Bu Farah harus menunggu sekitar sepuluh menit, sebelum akhirnya Viana mengetuk ruang kerja Bu Farah dan Viana masuk dengan sikap yang rileks, senyumnya terkembang sempurna. Viana menyangka dia terpilih untuk mengemban tugas baru, yang berarti itu adalah sebuah prestasi kehormatan.“Maaf, Bu, saya baru keluar dari kelas, sehingga perlu bersiap sebentar,” kata Viana memberi alasan.Bu Farah menyipit. Dia tahu pasti, kelas Viana sudah bubar sekitar lima belas menit yang lalu.“Tadi saya perlu menunggui siswa yang masih ingin bermain di kelas, Bu,” lanjut Viana. Dia seakan mengerti arti gerakan mata atasannya, sehingga buru-buru melengkapi alasannya.Bu Farah menghela napas, lalu menyuruh Viana duduk. Viana pun duduk. Senyum lebarnya kembali muncul.“Viana, tadi pagi kamu melaporkan kepada saya tentang berita Naomi yang akan pindah sekolah. Sebenarnya kamu mendapat berita itu dari mana?” tandas Bu Farah.Wajah Viana seketika memerah. Bias gelisah terpancar dari sorot matanya yang meredup.
Inge berusaha melihat wajah Naomi yang berbaring dengan meletakkan kepala kecilnya di pangkal lengannya. Rasanya sedetik tadi bocah itu masih mengoceh riang, tiba-tiba saja suaranya tidak ada lagi.“Mimi.” Inge mencoba memanggil gadis cilik itu.Tidak ada balasan. Inge bergerak hati-hati, bangkit dengan perlahan dengan melepaskan lengannya pelan-pelan dari kepala Naomi.Inge seketika tersenyum lebar. Rupanya anak cantik ini sudah terlelap. Mata Naomi terpejam sempurna, bulu matanya yang lentik tampak melengkung indah. Ah, Inge tidak dapat menahannya lagi. Diciumnya wajah polos Naomi berkali-kali. Sosok mungil yang menggemaskan itu tampak menggeliat halus beberapa jenak, lalu kembali terbujur tenang.Inge menjadi tertawa sendiri. Ternyata menggoda Naomi saat tertidur sama membahagiakannya saat bocah itu sedang bisa diajak bicara. Senyum Inge memudar, seiring kepalanya teringat bahwa kebersamaannya dengan gadis cilik nan menggemaskan ini mungkin tidak akan lama lagi. Dalam hitungan se
“Ayo kita sharing, Pak,” kata Inge, seraya mengambil satu lagi strawberry yang kelihatan paling gendut.Lucas tertawa tipis.“Aku sudah cukup,Ing. Makanlah untukmu, untuk bayi… kita,” sahut Lucas. Meski saat mengucapkan kata ‘kita’ dia tampak berhati-hati, namun Lucas mengucapkannya sambil sedikit tersenyum.Inge menghentikan gigitannya dua detik, mendadak jantungnya berdesir mendengar kata itu. Kemudian Inge mulai makan lagi sembari menunduk. Kunyahannya menjadi amat pelan.“Aku masih ada kerjaan,” ujar Lucas seraya berdiri. “Apa boleh aku minta tolong dibikinkan kopi?”“Oh, tentu, Pak Lucas.” Inge pun berdiri, meletakkan buah yang tinggal separuh itu kembali ke mangkuk.Setelah mengucapkan terima kasih, Lucas pergi ke ruang kerjanya.Inge bergerak untuk meramu kopi, dan dalam waktu tidak terlalu lama minuman yang diminta Lucas sudah siap. Dengan cekatan, Inge mengambil nampan dan piring kecil. Diletakkan satu strawberry di piring itu, bersebelahan dengan cangkir kopi.Pintu ruang ke
Inge mengerti kekuatiran Lucas. Dia sangat menghargai itu, bahkan bangga telah dipedulikan sedemikian rupa. Satu hal yang tidak pernah dia dapat sejak dulu dari Armand, padahal mereka hidup bersama lebih dari lima tahun sebagai pasangan suami istri. Yang lebih menyesakkan, antara dirinya dan Armand, dahulu menikah berdasarkan cinta. Namun mengapa Armand tidak sepeduli Lucas? Ah, kenapa jadi ingat lelaki brengsek itu?Inge mengalihkan kegundahan hatinya dengan tersenyum. “Pak Lucas yang bilang kan, bahwa semua akan baik-baik saja.”Lucas pun mengangguk, senyumnya kembali hadir.Inge menyambut uluran tangan Naomi. Bocah ini memang senang sekali digandeng, terutama sejak kepulangan mereka dari supermarket tempo hari. Berjalan di dalam kamar pun inginnya bergandengan.“Nanti Mimi sekolahnya enggak perlu ditungguin ya,” kata Lucas ketika mereka masuk ke dalam mobil.“Tapi pulangnya dijemput Miss Inge sama Papa lagi ya,” timpalnya.Lucas mengangguk. Dia menoleh kepada Inge sekilas. Seakan
Inge melangkahkan kaki lagi. Dia sama sekali tidak ingin membuat masalah dengan siapa pun di tempat ini.“Kenapa menghindar? Sudah merasa di atas? Jadi merasa tidak se-level untuk bicara denganku?” Perempuan itu meraih pundak Inge dengan kasar. Lalu mendorongnya, sehingga Inge mundur paksa beberapa langkah.“Bu Viana, apa mau Anda? Kalau mau bicara, pasti bukan seperti ini kan? Bicaralah baik-baik,” Inge mendesis kesal. Tangannya meraba perutnya sendiri, sembari berdoa semoga bayinya aman di sana.“Wow, keren banget. Ternyata udah berani nantangi aku. Merasa punya power ya sekarang?” sinis Viana.Sesungguhnya, Viana agak kaget. Inge yang dulu, biasanya hanya diam saat dia bicara keras. Bahkan disindir di depan mukanya pun, Inge tidak merespon. Namun kini ternyata, Inge punya keberanian untuk menimpali ucapannya. Semakin yakinlah dia kalau Inge memang akan berulah setelah menjadi istri Pak Lucas.Viana menyipit. Memandang Inge dengan sebal. Dalam pikirannya yang liar, dia menduga bahwa
Mobil Lucas telah sampai di halaman rumahnya. Saat Inge membuka mobil, Lucas berkata lagi, “Siapkan dirimu untuk nanti malam. Terutama badanmu ya, harus fit.”Inge berpura-pura tidak mendengar. Dia turun, menutup pintu dan bergegas masuk tanpa menoleh lagi kepada Lucas.Dia terus pergi ke kamarnya. Kemudian berdiri di depan cermin. Melihat tubuhnya sendiri beberapa saat, lalu menghadap kanan dua detik, setelah itu dia kembali ke posisi semula. Inge mulai menyentuh wajahnya. Sedikit memberi tekanan di pipi. Terus turun ke dadanya.Masihkah dia menarik? Bobot tubuhnya telah susut sampai sepuluh kilogram sejak mengetahui perselingkuhan Armand. Proses cerai, serta menjalani hidup seorang diri sebagai janda ternyata telah memakan banyak pikirannya, lalu berimbas pada fisiknya.‘Siapkan dirimu untuk nanti malam.’Terngiang lagi suara Lucas yang serius tadi. Apakah itu kode bahwa Lucas menginginkan dirinya malam ini?Inge melenguh. Dengan semua kebaikan Lucas kepadanya selama ini, apa dia bo
Inge keluar dari kamar Karina. Perasaannya sudah lega, tetapi tentang permintaan Lucas, Inge memantapkan hati untuk melihat situasi nanti saja. Kalau ada kesempatan untuk menghindar, dia akan berkelit. Namun dia akan melakukan penolakan dengan hati-hati. Tentu saja Inge tidak ingin membuat Lucas menjadi murka.Inge turun dan menuju dapur. Dia lapar lagi, dan yang diinginkannya adalah strawberry!Dapur sepi, tidak nampak Bi Yati. Di kejauhan tampak Pak Husen sedang mengurus tanaman dengan seorang lelaki muda yang Inge lupa namanya. Informasi dari Bi Yati, lelaki muda itu pekerja Lucas yang bertugas mengurus sarana dan prasarana di rumah Lucas. Jadi dia datang setiap hari untuk mengecek fasilitas seperti listrik, air, sampai jendela dan pintu agar bekerja sempurna sesuai fungsinya.Inge tidak paham betul, berapa tepatnya jumlah pekerja di rumah Lucas ini. Yang dia lihat, setiap harinya banyak orang yang menangani ini dan itu di segala penjuru rumah. Namun yang menginap memang hanya Bi Y
“Miss Inge! Miss, di mana?”Samar-samar Inge mendengar suara teriakan Naomi. Gadis kecil itu sudah pulang sekolah? Spontan Inge mendongak mencari jam dinding atau sesuatu yang bisa menunjukkan waktu. Namun tidak dia temukan satu pun di kamar itu.Jika betul Naomi sudah pulang sekolah, itu berarti dia sudah begitu lama bicara kepada sosok Karina yang bisu. Benar-benar tidak terasa, ternyata bicara dengan Karina itu menyenangkan. Dan dapat membuat hatinya lebih tenang. Meski dengan begitu dia seperti orang gila, karena sebenarnya bicara pada sendiri.“Miss Inge!” Teriakan Naomi menjadi lebih kencang.Inge pun bergegas berdiri. Segera dia mendapatkan pintu dan membukanya. Terlihat Naomi dengan gestur tubuh yang kebingungan, tengah berada di depan pintu kamarnya yang sudah terbuka.“Sayang, Miss di sini,” Inge sedikit berseru, sembari melambai.Naomi menoleh. Seketika kelopak matanya terlihat melebar. Tubuh mungilnya terpaku, dengan wajah yang mendadak pias.Teringatlah Inge, bahwa Naomi
“Gimana keadaanmu, Ma?” tanya Lucas begitu panggilan tersambung. “Maksudku, kamu baik-baik saja kan setelah perjalanan jauh?”Inge tidak langsung menjawab, melainkan menarik napas dalam terlebih dahulu. Entahlah, dia merasa tidak karuan saat Lucas ternyata masih juga memanggilnya dengan panggilan ‘Mama’.“Saya baik, Pak Lucas. Baby boy juga baik.”“Syukurlah… ,” sahut Lucas cepat. Namun setelah itu dia seperti kehilangan kata-kata lagi, sehingga mereka terdiam cukup lama, sampai akhirnya Inge berinisiatif memutus panggilan terlebih dahulu dengan alasan sang mama memanggilnya.Inge begitu terkejut saat ternyata mamanya benar-benar sedang berdiri di belakangnya saat dia menutup telepon.“Maaf, Ing, enggak ada maksud Mama menguping. Mama hanya mau ambil baju,” ujar Mama Niken. “Tapi… sepertinya kamu berutang penjelasan sama Mama ya. Apa ada sesuatu dengan pernikahanmu?”Inge mengangguk. “Ya, Ma. Ini cerita panjang. Sebaiknya Mama mandi dulu, aku beresin kamarku ya.”Mama Niken ganti meng
“Jangan membuat posisiku bertambah salah,” ucap Lucas. Dia memandang Inge. Namun tiga detk kemudian, dia memalingkan wajahnya.Lucas menghela napas. “Maafkan aku… . Aku tidak akan menyembunyikan status kita pada Karina, aku hanya sedang menunggu waktu yang tepat.”“Saya hanya ingin ketemu Mama saya, tidak ada hubungannya dengan Bu Karina.” Inge menekan suaranya sedemikian rupa. “Saya ingin mengambil momen ini, sebab antara saya dan mama saya memang sudah kurang baik sejak saya bercerai dulu. Mumpung hati Mama saya lagi baik, jadi tidak ada salahnya. Iya kan?”Mereka berdua saling memandang beberapa saat. Sampai akhirnya Lucas berkata, “Oke. Pergilah, tapi diantar Pak Ali. Aku akan menjemputku.”Inge menunduk, lalu mengiyakan dengan suara pelan.“Saya akan pergi malam ini,” pamit Inge. Ditahan isaknya dengan sekuat tenaga.Lucas menghela napas lagi. Dia bisa saja mendebat lagi, tetapi lelaki itu berpikir mungkin Inge sedang benar-benar membutuhkan kebersamaan dengan ibunya.Dan bagian
Diantar oleh Pak Ali, Inge kembali ke rumah sakit dengan banyak pertanyaan di benaknya. Bagaimana mungkin Karina bisa mencari dirinya? Bukankah mereka tidak pernah saling mengenal?Tiba-tiba jantung Inge berdebar keras. Jangan-jangan, Lucas atau Pak Benny telah memberitahu tentang statusnya ini. Astaga! Inge memegangi dada kirinya yang semakin berdenyut. Dia pun mulai memikirkan kalimat-kalimat yang harus dia ucapkan pada Karina. Tentu saja serangkaian kalimat yang dia rasa tidak akan membuat situasi bertambah keruh.Sampai di rumah sakit, Inge berjalan di koridor dengan langkah terasa mengambang. Otaknya kosong sekarang setelah sepanjang perjalanan ke mari ribut sendiri. Mendadak dia sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang apa yang akan Karina tanyakan padanya.Dari kejauhan, Inge melihat Bu Emma yang tampak mondar mandir gelisah. Begitu ibu kandung Karina itu melihat kedatangan Inge, dia terlihat berlari menyongsong. Seolah-olah sudah tidak sabar untuk bi
“Ing, Karina sadar!” Lucas setengah berteriak. Setelah itu dia berlari ke arah mereka datang tadi.Inge melihat betapa Lucas menghilang sangat cepat, bahkan lelaki itu sempat menabrak pot bunga yang menjadi pembatas antara trotoar dan lahan parkir. Beruntung tidak sampai terjadi apa-apa.Sejenak Inge tercenung. Dia menjadi bingung, apakah dia harus balik ke ruangan Karina atau kembali ke rumah? Dia menoleh ke belakang. Naomi tampak amat lelap. Rasanya Inge pun tidak mungkin menggendong Naomi sejauh itu. Kandungannya sudah besar, dan dia merasa tenaganya tidak sekuat dulu. Dia juga gampang sekali lelah. Untuk membangunkannya, tampak lebih tidak mungkin.Inge menghela napas, mencoba menunggu sejenak. Barangkali Lucas akan kembali, atau setidaknya menelepon untuk memberitahu apa yang harus dia lakukan. Namun detik-detik berlalu, tidak ada tanda-tanda kabar dari Lucas. Inge akhirnya memilih keluar dari mobil, kemudian berjalan mengitari bagian depan mobil untuk duduk di belakang kemudi.M
“Pap, Adik ternyata baby boy, bukan baby girl,” ucap Naomi sedikit kecewa, setelah tawa mereka berdua habis.Lucas membeliak. Dadanya mengembang, demikian pula dengan senyumnya. Perasaan bahagia mendengar kabar itu seperti arus listrik yang cepat menjalar, dari ujung kakinya lalu naik melesat.“Oh iya?” jawabnya dengan nada gembira.“Mimi baru tengok Adik di komputer, fotonya dibawa Mama Inge tuh, Papa mau liat?” tutur Naomi sembari menunjuk Inge yang mematung, sekitar sepuluh langkah dari mereka.Senyum Lucas menghilang seketika. Apalagi saat dia menoleh pada Inge, dan melihat tangan perempuan itu yang berada ke wajahnya sendiri, terlihat seperti sedang menghapus air mata. Lucas menjadi amat bersalah telah lupa dengan janjinya hari ini. Seharusnya dia ada di samping Inge tadi.Lucas menurunkan Naomi perlahan. Gadis cilik itu kembali berlari kepada Inge, lalu terlihat meminta amplop besar yang dipegang oleh Inge.“Ini gambar Adik, Pap!” Naomi berteriak seraya berbalik badan dan kembal
Dengan tangan bergetar, Inge merespon panggilan tersebut.“Inge… .”Suaranya terdengar amat lembut. Membuat Inge memejam, dan spontan menggulirkan air mata. Setelah sekian lama sengaja menutup diri dari Inge, akhirnya… .“Mama,” desis Inge. Dia mendengar ibu kandungnya mengisak di seberang. Sementara dia sendiri pun memperdengarkan sedu sedan. Beberapa jenak mereka berdua bertangisan, tangis yang sama-sama tertahan.“Maafkan Mama, Ing. Armand baru saja cerita semuanya, dia sampai bersujud di kaki Mama untuk minta maaf,” ucap Mama, suaranya bergetaran.“Maksud Mama, Mas Armand ke rumah?” tanya Inge tidak percaya.“Iya, baru aja dia pergi, mungkin sekitar lima menit yang lalu,” lirih sekali Mama menjawab. “Dia bilang akan balik ke kota asalnya.”Inge menghela napas. Begitu niatnya Armand bertemu mamanya, padahal kota asal Armand ada di barat, sedang mama tinggal di arah yang berlawanan. Sudah terbayang bagaimana capeknya, apalagi jika Armand menyetir sendiri.“Ing, maafkan Mama ya.” Ibu
Setelah mengambil bungkusan dari Armand, Inge naik. Di ujung tangga dia bertemu dengan Bi Yati yang tengah mencarinya.“Miss, saya kira ke mana. Saya sampai cari ke kamar Nyonya Karina. Lupa kalau Nyonya udah nggak di situ lagi, karena biasanya Miss Inge jam segini ada di kamar Nyonya,” ucap Bi Yati panjang lebar.Inge tersenyum menanggapinya. Entah mengapa sudut hatinya kembali tercubit mendengar nama Karina.“Saya ambil ini dulu, Bi. Tadi lupa dibawa turun sekalian dari mobil,” sahut Inge.“Harusnya Miss tadi tinggal telpon ke pos, biar diambilkan sama Pak Ali.”Inge hanya tersenyum saja.“Oh iya, buah potongnya sudah saya taruh di atas meja, Miss. Saya bawakan kroket juga, semoga Miss Inge berkenan,” ujar Bi Yati. Dia tahu jika istri kedua majikannya ini belum sarapan, sebab tadi terburu-buru mengantar Naomi.Inge mengucapkan terima kasih, tetapi menolak saat Bi Yati berniat untuk memberikan bantuan dengan membawakan bungkusan besar yang ada di tangannya. Dia pun kembali berjalan m
“Ya, Sayang. Ayo sebelum bobo kita sama-sama berdoa biar Mama Karina cepat bangun dan bisa main sama Mimi, bisa—”“Mimi enggak mau!” tukas Naomi. “Mimi mau sama Mama Inge aja, sama Adik. Kenapa Adik lama banget enggak keluar-keluar, Ma?”Inge tersenyum. “Sebentar lagi, Kakak. Udah enggak sabar main sama Adik ya?”Naomi mengangguk. Selanjutnya dia memeluk pinggang Inge, menciumi perut Inge beberapa kali sambil tertawa-tawa senang.“Oh iya, besok kita tengok Adik ya,” kata Inge. Dia baru saja teringat bahwa besok dia ada janji dengan dokter Yoda. Pada pemeriksaan minggu kemarin jenis kelamin bayinya belum terlihat sebab posisi sang bayi, sehingga dokter Yoda menjadwal ulang, sebelum beliau pergi ke luar negeri untuk berlibur selama satu bulan.“Tengok Adik di komputer ya, Ma?” tanya Naomi antusias.“Iya, Sayang, setelah Mimi pulang sekolah,” jawab Inge. “Sekarang kita bobo yuk.”Naomi menurut. Dia kembali ke posisi tidurnya dengan lurus, tidak meringkuk seperti yang baru saja dia lakuka
Inge tersenyum. Kebiasaan Naomi, kalau dia sudah mengantuk sekali, pasti akan meletakkan kepalanya di sembarang tempat. Naomi memang belum istirahat sejak pulang sekolah tadi. Jadi sangat wajar kalau gadis cilik ini kelelahan.“Kita pulang?” tanya Inge. Dia meraih dagu bocah itu, dan dia gemas pipinya sekejap.Naomi mengangguk lesu. Matanya tampak sudah tidak kuat untuk dia buka.Inge terpaksa meminta agar sotonya dibungkus saja. Entah nanti termakan olehnya atau tidak. Dia hanya tidak ingin si pemilik warung tersinggung jika soto yang baru dia cicipi kuahnya itu ditinggalkan begitu saja.Dibantu seseorang yang ada di situ, Inge membawa Naomi yang sudah terlelap ke dalam mobil. Rencana untuk jalan-jalan sudah hangus. Inge pun melajukan mobilnya menuju pulang. Sesekali dia melihat pada Naomi yang rebah di jok belakang, untuk memastikan anak tiri kesayangannya itu aman.Sampai di rumah, Pak Husen yang terlihat tengah mengobrol dengan penjaga keamanan segera mendekat ketika Inge memanggi