“Alhamdulillah, akhirnya Bu Astuti mau punya cucu juga kayak teman-temannya,” sahut si bibi, yang diangguki oleh Astuti.“Iya dong, Bi. Memangnya mereka saja yang bisa punya cucu. Saya juga bisa,” sahut Astuti jumawa. Setelah berkata, dia lalu melenggang pergi meninggalkan dapur menuju ke kamarnya. Tak lupa, dia pun mengirim pesan pada Armila kalau pesanannya sudah jadi dan siap diantar.[Ya sudah, nanti sopir Mas Bagas yang akan jemput Mama. Aku juga kangen sama Mama. Nanti yang lama ya di sini nya. Kebetulan ini Mas Bagas sedang teler, Ma. Aku yang hamil, tapi dia yang pusing dan mual. Memang suami keren dia. Sayang banget sama istrinya, sampai pusing dan mual pun dia wakili.]Astuti mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Armila.“Bagas yang ngidam? Wih, enak dong itu si Mila. Ngidamnya diwakilkan. Untung aku dulu merestui Bagas sebagai menantu. Nggak salah juga kan aku memberi restu. Orangnya baik, sayang dan cinta sama anakku. Pastinya, dia ternyata bukan sopir biasa. Ta
“Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda
Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel
“Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka
Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na
Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar
“Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant
“Mila! Sampai kapan kamu mau terus begini, hah?!” ucap sang ibu dengan nada tinggi ketika Mila baru selesai salat subuh, dan sedang melipat mukenanya.“Maksud Mama, apa? Memangnya aku kenapa sih, Ma?” tanya Armila bingung.“Masih tanya lagi kamu. Eh, Mila, ingat dong kalau usia kamu ini sudah nggak muda lagi. Beberapa bulan lagi sudah berubah jadi kepala tiga itu usia kamu. Jangan terlalu santai dong. Cari pacar gitu kek. Jangan keenakan kerja jadi lupa cari jodoh! Mama malu kalau setiap arisan selalu ditanya kapan mantu, sedangkan teman-teman kamu sudah pada punya anak. Lagi pula apa kamu nggak kasihan sama adik kamu? Karena nggak mau duluin kamu, si Anggi jadi menunda saat Reza mau melamar dia. Kalau kamu ingin jadi perawan tua, ya sendiri saja. Jangan sampai si Anggi juga ikutan jadi perawan tua! Sekarang gigih dong cari pacar, Mil!” cecar Astuti-ibunda Armila.“Kenapa juga si Anggi menunda lamaran Reza? Kalau mau nikah, ya nikah saja sih. Jangan aku yang dijadikan alasan, Ma,” sah