapa foto keluarga dan jendela besar yang menghadap ke keb
Hari demi hari berlalu, dan Erlan tetap tinggal di desa bersama istrinya, Mitha. Sejak kedatangannya, Erlan berusaha keras untuk mendapatkan maaf dari Mitha atas semua kesalahannya di masa lalu. Setiap pagi, Erlan selalu bangun lebih awal dan membantu mertuanya dengan berbagai pekerjaan di desa, mencoba menunjukkan kesungguhannya untuk berubah.Pagi itu, saat sarapan bersama di meja makan yang sederhana, Ayah Riski membuka percakapan tentang bisnis Erlan di Jakarta. "Erlan, bagaimana kabar perusahaanmu di Jakarta? Siapa yang mengurusnya sekarang?"Erlan tersenyum tipis, menyesap kopi hitam yang disajikan oleh Bunda Luna. "Perusahaan saya sekarang dikelola oleh ketiga sepupu saya, Ayah. Arjuna, Vito, dan Bara. Mereka semua sangat kompeten dan sudah lama bekerja bersama saya. Jadi, saya bisa lebih fokus di sini untuk sementara waktu."Ayah Riski mengangguk mengerti. "Bagus kalau begitu. Kamu pasti bisa lebih tenang di sini. Tapi ingat, meskipun kamu sedang di sini, tetap pantau perke
Siang itu, hujan turun dengan derasnya di desa tempat di mana Mitha dan keluarganya tinggal. Saat pulang dari mencari kayu bakar bersama Ayah Riski, Erlan, sang menantu menjadi basah kuyup. Mereka berjalan cepat, mencoba menghindari hujan, akan tetapi tak ada tempat berlindung di sepanjang jalan setapak yang mereka lalui. Sesampainya di rumah, keduanya seperti baru saja keluar dari sungai.Bunda Luna dan Mitha yang melihat kondisi mereka segera menyuruh keduanya untuk masuk dan mengganti pakaian. "Cepat ganti baju kalian! Jangan sampai sakit," seru Bunda Luna khawatir.Erlan yang biasa tinggal di kota merasa tubuhnya mulai menggigil karena dingin. "Iya, Bunda," jawabnya dengan suara bergetar. Pria itu segera menuju kamar untuk mengganti pakaiannya.Malam harinya, tubuh Erlan mulai menunjukkan tanda-tanda demam. Dia merasa kepalanya berat dan suhu tubuhnya naik dengan cepat.Ketika Mitha masuk ke kamar untuk mengecek keadaannya, dia melihat wajah suaminya pucat dan berkeringat dingin
Setelah mendapatkan persetujuan dari istrinya. Erlan pun mulai melucuti pakaian Mitha satu persatu tanpa sehelai benangpun. Dengan berani sang istri juga melakukan hal yang sama mulai membuka kancing kemeja suaminya. Keduanya saling memandang. “Aku sangat mencintaimu, Mitha Alena!” tutur Erlan yang telah diliputi kabut hasrat yang semakin membara. “Aku juga sangat mencintaimu, Erlan Levin,” sahut Mitha.Lalu Erlan pun segera mengecup bibir istrinya yang sungguh begitu menggoda hatinya. Mitha juga ikut membalas pagutan bibir suaminya di atas bibirnya.Tangan Erlan tak tinggal diam mulai bergerak sana-sini menyentuh setiap area favoritnya di atas tubuh istrinya.Jari-jari Erlan yang lihai mulai menyentuh pucuk bukit kembar istrinya yang berwarna pink kecoklatan, secara bergantian. “Ah … Mas Erlan!” satu desahan lolos dari bibir Mitha yang mungil.Sementara lidah Erlan yang lihai mulai menjilati area wajah istrinya, telinga sampai ke leher. Sang pria bahkan sampai meninggalkan bebera