Hana hanya diam dan memandang keluar jendela. Tidak ada satu katapun yang diucapkannya. Berada di dekat Daffin seperti ini, sungguh membuat jantungnya berdegup dengan sangat hebat. Dipandangnya secara diam-diam wajah tampan suaminya. Wajahnya begitu sangat merah, menahan rasa malu, ketika tertangkap basah menatap wajah Daffin. "Kalau mau lihat Abang, lihat aja dek." Daffin mengulum senyumnya. Mendengar ucapan Daffin, membuat Hana semakin malu. Sedangkan suaminya tampak begitu sangat bahagia dengan senyum yang tidak pernah hilang dari bibirnya. Pria itu mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang sangat rendah dan sebelah tangannya memegang tangan istrinya. Berulang kali diciumnya punggung tangan Hana. " Rindu sekali dek." Daffin berkata dengan jujur.Hana hanya diam tanpa menjawab. Bila Daffin, begitu sangat entengnya mengatakan rindu, namun tidak dengan dirinya, yang begitu sangat malu untuk mengatakan rindu. "Ini kapan nyampenya sih?" Dipandangnya wajah suaminya sekilas dan kemu
Hana memajukan bibirnya memandang punggung lebar suaminya. "Katanya rindu tapi buktinya mana," batinnya.Sedih dan kecewa, ketika melihat Daffin pergi tanpa ingin menikmati malam berdua bersama dengannya. "Tadi, Hana nolak diajak muter-muter sampai pagi. Tapi kalau misalnya, abang temanin di kamar sampai pagi, bahkan pagi lagi, Hana nggak nolak." Hana tidak ada henti-hentinya berkata di dalam hatinya dengan mata yang berkaca-kaca.Surya dan Mita memandang putranya yang keluar dari rumah. Ada rasa kasihan ketika melihat raut wajah putra mereka, yang tampak lemas. Setelah mengetahui permasalahan yang terjadi. Surya, dengan sengaja memerintahkan pengawal khusus untuk melindungi putranya. "Kenapa nggak disuruh aja, dia nginep di sini, bila masih rindu." Mita mengusap punggung Hana. Senyum mengembang di bibirnya."Hana nggak rindu kok." Bagaikan tomat masak, seperti itulah wajahnya saat ini. Ia begitu sangat malu ketika mama mertuanya, bisa mengetahui apa yang dirasakannya. Dengan cepat
Begitu selesai melakukan ibadahnya, Hana keluar dari dalam kamar untuk mencari sarapan. Senyum mengembang di bibirnya, ketika melihat mama dan papa mertua yang sudah memakai setelan baju olahraga yang sama. Ia, begitu sangat mengetahui kebiasaan kedua mertuanya yang selalu melakukan olahraga rutin, setiap pagi. "Apa mau sarapan?" Mita tersenyum dan mengusap perut menantunya. Mita dan Surya baru saja keluar dari kamar mereka dan berencana untuk lari pagi di halaman depan."Iya ma." Hana tersenyum memandang stelan baju olahraga yang dipakai oleh papa dan Mama mertuanya. "Baju olahraga opa dan oma, unyu-unyu ya nak." Hana mengusap perutnya."Ya mau gimana lagi, papa nurut selera Mama. Mama ngajak pakai baju pink ya wajib pakai baju pink." Surya terlihat awet muda dengan mengenakan baju serta celana olahraga berwarna pink yang sama dengan isterinya. Pria itu bersyukur, karena tidak diberi sepatu berwarna pink.Mita tertawa lepas ketika mendengar ucapan suaminya. "Kita selalu pakai baju
Duduk dihalaman depan, sambil menikmati udara di pagi hari seperti ini, terasa begitu sangat menyegarkan paru-parunya. Hana duduk di kursi santai sambil memandang mertuanya yang sedang melakukan olahraga pagi. Hampir setiap hari ia melihat aktivitas kedua mertuanya seperti ini. Apalagi hari ini, hari libur jadi mereka bisa menikmati liburnya bersama di rumah. "Apa sudah selesai sarapannya?" Mita yang sudah merasa lelah, akhirnya memilih untuk menyudahi olahraga paginya. Wanita itu mengusap keringat di keningnya, dengan handuk kecil yang di bawahnya. Ia kemudian duduk di kursi santai, di sebelah Hana."Tadi cuman makan roti selai ma, sama minum teh." Hana tersenyum."Lumayan itu untuk menenangkan si kembar." Mita tahu, bahwa Hana tidak bisa menahan rasa laparnya, disaat hamil seperti ini."Apa, papa sudah selesai larinya." Mita memandang suaminya yang saat ini sudah berdiri di dekatnya."Papa udah capek, mau istirahat." Surya tersenyum memandang Hana dan juga Mita."Iya, ini sudah m
Surya diam ketika mendengar ucapan istrinya. Pria itu memandang wajah Mita dengan kening yang berkerut. Namun tetap tidak bertanya apa-apa."Mama kok gak cerita mau ke Bandung?" Hana memandang Mama mertua."Undangannya Minggu semalam, rencananya mau kasih tahu Hana, pagi ini." Mita tersenyum dan meminum susu kalsiumnya."O." Mulut Hana membulat. Bila kedua mertuanya pergi keluar kota, itu artinya, ia hanya berdua bersama dengan Daffin. Baru saja membayangkan, sudah membuatnya, merasa gugup dan canggung seperti ini. "Enggak apa-apa dek, kalau mama sama papa ke Bandung. Soalnya ada abang di sini. Abang bakalan jagain adek." Daffin tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Sungguh tidak diduganya, bahwa ia akan mendapatkan kesempatan emas berdua dengan istrinya.Melihat sikap Daffin yang seperti ini, membuat Hana semakin gugup dan salah tingkah. Kini jantungnya, berdegup dengan hebatnya."Hana sudah kenyang." Ia menolak ketika Daffin kembali menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. "Kenap
Begitu banyak yang ingin ditanyanya namun pertanyaan itu belum juga terucap dari bibirnya. Hana sibuk mengatasi degup di jantungnya. "Rindu dek, rindu sekali." Pria itu mengungkapkan perasaannya.Hana hanya diam dan sedikit menganggukkan kepalanya. Ia bisa merasakan kejujuran yang diungkapkan, dari sorot mata suaminya yang dalam."Rindu nggak dek sama Abang?" Daffin menatap wajah istrinya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ia sangat ingin mendengar istrinya berkata jujur.Ditanya seperti ini, membuat Hana bingung untuk menjawab. "Nggak," jawabnya dengan gaya sombong dan melengos, memperhatikan sikap acuh tak acuh. Bila Daffin dengan mudahnya untuk berkata jujur, bertolak belakang dengan dirinya, yang begitu sangat sulit untuk berkata jujur. Daffin beranjak dari pangkuan istrinya. "Ya sudahlah kalau nggak rindu, Abang mau pergi." Pria itu merajuk seperti anak kecil.Dengan cepat Hana memeluk suaminya dan menempelkan wajahnya di punggung Daffin. "Nggak boleh pergi.""Katanya nggak rindu."
Hana menganggukkan kepalanya. Apa yang dikatakan suaminya, memang benar. Susi dan Berliana, harus belajar untuk bertanggung jawab. Mereka harus belajar dari kesalahan yang telah diperbuat. Daffin memeluk istrinya dan kemudian mencium pipinya. "Abang, terima kasih ya, Abang sudah mau bantu Hana, untuk membersihkan nama papa. Apa yang sudah dijual mereka, nggak mungkin bisa balik lagi. Tapi setidaknya nama baik papa bisa bersih lagi. Selama ini Hana berusaha untuk ikhlas, agar papa tenang di sana. Hana mencoba untuk mengikhlaskan harta peninggalan keluarga, yang sudah dijual mama Susi. Namun Hana tidak pernah bisa ikhlas, ketika papa di fitnah." Hana menangis. Betapa tidak berdaya, diri ini, ketika tidak bisa mempertahankan harta warisan yang menjadi peninggalan kedua orang tuanya. Betapa lemahnya dirinya di waktu itu, ketika mengetahui bahwa papanya difitnah, sedangkan ia tidak bisa melakukan apa-apa. "Iya sayang, Abang tidak akan pernah bisa diam begitu saja, dengan apa yang merek
Mita memandang Daffin dan juga Hana secara berganti-gantian. Wajahnya tampak sedang memperhatikan dengan seksama.Hana salah tingkah, ketika melihat cara Mama mertua memandangnya. Ditundukkannya kepala, guna menghindari tatapan mata dari mama mertuanya."Papa sama Mama mau ke Bandung. Kalian ingat ya, selama papa dan Mama pergi, jangan ada yang berantem." Surya memperingati anak serta menantunya."Iya pa," jawab Hana dan Daffin secara bersamaan."Istri kamu lagi hamil Fin, jadi kamu itu harus banyak mengalah sama istri kamu." Surya menasehati putranya."Nggak ada yang berantem pa, ini aja yang merajuk, main langsung pergi aja." Daffin melingkarkan tangannya di pinggang Hana. Pria itu tersenyum menatap wajah istrinya.Hana memandang Daffin dengan pipi gelembung dan bibir yang maju ke depan.Daffin tersenyum menatap wajah istrinya. "Lain kali nggak boleh langsung main pergi-pergi, harus tanya dulu permasalahannya." Ia tidak ingin kesalahpahaman seperti ini, terulang lagi. Dalam permas