Sepeninggal Lucas, Inge bangkit menuju kamar mandi. Dia mencuci muka di sana, sambil berpikir apakah dia harus menghindar atau menurut saja? Namun dia tidak mempunyai alasan yang tepat untuk mengelak keinginan Lucas. Jadi setelah memoles wajahnya dengan bedak dan lipstick tipis, Inge mengambil tasnya. Kemudian memasukkan parfum, alat make up, skin care, dompet dan telepon genggamnya.Inge mengabsen benda-benda yang baru saja dia masukkan sekali lagi. Setelah yakin tidak ada barang penting yang tertinggal, Inge turun dengan perasaan tidak menentu.Di ujung tangga, dia melihat Bi Yati yang hendak naik. Namun tiba-tiba ART itu ia urung melangkah. Bi Yati terlihat berdiri diam. Saat Inge sudah mencapai lantai satu, Bi Yati terlihat memberi senyum.“Sudah ditunggu Tuan di mobil, Miss,” ucap Bi Yati.Inge mengangguk, melempar senyum sekedarnya. Bukan tidak ramah, tetapi pikirannya sedang dipenuhi bayangan yang aneh-aneh.Kaki Inge telah menginjak teras, matanya langsung melihat sebuah mob
Inge mengurai genggaman, dan perlahan menarik tangannya kembali. Dia pun mengambil satu tusuk sate, lalu mulai makan. Namun pandangannya masih lurus kepada Lucas. Dia sungguh tidak menyangka, lelaki yang telah menikahinya ini demikian peka. Inge sempat mengira, Lucas tadi ikut tertidur seperti Naomi. Namun ternyata, Lucas menangkap gelagatnya yang menginginkan sate.Sambil makan, Inge sesekali menatap Lucas. Matanya memancar pandangan rasa berterima kasih yang amat besar. Dan Lucas membalasnya dengan senyum manis. Membuat Inge sedikit tersipu.Setelah selesai makan, mereka kembali ke dalam mobil dan meneruskan perjalanan.“Besok-besok Mimi mau makan di tempat situ lagi, Pap. Yang duduknya di lantai biru,” ceplos Naomi. Lantai biru yang dimaksud Naomi adalah tikar plastik, yang memang berwarna biru.Lucas mengiyakan. Dia cium pipi putrinya dengan gemas. Sampai Naomi menjerit-jerit kegelian.Setelah itu, Naomi minta menyetel film kartun di TV mobil. Tidak berapa lama, terdengar tawa dan
“Inge.”Inge menggeliat, samar-samar dia mendengar namanya dipanggil. Terasa dekat sekali di telinga. Dia juga merasa kulit lengannya bersentuhan dengan kulit lain.“Inge, bangun.”Bisikan terdengar lagi. Inge juga merasa tepukan di lengannya bertambah kuat.Antara merasa itu nyata dan mimpi, otak Inge memproses ketika panggilan terdengar lagi. Seketika dia membuka mata, saat tersadar bahwa itu adalah suara Lucas. Secara refleks dia menegak sembari menarik selimut lebih ke atas, untuk menutupi dadanya.Matanya membulat melihat Lucas duduk di tepian ranjang, dekat sekali dengan dirinya.“Pak Lucas.” Inge sedikit kalut. Diedarkan pandangan matanya sedikit, terlihat dari jendela, hari masih gelap. Jam berapa ini? Inge memandang Lucas dengan takut.Lucas menyeringai.“Maaf membangunkan kamu, Ing. Sebentar lagi fajar,” bisik Lucas.Inge menelan ludah. Dia melirik Naomi yang masih meringkuk dalam lelap di sampingnya. Jantung Inge berdentuman, pikiran tentang hal yang tidak diinginkannya dat
“Mimi kan anaknya papa, jadi Mimi panggilnya papa. Kalau Miss Inge kan… .” Lucas melirik Inge. Seperti meminta bantuan kepada perempuan itu untuk meneruskan kalimatnya.“Kalau Miss Inge temannya papa, jadi manggilnya Pak Lucas,” sambung Inge.Keduanya lalu melempar senyum canggung bersamaan.Naomi membuka mulutnya, seakan hendak mengeluarkan kata-kata lagi. Namun sampai detik berlalu, tidak ada suara dari mulut mungil itu. Dengan gerakan tiba-tiba, dia melemparkan tubuhnya sendiri ke pangkuan Lucas lagi. Wajahnya yang kini menempel pada dada sang papa, berubah cemberut, ada sedikit tanda-tanda dia akan menangis.“Mimi jangan sedih dong, yuk kita—““Enggak mau!”Tangisnya pun meledak keras.Inge menghela napas. Anak kecil kenapa bisa se-random ini? Aneh-aneh saja permintaan dan penyebab tangisannya.Sedang Lucas tampak tenang. Dia menyungging senyum lagi. Dibiarkan Naomi menangis. Lucas hanya mengusap-usap punggung sang putri dengan lembut. Sesekali mencium kepalanya.“Miss Inge enggak
“Ayo turun, Ing,” Lucas menyentuh pundak Inge. Sedikit membelainya di sana dalam durasi sebentar.Inge tersadar dari keterkejutannya. Sebenarnya bukan terkejut, rasanya lebih tepat jika dikatakan bahwa dia sangat terpana. Tidak menyangka Lucas akan membawanya ke tempat seperti ini.“Miss Inge!” Naomi berseru. Bocah itu sudah ada di dekat kaki Lucas.Kali ini Inge benar-benar terkejut. Bagaimana bisa dia tidak sadar jika Lucas sudah mengambil Naomi dari pangkuannya. Dan kini Naomi sudah berjingkrakan menjejak tanah.“Ayo, cepet! Mimi udah pengen banget petik strawberry-nya!” jerit Naomi.Inge turun dengan mengeluarkan seringai malu. Dia sudah banyak melamun pagi ini. Kemudian dia mengikuti Lucas dan Naomi yang melangkah.Saat mereka menuju pintu masuk, mereka berpapasan dengan satu rombongan keluarga.“Kebun strawberry-nya tutup, Bu. Katanya sudah disewa sama orang,” kata salah satu dari rombongan itu sambil menatap Inge.Inge hanya menjawab dengan senyuman. Lalu dia cepat menoleh kepa
“Saya merasa tidak pantas untuk menerima semua ini, Pak Lucas,” desis Inge di sela isaknya.“Hei, jangan pernah ngomong begini lagi,” Lucas menjawab, penuh penekanan. Alisnya bahkan terlihat menjungkit sekejap.Inge mengurai pelukan. Dia menundukkan kepala di hadapan Lucas, dengan jarak yang tidak seberapa.“Anda terlalu baik,” kata Inge, suaranya serupa bisikan. Dia menyusut hidungnya perlahan.Lucas menyentuh dagu Inge, dengan menggunakan tangannya dia membawa sang istri untuk mengangkat kepala, sehingga mereka berpandangan. Begitu dekat, sampai pergerakan manik-manik mata keduanya dapat saling dilihat .Dua detik kemudian Inge memalingkan wajah. Kembali menunduk. Tangan bergerak mengelap bekas-bekas air matanya sendiri.“Aku tidak suka kamu ngomong seperti tadi. Ini yang terakhir kalinya ya,” tegas Lucas. Dia masih ingat, ucapan yang sama juga pernah Inge katakan, sepulang mereka dari supermarket. Ketika Lucas membelikannya baju-baju.Lucas menghela napas. Menyentuh pipi Inge seb
Mata Lucas menyapu seluruh wajah Inge. Dengan rambut yang selalu tergerai, Inge kini tampak sangat berbeda dengan sosok Inge yang biasa dia lihat di sekolah. Perempuan ini menjadi terlihat lebih muda dan segar.“Inge, kamu—”“Pap, ambil gitar yuk!” Naomi sudah muncul di antara mereka. Memegang kaki Lucas dengan sedikit mengguncangkan kedua tangannya.Inge refleks menjauh dari badan Lucas, seraya menarik tangannya dari genggaman Lucas.“Mimi mau nyanyi sama Sifa, sama Reza, Pap,” kata Naomi lagi, menyebut dua teman barunya itu. “Ayo main gitar.”Lucas mengiyakan.Jadilah malam itu mereka semua bernyanyi dan menari di dekat api unggun. Sesekali dijeda makan dan menyeruput minuman hangat, serta cerita-cerita seru. Begitu asyiknya, sampai Naomi tidak merasa mengantuk meski malam telah demikian larut.Inge yang pertama kali pamit, sebab badannya sudah merasa sangat kedinginan. Mereka lalu sepakat untuk membubarkan diri.* * *Inge terkaget saat bangun, jendela besar di ujung kamar ternyat
Apakah ini tanda kandungannya bermasalah? Inge sedikit terhuyung, beruntung dia sigap berpegangan pada tembok kamar mandi. Lalu Inge duduk di closet beberapa detik, untuk menenangkan pikirannya, sekaligus meyakinkan dirinya sendiri bahwa bayinya baik-baik saja.Setelah beberapa jenak termenung, Inge keluar dari kamar mandi dengan hati-hati. Tubuhnya sedikit gemetar.Sampai di luar dia bertemu dengan Bi Yati yang membawa keranjang strawberry. Di belakangnya Pak Ali terlihat menjinjing tas pakaian yang kemarin mereka bawa ke vila.“Miss Inge pucat sekali,” komentar Bi Yati. Dia meletakkan keranjangnya. Lalu mendekati Inge. “Apa Miss sakit?”Inge menyeringai. Pikirannya menimbang sejenak, mungkin dia harus bicara tentang ketakutannya ini kepada Bi Yati. Sebagai seorang perempuan yang sudah pernah mengandung, pasti Bi Yati akan lebih tahu.“Semalam kami begadang, Bi. Sekarang rasanya saya lemas karena ngantuk.” Pada akhirnya Inge memilih untuk menyimpan soal bercak kecoklatan itu sendiri.
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a
Karina buru-buru menyeka air matanya. Dia memandang sejenak kepada Papa Benny. Saat ayahnya mengangguk, perempuan cantik itu ikut pun melakukan hal yang sama. Kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Lucas, sembari menahan debaran di dadanya.Entah mengapa Karina melihat serpihan diri Edward dalam wajah Lucas. Dan di sinilah dia menjadi lebih paham apa yang Papa Benny maksudkan tadi. Karina mungkin tidak dapat melepaskan dirinya dari bayang-bayang Edward. Itu akan seperti mengantongi bom yang dapat meledak sewaktu-waktu, yang mungkin saja ledakannya lebih hebat dari pada empat tahun yang lalu.“Aku juga punya kabar yang harus kamu dengar, Luc,” kata Karina lirih.Mendengar hal tersebut, Papa Benny memberi kode kepada Mama Emma untuk keluar. Ketika sang istri terlihat masih terpaku, Papa Benny berjalan memutari ranjang Karina untuk mendapatkan tangan perempuan itu. Dalam diam, dia membawa Mama Emma keluar ruangan.Lucas tersenyum samar serta mengangguk pada kedua mertuanya, s
“Di sini juga ada Lucas, yang bisa ikut mendengar,” tambah Pak Benny.Inge tercekat. Dia menggigit halus bibir bawahnya sendiri. Berusaha untuk tidak memperdengarkan sesuatu yang bisa menampakkan kegugupannya, meskipun jantung dalam dadanya berdebar begitu kencang.“Dengar baik-baik, Inge. Saya ingin membatalkan perjanjian di antara kita,” kata Pak Benny. Suaranya serak tetapi diucapkan dengan mulus tanpa getaran. “Pernikahan antara kamu dan Lucas itu sah, hanya kamu dan Lucas yang berhak menentukan kelanjutannya.”Telinga Inge dapat mendengar suara Lucas terpekik kecil menyerukan kata ‘papa’ di belakang suara Pak Benny. Sebenarnya dia pun sama terkejutnya dengan Lucas, tetapi dia dapat mengendalikan diri. Inge telah belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan Pak Benny atau Bu Emma selalu saja muncul hal-hal tidak terduga.“Apa kamu dengar, Ing?” tanya Pak Benny.“I-iya, Pak.”Inge pun terbata-bata kembali mengiyakan ketika Pak Benny menanyakan apakah dia paham dengan yang dimaksu
Keluar dari ruang perawatan Karina, Lucas langsung menuju ke arah barat rumah sakit. Di situ ada taman dengan kolam ikan yang suasananya lumayan sejuk, sebab beberapa pohon rindang berjajar melingkupi area tersebut. Beruntung taman tampak tidak seramai biasanya.Lucas duduk di salah satu kursi di situ, dia menghela napas. Kesejukan dan kedamaian suasana taman, sama sekali tidak dapat meredakan panas di hatinya. Rasa sakit pada pagi hari itu, empat tahun lalu, bahkan masih terasa sampai sekarang. Siapa yang tidak sakit jika ternyata istri yang dicintai menyimpan rasa untuk lelaki lain. Apalagi jika lelaki tersebut adalah orang yang selama ini tidak dia sukai.Ya, Lucas menganggap Edward pengkhianat. Edward Kavell adalah sepupu dari papa kandungnya, yang artinya masih paman Lucas. Dia menikahi Mama Helen tepat tiga bulan setelah kematian papanya. Ada desas desus yang beredar di kalangan keluarga besarnya sendiri, bahwa Mama Helen telah hamil dengan Edward. Namun seiring berjalannya wakt
“Ada apa ini, Pa?” Mama Emma berseru tertahan. “Tadi di koridor aku ketemu Helen dan Edward. Mereka juga diam saja waktu melihatku, sama kayak Lucas. Padahal kemarin saat kukasih kabar tentang kesembuhan Karina, mereka terdengar begitu suka cita eh loh… Karina!”Mama Emma yang baru menyadari isakan Karina gegas mendekati sang putri. Dia mendesak, menyingkirkan posisi Papa Benny begitu saja, demi bisa memeluk Karina. Hati perempuan paruh baya itu bergetar. Sepengetahuan dia, sebelum dia mengajak Naomi ke kantin, Karina dan Lucas sedang membicarakan tentang Inge. Atau jangan-jangan… .“Apa Lucas lebih memilih Inge?” tebak Mama Emma asal. Wajahnya memandang Papa Benny. Akan tetapi Papa Benny diam saja.Sedetik kemudian terdengar tangis Karina meledak. Baginya, ucapan ibu kandungnya itu bisa jadi akan menjadi kenyataan, sebab kini akhirnya Lucas mengetahui yang sebenarnya.Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Edward adalah lelaki pertama yang dapat menggetarkan hati Kari
“Mama…,” desis Lucas. Hatinya menjadi bergetar, entah mengapa Lucas memaknai kata-kata Mama Helen sebagai keinginan untuk memisahkan Inge dari bayinya. Sedangkan dia tahu betul, apa saja yang sudah Inge korbankan selama ini demi memiliki bayi itu. Namun situasi sekarang tidaklah tepat untuk membahas hal demikian.“Aku tidak sudi mengasuh anak dari perempuan itu,” ketus Karina.“Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengasuhnya, Karina. Cucuku sudah punya ibu baik yang akan mendidiknya dengan benar!” jawab Mama Helen cepat.Lucas terperangah mendengar ucapan Mama Helen tersebut. Apa yang sudah merasuki pikiran mamanya itu, sehingga dia bisa berubah sekali. Bukankah dahulu dia juga membenci Inge? Bahkan Mama Helen sempat menghina dan merendahkan Inge.“Mama, tolong… kita sedang di rumah sakit.” Lucas kembali mendesis. “Sebaiknya Mama keluar dulu, Karina masih butuh istirahat.”Mama Helen tertawa lirih. Dia justru melangkah lebih maju ke arah Karina. Langkahnya seperti sengaja dihentak, membua
“Karina… .” Mama Emma menghambur untuk memeluk Karina.Akan tetapi Karina mengelak dengan lembut. Sepasang matanya tajam menatap kepada Lucas. “Biar kutebak… Inge bukan perawat kan?”Tiba-tiba Karina tertawa sinis. Keras sekali.“Kenapa diam saja, Luc? Kamu mengira aku akan mati? Atau jangan-jangan perempuan itu memang sudah ada sebelum aku koma, Inge itu simpananmu kan!” tuding Karina marah. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan.“Karina,” geram Lucas tegas. Emosinya seketika naik, bukan karena tuduhan keji itu, melainkan sikap Karina. Apakah dia tidak melihat ada Naomi di antara mereka? Jika menuruti kehendak hati, mungkin saja Lucas akan menyahut dengan nada tinggi. Namun demi Naomi, Lucas menahan diri sekuat tenaga, sampai bibirnya bergetar.“Kita bisa ngobrol baik-baik,” ucap Lucas. Dia memberi kode kepada Karina dengan melirik Naomi, seakan bicara dengan matanya supaya Karina jangan mengucapkan kalimat yang tidak perlu putri mereka dengar.Karina tampak sengaja mengabaikan permi
Inge meledakkan tangis, meskipun kepalanya mengangguk menyetujui ucapan sang ibu.“Sekarang cobalah untuk enggak memikirkan apa-apa, kecuali kehamilanmu. Fokuslah kepada bayimu saja,” ucap Mama Niken dengan susah payah. Dia mengambil tangan Inge, lalu diremasnya dengan lembut.“Mungkin beginilah cara Tuhan untuk membuat kita saling percaya seperti dulu. Kita sudah terlalu lama berjalan sendiri-sendiri. Padahal dulu kita adalah tim yang hebat. Kita berhasil menaklukkan ketakutan kita setelah Papa pergi, iya kan?”Lagi-lagi Inge hanya mampu meledakkan tangisnya. Dia merebahkan kepala di dada sang mama yang menyambutnya dengan penuh kasih sayang.Sementara ratusan kilometer dari keberadaan Inge, Lucas sedang memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit.“Setelah nengok Mama Karina, kita jemput Mama Inge kan, Pap?” tanya Naomi.“Sabar ya, Sayang. Tunggu sampai Mama Karina udah keluar dari rumah sakit.”Naomi berdecak dengan cepat. “Papa udah janji sama Mimi. Katanya kalau libur sekolah kit