Beberapa menit kemudian, Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Semua yang ada di dalam ruang sidang pun berdiri. Sesaat lagi persidangan pun akan segera dimulai.Setelah Hakim ketua mengetuk palu sebanyak tiga kali sebagai tanda sidang dimulai, Jaksa penuntut umum mulai membacakan perkara yang menjadikan Dedi, Jajang dan Supri sebagai tersangkanya atas kasus penculikan Armila.Selanjutnya, Hakim ketua mulai bertanya pada Dedi.“Menurut pengakuan Saudara Jajang dan Saudara Supri, Anda lah yang menyuruh mereka untuk bergerak menculik Saudari Armila, betul?” tanya Hakim ketua.Dedi mengangguk seraya berkata, “Betul, Yang Mulia.”“Kenapa? Apa alasan Saudara menyuruh mereka berdua menculik Saudari Armila? Apa Saudara sebelumnya mengenal dengan baik Saudari Armila?” cecar Hakim ketua.Dedi terdiam dan menundukkan kepalanya. Dia bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan Hakim ketua, karena jawabannya nanti pasti akan berkaitan dengan masalah lainnya, yaitu masalah dengan Bagas dan perusahaa
“Saudara terdakwa, kenapa menangis? Jawab saja pertanyaan saya tadi!” ucap Hakim ketua.Dedi dengan perlahan menghapus air matanya, dan menghadap lurus k depan.“Saya...saya lah yang menyuruh orang lain untuk membawa pergi istri saya dari rumah. Saya berpesan pada orang itu untuk mengatakan pada istri saya, bahwa saya menunggunya di sebuah vila. Saya juga menelepon istri saya agar mengikuti pria yang sudah saya sewa untuk membawanya. Di vila itulah istri saya...” Dedi tak melanjutkan kembali kata-katanya, dan malah melanjutkan kembali tangisannya.“Apa yang terjadi di vila itu?” desak Hakim ketua.Setelah menghapus air matanya, Dedi kembali bersuara, “Saya...sayalah yang menghilangkan nyawa istri saya, Yang Mulia. Di vila itu, setelah saya dan istri melakukan hubungan intim, saya suruh dia minum obat penenang. Dia menolak, tapi akhirnya menurut setelah saya memaksanya. Saya lakukan itu karena saya sakit hati pada mendiang istri saya, yang selingkuh dengan mantan pacarnya.”Hening. Unt
Di saat Bagas bersiap akan melajukan mobilnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Terpampang nama sang ayah di layar. Tak menunggu lama, Bagas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Ayah.”“Halo, Gas. Kamu masih di pengadilan sekarang?”“Nggak. Aku sudah mau pulang.”“Kamu ke rumah sakit sekarang ya, Gas. Temani Ayah di sini.”Bagas terdiam sejenak dengan kening yang berkerut. Tak lama, dia kembali bersuara.“Ada apa, Ayah? Apa yang terjadi? Apa Ayah sakit?”Haryo tak menjawab pertanyaan Bagas. Tapi, dia malah tergugu yang membuat Bagas khawatir.“Ayah, aku ke rumah sakit sekarang juga! Kirimkan lokasinya segera!”***Bagas berjalan cepat di koridor rumah sakit, sambil menggandeng tangan Armila. Wajah suami istri itu tampak cemas. Mereka khawatir terjadi sesuatu yang menimpa Haryo.Langkah pasangan suami istri itu terhenti ketika melihat Haryo duduk terpekur di depan ruang ICU. Bagas lalu duduk di sebelah sang ayah, diikuti oleh Armila.“Ayah,” sapa Bagas lembut. Dia lalu menggengg
“Dok, tolong ke ruang ICU!” ucap suster panik.Dokter pun langsung berjalan cepat menuju ke ruang ICU, di mana Bara dirawat. Sedangkan Bagas dan Haryo hanya terpaku di tempat mereka berdiri. Sedang Armila hanya bisa memegang lengan suaminya.“Dek, kamu sebaiknya makan dulu di kantin. Sendirian nggak apa, ya. Aku harus menemani ayah di sini,” bisik Bagas, setelah sadar kalau istrinya kini tengah menahan lapar.“Laparku sudah hilang, Mas. Yang ada sekarang jadi gelisah menunggu kabar tentang saudara Mas,” ucap Armila balas berbisik.“Tapi kalau menahan lapar, kamu bisa sakit, Dek. Sudah nggak apa, kamu ke kantin deh sekarang. Mas juga nggak mau kalau kamu sampai sakit.” Bagas berkata sambil merogoh saku celana panjang, dan meraih dompetnya.“Ini, kamu ke kantin sekarang, ya,” imbuh Bagas.Armila menggelengkan kepalanya. “Mas, masak di saat sedang kondisi kayak begini, aku malah ke kantin sih. Yang bener saja sih, Mas. Sudah nggak apa, aku kuat kok. Andaikan aku pingsan, kan ada kamu yan
Tampak Haryo tersenyum lega setelah membaca hasil tes tersebut. Dia lalu meletakkan kembali hasil tes itu ke dalam amplop, dan mengembalikannya pada Santi.“Alhamdulillah, hasil tes kamu negatif. Tapi, tolong jangan tersinggung. Apakah benar itu anak Bara, San? Soalnya saya mendengar kalau Bara pernah memperlakukan kamu...” Haryo tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia tahu perbuatan Bara pada Santi dari Bagas. Dia pun merutuki perbuatan Bara, tapi di saat yang sama anaknya itu terjangkit virus yang mematikan. Sehingga tak sempat dirinya menghukum Bara, karena sepertinya anaknya itu telah memetik apa yang dia tanam.“Maaf ya, Santi. Om nggak bermaksud menyinggung perasaan kamu. Cuma Om belum yakin saja, karena perbuatan terkutuk Bara terhadap kamu. Tapi, sebagai tanggung jawab atas ulah Bara, Om akan biayai anak kamu sampai dia dewasa nanti hingga dia mandiri,” imbuh Haryo.Santi yang dari tadi menahan air matanya semenjak Haryo bertanya perihal anak yang dia kandung, kini sudah tak s
Dua bulan berlalu semenjak hari itu, kini Bagas dan Armila kembali melangkah ke gedung pengadilan untuk mengetahui hasil sidang perkara kasus penculikan Armila, dengan Dedi sebagai pelaku utama.Dedi dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Sedangkan Jajang dan Supri masing-masing dijatuhi empat tahun penjara. Setelah perkara kasus penculikan selesai, Dedi masih harus menjalani kasus lainnya, yaitu kasus pembunuhan berencana terhadap istrinya serta kasus fitnah terhadap Bagas dan korupsi yang dia lakukan di perusahaan milik keluarga Bagas.Wajah Dedi pun tampak pucat pasi menghadapi begitu banyak tuntutan terhadap dirinya. Dia mulai berhitung berapa lama kira-kira waktu yang dia habiskan di penjara nanti.Hal yang sama pun dialami oleh Heru, yang dituntut juga sebagai pemicu timbulnya kejahatan yang dilakukan oleh Dedi. Selain itu, usaha Heru pun terkena imbas atas kasus tersebut. Membuat pria itu menjadi syok.“Akhirnya kebenaran terungkap juga ya, Mas, alhamdulillah,” ucap Armila ketika
“Selamat siang. Apa keluhannya, Bu?” ucap dokter ramah.“Kepala saya pusing dan perut saya berasa mual, Dok,” sahut Armila lirih.Dokter manggut-manggut seraya berkata, “Haidnya bagaimana, lancar?”“Lho, Dok, apa hubungannya asam lambung dengan haid?” timpal Bagas dengan tatapan bingung.“Siapa yang bilang istri Bapak terkena asam lambung? Memangnya sebelumnya sudah periksa ke dokter, dan dikatakan kalau istri Bapak terkena asam lambung?” sahut dokter kalem, yang membuat Bagas gelagapan dan langsung menggelengkan kepala.“Belum sih, Dok. Saya langsung bawa istri saya kemari, saat dia bilang pusing dan mual.”“Makanya saya tanya tentang siklus haidnya, apakah lancar? Soalnya kalau haidnya tidak lancar, akan saya rujuk ke dokter kandungan, supaya bisa dilakukan tes USG. Bisa jadi kan kalau pusing dan mual disebabkan karena istri Bapak sedang hamil muda,” sahut dokter. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Armila. “Bagaimana, Bu? Lancar atau tidak siklus haidnya? Apa bulan ini Ibu sudah d
“Bagas, kamu ada di sini juga rupanya?” sapa Santi tanpa menatap pada Armila.“Iya, aku sedang mengantar istriku periksa ke dokter kandungan. Kamu sendiri sedang apa di sini? Periksa kandungan juga, iya?” sahut Bagas dengan senyuman.Armila yang tiba-tiba saja merasa sensitif, merasa kesal karena Santi sama sekali tak menganggap dirinya ada. Wanita itu hanya menyapa Bagas dan tak sedikit pun menoleh padanya. Sehingga dia pun merasa...cemburu.“Aku periksa kandungannya sudah minggu lalu. Alhamdulillah, anakku kondisinya baik. Keponakan kamu ini aktif banget lho, Gas. Mau pegang, nggak? Ini dia sedang gerak-gerak. Mungkin tahu kalau aku sedang ngomong sama om nya,” sahut Santi masih dengan senyumannya.Armila yang sudah merasa kesal pada Santi, lantas memegangi tangan Bagas seraya berkata, “Mas, kita kan mau menebus obat. Sekarang cepetan yuk, kita ke apotek. Biar cepat pulang. Aku mau istirahat.”“Ok.”Bagas lalu menoleh pada Santi. “San, kita ke apotek dulu, ya. Bagus deh kalau anak k