"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
INFERTIL 1"Kenapa berhenti, Mas?" Vina menatap kecewa lelaki yang baru beberapa jam lalu menjabat tangan penghulu, untuk mengucap ijab kabul menghalalkan dirinya. Bagaimana tak kecewa, mereka baru saja hendak mendaki bersama indahnya nirwana, tiba-tiba Abra menghentikan aksinya. Padahal Vina sudah terlanjur 'terbakar', dan berharap bisa mengarungi indahnya cinta berdua. "Maaf Vin, aku nggak bisa malam ini. Kamu tidur aja dulu, ya?" lirih Abra, tanpa menatap Vina. Lelaki itu hanya menunduk, lalu buru-buru turun dari ranjang menuju kamar mandi. Meninggalkan Vina dengan banyak pertanyaan. 'Apa aku bau?' tanyanya dalam hati, karena Abra berhenti saat akan menyentuh bibirnya. Vina meniup nafas ke telapak tangannya, berusaha mencium bau nafasnya sendiri. Aroma mint tercium, karena sebelumnya Vina sudah gosok gigi dan berkumur dengan mouth wash. 'Apa aku tidak cantik, hingga Mas Abra tidak berselera padaku?' tanyanya lagi. Tapi mana mungkin? Semua orang mengaku
INFERTIL 2Vina turun ke ruang makan, setelah usai membersihkan diri dan berdandan sewajarnya. Mertuanya ini orang berada punya banyak ART, jadi Vina tak perlu bangun pagi untuk bantu-bantu di dapur. Kalau Abra nggak kaya, mana mungkin mamanya memaksa Vina menerima pinangan pria 32 tahun itu. Untung ganteng, jadi Vina nggak merasa terpaksa, seneng malah. "Hai sayang ... Gimana, nyenyak tidurnya?" sapa Maya, mama mertua Vina. "Iya Ma, nyenyak banget, sampai kesiangan bangunnya," jawab Vina tak bersemangat. Maya menatap Vina heran. "Kok lesu gitu, Vin? Kecapekan ya semalam?" Maya mengangkat dua alisnya, menggoda menantu barunya itu. "Mama apaan sih? Belum Ma, segelnya masih utuh." Maya terlihat menghela nafas mendengar jawaban Vina. "Hah? Jadi kalian belum .... " Maya menautkan kedua jarinya, yang dibalas anggukan oleh Vina. "Mungkin Abra kecapekan, Vin. Tapi mama yakin malam ini dia bakal bikin kamu minta ampun," ujar Maya antusias. 'Benar juga kata Mama, mungkin aku harus sabar
INFERTIL 3"Nggak bisa, Ton. Tulangku rasanya hilang, kayak nggak ada tenaga. Lemes banget, sumpah!" ucap Abra frustasi. "Kamu terlalu tegang mungkin, Bra. Coba deh kamu itu santai, rileks, dan nikmati saja momennya," jawab Antoni bijak. "Sudah Ton, aku sudah berusaha semampuku. Tapi tubuhku terasa tak berdaya saat aku mau memulainya, aku langsung down." Abra meraup kasar mukanya berkali-kali, mengingat kejadian semalam, dimana dia gagal menyentuh Vina. "Kamu terlalu banyak mikir kali, Bra. coba kamu fokus sama istrimu. Masa istri secantik itu, masih muda, seksi lagi, nggak membuat kamu nafsu?" ujar Antoni dengan wajah setengah menggoda. "Nggak tahu, Ton. Aku sendiri bingung, kenapa bisa begitu? Padahal aku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan istriku, kenapa sekarang aku nggak bisa nafsu? Padahal dia terlihat sudah siap semalam, tapi aku malah mengecewakannya. Aku jadi merasa berdosa padanya," ucap Abra frustasi. Berkali-kali dia meremas rambutnya sendiri. "Kamu sudah
INFERTIL 4Vina mondar-mandir di dalam kamar, berkali-berkali dia melongokkan kepala ke jendela, melihat ke arah gerbang masuk. Berharap melihat suaminya pulang, tapi hingga hari hampir gelap, laki-laki yang menghalalkannya sehari yang lalu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Kemana, sih?" gerutu Vina, masih mondar-mandir dari sebelah ranjang menuju jendela, begitu terus berulang-ulang. "Huh!" Vina kembali mendengkus kesal, melongokkan lagi kepalanya keluar jendela, tapi apa yang diharapkan tidak dia jumpai. Padahal sebentar lagi azan maghrib berkumandang, tapi tak ada tanda-tanda Abra akan pulang. "Katanya hanya sebentar, ini sudah seharian, kok nggak pulang-pulang? Masa iya Mas Abra sudah masuk kerja, sih? Tapi tadi Mama bilang ada urusan sama teman? Duh, jangan-jangan dia ketemu selingkuhannya?" Pikiran Vina mulai dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang suaminya. Vina menghempaskan tubuhnya ke ranjang, duduk di pinggir sambil melipat tangan di depan dada. Vina hen
INFERTIL 5Vina mengeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, perlahan matanya terbuka. Tanpa menoleh Vina meraba sebelah tempatnya tidur. Kosong! Lagi-lagi Abra bangun lebih awal, meninggalkan Vina meringkuk sendiri di bawah selimut. "Apa susahnya bangunin istri dulu, sih!" gerutu Vina dalam hati. Sudah dua kali Abra meninggalkan dirinya tanpa pamit, sebuah kebiasaan yang membuat Vina makin curiga pada sang suami. Ada apa dengan Abra? Apa yang disembunyikan laki-laki itu? Tak ingin over thinking, gegas Vina ke kamar mandi, membersihkan diri, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai muslim sebelum memulai hari. Meski bukan berasal dari keluarga religius, untuk kewajiban yang satu itu Vina tak pernah meninggalkannya, kecuali kalau tamu bulanannya datang tentu saja. Usai sholat Vina berganti baju, memoles wajahnya dengan riasan tipis. Meski hatinya tengah dilanda gelisah, dia harus terlihat cantik dan segar, kan. Pengantin baru masa iya, penampilannya kucel dan nggak enak di lihat
INFERTIL 6Vina hanya menghela nafas melihat Abra pulang menjelang malam. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana Abra pergi seharian, apa saja yang dilakukan laki-laki itu menghabiskan waktunya? Tapi dia urung melakukan, dia tidak yakin Abra akan jujur padanya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan laki-laki itu, entah sampai kapan dia akan terbuka pada Vina? Vina hanya ingin punya kehidupan normal, seperti pasangan pada umumnya. Bukan seperti ini, Abra seperti alergi menghabiskan waktu berdua dengannya. Dia berharap, kecurigaannya tak terbukti. "Kita turun makan yuk, Vin! Sekalian aku mau ngomong sama Mama," ucap Abra setelah dirinya keluar kamar mandi dengan keadaan rapi. Dada Vina berdenyut nyeri, melihat Abra yang terlihat sudah ganteng itu. Ganti baju saja dilakukan Abra di kamar mandi, padahal mereka sudah suami istri. Tak berdosa bila Vina melihat tubuh polosnya, jangan hanya melihat menikmati saja halal. Tapi kenapa Abra masih sungkan? Atau ada yang ingin Abra tutupi, hingga V
Bab 7Selama di Maldives, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati pemandangan alam yang memang terlalu indah untuk dilewatkan, renang dan wisata kuliner tentu saja. Tapi ada hal penting yang mereka lewatkan, hal yang sebenarnya menjadi tujuan mereka datang ke sini. Meneguk madu cinta!. Ya, sampai hari ke-empat Abra belum juga menyentuh Vina. Setiap pulang jalan-jalan dia buru-buru ke kamar mandi, membersihkan diri lalu merebahkan diri di ranjang, dengan alasan capek, kemudian terlelap hingga pagi. Begitu terus setiap hari. Perilaku aneh Abra membuat kecurigaan Vina semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan suamiku? Apa dia punya orientasi seksual yang menyimpang? Hingga tidak tertarik sama sekali untuk menyentuhku? Begitu pertanyaan yang kini memenuhi benak Vina. "Jangan menolak permintaan suami, dosa! Kalau perlu kamu yang memulai lebih dulu, tawari suamimu! Nggak usah malu-malu!" Nasihat Marni masih terngiang jelas di telinga Vina. "Apaan sih, Ma? Nggak mau, lah! Entar
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s