Daffin menggelengkan kepalanya. Ia sudah tidak sabar ingin melihat ekspresi wajah istrinya ketika bercerita."Abang Nara mau nikah." Hana berkata dengan wajah serius dan mata terbuka lebar."Apa benar?" Daffin bertanya dengan ekspresi wajah kaget. "Iya bang," jawab Hana."Bohongan kali, mana mungkin Nara mau nikah. Adek sendiri yang cerita, kalau dia nggak punya pacar. Terus mau nikah sama siapa? Apa sama sapi?" Daffin sangat senang, setiap kali melihat ekspresi wajah istrinya bila bercerita seperti ini. "Enak saja bilang teman Hana nikah dengan sapi. Teman Hana itu sangat cantik dan banyak yang suka, cuman dianya aja yang banyak milihnya." Hana berkata dengan bibir yang maju ke depan.Mulut Daffin membulat ketika mendengar ucapan istrinya. "Jadi selama ini, nggak ada yang mau cuman sama si Hana?" "Yang mau sama Hana itu banyak dan berserak, cuman Hana saja yang nggak mau pacaran. Lagian, mana sempat untuk pacaran-pacaran. Hana sibuk kuliah dan juga kerja." Hana kesal mendengar p
"Iya papi, kami akan menunggu," jawab Hana dengan tersenyum. "Abang, Hana mau ikut saja ya, biar Abang gak salah petik.""Boleh, ayo." Daffin tersenyum dan membantu istrinya untuk berdiri."Berat kali rasanya bang," keluh Hana. Meskipun untuk berdiri saja terasa sulit, namun ia tetap tersenyum sambil mengusap perutnya."Iya dek, yang dibawakan dua," jawab Daffin. Ada rasa kasihan, setiap kali mendengar istrinya mengeluh seperti ini. Jujur saja, ia tidak bisa membayangkan seperti apa beratnya, ketika harus membawa dua anak sekaligus dengan perut yang besar. Sedangkan badan Hana, masuk golongan rendah dan kecil."Iya bang, kata orang bawa satu aja berat, apalagi bawa dua ya." Hana tersenyum."Semangat ya mami, mami kuat, mami hebat." Daffin mencium punggung tangan istrinya. Mereka berdua berjalan menuju ke pohon rambutan."Abang, kaki Hana bengkak.""Iya, nanti di kamar Abang pijit, Abang kompres juga pakai air hangat," bujuknya."Nanti aja pas mau tidur, Abang baru pulang dari kantor p
"Beneran susah bang, duduk berdiri. "Hana tersenyum memandang suaminya yang sedang membantunya untuk berdiri dari kursi roda. "Iya dek, abang tahu makanya ini ditolongin." Daffin tersenyum dan memposisikan istrinya, duduk di tepi tempat tidur.Hana tersenyum ketika melihat suaminya yang duduk dilantai beralas karpet bulu yang tebal dengan posisi tepat di dekat kakinya. Daffin memegang kaki Hana yang bengkak. "Apa mau kita periksa, kakinya?" Ada rasa cemas ketika melihat kaki istrinya yang sudah membengkak.""Nggak usah, kalau kata si bibi, memang seperti itu. Mama juga bilang kalau bawaannya bengkak-bengkak kayak gini itu ketuban air. Hana juga nggak ngerti sih. Baca-baca di internet katanya juga nggak ada masalah. Kaki bengkak saat hamil, suatu hal yang wajar," jelas Hana.Mulut Daffin membulat ketika mendengar jawaban dari istrinya. Ia mulai memijat-mijat kaki Hana kiri dan kanan secara bergantian."Gimana sayang, apa masih pegel?" Tanya Daffin. "Sudah enggak," jawab Hana. Setel
Demi Putri kesayangannya, Susi rela melakukan apapun. Agar bisa mewujudkan mimpi Berliana untuk menjadi artis. Segala cara dilakukannya. Apa yang dulu di perbuatannya, kini terpelintas di pandangannya. "Aku yakin, tidak akan ada yang tahu, bahkan dia sendiri, tidak pernah tahu, apa yang aku lakukan di belakang punggungnya. Aku melakukan semuanya dengan sangat rapi, tanpa dicurigai oleh siapapun. Bukannya aku tidak mencintainya, namun aku lebih mencintai dan menyayangi anakku." Susi meyakinkan dirinya. Diusapnya kering yang menetes di pelipis keningnya. Apakah karena rasa takut yang menghantuinya, atau memang kondisi penjara yang terasa panas, hingga tubuhnya berpeluh seperti ini. "Aku tidak mau berada di sini, hingga aku mati. Lagi pula, jika karena kasus itu aku tidak disidang, sudah pasti aku akan diberikan pertanyaan yang banyak, mengenai hal tersebut. Sedangkan selama aku di sini, tidak pernah ada satupun pertanyaan yang mengarah ke sana. Jadi aku yakin tidak ada yang tahu. Se
"Abang kursi rodanya sampai di sini aja ya." Hana berkata ketika ia sudah berada di lobby hotel."Sampai depan pintu lift, sayang." Daffin tersenyum dan terus mendorong kursi roda istrinya.Hana akhirnya memilih diam. Matanya memandang ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan, tidak ada temannya yang melihat.Mita tersenyum ketika melihat tingkah menantunya. "Nggak apa-apa nak, namanya juga lagi hamil, jadi nggak usah malu.""Iya ma," jawab Hana."Kak Hana." Hana memutar kepalanya ke belakang dan mencari sumber suara. Cinta tersenyum dan melambaikan tangannya. "Cinta." Hana tersenyum, memandang Cinta yang berlari ke arahnya. "Untung aja ketemu kakak di sini, soalnya Cinta segan naik sendiri ke atas." Cinta tersenyum."Pasti beneran sengaja nungguin kakak datang." Hana tersenyum.Dengan sangat malu, Cinta menganggukkan kepalanya. Pertemuannya dengan Hana, bukan tanpa sengaja, melainkan memang di sengaja. Cinta merasa canggung ketika akan naik ke atas, mengingat tidak ada yang dikenal
"Nara, tunggu di sini dulu ya, mama mau kasih tahu pak Surya, ibu Mita, Hana dan Daffin untuk duduk di sini. Tunggu sebentar ya," Yanti memandang Nara."Iya ma," jawab Nara. Ia memandang mama serta papanya yang mendatangi meja papa Surya. Nara merasa sangat gugup. Ia berharap, rasa gugupnya akan berkurang, bila ada Hana mendampinginya, "Pak Surya, ibu Mita, temani kami duduk di depan ya. Soalnya keluarga kami tidak ada, nggak enak kalau cuman kita saja yang ada duduk di depan." Yanti berkata sambil memandang Surya dan Mita. Meskipun sudah memberitahukan hal ini lewat via telepon, namun Yanti tetap meminta kembali. "Iya bu," jawab Surya dengan tersenyum."Maaf ya pak Surya, ibu Mita, kami jadi merepotkan. Soalnya keluarga kami tidak ada di sini. Kemarin kami berencana untuk menghubungi mereka, hanya saja, kalau masih acara lamaran, rasanya nggak enak. Nanti acara nikahan datang lagi, jadi takut nanti merepotkan. Domisili tempat tinggal mereka, juga jauh-jauh. Yang satu di Kalimantan
"Iya pak, silahkan," jawab Bambang."Begini pak Bambang, ibu Yanti, pak Surya dan ibu Mita. Kami sudah berunding dengan pihak keluarga. Agar akad nikah di selenggarakan 10 hari lagi. Sesuai dengan selesainya surat-surat yang kita masukkan kekantor KUA, dan kesiapan dari penghulu yang akan menikahkan anak-anak kita nanti." Herman selaku kepala keluarga, mengutarakan maksud dan tujuannya. Nara hanya diam sambil merasakan degup jantungnya. Sekali-sekali ia akan memandang ke arah Fatan, yang dibalas senyum manis dari calon suaminya.Bambang terkejut saat mendengar penjelasan dari Herman."Apa tidak terburu-buru pak?" tanya Yanti."Niat baik, lebih cepat di selenggarakan, akan lebih baik," jawab Herma dengan tersenyum. Selain ini permintaan dari putra mereka, mereka sekeluarga juga mengharapkan hal yang sama. Agar tidak terjadi lagi kegagalan dalam pernikahan putra bungsunya. "Untuk acara resepsi pernikahan, kita akan selenggarakan setelah acara Akad nikah. Jadi tidak repot sekali juga,"
"Karena acara kesepakatan dari kedua belah pihak sudah selesai kita akan masuk ke acara pasang cincin. Untuk acara selanjutnya kami akan menyerahkan kepada MC," jelas juru bicara dari keluarga Fathan. "Berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak keluarga, acara resepsi insya Allah akan dilaksanakan 10 hari lagi. Jadi waktunya tidak lama ya. Untuk para tamu yang sudah hadir di sini, jangan lupa," ucap MC tersebut dengan tersenyum. "Mas Fatan Mbak Nara boleh naik ke pentas untuk melakukan acara pasang cincin. Fatan tersenyum memandang Nara. Acara ini, sejak tadi dinantikannya. Rasanya sudah tidak sabar ingin melihat cincin yang sudah dibelinya, melingkar manis di jari calon istrinya. "Ayo Fatan tersenyum memandang Nara yang masih duduk di kursinya."Iya," jawab Nara yang tersenyum malu-malu dan kemudian beranjak dari duduknya. Ia mendengar kata-kata yang tidak ada hentinya menggoda dirinya beserta dengan Fatan."Kepada Mama-Mama, boleh ikut naik ke atas pentas untuk mendampingi