“Bagas, kamu ada di sini juga rupanya?” sapa Santi tanpa menatap pada Armila.“Iya, aku sedang mengantar istriku periksa ke dokter kandungan. Kamu sendiri sedang apa di sini? Periksa kandungan juga, iya?” sahut Bagas dengan senyuman.Armila yang tiba-tiba saja merasa sensitif, merasa kesal karena Santi sama sekali tak menganggap dirinya ada. Wanita itu hanya menyapa Bagas dan tak sedikit pun menoleh padanya. Sehingga dia pun merasa...cemburu.“Aku periksa kandungannya sudah minggu lalu. Alhamdulillah, anakku kondisinya baik. Keponakan kamu ini aktif banget lho, Gas. Mau pegang, nggak? Ini dia sedang gerak-gerak. Mungkin tahu kalau aku sedang ngomong sama om nya,” sahut Santi masih dengan senyumannya.Armila yang sudah merasa kesal pada Santi, lantas memegangi tangan Bagas seraya berkata, “Mas, kita kan mau menebus obat. Sekarang cepetan yuk, kita ke apotek. Biar cepat pulang. Aku mau istirahat.”“Ok.”Bagas lalu menoleh pada Santi. “San, kita ke apotek dulu, ya. Bagus deh kalau anak k
“San, semoga kamu dan bayinya nggak ada masalah apa pun, ya. Aku pergi dulu ya, bye,” imbuh Armila.Tanpa menunggu lama, Armila lantas meninggalkan Santi yang masih cemberut.“Ayo, kita ke apotek sekarang, Mas! Santi sudah aman kok sama sekuriti. Dia diantar ke poli kandungan, untuk diperiksa kondisinya karena tadi perutnya sakit, katanya,” ajak Armila, yang menekankan kalimatnya di kata yang paling akhir.Bagas terkekeh mendengar penuturan istrinya. “Katanya ya, Dek.”“Hu’um. Masak dia bilang perutnya sakit karena anaknya minta dielus sama kamu. Itu sih bukan anaknya kali, tapi ibunya!” sahut Armila kesal.“Sudah...sudah, ibu hamil dilarang kesal. Yang penting sekarang kan Santi sudah ke poli kandungan. Ya, kita lanjut ke apotek,” sahut Bagas, yang diangguki oleh sang istri.Sementara itu, Santi tampak mengepalkan kedua tangannya karena menahan amarah. Sebelum tiba di poli kandungan, tiba-tiba dia mengangkat tangannya. Membuat sekuriti menghentikan laju kursi roda yang sedang didoron
Armila terdiam sejenak. Dia sebenarnya tak ingin apa-apa. Makanya bingung juga saat sang mama menawarkan sesuatu padanya. Dia kini tak merasakan apa-apa. Pusing dan mual pun mendadak hilang.Bagas yang mendengar tawaran sang ibu mertua, tiba-tiba mencolek lengan Armila.“Dek, Mas kok tiba-tiba mau asinan buah dan rujak, ya. Bilang sama mama deh kalau kamu ingin dua-duanya. Kalau kamu nggak mau, biar Mas yang makan,” pinta Bagas dengan wajah memelas.Armila dan Hesti sontak mengerutkan keningnya. Mereka menatap heran pada Bagas.Setelah berkata, Bagas tiba-tiba merasa mual dan segera berlari ke arah toilet. Lalu memuntahkan isi perutnya di sana.‘Aku yang hamil, kenapa Mas Bagas yang muntah?’ ucap Armila dalam hati.Armila yang cemas dengan kondisi suaminya, lantas berbicara pada sang mama yang masih menunggu di seberang sana. “Ma, aku mau dua-duanya deh. Tapi maaf, teleponnya langsung aku tutup karena Mas Bagas mual dan muntah-muntah. Mungkin masuk angin.”“Masuk angin? Mual dan munta
Hesti yang khawatir terhadap anak sulungnya, lantas meletakkan punggung tangannya di kening Bagas.“Normal kok, nggak panas. Tapi, coba dipanggil dokter keluarga. Biar diperiksa kondisi Bagas. Coba kamu telepon dokter, Armila!” titah Hesti, yang diangguki oleh sang menantu.Sementara Armila menelepon dokter keluarga, Bagas menyuruh asisten rumah tangga untuk menyingkirkan nasi dari piringnya. Selanjutnya, dia makan sayur dan lauk pauk plus buah.Hesti hanya geleng-geleng kepala melihat ulah anaknya itu.Tiga puluh menit kemudian, dokter keluarga pun tiba dan langsung memeriksa Bagas.“Mas Bagas sehat kok. Semuanya normal. Perutnya juga nggak kembung, yang artinya asam lambungnya normal. Mulai kapan mual-mual dan pusing?”“Mulai siang ini, Dok. Tepatnya setelah dari rumah sakit. Saya sendiri bingung juga dengan kejadian ini yang nggak biasanya. Tadi pagi, Mas Bagas sarapan nasi goreng, nggak masalah. Kenapa siang ini mual saat menghirup aroma nasi? Padahal saya yang hamil, tapi dia yan
“Memang dilema juga ya, Pak. Dari tadi memang istri Bapak selalu menanyakan perihal Bapak dan anaknya. Menurut saya, untuk saat ini sebaiknya Bapak jangan mengatakan dulu perihal anak Bapak. Kalau Bu Dewi tahu yang sebenarnya, bisa dipastikan akan syok dan itu tentu saja akan mengganggu kesehatannya yang belum pulih benar. Jadi beri saja alasan bahwa sekarang anak Bapak sedang tidak ada di Jakarta,” sahut dokter panjang lebar.Haryo pun manggut-manggut seraya berkata, “Baik, saya akan ikuti saran Dokter. Oh ya, bagaimana dengan perkembangan kesehatan istri saya, Dok?”Dokter Wahyu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Haryo.“Seperti yang Pak Haryo ketahui, kalau tumor yang ada di tubuh Bu Dewi sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Tapi tadi setelah saya periksa, ada kemajuannya meski sedikit. Jadi sekarang istri Bapak sudah dipindah ke ruang rawat. Perbanyak doa saja, Pak, semoga Bu Dewi diberi kesembuhan. Kami di sini akan berusaha semaksimal mungkin, tapi semua kan
Hesti mengangguk sambil tersenyum. “Bisa. Oh iya, aku mau kasih kabar baik. Aku sebentar lagi mau tambah cucunya. Nanti kalau kamu sudah sembuh, main ke rumahku. Aku kenalkan dengan istrinya Bagas.”“Iya, Mbak. Semoga aku cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah secepatnya.”“Aamiin. Sudah dulu ya, Dew. Aku mau terapi dulu. Itu terapisnya sudah datang,” ucap Hesti.“Ok, Mbak.”Setelah itu, sambungan video call tersebut pun berakhir. Bersamaan dengan berakhirnya video call tersebut, terdengar notifikasi pesan masuk dari relasi bisnis Haryo.Dewi pun seketika membuka dan membaca isi pesan tersebut.[Pak Haryo, saya turut berduka cita atas meninggalnya anak Bapak, Bara. Saya baru tahu hari ini, setelah anak saya memberitahu perihal kematian Bara. Maklum ya, Pak, selama beberapa bulan ini saya berada di Amerika. Sekali lagi, saya dan istri mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadah Bara diterima oleh Allah SWT, dan tenang di alam sana. Aamiin.]Tangan Dewi gemetar hebat s
“Alhamdulillah, akhirnya Bu Astuti mau punya cucu juga kayak teman-temannya,” sahut si bibi, yang diangguki oleh Astuti.“Iya dong, Bi. Memangnya mereka saja yang bisa punya cucu. Saya juga bisa,” sahut Astuti jumawa. Setelah berkata, dia lalu melenggang pergi meninggalkan dapur menuju ke kamarnya. Tak lupa, dia pun mengirim pesan pada Armila kalau pesanannya sudah jadi dan siap diantar.[Ya sudah, nanti sopir Mas Bagas yang akan jemput Mama. Aku juga kangen sama Mama. Nanti yang lama ya di sini nya. Kebetulan ini Mas Bagas sedang teler, Ma. Aku yang hamil, tapi dia yang pusing dan mual. Memang suami keren dia. Sayang banget sama istrinya, sampai pusing dan mual pun dia wakili.]Astuti mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Armila.“Bagas yang ngidam? Wih, enak dong itu si Mila. Ngidamnya diwakilkan. Untung aku dulu merestui Bagas sebagai menantu. Nggak salah juga kan aku memberi restu. Orangnya baik, sayang dan cinta sama anakku. Pastinya, dia ternyata bukan sopir biasa. Ta
“Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda