“Kita coba lewat jendela dulu saja, yuk! Barangkali masih ada celah untuk kabur,” ucap Jajang yang tampak ragu.“Kalau nggak dicoba, kita nggak tahu kan berhasil atau nggak,” imbuh Jajang.“Ya sudah, ayo!”Tak menunggu lama, mereka langsung bergerak menuju ke kamar dan membuka jendela secara perlahan. Namun...“Jangan bergerak dan angkat tangan kalian!”Tiba-tiba saja, moncong senjata seorang petugas polisi sudah terarah ke wajah Jajang, yang lebih dulu membuka jendela. Mau tak mau, Jajang pun mengangkat tangannya, diikuti oleh Supri. Malam itu, berakhir sudah pelarian dua orang suruhan Dedi.“Siapa yang menyuruh kalian melakukan penculikan dan apa motifnya?” tanya penyidik pada Jajang, ketika sudah tiba di kantor polisi. Sedangkan Supri diperiksa di ruangan lainnya.Jajang terdiam. Dia tampak bingung saat ini, apakah akan terus terang atau berkelit? Sebab Dedi sudah memberinya banyak uang selama ini padanya dan juga keluarganya. Dia hutang budi pada pria itu.“Jawab pertanyaan saya!
Dokter menatap Bara dengan tatapan yang sulit diartikan. Dia hanya menghela napas panjang sebelum berkata pada Bara.“Hasil tesnya...positif.”“Po...positif? Saya...saya terinfeksi virus apa, Dok?” sahut Bara terdengar gugup suaranya.“Positif HIV,” sahut dokter yang sontak membuat Bara terlihat lemas. Kedua bahunya terkulai lemah.“Ya Tuhan...”Bagas pun tak kalah syok mendengar kabar itu, meski dia sebelumnya sudah menduga ke arah sana. Tapi, mendengar langsung dari dokter, rasanya seperti tersengat aliran listrik saat ini.Bagas menoleh ke arah Bara, ketika mendengar helaan napas panjang dari mulut saudara satu ayah itu. Tampak wajah Bara semakin pucat. Sudut matanya mulai tergenang cairan bening. Siapa yang tidak terpukul mendengar kabar tersebut, begitu pula yang dirasakan Bara saat ini.“Sabar.”Hanya itu yang bisa Bagas ucapkan pada Bara sebagai penyejuk hati saudaranya.“Apakah saya bisa sembuh, Dok? Apakah virus terkutuk ini bisa lenyap dari tubuh saya? Tolong katakan apa yan
Bagas menatap lekat wajah Santi. Dia ingin berkata sesuatu, tapi khawatir kalau Santi akan tersinggung.Santi sepertinya paham kalau Bagas ingin mengucapkan sesuatu.“Ada apa, Gas? Apa kamu ingin tanya tentang ayah biologis bayi yang aku kandung ini? Ini anaknya Bara. Dia memang belum tahu. Tapi, aku berani sumpah kalau ini anaknya Bara, karena terakhir kali kami berhubungan, aku nggak konsumsi pil anti hamil. Aku sengaja lakukan itu agar cepat hamil, karena aku berharap Bara akan berhenti me..” Santi menghentikan kalimatnya, dan justru malah menangis.“Kenapa nggak diteruskan kalimatnya, San?” tanya Bagas dengan mata yang memicing.“Aku...aku selama ini dimanfaatkan Bara untuk...ah, kamu pasti sudah tahu kan dari Irwan. Nggak usah aku jelasin lagi deh,” sahut Santi disertai isak tangisnya.“Ok, tapi lebih baik kamu tes darah dulu ya? Supaya tahu positif atau nggak. Apalagi kamu sedang hamil. Jadi biar bisa diberi pengobatan untuk kamu dan bayi kamu, andaikan kamu juga terinfeksi viru
Beberapa menit kemudian, Majelis Hakim memasuki ruang sidang. Semua yang ada di dalam ruang sidang pun berdiri. Sesaat lagi persidangan pun akan segera dimulai.Setelah Hakim ketua mengetuk palu sebanyak tiga kali sebagai tanda sidang dimulai, Jaksa penuntut umum mulai membacakan perkara yang menjadikan Dedi, Jajang dan Supri sebagai tersangkanya atas kasus penculikan Armila.Selanjutnya, Hakim ketua mulai bertanya pada Dedi.“Menurut pengakuan Saudara Jajang dan Saudara Supri, Anda lah yang menyuruh mereka untuk bergerak menculik Saudari Armila, betul?” tanya Hakim ketua.Dedi mengangguk seraya berkata, “Betul, Yang Mulia.”“Kenapa? Apa alasan Saudara menyuruh mereka berdua menculik Saudari Armila? Apa Saudara sebelumnya mengenal dengan baik Saudari Armila?” cecar Hakim ketua.Dedi terdiam dan menundukkan kepalanya. Dia bingung harus menjawab bagaimana pertanyaan Hakim ketua, karena jawabannya nanti pasti akan berkaitan dengan masalah lainnya, yaitu masalah dengan Bagas dan perusahaa
“Saudara terdakwa, kenapa menangis? Jawab saja pertanyaan saya tadi!” ucap Hakim ketua.Dedi dengan perlahan menghapus air matanya, dan menghadap lurus k depan.“Saya...saya lah yang menyuruh orang lain untuk membawa pergi istri saya dari rumah. Saya berpesan pada orang itu untuk mengatakan pada istri saya, bahwa saya menunggunya di sebuah vila. Saya juga menelepon istri saya agar mengikuti pria yang sudah saya sewa untuk membawanya. Di vila itulah istri saya...” Dedi tak melanjutkan kembali kata-katanya, dan malah melanjutkan kembali tangisannya.“Apa yang terjadi di vila itu?” desak Hakim ketua.Setelah menghapus air matanya, Dedi kembali bersuara, “Saya...sayalah yang menghilangkan nyawa istri saya, Yang Mulia. Di vila itu, setelah saya dan istri melakukan hubungan intim, saya suruh dia minum obat penenang. Dia menolak, tapi akhirnya menurut setelah saya memaksanya. Saya lakukan itu karena saya sakit hati pada mendiang istri saya, yang selingkuh dengan mantan pacarnya.”Hening. Unt
Di saat Bagas bersiap akan melajukan mobilnya, tiba-tiba ponselnya berdering. Terpampang nama sang ayah di layar. Tak menunggu lama, Bagas mengangkat panggilan telepon tersebut.“Halo, Ayah.”“Halo, Gas. Kamu masih di pengadilan sekarang?”“Nggak. Aku sudah mau pulang.”“Kamu ke rumah sakit sekarang ya, Gas. Temani Ayah di sini.”Bagas terdiam sejenak dengan kening yang berkerut. Tak lama, dia kembali bersuara.“Ada apa, Ayah? Apa yang terjadi? Apa Ayah sakit?”Haryo tak menjawab pertanyaan Bagas. Tapi, dia malah tergugu yang membuat Bagas khawatir.“Ayah, aku ke rumah sakit sekarang juga! Kirimkan lokasinya segera!”***Bagas berjalan cepat di koridor rumah sakit, sambil menggandeng tangan Armila. Wajah suami istri itu tampak cemas. Mereka khawatir terjadi sesuatu yang menimpa Haryo.Langkah pasangan suami istri itu terhenti ketika melihat Haryo duduk terpekur di depan ruang ICU. Bagas lalu duduk di sebelah sang ayah, diikuti oleh Armila.“Ayah,” sapa Bagas lembut. Dia lalu menggengg
“Dok, tolong ke ruang ICU!” ucap suster panik.Dokter pun langsung berjalan cepat menuju ke ruang ICU, di mana Bara dirawat. Sedangkan Bagas dan Haryo hanya terpaku di tempat mereka berdiri. Sedang Armila hanya bisa memegang lengan suaminya.“Dek, kamu sebaiknya makan dulu di kantin. Sendirian nggak apa, ya. Aku harus menemani ayah di sini,” bisik Bagas, setelah sadar kalau istrinya kini tengah menahan lapar.“Laparku sudah hilang, Mas. Yang ada sekarang jadi gelisah menunggu kabar tentang saudara Mas,” ucap Armila balas berbisik.“Tapi kalau menahan lapar, kamu bisa sakit, Dek. Sudah nggak apa, kamu ke kantin deh sekarang. Mas juga nggak mau kalau kamu sampai sakit.” Bagas berkata sambil merogoh saku celana panjang, dan meraih dompetnya.“Ini, kamu ke kantin sekarang, ya,” imbuh Bagas.Armila menggelengkan kepalanya. “Mas, masak di saat sedang kondisi kayak begini, aku malah ke kantin sih. Yang bener saja sih, Mas. Sudah nggak apa, aku kuat kok. Andaikan aku pingsan, kan ada kamu yan
Tampak Haryo tersenyum lega setelah membaca hasil tes tersebut. Dia lalu meletakkan kembali hasil tes itu ke dalam amplop, dan mengembalikannya pada Santi.“Alhamdulillah, hasil tes kamu negatif. Tapi, tolong jangan tersinggung. Apakah benar itu anak Bara, San? Soalnya saya mendengar kalau Bara pernah memperlakukan kamu...” Haryo tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia tahu perbuatan Bara pada Santi dari Bagas. Dia pun merutuki perbuatan Bara, tapi di saat yang sama anaknya itu terjangkit virus yang mematikan. Sehingga tak sempat dirinya menghukum Bara, karena sepertinya anaknya itu telah memetik apa yang dia tanam.“Maaf ya, Santi. Om nggak bermaksud menyinggung perasaan kamu. Cuma Om belum yakin saja, karena perbuatan terkutuk Bara terhadap kamu. Tapi, sebagai tanggung jawab atas ulah Bara, Om akan biayai anak kamu sampai dia dewasa nanti hingga dia mandiri,” imbuh Haryo.Santi yang dari tadi menahan air matanya semenjak Haryo bertanya perihal anak yang dia kandung, kini sudah tak s
“Bagaimana hasil tes nya, Yah? Apa benar anak yang dilahirkan Santi adalah anaknya Bara?” tanya Bagas setelah Haryo tiba di rumah.Haryo tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Nggak! Entah anak siapa itu? Tapi, Ayah sudah kasih kompensasi kok sama dia sebesar lima milyar. Setelah itu, kita nggak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia.”“Syukurlah kalau ternyata anak itu bukan anaknya Bara,” timpal Armila, yang membuat semua yang ada di ruangan itu mengalihkan tatapan padanya.“Kenapa memangnya, Dek?” tanya Bagas dengan kening berkerut.“Ya...dia kan jadi nggak ada akses untuk datang dan masuk ke keluarga besar kamu, Mas. Aku melihat adanya ancaman kalau dia bisa masuk ke dalam keluarga ini,” sahut Armila kalem.“Tenang, Armila. Bunda nggak akan berdiam diri kalau itu terjadi. Cukup satu orang saja yang pernah menjadi duri di keluarga ini. Bunda nggak akan membiarkan duri lain melukai hati menantu Bunda.” Hesti berkata sambil menepuk pelan pundak Armila, berusaha menenangkan hati menant
Beberapa menit kemudian, Haryo dan Bayu sudah tiba di depan laboratorium. Di sana juga sudah hadir Santi, yang kali ini ditemani oleh ibunya. Tak lama, petugas laboratorium memanggil nama Haryo dan menyerahkan hasil tes DNA.Haryo lalu kembali duduk di kursi yang ada di depan loket penerimaan hasil tes. Jemari Haryo dengan cepat merobek amplop tersebut, untuk segera tahu hasilnya.Sementara itu, Santi tampak agak cemas menunggu Haryo mengeluarkan kertas tersebut.‘Semoga bayiku memang benar anaknya Bara. Supaya masa depannya terjamin. Tentu akan bangga kalau menjadi bagian dari keluarga itu,’ ucap Santi dalam hati.Jantung Santi kini berdegup kencang kala Haryo mulai membuka lipatan kertas hasil tes DNA. Dia menahan napas kala melihat Haryo menghela napas panjang. Santi dengan sabar menunggu Haryo berkata sesuatu padanya. Tapi hingga lima menit berlalu, Haryo masih bungkam. Hanya hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.“Bagaimana hasilnya, Om?” tanya Santi yang mulai tak sabar
Haryo terdiam. Dia bingung harus menjawabnya, karena hatinya masih meragu. Namun, tatapan Santi yang terus ke arahnya, mau tak mau Haryo berucap juga.“Baiklah, nanti saya akan beri nama kalau sudah tahu hasil tes DNA. Sekarang Bayu sedang mengurus administrasinya, agar saya dan anak kamu bisa melakukan tes DNA, Santi,” sahut Haryo, yang membuat Santi menghela napas panjang.Beberapa menit kemudian, Bayu pun tiba di ruangan itu. Dia lalu meminta Haryo dan bayinya Santi untuk ke laboratorium, untuk melakukan tes DNA.Akhirnya, mereka pun bergegas ke laboratorium.Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah keluarga Bagas. Tampak di rumah itu kedatangan seorang wanita pemilik event organizer, yang sekaligus sahabat dari Hesti. Wanita itu diminta Hesti datang, untuk membicarakan acara tujuh bulanan Armila.“Wah, cucu kamu sudah mau tambah satu lagi. Selamat ya, Hes. Kebetulan juga kesehatan kamu sudah semakin membaik sekarang,” ucap Indah-sahabat Hesti.“Iya, alhamdulillah. Oh ya, na
“Mas, kita pulang sekarang, yuk! Aku capek, mau istirahat,” ajak Armila, yang langsung diangguki oleh sang suami.“Ayo, Dek!” sahut Bagas. Dia lalu menoleh pada Santi yang masih cemberut. “San, aku duluan. Semoga operasi caesar nya nanti berjalan lancar. Nanti aku kasih tahu ayah kalau kamu sudah mau lahiran. Biar ayah mengatur waktunya untuk tes DNA.”Santi mengangguk lemah secara berkata, “Iya, dan terima kasih atas doanya. Oh ya, kasih tahu istri kamu tuh. Jangan ketus-ketus jadi orang.”Bagas hanya tertawa kecil mendengar kalimat terakhir yang Santi lontarkan. Di saat yang sama, Armila hanya tersenyum mendengar kata-kata Santi barusan.“Istriku aslinya nggak ketus kok, San. Dia baik hati orangnya. Makanya aku jatuh cinta sama dia. Selain cantik, dia juga baik. Mungkin tadi itu karena dia capek saja. Maklum saja namanya juga ibu hamil,” sahut Bagas ramah. Dia lalu menggandeng tangan Armila seraya berkata pada sang istri, “Yuk, kita pulang sekarang!”Armila mengangguk dan mengeratka
Bagas yang gemas pada sikap sang istri, lantas mendekatinya. “Apa sih yang kamu lihat di situ, Dek? Kayaknya asyik banget sampai nggak mau menoleh ke arah Mas.”“Ini lho, Mas. Aku sedang cari nama bayi perempuan dan bayi lelaki. Soalnya kan anak kita belum ketahuan jenis kelaminnya. Jadi harus siapin dua nama dong.”“Terus sudah dapat?” tanya Bagas kalem.“Belum. Pusing aku jadinya, Mas. Nama-namanya pada bagus semua. Bingung pilih yang mana.”“Sudah, nggak usah bingung. Mas sudah siapin kok nama untuk anak kita nanti. Sekarang kita berangkat saja ke rumah sakit, yuk! Semoga saja USG kali ini bisa kelihatan jenis kelamin anak kita,” sahut Bagas. Dia lalu merangkul pundak Armila dan mengecup kening wanitanya itu.“Siapa namanya, Mas? Jadi penasaran aku.”“Ada saja. Nanti juga kamu akan tahu, Dek.” Bagas senyum-senyum sambil menggandeng tangan Armila keluar kamar.“Ish, kok main rahasia begitu sama istrinya. Siapa namanya, Mas? Kasih tahu dong ke aku sekarang. Kepo kan aku jadinya,” cel
“Siapa mamanya Bara, Mil?”“Beliau adalah istri kedua ayahnya Mas Bagas, Ma.”Astuti tersentak dan melanjutkan lagi bisikannya. “Kamu harus hati-hati menjaga Bagas, Mil. Jangan sampai dia menuruni sifat ayahnya yang poligami. Pokoknya kamu harus jagain Bagas biar nggak kecantol sama perempuan lain.”Rupanya bisikan Astuti yang terakhir itu agak keras, sehingga sempat terdengar oleh Bagas.Bagas tersenyum mendengar bisikan ibu mertuanya, yang sempat dia dengar barusan. Dia yang berjalan di depan, lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Armila dan Astuti.“Insya Allah, saya nggak akan berpaling ke lain hati, Ma. Saya sendiri sudah pernah merasakan sakitnya dikhianati. Jadi saya juga nggak akan berbuat hal seperti itu pada istri saya ini. Saya sudah dibuat jatuh cinta pada anak Mama ini, dan itu akan saya jaga agar Dek Armi nggak kecewa sudah menerima saya sebagai suami,” ucap Bagas sungguh-sungguh, dan tentu saja disertai dengan senyumannya yang khas.“Alhamdulillah, kalau kamu suda
“Alhamdulillah, akhirnya Bu Astuti mau punya cucu juga kayak teman-temannya,” sahut si bibi, yang diangguki oleh Astuti.“Iya dong, Bi. Memangnya mereka saja yang bisa punya cucu. Saya juga bisa,” sahut Astuti jumawa. Setelah berkata, dia lalu melenggang pergi meninggalkan dapur menuju ke kamarnya. Tak lupa, dia pun mengirim pesan pada Armila kalau pesanannya sudah jadi dan siap diantar.[Ya sudah, nanti sopir Mas Bagas yang akan jemput Mama. Aku juga kangen sama Mama. Nanti yang lama ya di sini nya. Kebetulan ini Mas Bagas sedang teler, Ma. Aku yang hamil, tapi dia yang pusing dan mual. Memang suami keren dia. Sayang banget sama istrinya, sampai pusing dan mual pun dia wakili.]Astuti mengerutkan keningnya setelah membaca pesan dari Armila.“Bagas yang ngidam? Wih, enak dong itu si Mila. Ngidamnya diwakilkan. Untung aku dulu merestui Bagas sebagai menantu. Nggak salah juga kan aku memberi restu. Orangnya baik, sayang dan cinta sama anakku. Pastinya, dia ternyata bukan sopir biasa. Ta
Hesti mengangguk sambil tersenyum. “Bisa. Oh iya, aku mau kasih kabar baik. Aku sebentar lagi mau tambah cucunya. Nanti kalau kamu sudah sembuh, main ke rumahku. Aku kenalkan dengan istrinya Bagas.”“Iya, Mbak. Semoga aku cepat sembuh dan bisa pulang ke rumah secepatnya.”“Aamiin. Sudah dulu ya, Dew. Aku mau terapi dulu. Itu terapisnya sudah datang,” ucap Hesti.“Ok, Mbak.”Setelah itu, sambungan video call tersebut pun berakhir. Bersamaan dengan berakhirnya video call tersebut, terdengar notifikasi pesan masuk dari relasi bisnis Haryo.Dewi pun seketika membuka dan membaca isi pesan tersebut.[Pak Haryo, saya turut berduka cita atas meninggalnya anak Bapak, Bara. Saya baru tahu hari ini, setelah anak saya memberitahu perihal kematian Bara. Maklum ya, Pak, selama beberapa bulan ini saya berada di Amerika. Sekali lagi, saya dan istri mengucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya. Semoga amal ibadah Bara diterima oleh Allah SWT, dan tenang di alam sana. Aamiin.]Tangan Dewi gemetar hebat s
“Memang dilema juga ya, Pak. Dari tadi memang istri Bapak selalu menanyakan perihal Bapak dan anaknya. Menurut saya, untuk saat ini sebaiknya Bapak jangan mengatakan dulu perihal anak Bapak. Kalau Bu Dewi tahu yang sebenarnya, bisa dipastikan akan syok dan itu tentu saja akan mengganggu kesehatannya yang belum pulih benar. Jadi beri saja alasan bahwa sekarang anak Bapak sedang tidak ada di Jakarta,” sahut dokter panjang lebar.Haryo pun manggut-manggut seraya berkata, “Baik, saya akan ikuti saran Dokter. Oh ya, bagaimana dengan perkembangan kesehatan istri saya, Dok?”Dokter Wahyu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Haryo.“Seperti yang Pak Haryo ketahui, kalau tumor yang ada di tubuh Bu Dewi sudah menyebar ke beberapa bagian tubuh. Tapi tadi setelah saya periksa, ada kemajuannya meski sedikit. Jadi sekarang istri Bapak sudah dipindah ke ruang rawat. Perbanyak doa saja, Pak, semoga Bu Dewi diberi kesembuhan. Kami di sini akan berusaha semaksimal mungkin, tapi semua kan