“Dok, tolong ke ruang ICU!” ucap suster panik.Dokter pun langsung berjalan cepat menuju ke ruang ICU, di mana Bara dirawat. Sedangkan Bagas dan Haryo hanya terpaku di tempat mereka berdiri. Sedang Armila hanya bisa memegang lengan suaminya.“Dek, kamu sebaiknya makan dulu di kantin. Sendirian nggak apa, ya. Aku harus menemani ayah di sini,” bisik Bagas, setelah sadar kalau istrinya kini tengah menahan lapar.“Laparku sudah hilang, Mas. Yang ada sekarang jadi gelisah menunggu kabar tentang saudara Mas,” ucap Armila balas berbisik.“Tapi kalau menahan lapar, kamu bisa sakit, Dek. Sudah nggak apa, kamu ke kantin deh sekarang. Mas juga nggak mau kalau kamu sampai sakit.” Bagas berkata sambil merogoh saku celana panjang, dan meraih dompetnya.“Ini, kamu ke kantin sekarang, ya,” imbuh Bagas.Armila menggelengkan kepalanya. “Mas, masak di saat sedang kondisi kayak begini, aku malah ke kantin sih. Yang bener saja sih, Mas. Sudah nggak apa, aku kuat kok. Andaikan aku pingsan, kan ada kamu yan
Tampak Haryo tersenyum lega setelah membaca hasil tes tersebut. Dia lalu meletakkan kembali hasil tes itu ke dalam amplop, dan mengembalikannya pada Santi.“Alhamdulillah, hasil tes kamu negatif. Tapi, tolong jangan tersinggung. Apakah benar itu anak Bara, San? Soalnya saya mendengar kalau Bara pernah memperlakukan kamu...” Haryo tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia tahu perbuatan Bara pada Santi dari Bagas. Dia pun merutuki perbuatan Bara, tapi di saat yang sama anaknya itu terjangkit virus yang mematikan. Sehingga tak sempat dirinya menghukum Bara, karena sepertinya anaknya itu telah memetik apa yang dia tanam.“Maaf ya, Santi. Om nggak bermaksud menyinggung perasaan kamu. Cuma Om belum yakin saja, karena perbuatan terkutuk Bara terhadap kamu. Tapi, sebagai tanggung jawab atas ulah Bara, Om akan biayai anak kamu sampai dia dewasa nanti hingga dia mandiri,” imbuh Haryo.Santi yang dari tadi menahan air matanya semenjak Haryo bertanya perihal anak yang dia kandung, kini sudah tak s
Dua bulan berlalu semenjak hari itu, kini Bagas dan Armila kembali melangkah ke gedung pengadilan untuk mengetahui hasil sidang perkara kasus penculikan Armila, dengan Dedi sebagai pelaku utama.Dedi dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Sedangkan Jajang dan Supri masing-masing dijatuhi empat tahun penjara. Setelah perkara kasus penculikan selesai, Dedi masih harus menjalani kasus lainnya, yaitu kasus pembunuhan berencana terhadap istrinya serta kasus fitnah terhadap Bagas dan korupsi yang dia lakukan di perusahaan milik keluarga Bagas.Wajah Dedi pun tampak pucat pasi menghadapi begitu banyak tuntutan terhadap dirinya. Dia mulai berhitung berapa lama kira-kira waktu yang dia habiskan di penjara nanti.Hal yang sama pun dialami oleh Heru, yang dituntut juga sebagai pemicu timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh Dedi. Selain itu, usaha Heru pun terkena imbas atas kasus tersebut. Membuat pria itu menjadi syok.“Akhirnya kebenaran terungkap juga ya, Mas, alhamdulillah,” ucap Armila ketika
“Selamat siang. Apa keluhannya, Bu?” ucap dokter ramah.“Kepala saya pusing dan perut saya berasa mual, Dok,” sahut Armila lirih.Dokter manggut-manggut seraya berkata, “Haidnya bagaimana, lancar?”“Lho, Dok, apa hubungannya asam lambung dengan haid?” timpal Bagas dengan tatapan bingung.“Siapa yang bilang istri Bapak terkena asam lambung? Memangnya sebelumnya sudah periksa ke dokter, dan dikatakan kalau istri Bapak terkena asam lambung?” sahut dokter kalem, yang membuat Bagas gelagapan dan langsung menggelengkan kepala.“Belum sih, Dok. Saya langsung bawa istri saya kemari, saat dia bilang pusing dan mual.”“Makanya saya tanya tentang siklus haidnya, apakah lancar? Soalnya kalau haidnya tidak lancar, akan saya rujuk ke dokter kandungan, supaya bisa dilakukan tes USG. Bisa jadi kan kalau pusing dan mual disebabkan karena istri Bapak sedang hamil muda,” sahut dokter. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Armila. “Bagaimana, Bu? Lancar atau tidak siklus haidnya? Apa bulan ini Ibu sudah d
“Bagas, kamu ada di sini juga rupanya?” sapa Santi tanpa menatap pada Armila.“Iya, aku sedang mengantar istriku periksa ke dokter kandungan. Kamu sendiri sedang apa di sini? Periksa kandungan juga, iya?” sahut Bagas dengan senyuman.Armila yang tiba-tiba saja merasa sensitif, merasa kesal karena Santi sama sekali tak menganggap dirinya ada. Wanita itu hanya menyapa Bagas dan tak sedikit pun menoleh padanya. Sehingga dia pun merasa...cemburu.“Aku periksa kandungannya sudah minggu lalu. Alhamdulillah, anakku kondisinya baik. Keponakan kamu ini aktif banget lho, Gas. Mau pegang, nggak? Ini dia sedang gerak-gerak. Mungkin tahu kalau aku sedang ngomong sama om nya,” sahut Santi masih dengan senyumannya.Armila yang sudah merasa kesal pada Santi, lantas memegangi tangan Bagas seraya berkata, “Mas, kita kan mau menebus obat. Sekarang cepetan yuk, kita ke apotek. Biar cepat pulang. Aku mau istirahat.”“Ok.”Bagas lalu menoleh pada Santi. “San, kita ke apotek dulu, ya. Bagus deh kalau anak k
“San, semoga kamu dan bayinya nggak ada masalah apa pun, ya. Aku pergi dulu ya, bye,” imbuh Armila.Tanpa menunggu lama, Armila lantas meninggalkan Santi yang masih cemberut.“Ayo, kita ke apotek sekarang, Mas! Santi sudah aman kok sama sekuriti. Dia diantar ke poli kandungan, untuk diperiksa kondisinya karena tadi perutnya sakit, katanya,” ajak Armila, yang menekankan kalimatnya di kata yang paling akhir.Bagas terkekeh mendengar penuturan istrinya. “Katanya ya, Dek.”“Hu’um. Masak dia bilang perutnya sakit karena anaknya minta dielus sama kamu. Itu sih bukan anaknya kali, tapi ibunya!” sahut Armila kesal.“Sudah...sudah, ibu hamil dilarang kesal. Yang penting sekarang kan Santi sudah ke poli kandungan. Ya, kita lanjut ke apotek,” sahut Bagas, yang diangguki oleh sang istri.Sementara itu, Santi tampak mengepalkan kedua tangannya karena menahan amarah. Sebelum tiba di poli kandungan, tiba-tiba dia mengangkat tangannya. Membuat sekuriti menghentikan laju kursi roda yang sedang didoron
Armila terdiam sejenak. Dia sebenarnya tak ingin apa-apa. Makanya bingung juga saat sang mama menawarkan sesuatu padanya. Dia kini tak merasakan apa-apa. Pusing dan mual pun mendadak hilang.Bagas yang mendengar tawaran sang ibu mertua, tiba-tiba mencolek lengan Armila.“Dek, Mas kok tiba-tiba mau asinan buah dan rujak, ya. Bilang sama mama deh kalau kamu ingin dua-duanya. Kalau kamu nggak mau, biar Mas yang makan,” pinta Bagas dengan wajah memelas.Armila dan Hesti sontak mengerutkan keningnya. Mereka menatap heran pada Bagas.Setelah berkata, Bagas tiba-tiba merasa mual dan segera berlari ke arah toilet. Lalu memuntahkan isi perutnya di sana.‘Aku yang hamil, kenapa Mas Bagas yang muntah?’ ucap Armila dalam hati.Armila yang cemas dengan kondisi suaminya, lantas berbicara pada sang mama yang masih menunggu di seberang sana. “Ma, aku mau dua-duanya deh. Tapi maaf, teleponnya langsung aku tutup karena Mas Bagas mual dan muntah-muntah. Mungkin masuk angin.”“Masuk angin? Mual dan munta
Hesti yang khawatir terhadap anak sulungnya, lantas meletakkan punggung tangannya di kening Bagas.“Normal kok, nggak panas. Tapi, coba dipanggil dokter keluarga. Biar diperiksa kondisi Bagas. Coba kamu telepon dokter, Armila!” titah Hesti, yang diangguki oleh sang menantu.Sementara Armila menelepon dokter keluarga, Bagas menyuruh asisten rumah tangga untuk menyingkirkan nasi dari piringnya. Selanjutnya, dia makan sayur dan lauk pauk plus buah.Hesti hanya geleng-geleng kepala melihat ulah anaknya itu.Tiga puluh menit kemudian, dokter keluarga pun tiba dan langsung memeriksa Bagas.“Mas Bagas sehat kok. Semuanya normal. Perutnya juga nggak kembung, yang artinya asam lambungnya normal. Mulai kapan mual-mual dan pusing?”“Mulai siang ini, Dok. Tepatnya setelah dari rumah sakit. Saya sendiri bingung juga dengan kejadian ini yang nggak biasanya. Tadi pagi, Mas Bagas sarapan nasi goreng, nggak masalah. Kenapa siang ini mual saat menghirup aroma nasi? Padahal saya yang hamil, tapi dia yan