Lucas mendekati Naomi. Lalu berjongkok di hadapan sang putri.“Mimi jangan ganggu Miss Inge dulu hari ini ya! Nanti main sama Papa, tapi sekarang Mimi sama Bi Yati dulu, Papa mau tengok Miss Inge. Oke?” ujar Lucas panjang lebar.“Ya, Pap. Tapi Mimi titip ini buat Miss Inge, jus mangga enak. Mimi sharing sama Miss Inge,” sahut Naomi mengulurkan gelas jusnya kepada Lucas.Lucas menerima gelas itu sembari tertawa kecil. Dia lalu mengusap kepala Naomi dengan sayang. Lelaki itu berdiri kembali, lalu menatap Bi Yati yang tampak tertunduk di belakang Naomi.“Saya titip Naomi ya, Bi,” ucap Lucas. Tanpa menunggu jawaban dari ART-nya dia segera menuju tangga. Naik dengan cepat lalu tiba di kamar Inge.Lucas mengetuk dengan perlahan pintunya dua kali, setelah itu dia buka.“Pak Lucas,” desis Inge. Tampak dia berusaha setengah duduk sembari mencari posisi bersandar yang nyaman.“Tiduran saja kalau kamu pusing, Ing,” Lucas cepat merespon. Kakinya melangkah cepat mendekati Inge.Inge menyeringai ti
Lucas segera merespon telepon Papa Benny di depan Inge.“Halo, Pa, aku telpon balik sepuluh menit lagi ya,” kata Lucas. Setelah itu dia mematikan sambungan, lalu mengantongi telepon genggamnya. Kemudian dia menatap Inge kembali. Dilihatnya perempuan itu menunduk, ada gerak gerik kegelisahan yang Inge perlihatkan.Lucas menghela napas. “Baiklah Inge, agar hatimu menjadi tenang, aku akan membuat pengakuan.”Inge mendongak cepat, kekagetan tidak dapat dia tutupi. Terpancar jelas dari ekspresi wajahnya. Mata yang melebar, mulut melongo dan alis bertaut tinggi.“Aku sebenarnya kuatir Mimi memaksamu ikut hadir di sekolah, aku hanya tidak ingin sesuatu yang tidak baik menimpamu di sana,” lirih Lucas. Manik matanya bergerak satu kali ke kanan.Inge menatap dalam. Kali ini dia merasakan kejujuran dalam ucapan Lucas. Mendadak dia merasa matanya menjadi panas, dan sosok Lucas secara perlahan menjadi tidak jelas. Itu karena matanya berangsur-angsur diselimuti air.Hati perempuan itu merasa tersan
Lucas menegakkan badan. Kenapa pertanyaan Papa Benny sama dengan pertanyaan Inge tadi? Mendadak pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan.“Sebenarnya tadi pagi Mama sudah mendengar berita ini, Papa pikir itu hanya gosip saja. Tapi barusan Bu Farah mengkonfirmasi langsung, katanya Mimi juga sudah tidak masuk tiga hari ini,” lanjut Papa Benny. Yang dimaksud mama oleh Papa Benny tentu saja Mama Emma.Otak Lucas langsung menjalar. Lalu berkesimpulan bahwa pertanyaan Inge tadi kemungkinan besar berasal dari Mama Emma. Kemudian dia teringat laporan Naomi, pastilah Mama Emma datang, dan marah-marah karena berita ini juga. Firasat Lucas semakin yakin, jika Mama Emma mempersalahkan Inge dalam hal ini.“Luc!” panggil Papa Benny, nadanya menjadi naik, sebab sampai detik-detik berlalu dia tidak mendengar suara menantunya sama sekali.Lucas tidak langsung menjawab, dia malah menghela napas panjang.“Memangnya kenapa sampai Bu Farah berkesimpulan begitu?” Lucas bukannya menjawab, malah melempar pe
Bu Farah harus menunggu sekitar sepuluh menit, sebelum akhirnya Viana mengetuk ruang kerja Bu Farah dan Viana masuk dengan sikap yang rileks, senyumnya terkembang sempurna. Viana menyangka dia terpilih untuk mengemban tugas baru, yang berarti itu adalah sebuah prestasi kehormatan.“Maaf, Bu, saya baru keluar dari kelas, sehingga perlu bersiap sebentar,” kata Viana memberi alasan.Bu Farah menyipit. Dia tahu pasti, kelas Viana sudah bubar sekitar lima belas menit yang lalu.“Tadi saya perlu menunggui siswa yang masih ingin bermain di kelas, Bu,” lanjut Viana. Dia seakan mengerti arti gerakan mata atasannya, sehingga buru-buru melengkapi alasannya.Bu Farah menghela napas, lalu menyuruh Viana duduk. Viana pun duduk. Senyum lebarnya kembali muncul.“Viana, tadi pagi kamu melaporkan kepada saya tentang berita Naomi yang akan pindah sekolah. Sebenarnya kamu mendapat berita itu dari mana?” tandas Bu Farah.Wajah Viana seketika memerah. Bias gelisah terpancar dari sorot matanya yang meredup.
Inge berusaha melihat wajah Naomi yang berbaring dengan meletakkan kepala kecilnya di pangkal lengannya. Rasanya sedetik tadi bocah itu masih mengoceh riang, tiba-tiba saja suaranya tidak ada lagi.“Mimi.” Inge mencoba memanggil gadis cilik itu.Tidak ada balasan. Inge bergerak hati-hati, bangkit dengan perlahan dengan melepaskan lengannya pelan-pelan dari kepala Naomi.Inge seketika tersenyum lebar. Rupanya anak cantik ini sudah terlelap. Mata Naomi terpejam sempurna, bulu matanya yang lentik tampak melengkung indah. Ah, Inge tidak dapat menahannya lagi. Diciumnya wajah polos Naomi berkali-kali. Sosok mungil yang menggemaskan itu tampak menggeliat halus beberapa jenak, lalu kembali terbujur tenang.Inge menjadi tertawa sendiri. Ternyata menggoda Naomi saat tertidur sama membahagiakannya saat bocah itu sedang bisa diajak bicara. Senyum Inge memudar, seiring kepalanya teringat bahwa kebersamaannya dengan gadis cilik nan menggemaskan ini mungkin tidak akan lama lagi. Dalam hitungan se
“Ayo kita sharing, Pak,” kata Inge, seraya mengambil satu lagi strawberry yang kelihatan paling gendut.Lucas tertawa tipis.“Aku sudah cukup,Ing. Makanlah untukmu, untuk bayi… kita,” sahut Lucas. Meski saat mengucapkan kata ‘kita’ dia tampak berhati-hati, namun Lucas mengucapkannya sambil sedikit tersenyum.Inge menghentikan gigitannya dua detik, mendadak jantungnya berdesir mendengar kata itu. Kemudian Inge mulai makan lagi sembari menunduk. Kunyahannya menjadi amat pelan.“Aku masih ada kerjaan,” ujar Lucas seraya berdiri. “Apa boleh aku minta tolong dibikinkan kopi?”“Oh, tentu, Pak Lucas.” Inge pun berdiri, meletakkan buah yang tinggal separuh itu kembali ke mangkuk.Setelah mengucapkan terima kasih, Lucas pergi ke ruang kerjanya.Inge bergerak untuk meramu kopi, dan dalam waktu tidak terlalu lama minuman yang diminta Lucas sudah siap. Dengan cekatan, Inge mengambil nampan dan piring kecil. Diletakkan satu strawberry di piring itu, bersebelahan dengan cangkir kopi.Pintu ruang ke
Inge mengerti kekuatiran Lucas. Dia sangat menghargai itu, bahkan bangga telah dipedulikan sedemikian rupa. Satu hal yang tidak pernah dia dapat sejak dulu dari Armand, padahal mereka hidup bersama lebih dari lima tahun sebagai pasangan suami istri. Yang lebih menyesakkan, antara dirinya dan Armand, dahulu menikah berdasarkan cinta. Namun mengapa Armand tidak sepeduli Lucas? Ah, kenapa jadi ingat lelaki brengsek itu?Inge mengalihkan kegundahan hatinya dengan tersenyum. “Pak Lucas yang bilang kan, bahwa semua akan baik-baik saja.”Lucas pun mengangguk, senyumnya kembali hadir.Inge menyambut uluran tangan Naomi. Bocah ini memang senang sekali digandeng, terutama sejak kepulangan mereka dari supermarket tempo hari. Berjalan di dalam kamar pun inginnya bergandengan.“Nanti Mimi sekolahnya enggak perlu ditungguin ya,” kata Lucas ketika mereka masuk ke dalam mobil.“Tapi pulangnya dijemput Miss Inge sama Papa lagi ya,” timpalnya.Lucas mengangguk. Dia menoleh kepada Inge sekilas. Seakan
Inge melangkahkan kaki lagi. Dia sama sekali tidak ingin membuat masalah dengan siapa pun di tempat ini.“Kenapa menghindar? Sudah merasa di atas? Jadi merasa tidak se-level untuk bicara denganku?” Perempuan itu meraih pundak Inge dengan kasar. Lalu mendorongnya, sehingga Inge mundur paksa beberapa langkah.“Bu Viana, apa mau Anda? Kalau mau bicara, pasti bukan seperti ini kan? Bicaralah baik-baik,” Inge mendesis kesal. Tangannya meraba perutnya sendiri, sembari berdoa semoga bayinya aman di sana.“Wow, keren banget. Ternyata udah berani nantangi aku. Merasa punya power ya sekarang?” sinis Viana.Sesungguhnya, Viana agak kaget. Inge yang dulu, biasanya hanya diam saat dia bicara keras. Bahkan disindir di depan mukanya pun, Inge tidak merespon. Namun kini ternyata, Inge punya keberanian untuk menimpali ucapannya. Semakin yakinlah dia kalau Inge memang akan berulah setelah menjadi istri Pak Lucas.Viana menyipit. Memandang Inge dengan sebal. Dalam pikirannya yang liar, dia menduga bahwa