“Baik, Pak, kalau-- aduh… .” Inge mendadak memegangi kepalanya. Pusing yang sudah dia derita beberapa hari ini kambuh lagi. Demikian pula dengan perutnya yang tiba-tiba sangat mual.
Buru-buru dia membuka pintu mobil, lalu tergesa turun. Begitu pintu kamarnya terbuka, Inge pun bergegas mendapatkan kamar mandi.
Perutnya terus bergolak bagai diaduk-aduk. Inge membungkuk, siap mengeluarkan sesuatu yang terasa sangat tidak enak dalam perutnya. Namun dia hanya mengeluarkan bunyi seperti orang muntah, tidak ada apa pun yang keluar dari mulutnya.
Rasa itu terus berulang, dan Inge terus saja merasa ingin muntah.
Tiba-tiba sebuah tangan menempel di punggung Inge, terasa hangat, dan kehangatannya bisa Inge rasakan sampai ke sekujur syarafnya. Lalu tangan itu membuat gerakan mengusap dengan lembut. Inge pun menoleh dan menemukan wajah Lucas yang terlihat sedikit cemas.
Entah mengapa Inge spontan menerbitkan senyum. Lucas membalas dengan senyuman kecil. Lalu mereka memalingkan wajah secara bersamaan.
Inge terdiam beberapa detik, dan tersentak pelan ketika menyadari mual dan pusing yang dirasakannya telah lenyap. Ajaib!
“Saya sudah mendingan, Pak,” lirih Inge. Dia tegakkan kembali punggungnya.
Lucas mengangguk. Tangannya masih mengusap-usap punggung perempuan itu. Inge berdehem seraya menunduk. Seperti baru tersadar, Lucas segera menarik tangannya.
Inge mengulum senyum dan melangkah keluar dari kamar mandi. Lucas mengikuti di belakangnya.
“Inge!” Sebuah jeritan kecil terdengar.
Inge refleks menoleh ke arah pintu yang memang terbuka. Senyum Inge raib detik itu juga.
“Bu Viana, Jesica?!” Inge ikut menjerit. Ekspresi kagetnya tidak dapat dia tutupi.
Di sana, telah berdiri dua orang rekannya sesama guru. Mata mereka membeliak besar, mungkin kadar kagetnya setara dengan yang diperlihatkan Inge. Secara bersamaan pandangan Viana dan Jesica teralih kepada jas Lucas yang tergeletak di ranjang, lalu kembali pada sosok lelaki di sebelah Inge.
“Oh, maaf, Ing, kami datang diminta Bu Farah untuk menengok kamu,” potong Viana. Dia seperti tidak ingin memberi kesempatan Inge untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi. “Tapi kelihatannya kamu sudah baikan dan lagi sibuk. J-jadi kami langsung permisi.”
Tanpa menunggu jawaban dari Inge, Viana menyeret Jesica yang melongo di sebelahnya untuk segera pergi. Tidak berapa lama, terdengar bunyi motor mereka, lalu berangsur-angsur menjauh dan hilang.
Inge menghela napas, serta menatap Lucas. Lelaki itu pun sedang menghela napas.
“Inge–”
Lucas baru hendak angkat bicara, ketika teleponnya telah berbunyi terlebih dahulu. Lelaki itu terlihat segera mendapatkan gawai di saku celananya dan langsung meresponnya.
Inge menghela napas lagi. Dia bergerak menjauh dari Lucas dengan lunglai, lalu duduk di ujung ranjangnya. Memandang jas milik lelaki itu, yang Inge yakin tadi sempat menarik perhatian seniornya yang bernama Viana. Dan sudah pasti menimbulkan prasangka. Memang jas Lucas terkesan seperti bekas dilempar dengan sembarangan, mungkin Lucas tadi melepas dengan terburu-buru untuk menyusul dirinya ke kamar mandi.
“Inge, berkemas lah dulu, nanti saya jemput,” kata Lucas sembari menyimpan telepon genggam, lalu menyambar jasnya.
Lucas melangkah tergesa, tapi ketika sudah berada di ambang pintu dia berbalik. Menatap Inge dengan bibir yang seperti siap mengatakan sesuatu. Namun akhirnya dia hanya mengulang ucapannya yang terakhir. Untuk kemudian benar-benar pergi.
Inge menangkup wajahnya dengan kedua tangan. Belum sempat otaknya berpikir, giliran telepon genggamnya yang berbunyi. Dia sengaja membiarkan sampai dering itu mati, sebab dia memang tidak berniat untuk menerima telepon sekarang. Akan tetapi gawai itu cepat berdering kembali.
Dengan malas, Inge mendapatkan tasnya. Dan gemetar ketika membaca nama yang tertera di layarnya.
“Bu Farah,” desis Inge.
Pikirannya langsung tertuju pada dua orang yang tadi memergoki dirinya sedang bersama Lucas. Tidak mungkin jika mereka tidak melapor, terutama Viana yang memang terkenal suka menyindir dan ikut campur urusan orang lain.
Bunyi dari telepon Inge mati lagi, namun sedetik kemudian berbunyi kembali. Sepertinya Bu Farah tidak akan berhenti mencoba menelepon sebelum Inge mengangkatnya.
Inge menghela napas lebih panjang. Cepat atau lambat dia pasti harus menjelaskan hal ini kepada Bu Farah, hanya saja dia tidak menyangka jika harus secepat ini. Apa yang harus dia katakan kepada atasannya itu?
Tangan Inge bergetar ketika menggeser tombol berwarna hijau.
“Selamat siang, Bu Farah,” sapa Inge. Matanya terpejam sementara tangan yang tidak memegang telepon genggam, dia pakai untuk menekan lembut dadanya sendiri.
“Inge, saya dengar kamu sudah di rumah?” tanya Bu Farah. Nadanya sedikit ketus, dia bahkan enggan menjawab salam yang disampaikan Inge.
“I-iya, Bu.”
Sejenak hening. Inge bisa mendengar deru napas Bu Farah. Timbul tenggelam seperti ombak, beradu dengan desahan napasnya sendiri.
“Dan saya dengar kamu juga sudah baikan?” Akhirnya Bu Farah bicara lagi.
“Iya, Bu.”
“Jadi bisa kan kamu datang ke sekolah sekarang? Sepertinya ada yang perlu kamu jelaskan kepada saya.”
Kali ini Inge tidak menjawab, sebab Bu Farah sudah memutus sambungan terlebih dahulu.
Inge mengambil napas panjang. Tidak ada pilihan selain memenuhi perintah Bu Farah. Semakin lama ditunda, atasannya itu pasti akan semakin murka. Inge mengenal betul karakter Bu Farah. Dia sudah bekerja di sekolah itu selama empat tahun. Bu Farah orang yang sangat baik tetapi dia sangat keras kepada anak buahnya yang melanggar perintahnya.Menggunakan ojek online, Inge akhirnya mencapai halaman sekolah. “Selamat siang, Miss Inge,” sapa penjaga keamanan sekolah dengan ramah. Inge pun membalas sapaannya dengan anggukan kepala.Suasana sekolah sudah lumayan sepi. Memang kalau ditengok dari jadwal yang sudah dia susun, pentas seni telah usai sekitar setengah jam yang lalu. Namun seperti biasa, tetap ada beberapa siswa yang masih menunggu untuk dijemput. Mereka berada di ruang playground, di sebelah pos keamanan.Ketika Inge melewati ruang tersebut, matanya bertemu dengan seorang guru yang sedang bertugas di situ. Guru itu terlihat sangat jelas melengos, menghindari tatapannya.Inge menelan
“Selamat siang, Bu Farah, saya datang untuk menjemput istri saya,” ucap Lucas dengan nada datar.Inge dan Bu Farah sama-sama terkesiap. Tentu saja yang membuat dua perempuan itu terkejut adalah hal yang berbeda. Inge benar-benar tidak menyangka bahwa Lucas akan datang menjemputnya, apalagi langsung membuka status mereka tanpa basa basi. Dia tadi sempat berpikir bahwa Lucas akan merahasiakan pernikahan ini dari siapa pun.“I-istri?” Bu Farah terbata. Matanya yang membola besar, melihat kepada Inge dan Lucas berganti-ganti. Lucas menerbitkan segaris senyuman. “Jika diskusinya sudah selesai… .”“O-oh, baik, Pak Lucas. Kebetulan pembicaraan kami memang sudah selesai. Iya kan, Ing– eh Miss Inge?” Bu Farah menatap kepada Inge. Sinar matanya mengandung banyak pertanyaan yang tidak terucapkan.Inge mengangguk dengan gerakan patah-patah. Dia melempar pandangan kepada Lucas, dan lelaki itu juga mengangguk ke arahnya. Kemudian mata Inge menatap lurus kembali kepada Bu Farah.“Saya permisi dulu
Inge menjengkit mendengar ucapan Bu Emma. Dia membeku spontan. Yang selama ini dia dengar, Pak Benny dan Bu Emma adalah orang tua Lucas. Namun telinganya baru saja mendengar hal yang berbeda dari orangnya sendiri.Matanya bertemu dengan tatapan Lucas sekejap. Ingin sekali dia mengkonfirmasi berita tersebut, namun sepertinya situasi tidak memungkinkan. Lucas sedang berusaha memeluk Bu Emma yang terlihat histeris. Perempuan itu meronta sambil berteriak-teriak.“Mama tau kamu pria baik, Luc. Pasti perempuan itu yang memperdaya kamu kan?” jerit Bu Emma. Matanya nyalang menatap Inge.Inge tersentak ketika Lucas memberinya perintah sekali lagi dengan nada lebih tinggi. Kaki perempuan itu pun buru-buru mendapatkan kamar yang dimaksud Lucas.Tangis Inge p
Inge hanya berdiri saja di depan pintu besar yang tertutup itu. Pikirannya mengedar, mencoba menerka-nerka isi perjanjian yang ditolak oleh Lucas.Di tengah dia berpikir, Bu Emma terlihat keluar dari sebuah ruangan. Inge menggigit bibirnya samar, dia tidak tahu harus bagaimana bersikap. Saat mata mereka bertemu, Inge mencoba membungkukkan sedikit badan. Namun Bu Emma membalasnya dengan tatapan begitu sinis, membuat Inge cepat menunduk.Dia bersiap jika Bu Emma menghampiri dirinya, kemudian murka atau menamparnya lagi. Ternyata tidak. Inge justru mendengar detak sepatu Bu Emma menjauh, lalu perlahan memudar, hingga akhirnya tidak terdengar lagi. Ketika Inge memberanikan diri mendongak, sosok Bu Emma sudah hilang.Inge menghela napas, bersamaan dengan itu pintu terbuka. Inge menoleh dan menemukan sor
Inge meluruhkan tangis. Di syaraf pendengarannya sang mama terus mengomel dan menyudutkan dirinya, tanpa dia tahu bagaimana cara membela diri. Inge tidak ingin membuka kejadian yang menimpa dirinya hingga menyebabkan dia hamil. Lagi pula hati mama sedang panas, segala sanggahan dan penjelasan yang Inge kemukakan akan menjadi percuma.Telepon ditutup mendadak oleh mama.Inge memandang layar gawainya dengan hati tidak karuan. Matanya menemukan banyak pesan masuk dari beberapa nomor kontak. Sekilas dia melihat sebagian besar dari orang tua siswa yang diajarnya. Menilik kata awal yang terlihat, sepertinya mereka semua mempertanyakan kebenaran berita antara dirinya dan Lucas.Dia juga menemukan nomor kontak dirinya telah dikeluarkan dari semua grup unit kerja sekolah. “Oh, Tuhan,” desis Inge tertahan.Kali ini Inge membiarkan dirinya menangis hebat. Tidak lagi dia tahan seperti tadi. Dia hanya berharap semua beban yang bergayut di pikirannya, ikut keluar bersama air mata yang jatuh.Ing
“Miss Inge bangun, Pap! Tuh, liat tuh, matanya gerak-gerak.”Lamat-lamat Inge mendengar suara Naomi. Terdengar sedikit heboh. Dia juga merasakan pipinya hangat, dan ada gerakan lembut di situ.“Miss, Miss… udah bangun kan?”Didengarnya lagi suara Naomi itu. Inge pun mengerjap. Benar saja, saat matanya terbuka, dia melihat wajah Naomi begitu dekat. Tangan kecil itu masih bergerak lembut, mengelus pipi kiri Inge.“Pap!” Naomi terpekik. Dia menggerakkan kepalanya dengan heboh, menoleh kepada Lucas dan Inge berganti-ganti. Tampak jelas semburat bahagia di parasnya.“Syukurlah kamu sudah sadar.” Wajah Lucas kini terlihat, tepat di belakang Naomi.
Inge bangun dengan tubuh yang sedikit lebih segar. Namun dia segera menghela napas dalam, dan termenung sejenak sebelum turun dari ranjang. Semalam dia bermimpi tentang seorang bayi yang berwajah mirip Naomi.Dalam mimpinya itu sang bayi seperti tersedot ke atas, dan si bayi menangis sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Gema tangisan bayi itu benar-benar seperti nyata dalam rongga telinganya.Spontan Inge menunduk, serta mengusap perutnya sendiri dengan lembut.Kemarin memang sempat ada rasa sesal dalam dada, tentang keputusan untuk menikah demi memelihara bayinya. Akan tetapi, mulai sekarang dia harus menumbuhkan tekad lebih kuat.Jalan yang sudah dia ambil ini pasti bukan hanya suatu kebetulan semata. Apalagi sikap Lucas semalam yang menunjukka
“S-syarat a-apa, Miss?” Bi Yati tampak gemetar.“Bibi harus mau bekerja sama dengan saya,” ucap Inge.Sengaja Inge menggantungkan jawaban, hanya untuk sekedar melempar seringai lebar. Dia yakin ART ini tidak akan mampu menolak permintaannya.Sementara itu Bi Yati makin mengkerut. Apalagi saat Inge terus menatap tajam ke arahnya. Dia tidak menyangka bahwa orang yang sejak tadi sangat ramah, sehingga membuatnya nyaman bicara, ternyata bisa berbalik begini.Bi Yati melirik Inge takut-takut. Kentara sekali dia sangat menyesali ucapannya yang memang kebablasan. Seharusnya dia ingat, kedudukan Inge di sini.“Miss, s-saya mohon–”