“Ada yang mau kamu jelaskan kepadaku, Ing?” Lucas menatap tajam kepada Inge yang tengah menunduk.Hening.Detik-detik berlalu dan Inge tetap bungkam. Bahkan posisi perempuan itu tidak berubah sama sekali. Menunduk dengan kedua tangan menumpu pada kedua kakinya.“Cepat kamu jelaskan! Mumpung ada Lucas di sini jadi—”Lucas mengangkat tangan, memandang kepada mama mertuanya, dan manjur. Mama Emma langsung berhenti bicara. Wanita yang usianya sudah senja itu terlihat menjadi salah tingkah.Lucas pun melepaskan diri dari tangan Mama Emma yang masih mencengkeram lengannya. Lelaki itu bergeser menjauh dari Mama Emma.Papa Benny yang melihat hal itu, segera merapatkan dirinya sendiri ke sisi Mama Emma. Tangan lelaki itu melingkari pundak istrinya, lalu melakukan remasan halus. Kemudian mereka saling berpandangan sejenak. Papa Benny mengedipkan mata secara samar. Meminta sang istri untuk menahan diri.Tarikan napas yang berat terdengar lagi dari Lucas.“Inge?” Lucas memanggil nama istrinya sek
“M-maafkan saya Pak Lucas.”Inge menarik diri dari pelukan Lucas, lalu menjumput tisu yang tersedia di situ. Dia seka wajah basahnya sambil memandang Lucas, yang juga sedang memandang dirinya.Lucas menghela napas.“Aku marah, Inge. Dan kuharap kamu tidak menyepelekan perasaanku ini,” kata Lucas penuh penekanan. Wajahnya serius dengan sorot mata yang tajam.Inge ingin menjawab, tetapi mulutnya terasa berat. Rasa bersalah mendera dalam dirinya. Inge hanya mampu mengangguk. Kemudian dia kembali bersandar pada joknya. Demikian juga Lucas. Lalu keduanya saling berdiam diri, memandang ke depan meski mata tidak fokus ada di sana.Inge masih mengelap wajahnya. Dia sudah tidak menangis, tetapi perlu membuat napasnya menjadi lebih teratur.Di dalam hatinya, Inge masih menimbang-nimbang. Apakah perlu dia bongkar semua kelakuan Pak Benny dan Bu Emma? Sejenak dia menatap Lucas, dalam hitungan dua detik dia kembali menunduk. Namun mungkin saja sebenarnya Lucas sudah tahu semuanya.“Apakah kamu sud
Jesica melihat pesannya terkirim dan sudah diterima. Terlihat dari tanda yang diberikan aplikasi perpesanan tersebut. Centang dua. Namun sepertinya tidak langsung dibaca oleh si penerima.Satu detik, dua detik.Jesica menghela napas, mungkin si penerima pesannya sedang sibuk. Akan tetapi tak urung membuatnya menjadi gelisah. Apakah pesannya akan direspon atau diabaikan?Jesica mendongak, memandang keluar jendela. Ruang guru sudah sepi, hanya ada dua guru piket dan satu orang staf administrasi. Dia tidak mungkin berdiri terlalu lama di sini, kalau ketahuan Bu Farah atau Bu Viana, urusan menjadi panjang.Dengan sedikit kecewa, Jesica meletakkan telepon genggamnya kembali ke dalam laci, yang kemudian dia kunci. Dia pun bergegas melangkah.“Jes!”Jesica berhenti, dia memejamkan mata sekejap. Tanpa menoleh dia sudah tahu siapa yang baru saja memanggilnya. Pasti Viana, si biang gosip, biang kerok! Sejak peristiwa yang terdahulu itu, Jesica memang sengaja menghindar sebisa mungkin. Kecuali
(Boleh. Pak Armand tentukan saja tempatnya di mana. Saya ikut.)Balasan dari Jesica tidak perlu menunggu lama.Armand pun segera mengetikkan sebuah nama. Sebuah cafe yang lumayan jauh dari area sekolah tempat Jesica bekerja. Dengan asumsi, tempat itu akan aman dari mata yang tidak dia inginkan.Sekitar pukul empat sore lebih sedikit, Armand sudah berada di cafe yang dia pilih. Lelaki itu agak terkejut saat melihat Jesica sudah mengambil duduk di salah satu meja di situ.“Maaf, Jes. Kupikir kamu pulang jam empat, jadi aku santai dari rumah tadi,” kata Armand. Dia belum duduk, matanya berkeliling mencari alternatif meja yang lain. Meja yang sekarang dipilih Jesica terlalu terlihat dari luar. Armand tidak ingin jika nanti ada kenalan yang melihat mereka dan menjadi salah paham.“Jam kerja sebenarnya hanya sampai jam tiga kok, Pak. Tapi selama ini kami sering banyak pekerjaan, jadi sering molor waktu pulangnya.” Jesica berkata semanis mungkin. Namun Armand terlihat tidak mendengarkan jawa
Armand berdiri, dengan mata yang tetap melekat kepada sosok orang yang ditunjuk oleh Jesica. Lelaki itu membeliak sekira dua detik. Saat kembali redup, dia menelan ludah.Sementara Jesica tanpa sadar mengikuti pergerakan Armand. Akibat kegugupannya, dia asal berdiri, dan menyenggol meja. Vas bunga yang berada di atas meja pun rebah, lalu menggelundung. Beruntung dia sigap menangkapnya sebelum meluncur ke bawah.Dengan gerakan serba salah, Jesica mengembalikan vas bunga itu kepada tempat semula. Setelahnya dia membetulkan baju, rambut, serta mengusap wajah dengan tangan gemetaran. Sikapnya seperti pencuri yang tertangkap warga.Inge, sosok yang telah membuat Armand dan Jesica kaget, tersenyum lebar melihat kelakuan yang diperlihatkan oleh kedua orang tersebut. Dia sengaja menghentikan langkah. Membuat Naomi yang berada dalam gandengannya, menoleh ke arahnya, untuk kemudian menoleh ke arah yang sama dengan Inge.“Loh Miss Jes?!” Naomi berseru sembari menunjuk Jesica. “Mama Inge, ada Mi
“Pak Lucas, apa yang Bapak–ah!”Belum sempat Inge menyelesaikan ucapannya, badan perempuan kurus itu sudah ditarik oleh ayah dari Naomi, murid yang baru saja dia antar pulang, ke dalam kamar. Pria itu memeluknya erat-erat.“Pak Lucas, lepas–”“Aku kangen kamu, Karina ....” Gumaman Lucas tersebut membuat Inge mengernyit. Wanita itu mencium bau alkohol yang kuat dari ayah muridnya tersebut.“Pak, saya Inge, guru Nao–”Belum sempat Inge menyelesaikan ucapannya, bibirnya langsung dibungkam oleh ciuman panas dari Lucas. Pria itu membawa Inge ke tempat tidur tanpa melepaskan ciuman, sekalipun Inge memberontak.“Pak–Pak Lucas, Anda–mmph–”Inge mendapatkan serangan ciuman bertubi-tubi, membuatnya kewalahan.Sekuat tenaga Inge melawan, mencoba mendorong pria itu menjauh dari tubuhnya. Ia bahkan memukul, mencakar, dan menjambak. Namun, Inge yang kurus sama sekali bukan tandingan tubuh tegap berotot milik ayah muridnya tersebut. Tubuh Lucas tetap kukuh di sana, menjamahnya dengan sentuhan panas
“Inge, saya berharap kamu sedang tidak membuat masalah dengan Pak Lucas,” kata Bu Farah lagi. Matanya memandang tajam kepada Inge. “Kamu tahu kan siapa Pak Lucas itu?”Inge diam. Ia hanya mengangguk untuk menanggapi pertanyaan atasannya.“Dia bukan sekedar wali murid biasa, tapi dia masih bos kita, karena Pak Lucas itu putra Pak Benny, pendiri sekaligus direktur sekolah kita,” jelas Bu Farah kemudian, mengatakan sesuatu yang sudah Inge tahu. “Y-ya, Miss,” jawab Inge dengan nada tipis. “Ya sudah, segera temui Pak Lucas.”Inge mengundurkan diri dengan sedikit membungkukkan punggung. Kemudian menuju ke ruang tamu, yang letaknya di sebelah ruang guru.Tubuh Inge bergetar ketika mendorong pintu. Apalagi saat menemukan lelaki itu sedang duduk di salah satu sofa. Perasaan malu, benci dan takut seketika mencuat dalam dadanya. Perempuan itu berdiri kaku di dekat pintu yang baru dia ditutup, tangannya terkepal spontan menahan getaran yang tak kunjung reda.Dari sudut matanya, Inge dapat melih
“S-saya hamil, Dok?” Suara Inge tercekat. Bibir perempuan itu bergetar, kemudian getarannya merambat ke tangan, kaki dan sekarang sekujur tubuhnya sudah bergetar. Inge memandang nanar ke arah Lucas. Yang dibalas tatap datar oleh lelaki itu. Hampir sekira tiga detik mereka saling menatap. Sampai akhirnya Inge menggigit bibirnya sendiri sambil mengalihkan pandangan ke arah langit-langit. “Apakah ini kehamilan Anda yang pertama, Bu?” tebak sang dokter. Seakan dia sudah sangat terbiasa dengan ekspresi yang baru saja dia lihat.Inge memandang Lucas lagi. Kemudian dia mengangguk lemah. Bersamaan dengan itu air mata mengalir tanpa permisi.Sang dokter tersenyum. “Sekali lagi, selamat ya, Bu. Memang Ibu sudah memasuki usia yang terbilang cukup rawan untuk kehamilan yang pertama, tapi tidak perlu khawatir. Yang penting jaga pola makan, istirahat cukup dan hindari stres.”Lalu sang dokter berganti menatap ke arah Lucas. “Bapak juga wajib membantu istri Bapak untuk mengingatkan hal-hal tersebut