INFERTIL 3
"Nggak bisa, Ton. Tulangku rasanya hilang, kayak nggak ada tenaga. Lemes banget, sumpah!" ucap Abra frustasi."Kamu terlalu tegang mungkin, Bra. Coba deh kamu itu santai, rileks, dan nikmati saja momennya," jawab Antoni bijak."Sudah Ton, aku sudah berusaha semampuku. Tapi tubuhku terasa tak berdaya saat aku mau memulainya, aku langsung down." Abra meraup kasar mukanya berkali-kali, mengingat kejadian semalam, dimana dia gagal menyentuh Vina."Kamu terlalu banyak mikir kali, Bra. coba kamu fokus sama istrimu. Masa istri secantik itu, masih muda, seksi lagi, nggak membuat kamu nafsu?" ujar Antoni dengan wajah setengah menggoda."Nggak tahu, Ton. Aku sendiri bingung, kenapa bisa begitu? Padahal aku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama dengan istriku, kenapa sekarang aku nggak bisa nafsu? Padahal dia terlihat sudah siap semalam, tapi aku malah mengecewakannya. Aku jadi merasa berdosa padanya," ucap Abra frustasi. Berkali-kali dia meremas rambutnya sendiri."Kamu sudah selesai menjalani terapi, kemarin kamu juga bilang, kalau saat pagi punyamu sudah bisa 'berdiri'. Itu artinya kamu sudah normal, kalau sekarang kamu lemes menghadapi istrimu, itu artinya masalahnya ada di psikologis kamu. Coba sekarang kamu rileks, nikmati suasana. Atau kalian bulan madu saja, ke tempat yang romantis. Mungkin dengan perubahan suasana bisa merubah moodmu, gimana?" usul Antoni."Iya, ya? Mungkin usulmu bisa dicoba, tapi yakin bisa berhasil? Takutnya di sana juga gagal."Antoni menghela nafas, kalau yang dihadapinya ini bukan sahabatnya, mungkin dia sudah menggebuk Abra. Dinasehati ngeyel terus dari tadi, sebenarnya Abra ini mau berobat apa ngajak debat?"Dicoba dulu, jangan langsung pesimis begitu. Coba pilih yang dekat-dekat aja, yang penting tempatnya romantis. Yang suasananya mendukung acara bulan madu kalian. Kalau perlu tiru adegan drama Korea, siapa tahu berhasil, iya kan? Yang penting kamu itu rileks, nikmati setiap momen yang kalian lewati. Jangan overthinking! Yang ada malah gagal lagi nanti." Antoni berusaha meyakinkan Abra, yang terlihat menyerah sebelum berperang.Abra menghela nafas, matanya menatap lurus kedepan. Berkali-kali dia meraup kasar wajahnya. "Aku nggak yakin, Ton. Kalau nanti gagal gimana?""Plak!" Antoni menggebuk gemas punggung Abra. Dinasehati selalu saja membantah. Apa salahnya dicoba dulu!"Dicoba dulu! Harus berapa kali kubilang? Dicoba dulu, jangan overthinking! Kalau sampai nanti gagal, aku bakal kasih kamu obat perangsang yang aman. Biar kamu bisa melewati malam pertama." Mata Antoni menatap jengkel pada Abra."Aku laporin kamu ke IDI, biar dicabut ijin praktekmu, karena sudah menganiaya pasien!" ancam Abra, sambil meringis kesakitan. Karena gebukan Antoni bisa dibilang cukup keras."Habisnya aku jengkel sama kamu, dari tadi ngeyel terus. Ikuti saja saranku, kalau masih gagal juga, segera hubungi aku. Kalau perlu ajak sekalian istrimu, biar dia tahu permasalahanmu --- ""Gila aja kamu! Ngajak Vina konsultasi sama kamu? Mau ditaruh di mana mukaku?" pekik Abra spontan."Penyakit kamu itu, butuh dukungan dari orang terdekat, terutama pasangan." Suara Antoni mulai meninggi, efek dari sikap Abra yang menjengkelkan."Ya kalau dia mau mengerti, kalau dia memilih pergi gimana? Kamu lupa kasus Lia?" Bayangan Lia memutuskan hubungan mereka masih teringat jelas di benak Abra."Aku nggak bisa nunggu, Mas," lirih Lia, saat Abra mengutarakan keinginannya menunda pernikahan mereka, menunggu dia benar-benar sembuh, dan kembali normal."Hanya beberapa kali terapi, setelah sembuh aku akan segera menikahimu," melas Abra."Butuh waktu berapa lama? Sebulan? Dua bulan? Atau setahun, dua tahun? Mau sampai kapan? Berapa kali kita mencoba, tapi kamu tetap saja tak berdaya. Ya kalau sembuh, kalau penyakit kamu itu permanen gimana?" cerca Lia yang mulai terbawa emosi."Beri waktu tiga bulan, kalau tidak ada perubahan, terserah kamu mau apa?" ucap Abra pasrah, tak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan Lia agar jangan pergi dari sisinya."Aku nggak mau spekulasi, Mas. Aku mau hidup normal, bahagia punya anak." Abra benar-benar frustasi mendengar kalimat yang meluncur dari bibir kekasihnya itu.Bukan hanya Lia, dia pun punya keinginan yang sama. Tapi keadaannya sekarang belum memungkinkan untuk menuju pelaminan. Dia ingin benar-benar sembuh dulu, kembali normal, agar bisa membahagiakan istrinya lahir batin."Maaf, Mas. Aku rasa hubungan kita harus berakhir di sini, akan menikahi laki-laki lain," ucap Lia datar, sedatar ekspresinya.Abra mengeram frustasi, orang yang dia harap mau mendukung dan memberinya semangat untuk sembuh, nyatanya memilih mundur. Apa salah jika kemudian dia terpuruk dan putus asa?"Bra!" Antoni menepuk pundak Abra yang sedang termenung itu. "Kayaknya setelah ini kamu harus konseling sama psikolog, aku rasa masalahnya ada pada psikismu. Kamu butuh ahli jiwa, Bra. Aku lihat kamu kehilangan kepercayaan diri, takut ditolak, trauma. Semua gejala yang kamu alami mengarah pada unxieti, kamu menderita kecemasan yang berlebihan. Ini baru dugaanku, hanya psikiater yang tahu pasti apa yang sebenarnya kamu alami," tutur Antoni panjang lebar."Apa separah itu, Ton?" tanya Ibra lemah. Antoni mengangguk pelan. "Aku rasa begitu, dari cerita gagalnya malam pertamamu, mengarah pada gejala itu. Apa perlu ku rekomendasikan psikolog terbaik?" Abra menggeleng lesu."Kenapa? Malu? Hanya psikiater yang bisa membantumu sembuh." Antoni menatap dalam-dalam mata Abra. Melihat Abra yang hanya diam, Antoni melanjutkan ucapannya. "Kalau kamu terus bersikap seperti ini, obat sebaik apapun, psikiater sehebat apapun tidak akan bisa menyembuhkanmu. Kamu harus punya semangat untuk sembuh! Kalau kamu menyerah begini, bagaimana dengan istrimu? Kamu nggak kasihan sama Vina? Kamu nggak kasihan sama Tante Maya?" Abra menatap nanar sahabatnya.Dokter berwajah oriental itu berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas yang dari tadi tergeletak di meja."Mau kemana?"Antoni yang sudah bersiap pergi itu menunda langkahnya, karena Abra belum ada tanda-tanda akan meninggalkan ruang prakteknya. "Maaf, bukannya ngusir. Tapi aku sudah telat Ke rumah sakit. Bisa dipecat aku nanti, kalau sering telat begini," gumam Antoni pelan."Maaf, sudah merepotkanmu. Terimakasih ya, sudah mau mendengar keluh kesahku." Abra bangkit dari duduknya."Itu memang tugasku, Bra." Antoni menepuk pelan pundak Abra, sebelum kembali buka suara. "Hubungi aku, kalau kamu sudah siap ketemu psikiater," pungkas Antoni kemudian meninggalkan ruang prakteknya.Abra berdiri, dan mengekor langkah Antoni. "Apa kamu nggak bisa bantu, Ton?""Kalau sama aku, kamu lebih suka ngajak ribut. Lagipula itu bukan ranahku, aku ini dokter kandungan, apa kamu lupa?" Abra tersenyum kecut. "Mending kamu ketemu ahlinya saja! Percayalah, aku tidak akan menjerumuskanmu, ini semua untuk kebaikanmu sendiri. Dan juga kebahagiaan kalian berdua," tukas Antoni lalu masuk ke dalam mobilnya."Aku pergi dulu, Bra. Salam untuk mama dan istrimu." Antoni bergegas melajukan mobil, meninggalkan Abra yang masih terpaku di tempatnya."Konseling ke ahli jiwa? Aku tidak gila." Desis Abra semakin kecewa.Bersambung ....INFERTIL 4Vina mondar-mandir di dalam kamar, berkali-berkali dia melongokkan kepala ke jendela, melihat ke arah gerbang masuk. Berharap melihat suaminya pulang, tapi hingga hari hampir gelap, laki-laki yang menghalalkannya sehari yang lalu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. "Kemana, sih?" gerutu Vina, masih mondar-mandir dari sebelah ranjang menuju jendela, begitu terus berulang-ulang. "Huh!" Vina kembali mendengkus kesal, melongokkan lagi kepalanya keluar jendela, tapi apa yang diharapkan tidak dia jumpai. Padahal sebentar lagi azan maghrib berkumandang, tapi tak ada tanda-tanda Abra akan pulang. "Katanya hanya sebentar, ini sudah seharian, kok nggak pulang-pulang? Masa iya Mas Abra sudah masuk kerja, sih? Tapi tadi Mama bilang ada urusan sama teman? Duh, jangan-jangan dia ketemu selingkuhannya?" Pikiran Vina mulai dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang suaminya. Vina menghempaskan tubuhnya ke ranjang, duduk di pinggir sambil melipat tangan di depan dada. Vina hen
INFERTIL 5Vina mengeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, perlahan matanya terbuka. Tanpa menoleh Vina meraba sebelah tempatnya tidur. Kosong! Lagi-lagi Abra bangun lebih awal, meninggalkan Vina meringkuk sendiri di bawah selimut. "Apa susahnya bangunin istri dulu, sih!" gerutu Vina dalam hati. Sudah dua kali Abra meninggalkan dirinya tanpa pamit, sebuah kebiasaan yang membuat Vina makin curiga pada sang suami. Ada apa dengan Abra? Apa yang disembunyikan laki-laki itu? Tak ingin over thinking, gegas Vina ke kamar mandi, membersihkan diri, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai muslim sebelum memulai hari. Meski bukan berasal dari keluarga religius, untuk kewajiban yang satu itu Vina tak pernah meninggalkannya, kecuali kalau tamu bulanannya datang tentu saja. Usai sholat Vina berganti baju, memoles wajahnya dengan riasan tipis. Meski hatinya tengah dilanda gelisah, dia harus terlihat cantik dan segar, kan. Pengantin baru masa iya, penampilannya kucel dan nggak enak di lihat
INFERTIL 6Vina hanya menghela nafas melihat Abra pulang menjelang malam. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana Abra pergi seharian, apa saja yang dilakukan laki-laki itu menghabiskan waktunya? Tapi dia urung melakukan, dia tidak yakin Abra akan jujur padanya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan laki-laki itu, entah sampai kapan dia akan terbuka pada Vina? Vina hanya ingin punya kehidupan normal, seperti pasangan pada umumnya. Bukan seperti ini, Abra seperti alergi menghabiskan waktu berdua dengannya. Dia berharap, kecurigaannya tak terbukti. "Kita turun makan yuk, Vin! Sekalian aku mau ngomong sama Mama," ucap Abra setelah dirinya keluar kamar mandi dengan keadaan rapi. Dada Vina berdenyut nyeri, melihat Abra yang terlihat sudah ganteng itu. Ganti baju saja dilakukan Abra di kamar mandi, padahal mereka sudah suami istri. Tak berdosa bila Vina melihat tubuh polosnya, jangan hanya melihat menikmati saja halal. Tapi kenapa Abra masih sungkan? Atau ada yang ingin Abra tutupi, hingga V
Bab 7Selama di Maldives, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati pemandangan alam yang memang terlalu indah untuk dilewatkan, renang dan wisata kuliner tentu saja. Tapi ada hal penting yang mereka lewatkan, hal yang sebenarnya menjadi tujuan mereka datang ke sini. Meneguk madu cinta!. Ya, sampai hari ke-empat Abra belum juga menyentuh Vina. Setiap pulang jalan-jalan dia buru-buru ke kamar mandi, membersihkan diri lalu merebahkan diri di ranjang, dengan alasan capek, kemudian terlelap hingga pagi. Begitu terus setiap hari. Perilaku aneh Abra membuat kecurigaan Vina semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan suamiku? Apa dia punya orientasi seksual yang menyimpang? Hingga tidak tertarik sama sekali untuk menyentuhku? Begitu pertanyaan yang kini memenuhi benak Vina. "Jangan menolak permintaan suami, dosa! Kalau perlu kamu yang memulai lebih dulu, tawari suamimu! Nggak usah malu-malu!" Nasihat Marni masih terngiang jelas di telinga Vina. "Apaan sih, Ma? Nggak mau, lah! Entar
"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?" tanya Maya dengan wajah semringah, menyambut kepulangan anak dan menantunya. Dalam benak Maya, menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu pastilah menyenangkan. Tak lama lagi dia akan segera mendapat cucu, tapi sayang yang terjadi justru sebaliknya. Bulan madu itu tak pernah terjadi, Abra dan Vina hanya jalan-jalan, plesiran. Tak ada momen romantis, yang ada justru Vina syok karena tahu Abra punya kekurangan. "Kami capek banget, Ma. Ceritanya nanti saja, ya? Kami mau langsung istirahat," jawab Vina tak bersemangat. "Iya, iya. Kalian langsung ke kamar aja!" balas Maya, dia tersenyum penuh arti. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami naik dulu, Ma." Abra menepuk pundak Maya sebelum berlalu. Abra menyusul Vina yang lebih dulu menuju kamar. Dari wajahnya bisa dilihat kalau Vina masih kesal pada Abra. "Vin!" Abra berusaha meraih tangan Vina yang hendak menekan handle pintu. Vina menatap Abra sejenak lalu melanjutkan aksinya
"Intinya, saudara Abra ini tidak percaya diri, minder, dan takut yang berlebihan. Pengalaman pernah ditolak dan ditinggalkan dalam keadaan terpuruk membuat dia trauma, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Bahkan dia kehilangan semangat untuk sembuh, karena merasa sendiri," terang Psikiater wanita yang kini berhadapan dengan Vina. Ya, sekarang giliran Vina bicara empat mata dengan dr. Fitria Ningrum Sp.KJ. Setelah sesi pertama tadi, Abra berkesempatan membicarakan keluhannya dengan ahli jiwa ini. "Apa ada obat khusus, Dok? Ya, semacam obat kuat atau apalah, biar suami saya punya sedikit 'power', dokter?" tanya Vina sedikit ragu. Jujur dia malu pada wanita cantik yang berbincang dengannya ini. Wanita itu menggeleng pelan, "nggak ada, Vin. Nggak ada! Yang sakit psikisnya, bukan fisiknya. Lagipula obat kuat itu banyak efek sampingnya, bisa bikin kecanduan juga. Kalau nggak minum, nggak bisa bangun. Nggak bagus juga untuk jantung. Paling aku akan meresepkan beberapa vitamin
Infertil 10Vina mendesah lelah, ini malam kesekian dia dan Abra 'mencoba', tapi selalu kegagalan yang dia terima. "Maaf, Vin," lirih Abra dengan wajah penuh penyesalan. "Nggak pa-pa, Mas. Kita coba lagi besok," balas Vina tak kalah lirih. Meski dalam hati ingin meneriaki Abra, mengungkapkan segala kekecewaan yang membuncah di dada. Tapi mengingat ucapan dr. Fitria tempo hari. "Ingat, Vin! Kuncinya ada di kamu. Kalau kamu menyerah, semuanya akan sia-sia." Membuat Vina menelan kecewanya sendiri, dan tetap memberi Abra semangat, meski diri sendiri ingin rasanya ingin pasrah dan menyerah. "Terimakasih, Vin, terimakasih. Kamu memang yang terbaik." Abra mendekap erat Vina dalam pelukannya. * * * * *"Vin, Vina! Tunggu!" Vina membalik badan, menuju sumber suara. Di depannya nampak gadis seusianya sedang berjalan tergesa bahkan sedikit berlari ke arahnya. "Buru-buru amat! Sudah nggak sabar ketemu misua, ya?" ucap Nia dengan ekspresi wajah menggoda. "Apaan, sih! Aku bukan buru-buru mau
Infertil 11Vina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana mungkin Edo tahu? Sedangkan rahasia ini sudah disimpan rapat-rapat baik oleh Vina maupun Abra. Hanya Antoni dan dr. Fitria yang tahu, tak mungkin salah satu dari mereka berdua yang membocorkan rahasia ini, kan? Edo tersenyum sinis. "Ikut aku, atau rahasia suamimu akan terbongkar!"Speechless, Vina tak mampu berkata apa-apa. Edo sudah tahu rahasia terbesar Abra. "Le--pas! Aku bisa jalan sendiri!" sentak Vina, berusaha melepaskan cengkeraman Edo yang menarik paksa tangannya. "Diam! Tak usah banyak bicara!" Edo bergeming tak berniat melepaskan genggamannya. "Nggak enak dilihat orang, Kak. Nanti mereka mikir macem-macem." Vina berusaha menego, dengan memasang wajah melas. Edo menghentikan sejenak langkahnya, ditatapnya Vina dengan tatapan dingin. "Oke, aku lepas. Tapi jangan berusaha kabur! Atau seluruh kampus, bahkan seluruh kota tahu kalau suamimu 'nggak jantan'." Edo sengaja menekan kata nggak jantan ketika menga
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s