Isabella banyak tersenyum pada Satria, sikapnya juga santun sebagaimana Isabella yang Satria kenal. "Hati-hati, pelan-pelan saja ...," ucap Isabella saat langkah Satria terlalu cepat. "Kapan kamu akan meninggalkan saya?" Ke sekian kalinya, Satria selalu membahas hal sensitif. "Selama Tuhan masih mempersatukan kita, saya tidak akan meninggalkan kamu. Kamu tetap menjadi suami saya." Tatapannya dipenuhi ketulusan. "Manusia bisa mengubah takdir dengan logikanya." "Secara logika, kamu memang pantas ditinggalkan. Tapi saya menggunakan hati nurani saya, saya tidak ingin menyakiti siapapun, seperti kamu yang selalu menyakiti saya karena jika saya meninggalkan kamu, maka akan ada banyak hati yang terluka." "Lupakan tentang keluarga kita." Suara dingin Satria."Tidak bisa. Mereka sangat berharga, jadi saya harus menjaga perasaan mereka." "Bagaimana perasaan kamu?" "Saya terluka. Apalagi kalau melihat kamu dan Naura." "Orang bodoh mana yang bertahan dalam luka?" Satria tersenyum mengejek
"Nay," sapa Satria yang menunjukan rasa kaget, tapi juga senang. Sedangkan Isabella selalu mampu mengontrol dirinya. "Eh, Naura ... saya kira kamu kuliah." Bahkan Isabella selalu terkekeh. "Tidak ... saya ada urusan dengan mama jadi bolos, hari ini saja." Seperti biasanya, Naura selalu gugup di depan Isabella. Apalagi sekarang dia harus dihadapkan pada keharmonisan Isabella dan Satria, itu membuat hatinya terluka hingga akhirnya semakin sulit mengontrol diri. Mia segera menggiring Naura untuk berkumpul bersama mereka. "Syukur Naura datang. Tante senang kamu di sini ...." Hangat dan lembutnya, tetapi Naura hanya tersenyum kecil. 'Saya tidak mau berlama-lama di sini!' Naura mengeluh bersama kegelisahan. "Eu ..., maaf Tante. Naya tidak bisa lama, karena mama menunggu di rumah.' Naura segera memikirkan alasan yang sangat bagus. "Ya sudah ... titip salam untuk mamanya Naya." Senyuman hangat dan lambut Mia. "Iya, Tante. Akan Naya sampaikan." Saat ini hatinya mulai merasa lega hingga s
Malam tiba, Isabella mengunjungi pengajian untuk mengisi sebagian waktunya. Apalagi malam ini daerahnya kedatangan Ustad terkenal yang akan mengisi acara pengajian. Jadi, banyak warga berdatangan, termasuk Mia dan Isabella. Di sana, Mia memisahkan diri dengan menantunya, jadi Isabella tetap bersama kalangan pemudi termasuk Naura. Namun, sebelum acara dimulai Naura mengajak Isabella untuk berbicara empat mata di dekat kantor karang taruna. "Sebelumnya saya minta maaf ...." Kali ini suara Naura tidak kaku, tetapi sendu."Ada apa?" Sebenarnya Isabella ingin mengungkapkan kekesalannya pada Naura karena ini adalah waktu yang tepat, tetapi nyatanya, cara bicaranya tetap hangat dan santun. "Tanpa kamu tahu, saya bersalah pada kamu." Tatapannya sangat insten, tetapi hanya dipenuhi kesedihan. Isabella tersenyum lembut. "Saya tidak tahu apa kesalahan kamu. Seingat saya, dari awal kita bertemu kamu tidak punya salah apapun." Gadis ini terlalu malas membahas kesalahan Naura yang sudah bukan r
Isabella hanya menatap sendu sikap Satria, kemudian berkata santun, "Saya harus kembali ke pengajian." Tatapan Satria segera beralih pada Isabella, tentu saja hanya terdapat tatapan geram. "Kamu apakan Naura sampai Naura menangis. Saya tidak menyangka kamu sejahat itu, padahal kalian sama-sama perempuan!" Suaranya tidak membentak, tetapi tentu saja tidak bersahabat. "Saya tidak melakukan apapun ...." Saat ini Isabella yang hampir menangis. Satria tidak ingin seseorang mendengar pembicaraan mereka, jadi dia memilih mengakhiri. "Berpura-pura saja tidak terjadi apapun." Bahkan, sengaja dia mengulurkan tangan kanannya untuk menggandeng tangan Isabella dan mengantarnya ke pengajian walaupun hatinya sangat tidak tenang pada kepergian Naura. Satria tidak mengikuti pengajian karena dia mencoba menghubungi Naura, lagipula niatnya adalah berkumpul dengan para pemuda hanya saja tidak sengaja bertemu Isabella dan Naura. Pangilan dan chatnya diterima oleh Naura, tetapi laki-laki ini tidak mend
"Kalau tidak percaya, tanya saja sama Naura." Isabella sangat tenang kala menghadapi tuduhan brutal Satria. Selimut ditarik hingga ke bagian dada, "Saya mau tidur, ini sudah malam ...." Satria hanya memandangi Isabella seiring berdecak kesal. Sebenarnya hati Isabella yang sudah hancur menjadi semakin hancur, tapi apa yang bisa dilakukannya selain berusaha menyembuhkan diri sendiri karena tidak mungkin melarang Satria dan Naura untuk tidak saling mencintai. Pada pagi harinya, Isabella bersiap-siap pergi ke rumah sakit, sedangkan Satria sibuk dengan urusannya yaitu berusaha menghubungi Naura, tetapi gadis itu tidak pernah menyaut. "Ck!" Satria berdecak kesal dan yakin jika semalam Isabella mengatakan hal buruk. Pagi ini Satria tidak ingin menyapa Isabella sedikit pun, bahkan dia langsung melengos meninggalkan kamar. Lalu, setelah sarapan Satria meninggalkan rumah dengan alasan mempunyai janji dengan anggota karang taruna, tetapi sebenarnya dia menemui Naura. "Pagi Tante, Na
Pada tengah hari Satria menemui Isabella di rumah sakit. “Saya harap kamu mau melepaskan saya!” Blak-blakan dia mengatakannya kala mereka duduk berhadapan di kantin.“Kenapa saya harus melepaskan kamu?” Isabella menyahut dengan tenang.“Kamu sudah tahu Naura juga menyukai saya. Kita saling menyukai, kenapa kamu masih mempertahankan pernikahan ini?”“Kamu yakin mau sama Naura?” Isabella masih bersikap tenang bahkan dia menyuap makan siangnya seolah obrolan mereka bukan pembahasan berat.“Jangan tanya lagi. Kamu sudah tahu perasaan saya sama Naura dari sebelum kita menikah!” Satria mendengus kecil. Pun, dia menunjukan ekspresi serius.“Ceritakan saja perasaan kamu pada orangtua kamu. Dan lihat apakah orangtua kamu setuju.” Bukan menantang, Isabella hanya sedang mencoba menyadarkan Satria jika pernikahan mereka bukan hal main-main walau dijalani tanpa cinta.“Jangan mengada-ngada!” Satria kembali mendengus, tetapi hingga detik ini Isabella tetap bersikap tenang.“Ceritakan saja dulu. Kal
Haris mengerutkan dahinya sangat heran, “Apa maksud kamu, Nak? Kalian saling mencintai, jangan mencari-cari alasan tidak masuk akal supaya Papa percaya kalian tidak berjina.” Nada suaranya sedikit dibuat tegas saat menasihati Satria.Satria hening sesaat karena jauh di dalam lubuk hatinya dia tetap memikirkan kesehatan ayahnya. Penyakit asma yang diderita Haris sering kambuh ketika sangat marah atau sangat kaget. Jadi, Satria berakhir mendesah saat kata-katanya kembali ditelan. “Intinya kita tidak berjina, Pa. Harusnya sebelum Papa menikahkan kita, Papa mencari tahu dulu lebih dalam.” Terpaksa Satria mengganti ucapannya.“Berjina atau tidak, perbuatan kalian bisa mempermalukan keluarga. Kalian berduaan di dalam villa, apa kamu pikir hanya Papa dan Mama yang menganggap kalian berjina? Papa tidak ingin ambil resiko nama keluarga hancur, jadi lebih baik kalian menikah dan jalani pernikahan kalian dengan bersungguh-sungguh karena pernikahan bukan main-main. Papa yakin perlahan kalian juga
Naura kembali ke kampus, gadis ini mencoba membuka lembaran baru, tetapi gossip hubungannya dengan Satria sudah menyebar hampir satu kampus, maka banyak lelaki menanyakan keadaan Satria padanya. “Bagaimana keadaan Satria sekarang? Dulu saya dengar Satria dirawat di rumah sakit sama Devan.”“Tanya sendiri saja sama Satria.” Suaranya tidak ketus walaupun ingin karena Naura malas selalu dicap sebagai pacar Satria.“Susah hubungi Satria, jarang balas chat. Jadi tanya kamu saja karena kamu pacarnya.” Lelaki ini sedikit menggoda Naura walaupun dia tidak rela Naura dimiliki Satria. Banyak pengagum Naura yang kecewa atas gossip ini.Salah satu lelaki berkata pada Naura, “Rumah Satria di mana? Sebagai teman satu kampus kita wajib menjenguk karena sudah cukup lama Satria tidak kuliah.” Pun, dia adalah salah satu pengagum Naura jadi senyuman serta tatapannya sangat lembut.“Kalian tanya sendiri saja!” Naura mulai menunjukan kesalnya.“Lagi marahan ya, sama Satria.” Akhirnya godaan kedua lelaki i