INFERTIL 4
Vina mondar-mandir di dalam kamar, berkali-berkali dia melongokkan kepala ke jendela, melihat ke arah gerbang masuk. Berharap melihat suaminya pulang, tapi hingga hari hampir gelap, laki-laki yang menghalalkannya sehari yang lalu itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Kemana, sih?" gerutu Vina, masih mondar-mandir dari sebelah ranjang menuju jendela, begitu terus berulang-ulang."Huh!" Vina kembali mendengkus kesal, melongokkan lagi kepalanya keluar jendela, tapi apa yang diharapkan tidak dia jumpai. Padahal sebentar lagi azan maghrib berkumandang, tapi tak ada tanda-tanda Abra akan pulang."Katanya hanya sebentar, ini sudah seharian, kok nggak pulang-pulang? Masa iya Mas Abra sudah masuk kerja, sih? Tapi tadi Mama bilang ada urusan sama teman? Duh, jangan-jangan dia ketemu selingkuhannya?" Pikiran Vina mulai dipenuhi prasangka-prasangka buruk tentang suaminya.Vina menghempaskan tubuhnya ke ranjang, duduk di pinggir sambil melipat tangan di depan dada. Vina hendak menelfon Abra, untuk menanyakan dimana keberadaan laki-laki ganteng itu, ketika ponsel itu sudah berada dalam genggamannya. Tapi dia urung melakukanya. "Nanti dikira terlalu cerewet, posesif. Huh! Nyebelin banget, sih!" Vina melempar pelan ponsel ke atas kasur.Bingung, itu yang kini Vina rasakan. Harus bagaimana? Mereka belum lama kenal sebelum menikah, belum tahu sifat asli Abra seperti apa? Mau memulai chat atau telfon duluan tapi gengsi, nanti dianggap bucin. Ya kalau hanya dianggap bucin, kalau ternyata Abra nggak suka, atau tersinggung gimana? Nanti dianggap sebagai istri yang terlalu mengekang, padahal Vina hanya ingin tahu kabar suaminya itu."Huh!" Lagi-lagi Vina mendengkus kesal, Vina gusar, ingin marah tapi yang mau dimarahi nggak ada. "Awas saja kalau pulang nanti! Aku bikin jadi onde-onde dia! Berani-beraninya pergi tanpa pamit!" gumam Vina lagi. Dia sudah seperti orang gila, dari tadi ngomong sendiri saking jengkelnya.Vina buru-buru lari ke arah jendela, begitu mendengar suara gerbang dibuka. Nampak mobil Abra baru saja masuk. Senyum di wajahnya mengembang seketika, dia lalu berjalan ke arah cermin, merapikan pakaian dan make upnya. Memastikan penampilannya menarik di mata suami, meski mau marah harus tetap kelihatan cantik, kan.Ceklek! Pintu terbuka, sosok gagah dan tampan itu mengulas senyum terbaiknya. Membuat Vina yang siap marah itu jadi luluh seketika."Assalamu'alaikum," ucap Abra sebelum melangkah mendekat pada sangat istri."Darimana sih, Mas? Pergi kok nggak pamit? Mana nggak pulang-pulang lagi? Nggak ada ngabarin juga!" cerca Vina, ketika jarak dia dan Abra tinggal sejengkal. Dia memasang wajah cemberut, tapi hanya ditanggapi Abra dengan mengacak rambutnya sambil memamerkan deretan gigi rapihnya."Aku minta maaf, tadi ada sedikit masalah di kantor. Saking fokusnya sama kerjaan, sampai lupa ngabarin kamu. Maaf ya?" jelas Abra tanpa merasa bersalah.Dia juga tidak menjelaskan secara detail masalahnya apa, sampai dia harus ngantor padahal masih cuti. Hal yang membuat kecurigaan Vina makin menjadi-jadi. Vina menghela nafas, menatap Abra penuh selidik. 'Ke kantor? Bukannya mama tadi bilang dia ada urusan sama temannya? Tapi kok? Jangan-jangan ....'"Kok lihatnya gitu amat? Nggak percaya? Kamu telfon Om Burhan, deh. Cek, aku tadi beneran ke kantor, nggak?" tantang Abra. Abra tidak sedang berbohong, dia memang datang ke kantor omnya tadi. Meski bukan untuk bekerja, hanya untuk membuat alibi. Dan juga menghabiskan waktu yang seharusnya dia lewatkan dengan Vina. Abra butuh waktu untuk sendiri, mengumpulkan segenap keberanian untuk menjalankan kewajibannya sebagai suami.Vina menatap Abra dengan perasaan campur aduk. Antara percaya dan curiga, membuat Vina mengurungkan niatnya untuk mencerca Abra. Kalau dia kekeh mendebat Abra, maka akan terjadi percekcokan. Masa iya baru nikah sudah ribut, apa kata mertuanya nanti? Batin Vina"Sudah azan, tuh. Aku mandi dulu ya? Lengket banget nih badan." Abra buru-buru melangkah ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Vina, mengabaikan wajah cemberut itu.Sepeninggal Abra, pikiran Vina makin dipenuhi rasa curiga. Pasti ada yang tidak beres, tapi apa? Antara keterangan Maya dan Abra bertolak belakang. 'Mama yang bohong, atau Abra yang nggak jujur, sih?' gumam Vina dalam hati.'Sikapnya datar banget, cium pipi kek. Cium kening kek, atau mengulurkan tangan untuk dicium. Ini kok lempeng aja! Kayak bukan pengantin baru. Jangan-jangan kata cinta yang Abra ucapkan sebelum menikah itu hanya kamuflase. Untuk menutupi rahasia, entah itu apa.' Batin Vina masih saja menggerutu, mengeluhkan sikap Abra yang tak sesuai harapannya."Lho, kok masih berdiri di situ? Sudah wudlu?" Abra yang baru keluar dari kamar mandi sedikit terkejut, melihat Vina masih berdiri di tempatnya. Wajah itu terlihat tegang, Vina masih menyimpan amarahnya. Anra paham itu, tapi dia memilih pura-pura tidak tahu."Sudah!" ketus Vina, sambil mengerucutkan bibir. Efek kekesalannya pada Abra.Sebenarnya dia ingin protes pada Abra, kenapa tidak terbuka padanya? Kenapa terkesan menghindar? Dia istrinya, kan? Harusnya Abra terbuka tentang apa saja padanya, tapi ini?Apa hanya suaminya, atau semua laki-laki memang suka berahasia? Gumam hati Vina.* * * * * * * *Abra sudah terlelap sejak selesai sholat isya tadi, membuat Vina mengumpat dalam hati. Rasa kecewa setelah malam pertama yang gagal, ditambah hari kedua menjadi istri yang terlantar, dan kini dia harus kembali menelan kecewa atas pupusnya harapan untuk memadu cinta. Membuat Vina hati Vina dirundung duka.Dia ingin sekali menjerit, menangis meraung-raung untuk meluapkan segala sesak yang menghimpit dada. Kenapa bayangan indah setelah menikah, yang dulu dia dambakan, yang sering sahabatnya ceritakan, tak terjadi padanyaVina bukan tipe perempuan hipers**s, yang haus belaian. Bukan! Pernikahan bukan hanya tentang ranjang, pernikahan adalah meleburnya dua pribadi menjadi satu. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bergandengan tangan menghadapi semua rintangan yang ada, begitu pendapat Vina.Sikap Abra yang seolah menjauh, menciptakan sekat antara dirinya dengan laki-laki yang menjadi suaminya itu, yang membuat Vina terluka.Ada apa dengan Abra? Kenapa dia tidak cerita saja? Kalau memang ada yang kurang dalam dirinya, kenapa Abra tidak berterus terang saja? Agar Vina tahu bagaimana harus bersikap, lelah hati Vina kalau harus meraba-raba. Diamnya Abra membuat dia merasa tidak diinginkan, tidak dicintai.Sebelum menikah dengan Abra, Vina punya mimpi untuk menikah dengan pria yang lebih dewasa. Agar punya tempat bersandar dan bermanja, karena sejak kecil Vina dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan. Dan sekarang Vina harus menghadapi kenyataan, bahwa tua belum tentu dewasa.Bersambung ....Link ada kolom komentar.INFERTIL 5Vina mengeliat meregangkan tubuhnya yang terasa kaku, perlahan matanya terbuka. Tanpa menoleh Vina meraba sebelah tempatnya tidur. Kosong! Lagi-lagi Abra bangun lebih awal, meninggalkan Vina meringkuk sendiri di bawah selimut. "Apa susahnya bangunin istri dulu, sih!" gerutu Vina dalam hati. Sudah dua kali Abra meninggalkan dirinya tanpa pamit, sebuah kebiasaan yang membuat Vina makin curiga pada sang suami. Ada apa dengan Abra? Apa yang disembunyikan laki-laki itu? Tak ingin over thinking, gegas Vina ke kamar mandi, membersihkan diri, tak lupa melakukan kewajibannya sebagai muslim sebelum memulai hari. Meski bukan berasal dari keluarga religius, untuk kewajiban yang satu itu Vina tak pernah meninggalkannya, kecuali kalau tamu bulanannya datang tentu saja. Usai sholat Vina berganti baju, memoles wajahnya dengan riasan tipis. Meski hatinya tengah dilanda gelisah, dia harus terlihat cantik dan segar, kan. Pengantin baru masa iya, penampilannya kucel dan nggak enak di lihat
INFERTIL 6Vina hanya menghela nafas melihat Abra pulang menjelang malam. Sebenarnya dia ingin bertanya kemana Abra pergi seharian, apa saja yang dilakukan laki-laki itu menghabiskan waktunya? Tapi dia urung melakukan, dia tidak yakin Abra akan jujur padanya. Terlalu banyak rahasia yang disimpan laki-laki itu, entah sampai kapan dia akan terbuka pada Vina? Vina hanya ingin punya kehidupan normal, seperti pasangan pada umumnya. Bukan seperti ini, Abra seperti alergi menghabiskan waktu berdua dengannya. Dia berharap, kecurigaannya tak terbukti. "Kita turun makan yuk, Vin! Sekalian aku mau ngomong sama Mama," ucap Abra setelah dirinya keluar kamar mandi dengan keadaan rapi. Dada Vina berdenyut nyeri, melihat Abra yang terlihat sudah ganteng itu. Ganti baju saja dilakukan Abra di kamar mandi, padahal mereka sudah suami istri. Tak berdosa bila Vina melihat tubuh polosnya, jangan hanya melihat menikmati saja halal. Tapi kenapa Abra masih sungkan? Atau ada yang ingin Abra tutupi, hingga V
Bab 7Selama di Maldives, mereka menghabiskan waktu untuk jalan-jalan menikmati pemandangan alam yang memang terlalu indah untuk dilewatkan, renang dan wisata kuliner tentu saja. Tapi ada hal penting yang mereka lewatkan, hal yang sebenarnya menjadi tujuan mereka datang ke sini. Meneguk madu cinta!. Ya, sampai hari ke-empat Abra belum juga menyentuh Vina. Setiap pulang jalan-jalan dia buru-buru ke kamar mandi, membersihkan diri lalu merebahkan diri di ranjang, dengan alasan capek, kemudian terlelap hingga pagi. Begitu terus setiap hari. Perilaku aneh Abra membuat kecurigaan Vina semakin menjadi-jadi. Ada apa dengan suamiku? Apa dia punya orientasi seksual yang menyimpang? Hingga tidak tertarik sama sekali untuk menyentuhku? Begitu pertanyaan yang kini memenuhi benak Vina. "Jangan menolak permintaan suami, dosa! Kalau perlu kamu yang memulai lebih dulu, tawari suamimu! Nggak usah malu-malu!" Nasihat Marni masih terngiang jelas di telinga Vina. "Apaan sih, Ma? Nggak mau, lah! Entar
"Bagaimana perjalanannya, menyenangkan?" tanya Maya dengan wajah semringah, menyambut kepulangan anak dan menantunya. Dalam benak Maya, menghabiskan waktu berdua untuk berbulan madu pastilah menyenangkan. Tak lama lagi dia akan segera mendapat cucu, tapi sayang yang terjadi justru sebaliknya. Bulan madu itu tak pernah terjadi, Abra dan Vina hanya jalan-jalan, plesiran. Tak ada momen romantis, yang ada justru Vina syok karena tahu Abra punya kekurangan. "Kami capek banget, Ma. Ceritanya nanti saja, ya? Kami mau langsung istirahat," jawab Vina tak bersemangat. "Iya, iya. Kalian langsung ke kamar aja!" balas Maya, dia tersenyum penuh arti. Dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. "Kami naik dulu, Ma." Abra menepuk pundak Maya sebelum berlalu. Abra menyusul Vina yang lebih dulu menuju kamar. Dari wajahnya bisa dilihat kalau Vina masih kesal pada Abra. "Vin!" Abra berusaha meraih tangan Vina yang hendak menekan handle pintu. Vina menatap Abra sejenak lalu melanjutkan aksinya
"Intinya, saudara Abra ini tidak percaya diri, minder, dan takut yang berlebihan. Pengalaman pernah ditolak dan ditinggalkan dalam keadaan terpuruk membuat dia trauma, kehilangan kepercayaan dirinya sebagai laki-laki. Bahkan dia kehilangan semangat untuk sembuh, karena merasa sendiri," terang Psikiater wanita yang kini berhadapan dengan Vina. Ya, sekarang giliran Vina bicara empat mata dengan dr. Fitria Ningrum Sp.KJ. Setelah sesi pertama tadi, Abra berkesempatan membicarakan keluhannya dengan ahli jiwa ini. "Apa ada obat khusus, Dok? Ya, semacam obat kuat atau apalah, biar suami saya punya sedikit 'power', dokter?" tanya Vina sedikit ragu. Jujur dia malu pada wanita cantik yang berbincang dengannya ini. Wanita itu menggeleng pelan, "nggak ada, Vin. Nggak ada! Yang sakit psikisnya, bukan fisiknya. Lagipula obat kuat itu banyak efek sampingnya, bisa bikin kecanduan juga. Kalau nggak minum, nggak bisa bangun. Nggak bagus juga untuk jantung. Paling aku akan meresepkan beberapa vitamin
Infertil 10Vina mendesah lelah, ini malam kesekian dia dan Abra 'mencoba', tapi selalu kegagalan yang dia terima. "Maaf, Vin," lirih Abra dengan wajah penuh penyesalan. "Nggak pa-pa, Mas. Kita coba lagi besok," balas Vina tak kalah lirih. Meski dalam hati ingin meneriaki Abra, mengungkapkan segala kekecewaan yang membuncah di dada. Tapi mengingat ucapan dr. Fitria tempo hari. "Ingat, Vin! Kuncinya ada di kamu. Kalau kamu menyerah, semuanya akan sia-sia." Membuat Vina menelan kecewanya sendiri, dan tetap memberi Abra semangat, meski diri sendiri ingin rasanya ingin pasrah dan menyerah. "Terimakasih, Vin, terimakasih. Kamu memang yang terbaik." Abra mendekap erat Vina dalam pelukannya. * * * * *"Vin, Vina! Tunggu!" Vina membalik badan, menuju sumber suara. Di depannya nampak gadis seusianya sedang berjalan tergesa bahkan sedikit berlari ke arahnya. "Buru-buru amat! Sudah nggak sabar ketemu misua, ya?" ucap Nia dengan ekspresi wajah menggoda. "Apaan, sih! Aku bukan buru-buru mau
Infertil 11Vina tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bagaimana mungkin Edo tahu? Sedangkan rahasia ini sudah disimpan rapat-rapat baik oleh Vina maupun Abra. Hanya Antoni dan dr. Fitria yang tahu, tak mungkin salah satu dari mereka berdua yang membocorkan rahasia ini, kan? Edo tersenyum sinis. "Ikut aku, atau rahasia suamimu akan terbongkar!"Speechless, Vina tak mampu berkata apa-apa. Edo sudah tahu rahasia terbesar Abra. "Le--pas! Aku bisa jalan sendiri!" sentak Vina, berusaha melepaskan cengkeraman Edo yang menarik paksa tangannya. "Diam! Tak usah banyak bicara!" Edo bergeming tak berniat melepaskan genggamannya. "Nggak enak dilihat orang, Kak. Nanti mereka mikir macem-macem." Vina berusaha menego, dengan memasang wajah melas. Edo menghentikan sejenak langkahnya, ditatapnya Vina dengan tatapan dingin. "Oke, aku lepas. Tapi jangan berusaha kabur! Atau seluruh kampus, bahkan seluruh kota tahu kalau suamimu 'nggak jantan'." Edo sengaja menekan kata nggak jantan ketika menga
"Siapa dia?" tanya Abra dengan suara dingin dan tatapan tidak suka. Membuat nyali Vina mengkerut seketika. "Edo," jawab Vina takut-takut. "Edo? Namanya seperti tidak asing di telingaku," ucap Abra yang masih betah berdiri di samping mobil, dan terus menatap ke arah kafe. Vina bingung harus bersikap bagaimana. Haruskah jujur sekarang? Apa waktunya tepat? Dia takut Abra tidak terima, lantas marah. Tapi kalau tidak jujur sekarang, dia takut masalahnya jadi tambah rumit. "Mas, aku bisa jelaskan. Tapi bicaranya di mobil saja, ya?" ucap Vina lembut, mencoba melunakkan hati Abra.Tanpa menjawab, Abra membuka pintu dan langsung duduk di jok sopir. Tak mau Abra menunggu, Vina segera masuk lewat pintu sebelahnya. Dari roman mukanya, hampir bisa dipastikan kalau Abra tidak sedang baik-baik saja. Mungkin sedang menahan cemburu dan amarahnya. "Edo itu mantan pacarku, Mas," ucap Vina sambil menatap Abra yang tengah fokus nyetir itu. Hening, tak ada jawaban yang meluncur dari bibir Abra. Meski
"Ceritanya panjang. Nanti aku bakal jelasin semua. Sekarang aku minta tolong sama kamu, agar merahasiakan masalah ini dari Ibu. Bisa?" "Oke, oke. Mas Rangga tidak usah menghawatirkan itu, tapi Vina di rumah sakit mana?""Keluarga pasien atas nama Nyonya Vina!" Obrolan Erlita dan Rangga terjeda oleh suara petugas rumah sakit yang memanggil. "Sorry, Ta. Aku ke dalam dulu.""Jangan ditutup dulu, Mas! Vina di rumah sakit mana?" kejar Erlita yang pertayaannya belum dijawab Rangga. "Husada!" Usai berkata Rangga menutup panggilan, dan mengikuti perawat yang tadi memanggil dirinya. * * * * * * * "Apa hubungan Bapak dengan pasien?" tanya sang dokter dengan wajah penuh selidik. Masalahnya ini informasi yang sangat pribadi bagi pasien, jadi dokter harus memastikan hanya orang terdekat pasien yang tahu. "Saya suaminya, Dokter." Wanita cantik itu mengangguk. "Begini, Pak. Pasien sepertinya baru saja mengalami kekerasan seksual. Ini diagnosa sementara saya. Untuk pastinya kami masih menunggu
Rangga tak sanggup menahan air matanya, melihat orang yang dia cintai tergolek tak sadarkan di atas ranjang, dengan pakaian compang-camping. Bahkan nyaris telanjang. Tanpa perlu dijelaskan, siapapun tahu apa yang baru saja Vina alami. Kondisinya menjelaskan semua itu. Buru-buru dia menghambur ke arah ranjang, menarik selimut untuk menutupi tubuh yang selama ini begitu dia puja itu. Kemudian dipeluk nya tubuh lemas itu, dengan berurai air mata. "Maafkan aku, Sayang." Suara Rangga begitu hingga nyaris tak terdengar. Rangga tak bisa berkata apa-apalagi. Baru semalam mereka berdua begitu bahagia, mengetahui akan segera dikaruniai buah hati. Banyak rencana masa depan yang sudah dia rancang dengan sang istri, setelah anak mereka lahir nanti. Namun kenyataan berkata lain, Vina kembali mengalami pelecehan seks*al. Hal yang membuat Rangga merasa berdosa sekali, karena tak bisa menjaga Vina, hingga mendapat perlakuan seperti ini. 'Tuhan.... Apa salah kami, hingga harus mendapat takdir seper
Rangga mulai gelisah, pikirannya tidak tenang. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa tidak enak. Rasa bersalah menggelayuti, karena membiarkan istrinya kembali ke kamar sendiri. Seharusnya, dia mengantar Vina dan memastikan wanita pujaannya Istrinya sampai di kamar dengan selamat. Bukannya membiarkan Vina pergi sendiri, bagaimana kalau Vina butuh bantuan, atau terjadi sesuatu dengan dia? 'Kenapa aku jadi lebay begini, sih? Ini hotel bintang lima, yang keamanannya terjaga. Yakin Vina baik-baik saja sampai kamar' gumam Rangga menghibur diri. 'Tapi Vina sedang hamil, harusnya aku selalu menjaga dia. Bukan malah mementingkan tamu," sanggah sisi hati Rangga yang lain. "Bro! Kamu kayak nggak tenang gitu. Kenapa?" Aditya, sahabat sekaligus rekan bisnis Rangga, menepuk calon bapak itu. "Eh, nggak papa, Men. Lagi kepikiran bini aja. Tadi dia ngeluh nggak enak badan, minta balik ke kamar," jelas Rangga. "Udah, susul sono! Daripada Lu kepikiran terus!" Rangga nampak berfikir sejenak. Sebagai
Tanpa menunggu lama, Edo buru-buru mengikuti langkah Vina. Menyusuri lorong hotel yang sepi. Setelah dirasa aman, Edo mendekat, dan menarik tubuh Vina sekuat tenaga. "Mm! Mm!" Vina berusaha melepaskan tangan asing, yang tiba-tiba membekap mulutnya. Kebaya dipadu kain batik yang dia kenakan, membatasi geraknya. Hingga kesulitan melawan orang entah siapa, yang punya maksud buruk padanya ini. "Mm! Mm!" Vina terus berusaha memberontak, meski tak yakin berhasil. Dia memukul, menendang, menggigit. Apapun yang bisa dia lakukan, dia lakukan saat ini demi bisa menyelamatkan diri. Tapi tenaga orang yang menyerangnya ini sangat kuat. Dari tangannya yang kekar, membuat Vina mengambil kesimpulan bahwa ini adalah laki-laki. Tapi siapa? Dia merasa tak punya musuh. Vina berharap ada orang yang lewat, dan mau menolongnya. Tapi nampaknya harapannya hanya kosong belaka, lorong itu tetap sepi sampai akhirnya sosok misterius itu berhasil menyeretnya masuk ke sebuah kamar. "Auw!" Vina menjerit, ketik
Vina menatap dingin ke arah Edo, berharap laki-laki ini cukup tahu diri, bahwa keberadaannya sangat mengganggu. "Tapi aku suka kamu yang sekarang. Terlihat lebih menggoda." Edo kembali melempar kalimat melecehkan."Pergi!" Vina sudah tak tahan lagi dengan sikap Edo yang menurutnya sangat menyebalkan."Oke, oke. Aku akan pergi. Tapi perlu kamu tahu, kita akan sering ketemu, Vin. Indra, suami adik iparmu itu, sepupuku. Dan satu lagi, perusahaan tempatku bekerja ada kontrak kerja sama dengan perusahaan milik suamimu." Usai berkata Edo melenggang begitu saja, meninggalkan Vina yang setengah mati menahan amarah. * * * * * * * * * *"Apa dia mengganggumu?" Tanya Rangga dengan wajah cemas. Setelah mengecup kening sang istri sekilas, Rangga kemudian menyeret kursi dan mendudukinya. Dari atas pelaminan, dia melihat istrinya memasang wajah kesal dan beberapa kali tanganya menunjuk ke arah keluar. Saat ngobrol dengan Edo tadi. Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Rangga yaki
"Hati-hati, Yang!" Tangan kanan Rangga memeluk pinggang Vina, sementara tangan kirinya menggandeng tangan sang istri. Mereka sedang menuruni tangga pelaminan, tapi perlakuan Rangga seolah Vina perempuan tua yang tengah menuruni bukit terjal. Vina menjengah mendapat perlakuan lebai dari suaminya. Sejak semalam, sejak tahu di rahimnya tengah tumbuh buah cinta mereka. Rangga jadi over protektif, Vina diperlakukan bak gelas kristal yang rapuh. Bahkan heels yang sedianya akan Vina pakai pada acara ini, diganti flatshoes karena tak mau kaki istrinya pegal dan kram. Bener-bener calon bapak over protective suami Vina ini. Meski jengkel, nyatanya perlakuan Rangga tetap membuat perasaan Vina melayang ke udara. Dia merasa begitu dicintai oleh sang suami. Dia merasa menjadi wanita paling beruntung, di muka bumi ini. Semalam, mereka begitu asyik memikirkan rencana-rencana pada calon buah hati mereka. Rangga bahkan sudah memilih nama yang pantas untuk calon anak mereka. Laki-laki jelang empat pu
"Mas .... udah, dong!" Vina berusaha menepis tangan Rangga yang terus membelit perutnya dari belakang. Tak masalah bagi Vina kalau tangan itu hanya memeluk, tapi tangan itu merayap kemana-mana. Bukan hanya meraba, tapi kadang mencubit area sensitif, dan meremas dadanya. Tanda bahwa pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu mengajaknya kembali mendaki puncak asmara. Rangga tak menjawab, tangannya sibuk meraba-raba tubuh sang istri. Bahkan bibirnya dari tadi tak mau diam. Tengkuk dan leher Vina jadi sasaran. "Capek aku, Mas...." Kembali Vina melayangkan protes. Namun sayangnya Rangga enggan peduli. Ini bukan malam pertama mereka. Pernikahan sudah digelar hampir dua tahun yang lalu, tapi Abra seolah tak pernah bosan mengajak Vina mereguk manisnya madu cinta. Tubuh Vina, dan segala tentang Vina kini jadi candu bagi pria berkulit sawo matang itu. Tak pernah sekalipun dia melewatkan malam tanpa bercinta. Mumpung belum ada anak, belum ada yang mengganggu. Begitu fikir Rangga. Awal perni
"Saya terima nikah dan kawinnya, Levina Agustian binti Hendratmo dengan mas kawin logam mulia 24 karat, seberat 100 gr dibayar tunai." Dengan satu kali tarikan nafas, Rangga berhasil mengucap. Emas 24 karat, adalah lambang kesucian cinta Rangga untuk Vina. Dan seratus gram berarti, cinta Rangga hanya untuk Vina seorang. Begitu ucap Rangga saat Vina menanyakan apa filosofi di balik mas kawin yang dipilih Rangga. Dan semua itu bukan hanya kata-kata, apalagi bualan semata. Rangga sudah membuktikan, bahwa cintanya hanya untuk Vina. Bertahun-tahun dia rela menjomblo, karena tak satupun wanita mampu menggeser posisi mantan istri Abra itu di hatinya. "Bagaimana saksi, sah?""Sah!" Suara lantang nan kompak dari para hadirin terdengar membahana memenuhi ruangan. Tangis Vina pecah seketika, antara bahagia dan haru membaur jadi satu. Untuk kedua kalinya dia menjalani akad nikah lagi. Tak pernah terbersit dalam benaknya, pernikahannya dengan Abra kandas dan kini dia menikah dengan laki-laki la
Vina meninggalkan ruang sidang dengan langkah gontai. Sidang penuh drama dan berlarut-larut membuat dirinya lelah jiwa raga. Abra melalui kuasa hukumnya menolak bercerai dengan alasan masih cinta, dan semua yang terjadi hanya kesalah pahaman belaka. Entah Abra punya apa? Hingga majelis hakim terus menunda keputusan, padahal bukti sudah Vina sodorkan. Dan pengecut nya lagi, Abra tak pernah menghadiri sidang. Sakit, alasannya. "Huft! Lama banget, sih! Drama!" Gerutu Vina dalam hati. Sebenarnya jauh dalam hati, Vina tak pernah menginginkan perceraian ini. Dia berharap pernikahannya dengan Abra adalah yang pertama dan terakhir, hanya maut yang memisahkan mereka. Namun apalah dayanya, Abra yang dulu begitu memujanya, memperlakukannya bak ratu. Tiba-tiba berubah jadi sadis, hanya karena cemburu buta. Apakah masalah keuangan yang telah melilit Abra, yang membuat laki-laki yang biasanya begitu lembut itu, jadi temperamen dan tak berperikemanusiaan? Entahlah, Vina sendiri tidak tahu. Pada s