Di benak Bagas kini timbul tanda tanya. Saat Armila demam, dokter tidak menyarankan istrinya itu untuk cek darah. Dokter sudah memastikan bahwa Armila hanya mengalami demam biasa. Apa karena demam Armila tak terlalu tinggi, seperti yang Bara derita saat ini?“Maaf, Dok, mau tanya. Apa karena demam tinggi saja menyebabkan anak saya harus tes darah?” tanya Haryo masih tampak gelisah.“Selain demam tinggi, anak Bapak juga mengaku tenggorokannya sakit. Sejak kemarin katanya, dia mengalami kelelahan, selera makannya hilang dan sering sekali berkeringat serta diare terus menerus. Juga mual dan muntah. Makanya wajah anak Bapak menjadi pucat. Jadi dengan tes darah, kami bisa tahu apa penyebabnya,” jelas dokter.“Baik, Dok. Saya akan antar anak saya sekarang juga. Mumpung belum tutup lab nya,” sahut Haryo, setelah dapat menenangkan diri dan berharap dalam hati, kalau tak ada penyakit serius yang menimpa Bara.“Oh, lab di sini buka dua puluh empat jam kok, Pak,” sahut dokter.“Oh ok.”Setelah c
“Kita coba lewat jendela dulu saja, yuk! Barangkali masih ada celah untuk kabur,” ucap Jajang yang tampak ragu.“Kalau nggak dicoba, kita nggak tahu kan berhasil atau nggak,” imbuh Jajang.“Ya sudah, ayo!”Tak menunggu lama, mereka langsung bergerak menuju ke kamar dan membuka jendela secara perlahan. Namun...“Jangan bergerak dan angkat tangan kalian!”Tiba-tiba saja, moncong senjata seorang petugas polisi sudah terarah ke wajah Jajang, yang lebih dulu membuka jendela. Mau tak mau, Jajang pun mengangkat tangannya, diikuti oleh Supri. Malam itu, berakhir sudah pelarian dua orang suruhan Dedi.“Siapa yang menyuruh kalian melakukan penculikan dan apa motifnya?” tanya penyidik pada Jajang, ketika sudah tiba di kantor polisi. Sedangkan Supri diperiksa di ruangan lainnya.Jajang terdiam. Dia tampak bingung saat ini, apakah akan terus terang atau berkelit? Sebab Dedi sudah memberinya banyak uang selama ini padanya dan juga keluarganya. Dia hutang budi pada pria itu.“Jawab pertanyaan saya!
Dokter menatap Bara dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia hanya menghela napas panjang sebelum berkata pada Bara.“Hasil tesnya...positif.”“Po...positif? Saya...saya terinfeksi virus apa, Dok?” sahut Bara terdengar gugup suaranya.“Positif HIV,” sahut dokter yang sontak membuat Bara terlihat lemas. Kedua bahunya terkulai lemah.“Ya Tuhan...”Bagas pun tak kalah syok mendengar kabar itu, meski dia sebelumnya sudah menduga ke arah sana. Tapi, mendengar langsung dari dokter, rasanya seperti tersengat aliran listrik saat ini.Bagas menoleh ke arah Bara, ketika mendengar helaan napas panjang dari mulut saudara satu ayah itu. Tampak wajah Bara semakin pucat. Sudut matanya mulai tergenang cairan bening. Siapa yang tidak terpukul mendengar kabar tersebut, begitu pula yang dirasakan Bara saat ini.“Sabar.”Hanya itu yang bisa Bagas ucapkan pada Bara sebagai penyejuk hati saudaranya.“Apakah saya bisa sembuh, Dok? Apakah virus terkutuk ini bisa lenyap dari tubuh saya? Tolong katakan apa yan
Bagas menatap lekat wajah Santi. Dia ingin berkata sesuatu, tapi khawatir kalau Santi akan tersinggung.Santi sepertinya paham kalau Bagas ingin mengucapkan sesuatu.“Ada apa, Gas? Apa kamu ingin tanya tentang ayah biologis bayi yang aku kandung ini? Ini anaknya Bara. Dia memang belum tahu. Tapi, aku berani sumpah kalau ini anaknya Bara, karena terakhir kali kami berhubungan, aku nggak konsumsi pil anti hamil. Aku sengaja lakukan itu agar cepat hamil, karena aku berharap Bara akan berhenti me..” Santi menghentikan kalimatnya, dan justru malah menangis.“Kenapa nggak diteruskan kalimatnya, San?” tanya Bagas dengan mata yang memicing.“Aku...aku selama ini dimanfaatkan Bara untuk...ah, kamu pasti sudah tahu kan dari Irwan. Nggak usah aku jelasin lagi deh,” sahut Santi disertai isak tangisnya.“Ok, tapi lebih baik kamu tes darah dulu ya? Supaya tahu positif atau nggak. Apalagi kamu sedang hamil. Jadi biar bisa diberi pengobatan untuk kamu dan bayi kamu, andaikan kamu juga terinfeksi viru
Beberapa menit kemudian, Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Semua yang ada di dalam ruang sidang pun berdiri. Sesaat lagi persidangan pun akan segera dimulai.Setelah Hakim ketua mengetuk palu sebanyak tiga kali sebagai tanda sidang dimulai, Jaksa penuntut umum mulai membacakan perkara yang menjadikan Dedi, Jajang dan Supri sebagai tersangkanya atas kasus penculikan Armila.Selanjutnya, Hakim ketua mulai bertanya pada Dedi.“Menurut pengakuan Saudara Jajang dan Saudara Supri, Anda lah yang menyuruh mereka untuk bergerak menculik Saudari Armila, betul?” tanya Hakim ketua.Dedi mengangguk seraya berkata, “Betul, Yang Mulia.”“Kenapa? Apa alasan Saudara menyuruh mereka berdua menculik Saudari Armila? Apa Saudara sebelumnya mengenal dengan baik Saudari Armila?” cecar Hakim ketua.Dedi terdiam dan menundukkan kepalanya. Dia bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan Hakim ketua, karena jawabannya nanti pasti akan berkaitan dengan masalah lainnya, yaitu masalah dengan Bagas dan perusahaa
“Saudara terdakwa, kenapa menangis? Jawab saja pertanyaan saya tadi!” ucap Hakim ketua.Dedi dengan perlahan menghapus air matanya, dan menghadap lurus k depan.“Saya...saya lah yang menyuruh orang lain untuk membawa pergi istri saya dari rumah. Saya berpesan pada orang itu untuk mengatakan pada istri saya, bahwa saya menunggunya di sebuah vila. Saya juga menelepon istri saya agar mengikuti pria yang sudah saya sewa untuk membawanya. Di vila itulah istri saya...” Dedi tak melanjutkan kembali kata-katanya, dan malah melanjutkan kembali tangisannya.“Apa yang terjadi di vila itu?” desak Hakim ketua.Setelah menghapus air matanya, Dedi kembali bersuara, “Saya...sayalah yang menghilangkan nyawa istri saya, Yang Mulia. Di vila itu, setelah saya dan istri melakukan hubungan intim, saya suruh dia minum obat penenang. Dia menolak, tapi akhirnya menurut setelah saya memaksanya. Saya lakukan itu karena saya sakit hati pada mendiang istri saya, yang selingkuh dengan mantan pacarnya.”Hening. Unt
Di saat Bagas bersiap akan melajukan mobilnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Terpampang nama sang ayah di layar. Tak menunggu lama, Bagas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Ayah.”“Halo, Gas. Kamu masih di pengadilan sekarang?”“Nggak. Aku sudah mau pulang.”“Kamu ke rumah sakit sekarang ya, Gas. Temani Ayah di sini.”Bagas terdiam sejenak dengan kening yang berkerut. Tak lama, dia kembali bersuara.“Ada apa, Ayah? Apa yang terjadi? Apa Ayah sakit?”Haryo tak menjawab pertanyaan Bagas. Tapi, dia malah tergugu yang membuat Bagas khawatir.“Ayah, aku ke rumah sakit sekarang juga! Kirimkan lokasinya segera!”***Bagas berjalan cepat di koridor rumah sakit, sambil menggandeng tangan Armila. Wajah suami istri itu tampak cemas. Mereka khawatir terjadi sesuatu yang menimpa Haryo.Langkah pasangan suami istri itu terhenti ketika melihat Haryo duduk terpekur di depan ruang ICU. Bagas lalu duduk di sebelah sang ayah, diikuti oleh Armila.“Ayah,” sapa Bagas lembut. Dia lalu menggengg
“Dok, tolong ke ruang ICU!” ucap suster panik.Dokter pun langsung berjalan cepat menuju ke ruang ICU, di mana Bara dirawat. Sedangkan Bagas dan Haryo hanya terpaku di tempat mereka berdiri. Sedang Armila hanya bisa memegang lengan suaminya.“Dek, kamu sebaiknya makan dulu di kantin. Sendirian nggak apa, ya. Aku harus menemani ayah di sini,” bisik Bagas, setelah sadar kalau istrinya kini tengah menahan lapar.“Laparku sudah hilang, Mas. Yang ada sekarang jadi gelisah menunggu kabar tentang saudara Mas,” ucap Armila balas berbisik.“Tapi kalau menahan lapar, kamu bisa sakit, Dek. Sudah nggak apa, kamu ke kantin deh sekarang. Mas juga nggak mau kalau kamu sampai sakit.” Bagas berkata sambil merogoh saku celana panjang, dan meraih dompetnya.“Ini, kamu ke kantin sekarang, ya,” imbuh Bagas.Armila menggelengkan kepalanya. “Mas, masak di saat sedang kondisi kayak begini, aku malah ke kantin sih. Yang bener saja sih, Mas. Sudah nggak apa, aku kuat kok. Andaikan aku pingsan, kan ada kamu yan