**"Lo nggak pernah cinta sama Carissa!"Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga. Membuat Carissa menelungkupkan kepala di atas lututnya dengan lemas. Perempuan itu menghela napas dengan gusar kala menyadari satu hal ; Abian benar.Abian benar, Sagara tidak pernah mencintainya walau status laki-laki itu adalah suami sahnya. Carissa tidak akan pernah lupa atas dasar apa ia menikah dengan makhluk tampan itu. Tidak pernah ada cinta terselip dalam hubungannya selama ini.Dan satu lagi yang kian membuat semua ini terasa miris, jika Rissa jatuh cinta kepada Sagara, maka itu akan menjadi cinta bertepuk sebelah tangan yang menyakitkan."Gimana kalo suatu saat Kak Gara udah bosen sama hubungan ini? Apa aku bakalan dibuang gitu aja?" Kata-kata itu meluncur tanpa sadar. Sesak sekali rasa hati Carissa jika mengingat nasibnya. "Jadi kalau gitu, sebaiknya aku jangan sampai mengandung. Gimana nasib anak aku nanti kalau bapaknya masih nggak bisa nerima ibunya sepenuh hati."Ya, ya itu yang Ri
**"Abian, adikku satu-satunya."Kedua telinga Carissa terbuka lebar. Ia mendengar dengan baik apa yang Sagara barusan katakan. Tapi otaknya tidak bisa menjangkau hal tersebut.Abian? Adik?"Kak ... " Rissa menyipitkan mata dan memandang laki-laki di hadapannya itu penuh tanya. "Apa maksud kamu ngomong begitu?""Abian Danurendra, mantan tunanganmu itu, adalah adik kandungku satu-satunya, Ris." Gara mengulanginya lagi dengan sangat jelas. Tidak ada alasan untuk Rissa tidak mengerti, terlebih mengingat perempuan itu cukup cerdas."Adik kamu ... ""Mami dan papanya Abian bercerai ketika kita masih anak-anak. Dia ninggalin Mami, berjuang sendiri besarin aku. Ninggalin Mami demi perempuan lain."Carissa masih merasakan awangnya berkelana setelah Sagara mengakui fakta ini. Jadi selama ini, lelaki yang berstatus suaminya itu menyembunyikan kebenaran sebesar ini darinya?Padahal dari awal ia tahu bahwa Rissa adalah perempuan yang adiknya sendiri khianati?Jadi maksud Gara menikahinya adalah .
**Tengah malam!Ini sudah tengah malam dan Carissa belum juga kembali. Setengah linglung karena pusing akibat mabuk, Sagara meraih kunci mobilnya. Tidak sabar lelaki itu melangkah menuju garasi rumah."Ris, kamu nggak boleh ke mana-mana," geramnya dengan kedua mata menyipit, mencoba memperjelas pandangan. "Kamu milikku dan selamanya akan selalu begitu. Nggak akan pernah aku biarkan kamu pergi, demi apapun!"Sedan hitam itu melaju dengan kecepatan tinggi. Melesat meninggalkan pintu gerbang beserta sekuriti yang kebingungan di ambangnya."Kira-kira ke mana kamu ninggalin aku sampai tengah malam begini? Kamu nggak punya keluarga yang bisa kamu kunjungi. Siapa yang bisa nahan kamu sampai selama ini pergi dari rumah?"Sagara seperti orang gila. Ia melajukan mobilnya keliling kota dengan ugal-ugalan. Separuhnya berada di bawah pengaruh alkohol, sehingga kesadarannya sedikit goyah. Hanya satu nama yang bisa membuatnya seperti ini sepanjang eksistensinya sebagai pria dewasa yang biasanya me
**Sagara harus menghubungi dua orang asisten untuk membawa pulang mobilnya, tengah malam begini. Ia sama sekali tidak ingin berjauhan dengan Carissa. Sedikitpun tidak mau membiarkan wanitanya mengemudi sendirian. Bayangan akan ditinggalkan oleh istrinya itu jika ia melepaskannya sedetik saja, menyiksa benak Gara tanpa ampun. Gara merasa dirinya sudah separuh jalan menuju gila tanpa tahu kapan memulainya."Bawa mobil saya aja, Pak. Ini lebih mudah dikendarai daripada punya Kak Gara." Rissa menyerahkan kunci mobilnya kepada seorang asisten. Disambut pandangan tidak senang dari sang suami."Aku suruh mereka bawa tank tempur pun, mereka nggak akan masalah," komentar lelaki itu, memandang Mini Cooper yang sudah berlalu pergi."Kamu udah ngerepotin mereka tengah malam, Kak. Mereka pasti lagi istirahat tadinya.""Untuk itulah aku bayar mereka, asal kamu tau aja."Carissa menggeleng singkat. Tak akan ada habisnya berdebat dengan lelaki ini, maka ia memilih diam. Menunduk sepanjang perjalanan
**"Maaf, Mam, Rissa baru bangun tidur, jadi nggak ngabarin kalau hari ini nggak bisa datang ke butik ... ""Jam berapa ini, ha?""Err ... " Carissa menelengkan kepala untuk menengok jam yang menggantung di sisi dinding kamar. "Setengah sebelas siang. Rissa semalam nemenin Kak Gara beresin kerjaan kantor sampai nyaris pagi, Mam. Jadi hari ini bangunnya telat banget. Maaf ya, Mami ... " Ah, terpaksa berdusta pula."Jangan dibiasain! Besok datang butik, awas kalau kamu males-malesan lagi!""Siap, Mami ... "Menghela napas, Carissa meletakkan ponselnya ke atas nakas kembali setelah panggilan diakhiri. Menggeliat pelan dan mengucek mata, perempuan itu mengernyit kala pandangannya menyapu cahaya benderang di luar jendela. Lalu, kepada Sagara yang masih memejamkan mata dengan lengan lelaki itu yang melingkari pinggangnya."Kakak, nggak mau bangun, kah?" Rissa mengelus pelan kening suaminya. "Mami nelepon, marah-marah karena aku nggak dateng ke butik hari ini.""Mmh ... " Gara menggeram pela
**"Oh ... " Kedua obsidian cokelat Rissa melebar saat benda pipih di tangannya perlahan mulai menunjukkan hasil tes urine. Buru-buru ia keluar dari bilik toilet dan menyerahkan testpack itu kepada Ibu Dokter. "Hanya satu garis. Ini berarti negatif. Boleh saya sarankan alat kontrasepsi yang nggak terlalu berdampak kepada organ reproduksi? Mengingat anda belum pernah hamil sebelumnya."Entahlah. Rissa tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan. Ia terlalu lega dengan hasilnya, hingga hanya iya-iya saja dengan segala ucapan wanita cantik di hadapannya. Ah, sedikit rasa bersalah menelusup hati Rissa sebenarnya. Bukan maksudnya begini, ia pun ingin memiliki keturunan bersama suaminya. Sagara sosok lelaki dengan fisik sempurna.Tapi, jika keyakinan itu masih mengganjal ..."Terimakasih banyak, Dok. Kalau ada sesuatu, saya akan kembali untuk konsultasi lagi." Carissa berdiri dari kursinya, menunduk sebelum meninggalkan ruangan. Langkahnya terasa agak ringan, kini. Setidaknya, ia
**Carissa harus bersyukur, karena ia bisa sampai di rumah tepat sebelum Gara datang. Terburu-buru mengganti baju dengan dress rumah dan bersikap seakan sudah berada di sana sejak satu abad yang lalu."Kamu baru datang?" tebak Gara penuh curiga. Padahal Rissa sedang bermain ponsel dan memasang wajah bosan, berlagak sudah menunggu terlalu lama."Udah sejam yang lalu. Aku langsung pulang pas kamu suruh pulang, tau."Walau masih tersisa sedikit raut curiga, tapi Gara mengangguk juga. "Oh, bagus deh kalau gitu.""Apanya yang bagus? Aku nggak jadi belanja sayur sama buah kan, jadinya. Kamu sih, buru-buruin aja."Sagara mengulum senyum kala tampak olehnya raut istrinya yang cemberut. Menahan gemas, lelaki itu melepas dasi dan melonggarkan kerah kemeja, lantas menghempaskan tubuh di samping Rissa yang pura-pura merajuk."Nanti pergi lagi sama aku. Udah nggak usah kayak anak kecil, gitu.""Boros-borosin waktu, tenaga, sama BBM aja.""Kamu mau aku beliin SPBU buat kamu sendiri? Biar nggak usah
**"Ris, kamu sakit?"Yasmin melayangkan tatapan curiga kepada menantunya yang tengah ribut memilah beberapa dress baru. Pertanyaan itu tak urung membuat Carissa menghentikan kegiatannya."Sakit? Ah enggak, Mam. Rissa baik-baik aja, kok.""Hm?" Yasmin mengernyit lagi. "Kamu pucat tuh. Kurusan lagi. Sagara nggak kasih kamu uang belanja, kah?"Carissa nyaris tersedak. "Mam, beberapa kartu kredit Kak Gara bahkan dikasih sama saya, loh. Mana mungkin dia nggak kasih uang belanja?""Tapi kamu malah kelihatan seperti istri teraniaya gitu."Tertawa ringan, Carissa segera membereskan pekerjaannya sebelum menghampiri ibu mertuanya di sofa butik. "Rissa baik-baik aja. Kak Gara memperlakukan Rissa dengan sangat baik juga. Mami nggak usah overthinking.""Jelas lah overthinking. Ini udah berapa bulan sejak kalian menikah? Kamu belum ada tanda-tanda hamil juga, hm?"Carissa tercekat. Hatinya dipenuhi rasa bersalah yang buruk, teringat kepada pil kontrasepsi yang ia sembunyikan di dalam tasnya itu."