“Bu Emma, saya kembalikan uang Ibu,” Inge berkata sambil menyodorkan amplop yang digenggamnya.Mata Bu Emma menatap tajam. “Masih utuh enggak? Jangan-jangan sudah kamu ambil sebagian.”Inge tersenyum kecil. “Silakan dihitung, Bu. Saya bahkan tidak menyentuh uang-uang itu.”Bu Emma mencebik, tetapi dia tidak bergerak untuk menerima amplop yang disodorkan. Hingga Inge terpaksa meletakkan amplop tersebut di atas meja.“Bu Emma, jika sudah tidak ada keperluan, saya mohon pamit,” kata Inge. Dia hendak berdiri.“Saya kan sudah bilang, ada sesuatu yang akan Pak Benny bicarakan dengan kamu, tunggu sebentar. Jangan berlagak sibuk, kerjaanmu di rumah Karina kan hanya makan dan tidur. Memangnya mau apa harus buru-buru?” tutur Bu Emma panjang.Inge menelan ludah. Dia kembali duduk, lalu berpikir, mungkin lebih baik dia mulai mencari alasan untuk Lucas saja, apabila lelaki itu nanti bertanya detail tentang kepergiannya. Sebab mencari alasan untuk segera keluar dari rumah Pak Benny terasa sia-sia.
“Ada yang mau kamu jelaskan kepadaku, Ing?” Lucas menatap tajam kepada Inge yang tengah menunduk.Hening.Detik-detik berlalu dan Inge tetap bungkam. Bahkan posisi perempuan itu tidak berubah sama sekali. Menunduk dengan kedua tangan menumpu pada kedua kakinya.“Cepat kamu jelaskan! Mumpung ada Lucas di sini jadi—”Lucas mengangkat tangan, memandang kepada mama mertuanya, dan manjur. Mama Emma langsung berhenti bicara. Wanita yang usianya sudah senja itu terlihat menjadi salah tingkah.Lucas pun melepaskan diri dari tangan Mama Emma yang masih mencengkeram lengannya. Lelaki itu bergeser menjauh dari Mama Emma.Papa Benny yang melihat hal itu, segera merapatkan dirinya sendiri ke sisi Mama Emma. Tangan lelaki itu melingkari pundak istrinya, lalu melakukan remasan halus. Kemudian mereka saling berpandangan sejenak. Papa Benny mengedipkan mata secara samar. Meminta sang istri untuk menahan diri.Tarikan napas yang berat terdengar lagi dari Lucas.“Inge?” Lucas memanggil nama istrinya sek
“M-maafkan saya Pak Lucas.”Inge menarik diri dari pelukan Lucas, lalu menjumput tisu yang tersedia di situ. Dia seka wajah basahnya sambil memandang Lucas, yang juga sedang memandang dirinya.Lucas menghela napas.“Aku marah, Inge. Dan kuharap kamu tidak menyepelekan perasaanku ini,” kata Lucas penuh penekanan. Wajahnya serius dengan sorot mata yang tajam.Inge ingin menjawab, tetapi mulutnya terasa berat. Rasa bersalah mendera dalam dirinya. Inge hanya mampu mengangguk. Kemudian dia kembali bersandar pada joknya. Demikian juga Lucas. Lalu keduanya saling berdiam diri, memandang ke depan meski mata tidak fokus ada di sana.Inge masih mengelap wajahnya. Dia sudah tidak menangis, tetapi perlu membuat napasnya menjadi lebih teratur.Di dalam hatinya, Inge masih menimbang-nimbang. Apakah perlu dia bongkar semua kelakuan Pak Benny dan Bu Emma? Sejenak dia menatap Lucas, dalam hitungan dua detik dia kembali menunduk. Namun mungkin saja sebenarnya Lucas sudah tahu semuanya.“Apakah kamu sud
Jesica melihat pesannya terkirim dan sudah diterima. Terlihat dari tanda yang diberikan aplikasi perpesanan tersebut. Centang dua. Namun sepertinya tidak langsung dibaca oleh si penerima.Satu detik, dua detik.Jesica menghela napas, mungkin si penerima pesannya sedang sibuk. Akan tetapi tak urung membuatnya menjadi gelisah. Apakah pesannya akan direspon atau diabaikan?Jesica mendongak, memandang keluar jendela. Ruang guru sudah sepi, hanya ada dua guru piket dan satu orang staf administrasi. Dia tidak mungkin berdiri terlalu lama di sini, kalau ketahuan Bu Farah atau Bu Viana, urusan menjadi panjang.Dengan sedikit kecewa, Jesica meletakkan telepon genggamnya kembali ke dalam laci, yang kemudian dia kunci. Dia pun bergegas melangkah.“Jes!”Jesica berhenti, dia memejamkan mata sekejap. Tanpa menoleh dia sudah tahu siapa yang baru saja memanggilnya. Pasti Viana, si biang gosip, biang kerok! Sejak peristiwa yang terdahulu itu, Jesica memang sengaja menghindar sebisa mungkin. Kecuali
(Boleh. Pak Armand tentukan saja tempatnya di mana. Saya ikut.)Balasan dari Jesica tidak perlu menunggu lama.Armand pun segera mengetikkan sebuah nama. Sebuah cafe yang lumayan jauh dari area sekolah tempat Jesica bekerja. Dengan asumsi, tempat itu akan aman dari mata yang tidak dia inginkan.Sekitar pukul empat sore lebih sedikit, Armand sudah berada di cafe yang dia pilih. Lelaki itu agak terkejut saat melihat Jesica sudah mengambil duduk di salah satu meja di situ.“Maaf, Jes. Kupikir kamu pulang jam empat, jadi aku santai dari rumah tadi,” kata Armand. Dia belum duduk, matanya berkeliling mencari alternatif meja yang lain. Meja yang sekarang dipilih Jesica terlalu terlihat dari luar. Armand tidak ingin jika nanti ada kenalan yang melihat mereka dan menjadi salah paham.“Jam kerja sebenarnya hanya sampai jam tiga kok, Pak. Tapi selama ini kami sering banyak pekerjaan, jadi sering molor waktu pulangnya.” Jesica berkata semanis mungkin. Namun Armand terlihat tidak mendengarkan jawa
Armand berdiri, dengan mata yang tetap melekat kepada sosok orang yang ditunjuk oleh Jesica. Lelaki itu membeliak sekira dua detik. Saat kembali redup, dia menelan ludah.Sementara Jesica tanpa sadar mengikuti pergerakan Armand. Akibat kegugupannya, dia asal berdiri, dan menyenggol meja. Vas bunga yang berada di atas meja pun rebah, lalu menggelundung. Beruntung dia sigap menangkapnya sebelum meluncur ke bawah.Dengan gerakan serba salah, Jesica mengembalikan vas bunga itu kepada tempat semula. Setelahnya dia membetulkan baju, rambut, serta mengusap wajah dengan tangan gemetaran. Sikapnya seperti pencuri yang tertangkap warga.Inge, sosok yang telah membuat Armand dan Jesica kaget, tersenyum lebar melihat kelakuan yang diperlihatkan oleh kedua orang tersebut. Dia sengaja menghentikan langkah. Membuat Naomi yang berada dalam gandengannya, menoleh ke arahnya, untuk kemudian menoleh ke arah yang sama dengan Inge.“Loh Miss Jes?!” Naomi berseru sembari menunjuk Jesica. “Mama Inge, ada Mi
Lucas terlihat tersenyum, tetapi bukan senyum yang menyenangkan. Jelas itu membuat Inge sedikit gugup.“Aku memang konsen pada ucapannya tadi, yang soal dia mengakui bayi yang kamu kandung itu adalah miliknya,” kata papa kandung Naomi itu.“Pak Lucas… .”Lucas mengangkat tangan ke udara sebentar. Memberi kode kepada istrinya itu untuk jangan menyela terlebih dahulu.“Bagiku ucapan dia tadi menyatakan bahwa dia masih mengharapkan kamu.”Inge menggeleng-geleng. “Sikap Mas Armand tadi hanya berniat untuk mengacaukan hidup saya, Pak Lucas. Kami memang berpisah dengan cara kurang baik. Dan semua ucapan dia tadi bohong, setelah saya keluar dari rumah lalu menggugat cerai, kami tidak pernah berkomunikasi sama sekali.”Lucas menyeringai. “Kalau aku mau tahu cerita lengkap soal perpisahan kalian, boleh?”Inge menghela napas, kemudian mencoba tersenyum normal. “Ya, tentu saja, Pak.”Inge bergerak menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Kepalanya mendongak menatap langit-langit, masih terbayang
Lucas masih terpaku. Dia hanya berpikir, ternyata benar yang dikatakan orang-orang bahwa dunia itu sempit. Kita bisa bertemu dengan orang tidak terduga di tempat tak terduga pula.“Serius Pak… eh Papa kenal Sandra Rose itu?” Inge menjadi sangat penasaran. Sisi jiwanya bergejolak. “Kita pernah bertemu dia waktu pesta pernikahan asisten Anda dulu, Pa.”Lucas justru tertawa. Inge ikut tertawa. Dia sadar apa yang sedang ditertawakan oleh Lucas, yaitu tentang kecanggungan dirinya memanggil sebutan baru bagi Lucas, sehingga masih tercampur tidak karuan. Menyebut dengan ‘papa’ masih memakai kata ‘anda’.“Sebentar… .” Lucas merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan telepon genggamnya. Jari lelaki itu meluncur ke kotak email.“Coba, ini bukan orangnya?” Lucas mengulurkan telepon genggamnya kepada Inge.Perempuan yang sedang hamil itu pun melongok. “Iya. Ini… CV?”Lucas mengangguk. “Tadi siang aku sempat ikut interview si Sandra ini.”Inge mengangguk. Entah mengapa hatinya berdesir. Suami terdahul
Inge menunduk. Perasaannya berkecamuk.“Pak Lucas, boleh saya bicara dengan Bu Karina?” Alih-alih menjawab, Inge justru melempar pertanyaan. Lehernya bergerak sehingga kepala Inge kini tegak dan memandang Lucas yang duduk di sampingnya.“Saya ingin menjelaskan hubungan kita,” ucap Inge.Respon pertama kali Lucas adalah menghela napas. Kemudian dia mereguk susunya kembali, sebelum akhirnya menyahut, “Tentu saja boleh. Tapi tolong jangan terus merasa aku dan Karina bercerai karena kamu.”Inge mengulas senyum. “Tapi pikiran dan pandangan orang pasti akan seperti itu. Bayangkan saja, Bu Karina baru bangun setelah koma empat tahun, tiba-tiba diceraikan, lalu Pak Lucas melanjutkan hidup bersama saya sebagai suami istri. Apa kata orang nanti?”Lucas meraih tangan Inge. Dia remas sedikit sembari memberi tepukan kecil.“Apakah anggapan orang sangat berarti buat kamu?” tanya Lucas. Nadanya tegas. “Kita sudah melewati sejauh ini bukan?”Inge kembali menunduk. Tanpa sadar dia membalas remasan Luc
Inge terbangun dengan kaget, tiba-tiba dia merasa ada tangan yang memukul kandungannya. Ketika dia membuka mata, dia mendapati tangan mungil Naomi sudah terparkir manis di atas perut. Sedang tubuh kecil Naomi terlihat bergerak merapatkan diri pada Inge, sepertinya si kecil mencari kehangatan, sebab udara pagi di kota kecil ini memang lebih dingin dibanding di rumah Naomi.Inge menghela napas. Semalam dia akhirnya tertidur setelah berdiam diri memandangi wajah Lucas dan Naomi berganti-ganti. Entah mengapa hatinya merasa lebih tentram. Demikian juga dengan si bayi, dia terus bergerak tetapi gerakannya sangat halus.‘Eh, kemana Lucas?’ Inge tidak menemukan lelaki itu di samping Naomi. Bantal bekas dipakai Lucas sudah terlihat rapi.Tidak berapa lama, sayup-sayup telinga Inge mendengar tawa renyah di luar kamarnya. Dapat dipastikan suara itu berasal dari para ibu yang membantu mamanya. Mereka juga terdengar saling berbalas kalimat seperti biasa.Inge pun bangun dengan hati-hati. Sedikit m
Mesin mobil segera mati, dan Pak Ali perlahan turun. Dia membungkukkan sedikit badannya kepada Lucas dan juga orang tuanya, kemudian mengundurkan diri tanpa sepatah kata pun.“Mama kita perlu bicara.” Lucas menatap Mama Helen.Sedetik kemudian Naomi menjerit-jerit. Dia seperti sudah mempunyai firasat jika sang papa akan menggagalkan rencana mereka untuk pergi ke rumah Inge. Namun Edward sigap menenangkan gadis kecil itu. Edward membujuk Naomi untuk turun.Akan tetapi Naomi masih terus menjerit, sehingga Lucas akhirnya mendekati sang putri. Lelaki itu menatap Edward sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan pada Naomi.“Kita jemput Mama Inge, tapi kita siapkan dulu strawberry untuk Mama Inge. Tadi Mama Inge telepon minta dibawain strawberry,” ujar Lucas terpaksa sedikit berbohong. Dia perlu waktu untuk bicara dengan Mama Helen.Naomi terlihat langsung menghentikan kehebohannya. Dengan mata basahnya dia tersenyum lebar. “Mimi yang siapin, Pap?”Lucas mengangguk. “Coba tanya Bi Yati a
Karina buru-buru menyeka air matanya. Dia memandang sejenak kepada Papa Benny. Saat ayahnya mengangguk, perempuan cantik itu ikut pun melakukan hal yang sama. Kemudian dia memberanikan diri untuk menatap wajah Lucas, sembari menahan debaran di dadanya.Entah mengapa Karina melihat serpihan diri Edward dalam wajah Lucas. Dan di sinilah dia menjadi lebih paham apa yang Papa Benny maksudkan tadi. Karina mungkin tidak dapat melepaskan dirinya dari bayang-bayang Edward. Itu akan seperti mengantongi bom yang dapat meledak sewaktu-waktu, yang mungkin saja ledakannya lebih hebat dari pada empat tahun yang lalu.“Aku juga punya kabar yang harus kamu dengar, Luc,” kata Karina lirih.Mendengar hal tersebut, Papa Benny memberi kode kepada Mama Emma untuk keluar. Ketika sang istri terlihat masih terpaku, Papa Benny berjalan memutari ranjang Karina untuk mendapatkan tangan perempuan itu. Dalam diam, dia membawa Mama Emma keluar ruangan.Lucas tersenyum samar serta mengangguk pada kedua mertuanya, s
“Di sini juga ada Lucas, yang bisa ikut mendengar,” tambah Pak Benny.Inge tercekat. Dia menggigit halus bibir bawahnya sendiri. Berusaha untuk tidak memperdengarkan sesuatu yang bisa menampakkan kegugupannya, meskipun jantung dalam dadanya berdebar begitu kencang.“Dengar baik-baik, Inge. Saya ingin membatalkan perjanjian di antara kita,” kata Pak Benny. Suaranya serak tetapi diucapkan dengan mulus tanpa getaran. “Pernikahan antara kamu dan Lucas itu sah, hanya kamu dan Lucas yang berhak menentukan kelanjutannya.”Telinga Inge dapat mendengar suara Lucas terpekik kecil menyerukan kata ‘papa’ di belakang suara Pak Benny. Sebenarnya dia pun sama terkejutnya dengan Lucas, tetapi dia dapat mengendalikan diri. Inge telah belajar dari pengalaman bahwa berbicara dengan Pak Benny atau Bu Emma selalu saja muncul hal-hal tidak terduga.“Apa kamu dengar, Ing?” tanya Pak Benny.“I-iya, Pak.”Inge pun terbata-bata kembali mengiyakan ketika Pak Benny menanyakan apakah dia paham dengan yang dimaksu
Keluar dari ruang perawatan Karina, Lucas langsung menuju ke arah barat rumah sakit. Di situ ada taman dengan kolam ikan yang suasananya lumayan sejuk, sebab beberapa pohon rindang berjajar melingkupi area tersebut. Beruntung taman tampak tidak seramai biasanya.Lucas duduk di salah satu kursi di situ, dia menghela napas. Kesejukan dan kedamaian suasana taman, sama sekali tidak dapat meredakan panas di hatinya. Rasa sakit pada pagi hari itu, empat tahun lalu, bahkan masih terasa sampai sekarang. Siapa yang tidak sakit jika ternyata istri yang dicintai menyimpan rasa untuk lelaki lain. Apalagi jika lelaki tersebut adalah orang yang selama ini tidak dia sukai.Ya, Lucas menganggap Edward pengkhianat. Edward Kavell adalah sepupu dari papa kandungnya, yang artinya masih paman Lucas. Dia menikahi Mama Helen tepat tiga bulan setelah kematian papanya. Ada desas desus yang beredar di kalangan keluarga besarnya sendiri, bahwa Mama Helen telah hamil dengan Edward. Namun seiring berjalannya wakt
“Ada apa ini, Pa?” Mama Emma berseru tertahan. “Tadi di koridor aku ketemu Helen dan Edward. Mereka juga diam saja waktu melihatku, sama kayak Lucas. Padahal kemarin saat kukasih kabar tentang kesembuhan Karina, mereka terdengar begitu suka cita eh loh… Karina!”Mama Emma yang baru menyadari isakan Karina gegas mendekati sang putri. Dia mendesak, menyingkirkan posisi Papa Benny begitu saja, demi bisa memeluk Karina. Hati perempuan paruh baya itu bergetar. Sepengetahuan dia, sebelum dia mengajak Naomi ke kantin, Karina dan Lucas sedang membicarakan tentang Inge. Atau jangan-jangan… .“Apa Lucas lebih memilih Inge?” tebak Mama Emma asal. Wajahnya memandang Papa Benny. Akan tetapi Papa Benny diam saja.Sedetik kemudian terdengar tangis Karina meledak. Baginya, ucapan ibu kandungnya itu bisa jadi akan menjadi kenyataan, sebab kini akhirnya Lucas mengetahui yang sebenarnya.Selama ini, tidak ada seorang pun yang mengetahui jika Edward adalah lelaki pertama yang dapat menggetarkan hati Kari
“Mama…,” desis Lucas. Hatinya menjadi bergetar, entah mengapa Lucas memaknai kata-kata Mama Helen sebagai keinginan untuk memisahkan Inge dari bayinya. Sedangkan dia tahu betul, apa saja yang sudah Inge korbankan selama ini demi memiliki bayi itu. Namun situasi sekarang tidaklah tepat untuk membahas hal demikian.“Aku tidak sudi mengasuh anak dari perempuan itu,” ketus Karina.“Tidak ada yang menyuruhmu untuk mengasuhnya, Karina. Cucuku sudah punya ibu baik yang akan mendidiknya dengan benar!” jawab Mama Helen cepat.Lucas terperangah mendengar ucapan Mama Helen tersebut. Apa yang sudah merasuki pikiran mamanya itu, sehingga dia bisa berubah sekali. Bukankah dahulu dia juga membenci Inge? Bahkan Mama Helen sempat menghina dan merendahkan Inge.“Mama, tolong… kita sedang di rumah sakit.” Lucas kembali mendesis. “Sebaiknya Mama keluar dulu, Karina masih butuh istirahat.”Mama Helen tertawa lirih. Dia justru melangkah lebih maju ke arah Karina. Langkahnya seperti sengaja dihentak, membua
“Karina… .” Mama Emma menghambur untuk memeluk Karina.Akan tetapi Karina mengelak dengan lembut. Sepasang matanya tajam menatap kepada Lucas. “Biar kutebak… Inge bukan perawat kan?”Tiba-tiba Karina tertawa sinis. Keras sekali.“Kenapa diam saja, Luc? Kamu mengira aku akan mati? Atau jangan-jangan perempuan itu memang sudah ada sebelum aku koma, Inge itu simpananmu kan!” tuding Karina marah. Suaranya menggelegar memenuhi ruangan.“Karina,” geram Lucas tegas. Emosinya seketika naik, bukan karena tuduhan keji itu, melainkan sikap Karina. Apakah dia tidak melihat ada Naomi di antara mereka? Jika menuruti kehendak hati, mungkin saja Lucas akan menyahut dengan nada tinggi. Namun demi Naomi, Lucas menahan diri sekuat tenaga, sampai bibirnya bergetar.“Kita bisa ngobrol baik-baik,” ucap Lucas. Dia memberi kode kepada Karina dengan melirik Naomi, seakan bicara dengan matanya supaya Karina jangan mengucapkan kalimat yang tidak perlu putri mereka dengar.Karina tampak sengaja mengabaikan permi