Isabella segera berkumpul dengan keluarga Naura, kemudian mereka melakukan shalat magrib berjamaah termasuk Satria walaupun laki-laki ini shalat tidak seperti biasanya, dia duduk. Hal yang dilakukan Satria bisa dianggap aneh karena biasanya dia tidak shalat, tetapi sekarang tiba-tiba melakukan shalat, tetapi di mata keluarganya ini adalah anugerah, mereka semua merasa bahagia termasuk Isabella. Haris yang menjadi imam dalam shalat. Lalu, Naura dan Isabella berdiri bersebelahan saat shalat hingga membuat Naura semakin gugup, tetapi dia selalu berusaha tetap khusu hingga shalat selesai. "Alhamdulillah ...," ucap Isabella dengan wajah berseri, lalu menatap Naura. "Alhamdulillah, kita masih diberi umur dan kita diberi kesempatan shalat berjamaah." "Iya ...." Naura mengangguk kecil dan tersenyum kecil, tetapi aura wajahnya tidak kalah sejuk dan berseri dari Isabella.Mereka tidak meninggalkan mushola. tetapi membaca Al-Qur'an bergilir sebagaimana dalam pengajian yang biasa dihadiri oleh
Pukul sembilan, Satria dan Isabella baru saja kembali ke kamar setelah mengantar keluarga Naura ke halaman. Laki-laki ini tidak mengatakan apapun, tetapi kali ini Isabella yang berkata, "Saya berterimakasih pada Naura dan keluarganya karena menjenguk kamu. Tapi ... apa kalian tidak malu saling memandang di depan keluarga?" Suaranya terjaga, tetapi ekspresinya sangat serius. "Apa maksud kamu?" Ekspresi dingin Satria. "Saya memperhatikan kalian. Saya tahu, kalian tidak menganggap saya ada, tapi jangan lupakan keberadaan mama dan papa kamu, lalu mama dan papanya Naura. Apa yang akan mereka pikirkan jika kalian sengaja melakukan hal tidak pantas?" Satria memandangi Isabella, tetapi tatapannya sangat dingin. "Tidak ada yang mempermasalahkan ini selain kamu." Pun, suaranya dingin dan datar."Karena saya istri kamu." "Kamu cemburu?" Tatapan Satria tidak berubah. "Tidak." Ekspresi dan nada suara Isabella tidak berubah. "Jadi apa masalahnya?" Satria segera memalingkan tubuhnya dan hendak
Hari ini Satria tidak bisa pergi kemanapun karena seolah Mia menjaganya dengan ketat, bahkan Satria merasa jika dia masih berada di dalam ruangan perawatan hanya saja tempatnya lebih luas dan enjoi. "Ck, ternyata kamu pandai mempengaruhi sampa-sampai mama mendengarkan semua ucapan kamu!" Laki-laki ini menyalahkan Isabella. Satria sedang berada di halaman dan ingin segera pergi, tetapi Mia selalu mondar-mandir mencarinya, pun sopir berkata jika kali ini dia tidak bisa mengantar Satria kemanapun atas perintah dari Haris dan Mia. "Mama dan papa terpengaruh omongan kamu. Hebat sekali!" Satria semakin menghardik Isabella. Sementara, saat ini Isabella sedang mendapatkan kunjungan dari Dika. "Hi." Selalu, menggoda Isabella adalah rutinitasnya setiap kali bertemu gadis itu. Dan Dika tidak pernah melupakan tatapan teduh serta senyuman hangatnya. "Iya, selamat pagi ... ada yang bisa saya bantu?" Isabella bersikap propesional kala dirinya duduk di belakang meja khusus perawat."Saya salah ja
"Ambil saja." Suara Satria terdengar sangat datar dan dingin yang menandakan jika dia tidak merasa kehilangan jika Dika mengambil Isabella. Hal ini membuat Dika merasa iba pada nasib Isabella, tapi dia juga tidak akan gegabah karena mungkin hanya Satria yang tidak mencintai Isabella, bisa saja perasaan Isabella berkebalikan. Dika berhenti membahas Isabella karena sikap Satria terlalu kejam. "Sudahlah, belum tentu Abel mau pada saya," kekeh kosongnya, "Ngomong-ngomong, mungkin sampai beberapa minggu ke depan kita cuma harus fokus pada kesehatan, lalu melanjutkan hidup yang baru. Kita tidak usah dendam pada geng kelas teri, mereka semua akan dipenjara. Saya rasa komplotan mereka yang berhasil lolos akan cepat ditangkap." Mata Dika memicing tajam, menyimpan amarah yang tidak tersampaikan. Satria mengerti jika Dika tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang Isabella. "Ya. Anggap saja geng kita sedang beristirahat." Pertemuan mereka selesai, dan pada sore hari Dika menyodorkan tiket n
"Pergi kemana saja sama Dika?" Satria menginterograsi Isabella seolah istrinya ketahuan berselingkuh. "Nonton." Isabella menunjukan tatapan sendunya karena suaminya selalu memberikannya pada lelaki lain. "Nonton. Sampai selarut ini!" Satu alis Satria terangkat seakan sedang mencurigai Isabella. "Kita pergi ke mall. Dika membelikan saya baju, lalu mengajak makan, terakhir kita nonton. Dari awal saya sudah menolak, tapi Dika bilang dia sudah bertemu kamu dan katanya kamu tidak akan marah. Jadi tolong jangan bertanya apapun lagi karena ini kan yang kamu mau. Toh sebelumnya kamu berniat memberikan saya pada Dika, jadi apa bedanya hari ini." Isabella berkata panjang, meluapkan sedikit isi hatinya, tetapi suaranya tetap terjaga. Saat ini Satria tidak mengatakan apapun karena yang dikatakan Isabella benar, dia yang berniat memberikan istrinya pada Dika. Namun, Satria mendengus saat berpikir negatif pada Isabella. "Yang saya tahu kamu bukan gadis murahan. Tapi ... apa sekarang kamu masih
Isabella banyak tersenyum pada Satria, sikapnya juga santun sebagaimana Isabella yang Satria kenal. "Hati-hati, pelan-pelan saja ...," ucap Isabella saat langkah Satria terlalu cepat. "Kapan kamu akan meninggalkan saya?" Ke sekian kalinya, Satria selalu membahas hal sensitif. "Selama Tuhan masih mempersatukan kita, saya tidak akan meninggalkan kamu. Kamu tetap menjadi suami saya." Tatapannya dipenuhi ketulusan. "Manusia bisa mengubah takdir dengan logikanya." "Secara logika, kamu memang pantas ditinggalkan. Tapi saya menggunakan hati nurani saya, saya tidak ingin menyakiti siapapun, seperti kamu yang selalu menyakiti saya karena jika saya meninggalkan kamu, maka akan ada banyak hati yang terluka." "Lupakan tentang keluarga kita." Suara dingin Satria."Tidak bisa. Mereka sangat berharga, jadi saya harus menjaga perasaan mereka." "Bagaimana perasaan kamu?" "Saya terluka. Apalagi kalau melihat kamu dan Naura." "Orang bodoh mana yang bertahan dalam luka?" Satria tersenyum mengejek
"Nay," sapa Satria yang menunjukan rasa kaget, tapi juga senang. Sedangkan Isabella selalu mampu mengontrol dirinya. "Eh, Naura ... saya kira kamu kuliah." Bahkan Isabella selalu terkekeh. "Tidak ... saya ada urusan dengan mama jadi bolos, hari ini saja." Seperti biasanya, Naura selalu gugup di depan Isabella. Apalagi sekarang dia harus dihadapkan pada keharmonisan Isabella dan Satria, itu membuat hatinya terluka hingga akhirnya semakin sulit mengontrol diri. Mia segera menggiring Naura untuk berkumpul bersama mereka. "Syukur Naura datang. Tante senang kamu di sini ...." Hangat dan lembutnya, tetapi Naura hanya tersenyum kecil. 'Saya tidak mau berlama-lama di sini!' Naura mengeluh bersama kegelisahan. "Eu ..., maaf Tante. Naya tidak bisa lama, karena mama menunggu di rumah.' Naura segera memikirkan alasan yang sangat bagus. "Ya sudah ... titip salam untuk mamanya Naya." Senyuman hangat dan lambut Mia. "Iya, Tante. Akan Naya sampaikan." Saat ini hatinya mulai merasa lega hingga s
Malam tiba, Isabella mengunjungi pengajian untuk mengisi sebagian waktunya. Apalagi malam ini daerahnya kedatangan Ustad terkenal yang akan mengisi acara pengajian. Jadi, banyak warga berdatangan, termasuk Mia dan Isabella. Di sana, Mia memisahkan diri dengan menantunya, jadi Isabella tetap bersama kalangan pemudi termasuk Naura. Namun, sebelum acara dimulai Naura mengajak Isabella untuk berbicara empat mata di dekat kantor karang taruna. "Sebelumnya saya minta maaf ...." Kali ini suara Naura tidak kaku, tetapi sendu."Ada apa?" Sebenarnya Isabella ingin mengungkapkan kekesalannya pada Naura karena ini adalah waktu yang tepat, tetapi nyatanya, cara bicaranya tetap hangat dan santun. "Tanpa kamu tahu, saya bersalah pada kamu." Tatapannya sangat insten, tetapi hanya dipenuhi kesedihan. Isabella tersenyum lembut. "Saya tidak tahu apa kesalahan kamu. Seingat saya, dari awal kita bertemu kamu tidak punya salah apapun." Gadis ini terlalu malas membahas kesalahan Naura yang sudah bukan r