"Apa ini laporan proyek tol di Sumatra?" Daffin bertanya kepada Fatan."Iya pak, ini laporan proyek pembangunan jalan tol yang ada di Sumatera."Daffin membuka lembar proposal serta rancangan jalan tol yang sudah ditunjukkan oleh Fatan. Ia mengecek semuanya secara detail, termasuk material yang akan dipakai ketika membangun jalan tol tersebut. "Oke," ucapnya."Pak Daffin, saya ingin memberitahu sesuatu." Fatan tersenyum."Apa itu?" tanya Daffin."Saya akan menikah." Fatan berkata dengan tersenyum."Sejak dari beberapa bulan yang lalu, kamu bilang mau menikah. Tapi gak nikah-nikah," sindir Daffin.Fatan hanya senyum-senyum ketika mendengar sindiran dari bosnya."Terus request kado?" Daffin memandang orang kepercayaannya tersebut. Ia tidak bertanya Fathan tertawa saat mendengar pertanyaan dari bosnya. "Sepertinya kado yang di request sama kado yang bapak berikan, pasti lebih bagus kado yang bapak belikan." jawabnya."Selamat, kapan rencananya?" Daffin tidak mempertanyakan tentang calo
Daffin menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi wajah istrinya ketika bercerita."Abang Nara mau nikah." Hana berkata dengan wajah serius dan mata terbuka lebar."Apa benar?" Daffin bertanya dengan ekspresi wajah kaget. "Iya bang," jawab Hana."Bohongan kali, mana mungkin Nara mau nikah. Adek sendiri yang cerita, kalau dia nggak punya pacar. Terus mau nikah sama siapa? Apa sama sapi?" Daffin sangat senang, setiap kali melihat ekspresi wajah istrinya bila bercerita seperti ini. "Enak saja bilang teman Hana nikah dengan sapi. Teman Hana itu sangat cantik dan banyak yang suka, cuman dianya aja yang banyak milihnya." Hana berkata dengan bibir yang maju ke depan.Mulut Daffin membulat ketika mendengar ucapan istrinya. "Jadi selama ini, nggak ada yang mau cuman sama si Hana?" "Yang mau sama Hana itu banyak dan berserak, cuman Hana saja yang nggak mau pacaran. Lagian, mana sempat untuk pacaran-pacaran. Hana sibuk kuliah dan juga kerja." Hana kesal mendengar p
"Iya papi, kami akan menunggu," jawab Hana dengan tersenyum. "Abang, Hana mau ikut saja ya, biar Abang gak salah petik.""Boleh, ayo." Daffin tersenyum dan membantu istrinya untuk berdiri."Berat kali rasanya bang," keluh Hana. Meskipun untuk berdiri saja terasa sulit, namun ia tetap tersenyum sambil mengusap perutnya."Iya dek, yang dibawakan dua," jawab Daffin. Ada rasa kasihan, setiap kali mendengar istrinya mengeluh seperti ini. Jujur saja, ia tidak bisa membayangkan seperti apa beratnya, ketika harus membawa dua anak sekaligus dengan perut yang besar. Sedangkan badan Hana, masuk golongan rendah dan kecil."Iya bang, kata orang bawa satu aja berat, apalagi bawa dua ya." Hana tersenyum."Semangat ya mami, mami kuat, mami hebat." Daffin mencium punggung tangan istrinya. Mereka berdua berjalan menuju ke pohon rambutan."Abang, kaki Hana bengkak.""Iya, nanti di kamar Abang pijit, Abang kompres juga pakai air hangat," bujuknya."Nanti aja pas mau tidur, Abang baru pulang dari kantor p
"Beneran susah bang, duduk berdiri. "Hana tersenyum memandang suaminya yang sedang membantunya untuk berdiri dari kursi roda. "Iya dek, abang tahu makanya ini ditolongin." Daffin tersenyum dan memposisikan istrinya, duduk di tepi tempat tidur.Hana tersenyum ketika melihat suaminya yang duduk dilantai beralas karpet bulu yang tebal dengan posisi tepat di dekat kakinya. Daffin memegang kaki Hana yang bengkak. "Apa mau kita periksa, kakinya?" Ada rasa cemas ketika melihat kaki istrinya yang sudah membengkak.""Nggak usah, kalau kata si bibi, memang seperti itu. Mama juga bilang kalau bawaannya bengkak-bengkak kayak gini itu ketuban air. Hana juga nggak ngerti sih. Baca-baca di internet katanya juga nggak ada masalah. Kaki bengkak saat hamil, suatu hal yang wajar," jelas Hana.Mulut Daffin membulat ketika mendengar jawaban dari istrinya. Ia mulai memijat-mijat kaki Hana kiri dan kanan secara bergantian."Gimana sayang, apa masih pegel?" Tanya Daffin. "Sudah enggak," jawab Hana. Setel
Demi Putri kesayangannya, Susi rela melakukan apapun. Agar bisa mewujudkan mimpi Berliana untuk menjadi artis. Segala cara dilakukannya. Apa yang dulu di perbuatannya, kini terpelintas di pandangannya. "Aku yakin, tidak akan ada yang tahu, bahkan dia sendiri, tidak pernah tahu, apa yang aku lakukan di belakang punggungnya. Aku melakukan semuanya dengan sangat rapi, tanpa dicurigai oleh siapapun. Bukannya aku tidak mencintainya, namun aku lebih mencintai dan menyayangi anakku." Susi meyakinkan dirinya. Diusapnya kering yang menetes di pelipis keningnya. Apakah karena rasa takut yang menghantuinya, atau memang kondisi penjara yang terasa panas, hingga tubuhnya berpeluh seperti ini. "Aku tidak mau berada di sini, hingga aku mati. Lagi pula, jika karena kasus itu aku tidak disidang, sudah pasti aku akan diberikan pertanyaan yang banyak, mengenai hal tersebut. Sedangkan selama aku di sini, tidak pernah ada satupun pertanyaan yang mengarah ke sana. Jadi aku yakin tidak ada yang tahu. Se
"Abang kursi rodanya sampai di sini aja ya." Hana berkata ketika ia sudah berada di lobby hotel."Sampai depan pintu lift, sayang." Daffin tersenyum dan terus mendorong kursi roda istrinya.Hana akhirnya memilih diam. Matanya memandang ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan, tidak ada temannya yang melihat.Mita tersenyum ketika melihat tingkah menantunya. "Nggak apa-apa nak, namanya juga lagi hamil, jadi nggak usah malu.""Iya ma," jawab Hana."Kak Hana." Hana memutar kepalanya ke belakang dan mencari sumber suara. Cinta tersenyum dan melambaikan tangannya. "Cinta." Hana tersenyum, memandang Cinta yang berlari ke arahnya. "Untung aja ketemu kakak di sini, soalnya Cinta segan naik sendiri ke atas." Cinta tersenyum."Pasti beneran sengaja nungguin kakak datang." Hana tersenyum.Dengan sangat malu, Cinta menganggukkan kepalanya. Pertemuannya dengan Hana, bukan tanpa sengaja, melainkan memang di sengaja. Cinta merasa canggung ketika akan naik ke atas, mengingat tidak ada yang dikenal
"Nara, tunggu di sini dulu ya, mama mau kasih tahu pak Surya, ibu Mita, Hana dan Daffin untuk duduk di sini. Tunggu sebentar ya," Yanti memandang Nara."Iya ma," jawab Nara. Ia memandang mama serta papanya yang mendatangi meja papa Surya. Nara merasa sangat gugup. Ia berharap, rasa gugupnya akan berkurang, bila ada Hana mendampinginya, "Pak Surya, ibu Mita, temani kami duduk di depan ya. Soalnya keluarga kami tidak ada, nggak enak kalau cuman kita saja yang ada duduk di depan." Yanti berkata sambil memandang Surya dan Mita. Meskipun sudah memberitahukan hal ini lewat via telepon, namun Yanti tetap meminta kembali. "Iya bu," jawab Surya dengan tersenyum."Maaf ya pak Surya, ibu Mita, kami jadi merepotkan. Soalnya keluarga kami tidak ada di sini. Kemarin kami berencana untuk menghubungi mereka, hanya saja, kalau masih acara lamaran, rasanya nggak enak. Nanti acara nikahan datang lagi, jadi takut nanti merepotkan. Domisili tempat tinggal mereka, juga jauh-jauh. Yang satu di Kalimantan
"Iya pak, silahkan," jawab Bambang."Begini pak Bambang, ibu Yanti, pak Surya dan ibu Mita. Kami sudah berunding dengan pihak keluarga. Agar akad nikah di selenggarakan 10 hari lagi. Sesuai dengan selesainya surat-surat yang kita masukkan kekantor KUA, dan kesiapan dari penghulu yang akan menikahkan anak-anak kita nanti." Herman selaku kepala keluarga, mengutarakan maksud dan tujuannya. Nara hanya diam sambil merasakan degup jantungnya. Sekali-sekali ia akan memandang ke arah Fatan, yang dibalas senyum manis dari calon suaminya.Bambang terkejut saat mendengar penjelasan dari Herman."Apa tidak terburu-buru pak?" tanya Yanti."Niat baik, lebih cepat di selenggarakan, akan lebih baik," jawab Herma dengan tersenyum. Selain ini permintaan dari putra mereka, mereka sekeluarga juga mengharapkan hal yang sama. Agar tidak terjadi lagi kegagalan dalam pernikahan putra bungsunya. "Untuk acara resepsi pernikahan, kita akan selenggarakan setelah acara Akad nikah. Jadi tidak repot sekali juga,"
Hana hanya diam saat kalung indah itu melingkar di lehernya. "Abang, beneran ini?" Tanyanya yang masih tidak percaya. "Iya sayang, nanti kasih Abang bonus ya." Daffin tersenyum dan mengangkat 3 jarinya.Mata Hana terbuka lebar saat melihat tiga jari suaminya. "Maksudnya 3 ronde?" Wanita cantik itu bertanya dengan wajah serius."Iya dong sayang," jawab Daffin.Hana diam dan menelan air ludahnya. Namun wanita itu tidak mampu untuk menolak, berhubungan apa yang diberikan Daffin tidak sebanding dengan apa yang dia inginkan. "Jangankan 3, 10 aja Hana layani bang," kata Hana dengan candaan.Namun berbeda dengan tanggapan yang diberikan Daffin. Pria itu ternyata mengganggap apa yang dikatakan istrinya serius. "Kalau gitu sampai pagi ya sayang." Dengan sangat genit Daffin mengedipkan matanya.Hana diam dan menelan air ludahnya. Mengapa dia berkata seperti itu sehingga Daffin salah mengartikan. "Emang sanggup?" Dengan bodohnya Hana bertanya dan terkesan menantang sang suami. "Ya jelas sanggu
Hana begitu sangat menikmati liburnya di kota Dewata Bali. Sesuai dengan apa yang di katakan Daffin, ini merupakan perjalanan bulan madu pertama mereka setelah menikah. Ia memiliki waktu berdua dengan sang suami. Sedangkan kedua anaknya diasuh nenek, kakek dan baby sitter nya. Mama mertuanya benar-benar memberikannya waktu untuk berbulan madu. Hana tersenyum malu-malu ketika melihat Daffin menatapnya. "Kalau ada si kembar pasti lebih asik," ucapnya untuk menghilangkan rasa canggung. Meskipun sekarang mereka sudah memiliki dua bayi kembar, namun tetap saja Hana merasa canggung jika Daffin menatapnya tanpa berkedip."I love you," jawab Daffin dengan menyelisikan jari telunjuk dan jempolnya.Hana tertawa ketika melihat tingkah suaminya. "Lain yang dibilangin lain yang dijawab," ucapnya yang tersenyum malu."Emangnya tadi bilangin apa?" tanya Daffin yang mengulum senyumnya."Andaikan ada si kembar disini, pasti asik." Hana kembali mengulang ucapannya."Mana boleh si kembar datang kesini.
Udara yang tadi terasa dingin kini sudah berangsur menghangat dan matahari sudah mulai mengeluarkan panas paginya yang menyehatkan.Hana masih sangat nyaman dengan duduk di tepi pantai bersama bersama dengan Daffin. Dengan sangat manja menyandarkan kepalanya di bahu sang suami."Sayang, Abang mau ke kamar, ambil si kembar. Kalau nunggu bangun, takutnya nanti terlalu siang dan keburu panas." Daffin tersenyum dan mengusap kepala istrinya."He... He.... Tahu aja kalau Hana lagi malas berdiri," ucapnya dengan tersenyum. Sejak tadi ia begitu malas untuk beranjak dari duduknya. Duduk di tepi pantai, melihat air omba yang saling berkejaran, membuat hatinya tenang. Dalam waktu sebentar saja permasalahan yang selama ini menghimpit dadanya berangsur-angsur terlupakan."Mami si kembar malasnya level tinggi." Daffin tersenyum dan beranjak dari duduknya. Panas pagi seperti ini sangat dibutuhkan oleh kedua anaknya, karena itu mereka sudah berniat untuk menjemur si kembar setiap pagi, selama berad
Udara pagi terasa sangat segar ketika masuk ke lubang hidung dan mengisi paru-parunya. Hana berulang kali menarik napas yang panjang dan menghembuskan secara berlahan-lahan. Pagi ini dia menikmati segarnya udara pagi di tepi pantai. Matahari yang mulai terbit, menambah indahnya suasana pagi ini.Daffin menggenggam tangan istrinya. Pria berwajah tampan itu tersenyum ketika melihat rona bahagia yang terpancar di wajah ibu dua anak tersebut. "Nanti kalau si kembar sudah bangun pasti dia senang ya lihat pantai." Hana tersenyum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Kiandra dan juga Keyzia saat melihat keindahan pantai seperti sekarang. "Pasti minta masuk ke dalam air." Daffin tertawa. Baru saja membayangkan saja sudah membuat ia gemas sendiri. Si kembar sudah sangat pintar bermain. Apalagi jika diajak bermain air. Biasanya bayi kembar itu tidak akan mau keluar dari dalam air dan mami mereka akan kesulitan ketika membujuk kedua bayi kembarnya agar mau berhenti berendam. Daffin bis
Berliana mendongakkan kepalanya ke atas dan memandang langit yang sudah semakin gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan kembali turun. Angin yang berhembus kencang, membuatnya sedikit takut. "Mama, tenanglah di sini. Mau seperti apapun mama, aku akan tetap selalu menyayangi mama. Mama, aku pamit pulang, Aku juga akan pergi meninggalkan Indonesia, dalam waktu 3 bulan ini. Jadi mungkin aku tidak datang ke sini untuk melihat mama. Tapi aku janji, aku akan langsung ke sini, setelah aku kembali dari Korea. Aku akan menuruti semua yang mama katakan. Aku juga sudah mendapatkan identitas baru. Aku sudah tidak menjadi Berliana lagi." Diusapnya air mata yang mengalir deras. Semua kisah hidupnya, semua cerita indah tentang kebersamaannya dengan sang mama, akan disimpan di dalam memori ingatannya. Berliana sudah mendapatkan kabar dari pria yang membantunya membuat identitas baru. Pria itu mengabarkan bahwa identitas barunya sudah selesai. Itu artinya, ia sudah bisa pergi meninggalkan Indonesia.
"Selamat tidur anak ganteng mami." Hana tersenyum dan mencium pipi bulat Keandra kiri dan kanan. Ia juga mencium bibir kecil bayi laki-laki tersebut.Selamat tidur sayang mami yang cantik jelita." Hana tersenyum dan mencium pipi kiri dan kanan, bayi cantiknya. Di mata ibu dua anak itu, anak-anaknya makhluk yang paling sempurna. Keandra yang terlihat begitu tampan dan Keyzia yang tampak begitu sangat cantik. "Kenapa ya, kalau cium adek nggak pernah ada puasnya. Mami ngerasa selalu aja kurang." Hana tersenyum sambil menatap wajah cantik putrinya. Meskipun kedua anaknya sudah tidur, namun Hana tetap saja berbicara, seakan kedua bayi itu mendengar apa yang dikatakannya. Ia kembali mencium kening dan juga puncak kepala bayi yang berambut tebal tersebut. "Abang Kean, jangan nakal ya sama adek. Jangan digigit kuping, jangan disedot hidung dan juga pipi adek ya." Hana tersenyum memandang Keandra. Sebenarnya ia ingin memisahkan tempat tidur kedua bayi itu, namun jika tidur ditempat tidur ter
Bian tersenyum penuh kepuasan ketika melihat hasil persidangan Susi. "Manusia iblis," ejeknya. Selama beberapa minggu ini pria itu selalu mengikuti perkembangan kasus Susi. Dan hari ini dia begitu sangat bahagia karena mendengar keputusan hakim. Wanita itu membayar perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Diambilnya telpon genggam yang terletak di atas meja. Ia langsung menghubungi nomor ponsel yang tersimpan di kontak telepon. Nomor ponsel yang selalu akan disimpannya. Suara panggilan telepon yang dilakukannya baru di angkat di panggil yang sudah ketiga kalinya. Biasanya Bian akan marah jika panggilan telepon yang dilaksanakannya diabaikan begitu saja. Namun saat ini, ia tidak marah, mungkin karena suasana hatinya yang sangat senang. "Halo." Suara serak yang menjawab telpon darinya, menandakan si penjawab telpon sedang menangis. "Pantas saja kamu bisa seperti ini Berliana, ternyata kamu keturunan iblis, betul nggak sih." Senyum penuh kemenangan terukir di wajah tampannya.Berliana
"Hana mau dengar semuanya ma." Hana memandang punggung Susi yang membelakanginya.Saya juga pernah merencanakan agar para preman melakukan perbuatan asusila kepada Hana. Setelah mereka puas dengan tubuhnya saya meminta agar menghabisi nyawanya. Karena apa Saya ingin terkesan seperti korban kejahatan preman yang mabuk. Namun nyatanya Hana tidak pulang ke rumah karena dia menginap di rumah teman sekolahnya. Dan hal itu sudah saya lakukan berulang kali. Namun selalu saja gagal dan pada akhirnya saya membatalkan rencana tersebut.Hana memegang dada yang terasa begitu sangat sakit dan sesak. Tidak terbayang olehnya ternyata wanita yang dinikahi ayahnya memang benar-benar iblis."Saya bahkan tidak pernah menyesal karena menghilangkan nyawa suami saya yang kebetulan bodoh itu. Karena jujur, saya tidak pernah mencintainya. Saya menikah dengan dia, hanya untuk mendapatkan harta dan uangnya. Dan semua itu karena dia yang terlalu bodoh dan terlalu berharap lebih kepada saya. Karena nyatanya, say
"Mama Berliana berlari dan memeluk Susi dengan erat. Air mata kesedihan tidak bisa di tutupinya. Susi tersenyum dan mengusap punggung putrinya. Senyum yang ditunjukkan sebagai bukti bahwa dirinya baik-baik saja. "Mama baik-baik aja nak.""Mama aku sungguh tidak sanggup." Berliana berkata di tengah isak tangisnya. Menyaksikan persidangan sang mama, sungguh membuat tubuhnya lemas dan tidak sanggup untuk menerima kenyataan pahit atas hukuman yang akan diterima oleh wanita yang sudah melahirkannya. Namun yang lebih membuat hatinya terasa sakit dan juga perih, ketika tidak bisa membela mamanya sama sekali. Ribuan kata makian untuk menghakimi perbuatan Susi. Mereka terlalu pandai untuk menilai dan menghakimi kesalahan yang orang lain lakukan. Ingin rasanya Berliana marah dan menangkis semua perkataan orang-orang itu. Namun apa yang dikatakan mereka benar. Semua fakta tidak bisa di pungkiri. Pada akhirnya dia berusaha untuk tuli dan tidak mendengarkan. Meskipun kenyataannya, apa yang dikat