"BAPAAAAKKKKK..."
Teriakan Lana mengguncangkan seluruh penjuru kampung.
Membuat tetangga-tetangga yang mendengar teriakannya terkejut.Tapi, tak ada yang berani menghampirinya karena tahu siapa yang tengah Lana hadapi--Juragan Sabri.
"Sudah Lana, biarkan bapakmu pergi dengan damai..."
Kepulan asap disembur pria bau tanah itu ke wajah Lana yang sesegukan.
Tangan Lana mengepal dan langsung memegang kerah baju juragan yang masih mengisap cerutu mahalnya. "Kamu yang membunuh bapakku!"
"Heh, diam kau!"
Anak buah Juragan Sabri yang berbadan tegap nampak memegang tubuh Lana yang berusaha memberontak.
Namun, pria tua itu mengisyaratkan agar mereka melepaskan Lana. "Bapakmu sudah waktunya mati. Umurnya sudah habis..."Nafas Lana masih tersengal. Ia tak kuasa menahan amarah sekaligus kebencian.
Hal ini membuat tangisan Lana makin jadi. "Bapaak..Biarkan aku melihat bapakku dikubur..." pintanya.
"Diam atau kami akan membunuhmu sekalian agar jadi satu liang dengan bapak sialanmu itu!" Sang pengawal mengancam Lana agar tidak berkutik. Dengan keras, mereka mendorong Lana agar masuk dan duduk di bagian bangku belakang. "Dan jangan coba-coba untuk kabur." Deg!Jantung Lana berhenti berdetak.
Ia tak kuasa untuk melawan. Tak ada daya lagi. Ia pasrah, tak ada yang bisa ia lakukan selain hanya diam dan menuruti semua yang diperintahkan, terlebih kala pisol ditodongkan ke kepalanya. Dirinya hampa.Tak ada yang tersisa kecuali nyawa dan baju yang melekat di badan, hingga mereka pun tiba di sebuah rumah yang begitu megah bagaikan istana!
**
"Sekarang kamu dalam perlindunganku Lana! Jadi, jangan coba melawan."Dengan angkuh, Juragan Sabri menyilangkan kedua kakinya begitu mereka tiba di ruang tamu.
Melihat Lana yang masih tak berkutik, tawa kemenangan bersinar di hati juragan tanah itu. Tak lama, seorang pria tampak masuk ke rumah.Dia melihat sekilas Lana dan Juragan Sabri, tapi berlalu begitu saja.
Namun dari raut wajahnya, terlihat sekali dirinya begitu marah.
"DIPTAAA..."Suara panggilan Juragan Sabri membuat langkah pria itu terhenti. Diliriknya sang ayah menanti apa yang hendak dikatakan pria itu.
"Ke mari dan duduklah!"
Meski bingung, Dipta, anak sulung Juragan Sabri, langsung mendekat ke arah ayahnya yang memanggil.
Diperhatikan wanita yang menundukkan pandangan dan wajahnya tertutup rambut panjangnya, sebelum duduk di sebelahnya.
"Ada apa, ayah?" tanya Dipta pada Juragan Sabri.
Namun, pria itu hanya tersenyum.
Tiba-tiba saja, Kiai Badrus yang terkenal dekat dengannya, masuk sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum..."
Semua lantas menjawab dengan serentak, "Wa'alaikumsalaam..." Senyum Kiai Badrus membuat Dipta dan Lana makin tidak paham. Situasi apa yang akan mereka hadapi sekarang? "Mereka sudah siap.."Begitu enteng Juragan Sabri melaporkan keadaan.
Kedua mata Lana memandang Juragan Sabri dengan penuh tanda tanya. Apa yang akan dilakukan? "Baiklah. Siapa nama gadis ini?" tanya Kiai Badrus. "Nurlana Sadikin..." jawab Lana meski ragu.Kiai Badrus mengangguk. "Baik. Lalu, maharnya?"
"Ini maharnya.." Juragan Sabri mendadak menunjukkan gelang emas yang berkilau terkena sorot cahaya lampu.
"Mahar?" Dipta tiba-tiba tersentak. "Ayah, tapi Dipta sudah punya--" "DIAM! Ikuti perintahku!"Ya, titah Juragan Sabri adalah hal mutlak.
Tak ada sesiapapun yang berani melanggar ataupun melawannya juragan tanah paling kaya di seantero negeri.
Jadi, janji suci yang tak pernah disangka terjadi seketika terucap dari mulut Dipta Sabri Panama.
"Bagaimana saksi?" tanya Kiai Badrus. "SAAAHHHH....."Seketika tawa Juragan Sabri tiada henti. Ia begitu bahagia melihat anak lelakinya mendapatkan istri baru dengan cuma-cuma.
Siapa sangka kematian anak buahnya bisa menjadi senjata pamungkas untuk menakhlukkan kembali anak lelakinya!
"Ayo Nak Lana, cium tangan suamimu sekarang!" perintah Kiai Badrus. Meski tidak mengerti, Lana gemetar memegang tangan pria yang baru dilihatnya beberapa menit yang lalu.Diberikannya sebuah penghormatan pertama untuk pria tak dikenal yang kini dinisbatkan menjadi suaminya.
Hanya saja, beberapa detik kemudian Dipta segera menarik kembali tangannya dan berlalu pergi meninggalkannya, begitu saja.
Meski miskin adalah makanan keseharian Lana, namun belum pernah ia merasa dihina harga dirinya sebagai manusia, seperti hari ini!
"Setelah ini, pastikan kau hamil anak Dipta. Sebanyak-banyaknya," ucap Juragan Sabri memecah keheningan.
Sebuah kepulan asap lagi-lagi mengenai wajah Lana, hingga gadis itu terbatuk.
"Dan setiap kamu hamil, aku akan memberimu seratus juta rupiah! Karena kau mesin pencetak anak untuk keluarga kami."Deg!
Tangan Lana sontak mengepal. Ditatapnya tajam pria tua kejam di hadapannya itu. "Kau..."
Namun belum sempat berbicara, tawa Juragan Sabri sudah memenuhi ruangan.Sepertinya, dia begitu bahagia dengan idenya itu. Untungnya, Adzan magrib akhirnya berkumandang, hingga pria itu berhenti tertawa. "Nanti malam, orang-orangku akan mengantarmu ke Villa Dipta. Kamu ikuti Mbok Minah dan berdandanlah yang cantik. Goda Dipta. Buat Dipta mau tidur denganmu!" ancamnya lagi."Apa ada pertanyaan?" Lana menggeleng dan meminta izin untuk keluar ruangan.Dia tak kuasa duduk berlama-lama lagi. Selain muak melihat wajah Juragan Sabri. Kakinya kelu harus duduk rapi di depan pria itu."Bapak macam apa pria ini? Dasar sinting!" gumam Lana lirih.Dia berjalan menuju pintu.Ceklek! Namun begitu pintu terbuka, seorang wanita paruh baya sudah menyambutnya dengan senyuman. "Ayo ikut aku Nduk Lana!" Tangan Lana segera digenggam dan diajak untuk ke belakang. Tak diduga, sudah ada seorang wanita muda yang menyiapkan riasan untuk Lana. "Ini si pengantin baru?" Sang perias tersenyum meliha
Lana sedikit mengeluarkan suara.Ia hanya bisa sedikit melakukan perlawanan.Sialnya, pelukan itu semakin kuat dan tak membiarkan Lana begitu saja.Sosok yang tak bisa dilihatnya itu kini bahkan menyeret Lana ke sebuah tempat yang tak diketahui pasti.Bug!Kaki Lana secara tidak sengaja menabrak sebuah kaki meja."Aduuhhh.." Lana mengaduh. Kakinya terbentur kayu yang begitu keras."DIAMMM..."Tanpa dinyana, sosok yang menyeret Lana dalam kegelapan itu mulai bersuara dengan keras. Sambaran petir di luar menambah rasa takut yang luar biasa."Tolong, jangan lukai aku..." Lana mulai berani bersuara.Rintihan Lana membuat sosok itu kembali bersuara."Diamlah.." Kali ini, suaranya lebih lirih dari sebelumnya.Sorotan kilat yang menyambar membuat wajah sosok itu sedikit terlihat. Sosok itu membuat Lana terkejut. Tak menduga jika sosok itu adalaha Dipta!Kedua mata pria itu menatap Lana dengan tajam. Seperti seekor serigala yang kelaparan mencari mangsa dan akan menerkamnya."Kamu?"Tubuh L
Sayangnya, Dipta tampak tak peduli.Pria itu masih menatap dalam Alina, sang istri pertama. "Aku bisa jelaskan semuanya!" ucapnya serius."Kamu sudah gila!" Alina menjawab dengan menunjukkan jari telunjuknya. Dia lalu segera melangkah menuju ke ruang tengah. Meninggalkan Dipta yang hanya menggenakan celana panjang dengan kemeja yang berantakan. Saat ini tampilannya nampak sangat acak-acakan. "Tuan..Saya pusing...." Suara Lana kembali terdengar.Kali ini begitu lemah. Tak diduga Lana pingsan."Sialan!" Dipta berteriak ke pengawal atau pembantu agar menolong Lana. Untungnya, tak lama, seorang pembantu datang."Tolong, dia!"Begitu memastikan Lana dirawat, Dipta pun berlari keluar tanpa alas kaki mengejar Alina. "Alina..." Dipta menggedor kaca pintu mobil sedan berwarna putih. "Plisss Alina..Pliss . .Tolong dengarkan penjelasanku.." Berkali-kali Dipta berusaha untuk merayu istrinya yang sedang marah besar. Urung, Alina malah mengunci pintuNamun meski mobilnya dalam
"Jangan kamu dekati dia lagi..." Dipta memperingatkan Bima agar menjauh. "Hei, santai Bang!" Senyum Bima membuat Dipta makin naik pitam. Ia merasa saudara sepupunya itu memang memiliki ketertarikan kepada Lana. "Yang jelas, jauhi dia!" gertak Dipta lagi. Semakin merasa dilarang oleh Dipta, Bima semakin penasaran terhadap Lana. Bagi Bima, Lana adalah wanita kampungan yang sangat menantang untuk ditakhlukkan, Jadi, hampir setiap hari Bima selalu berusaha dekat dengan Lana. Ia menjadi lebih sering mengungi rumah Juragan Sabri dengan berbagai alasan. Entah alasan yang masuk akal atau yang hanya dibuat-buat. Dan betul, kedekatan antara Lana dan Bima segera terjadi seiring berjalannya waktu. Beberapa kali Dipta memergoki Bima yang mengendap-endap ke kamar Lana di saat sepi.Meski Dipta sendiri tidak yakin jika Lana memang sedang berada di sana. Hingga suatu hari Lana secara tidak langsung mencurahkan isi hatinya yang merindukan rumah dan juga kedua orang tuanya yang tel
Cukup lama keduanya mencari. Tak diduga tempat peristirahatan bapaknya berada di samping makam ibunya. Lana memeluk kedua nisan milik orang tuanya. Hanya tangisan yang bisa Lana persembahkan untuk keduanya. "Bapaakkk..." Lana memegang pusara milik sang bapak.Isak tangis Lana pecah. Ia tak kuasa menyeka atau menghentikan air mata yang terus mengalir. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal dirinya yang hidup sebatang kara di dunia. Entah berapa lama dia di sana.Lana sendiri tak tahu, sampai sebuah tangan memegang pundak kiri Lana. "Sudah, ayo kita kembali.." Kepala Lana menengadah ke atas langit. Melihat wajah itu kembali. "Ayo..." Kini tak ada alasan lagi bagi Lana untuk tidak kembali ke rumah yang penuh kemalangan itu. Tak seorangpun bisa melawan takdir! Sejengkal demi sejengkal langkah kaki Lana meninggalkan pemakaman tua di desanya. Matahari memang belum terik. Tetapi mereka takut jika harus pulang kesiangan. Perut Lana berbunyi di sepanjang jalan. Tak ayal, h
"Kenapa kamu melepaskanku??" Lana memicinngkan matanya kepada Dipta.Seolah Dipta memang baru saja kerasukan setan dari antah berantah.Nafasnya tersengal. Kedua tangannya yang tadinya begitu kuat mencengkeram Lana, kini hanya bisa bergetar tanpa sebab."DIAAMMM.." suara lantang Dipta membuat Lana terdiam.Kenapa Dipta tidak menghabisinya saja saat ini. Agar Lana bisa segera bertemu dengan bapak dan ibunya di pusara keabadian?Genggaman tangan Dipta membuat Lana tak percaya. Jika lelaki yang begitu dingin kepadanya kini malah mengajaknya pergi entah kemana,"Aku tidak bisa pergi..." Lana menghentikan langkah dan terdiam.Dipta seolah tak mendengar apapun yang Lana katakan. Ia tetap bersikeras menyeret tangan Lana dengan paksa.Braakkk..Pintu Jeep tertutup dengan kasar. Lana hanya bisa pasrah dan memandangi jalanan yang mulai lengang."Kemana Bima pergi?" Lana berguman lirih."Siapa yang kamu cari?" Dipta m
"BENARKAH??" Dipta seakan ikut tidak mempercayai perkataan Lana yang baru saja ia dengar. "Iya Mas Dipta.." jawab Lana dengan menunduk malu. Jawaban dari Lana bak bara api yang disiramkan di atas kepala Alina. Sebagai wanita normal, ia merasa Tuhan sangat tidak adil. Mengapa Lana bisa hamil dengan begitu cepat? Sementara Alina sudah mengupayakan semuanya agar ia bisa mengandung dan meneruskan garis keturunan Juragan Sabri dan ayahnya, "TIDAAKK..!!!" Alina menyangkal pernyataan Lana. Jika hal itu benar, Alina adalah satu-satunya manusia yang menyangkalnya. "Perempuan ini pasti berdusta!" kata Alina dengan mata berkaca-kaca. "Ini bohong!!" kedua tangan Alina mulai mengacak-acak rambutnya yang lurus. Lana memberanikan diri untuk menatap wajah Alina yang penuh dengan amarah dan kebencian. "Alina...tenangkan dirimu!" pelukan Dipta tetap tidak membuat Alina tenang. Kedua matanya tetap menampakkan kebencian yang nyata untuk Lana. "Jangan sekali-kali kamu mempercayai per
"Lana..."Bima dan Lana secara bersamaan menghadap ke arah Mbok Minah."Iya Mbok.. Ada apa?" nampak Mbok Minah terlihat tergesa-gesa."Tadi Tuan Dipta kemari..."Deg. Lana tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. Benarkah laki-laki itu mendatangi tempatnya di belakang?"Mungkin Mbok Minah salah lihat.." sahut Bima."Tidak, lha wong saya tadi juga menyapa beliau kok.." imbuhnya.Mendengarnya, tiba-tiba saja jantung Lana berdetak dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal."Kenapa Lana?" tanya Bima.Bima terkejut dengan perubahan wajah Lana yang tiba-tiba nampak kurang sehat,"Maaf Bima, aku harus masuk ke dalam rumah.."Beberapa saat kemudian Lana berjalan dengan hati-hati menuju ke dekat pintu masuk rumahnya. Ia merasa pandangannya sedikit berkunang-kunang.Tangannya sedikit gemetar dan ingin meraih sesuatu agar bisa berpegangan.Dan tanpa sebab yang pasti, Lana tiba-tiba ambruk ke lan
Di dalam ruangan sudah terdengar suara Lana dan Bima yang bercengkerama. Mereka tampak tak peduli bahkan tidak sadar kalau ada Dipta yang sudah berdiri di depan pintu."Mas?" Lana kaget dan seketika menutup mulutnya.Bima tampak merasa tidak nyaman karena belum cukup rasanya berduaan dengan istri sepupunya itu."Lain kali kalau mau menjenguk, izin dulu padaku. Jangan sembarangan masuk!" Dipta meraih kursi dan duduk dengan menumpukan kaki kanannya ke paha kiri.Nampak aura kesombongan itu memenuhi ruangan. Arogan!Itu penggambaran sosok Dipta di mata Lana saat ini.Lelaki itu rupanya terbakar api cemburu. Lana tak pernah menunjukkan sifat manja dan bahagianya seperti ini saat berduaan dengannya."Tadi Lana bilang ke Mbok Minah katanya mau dibelikan jus alpukat. Jadi aku bawakan jus sekalian buahnya juga." Bima masih saja bisa mengelak dan membela diri."Ada aku, kenapa meminta kamu membelikan?" Dipta tak terima.Ini sama dengan merendahkannya."Lha katanya kamu sedang keluar. Aku tidak
"Mas.. Mas Dipta!" tangan kanan Lana memegang lengan Dipta.Sementara Dipta masih terpaku, terdiam dengan permintaan Lana yang diluar prediksinya."Tolong saya mas. Bebaskan saya!" Lana mengiba.Wajah Lana terlihat sendu. Entah apa yang Lana rasakan terhadap Dipta,Apakah Lana merasa tidak bahagia dengan semua fasilitas mewah yang Dipta berikan saat ini?Ataukah Lana meminta sesuatu yang lain? Yang lebih dari itu."Kenapa? Apakah uang dan semua yang aku berikan selama ini kurang?" nada bicara Dipta meninggi.Lana tidak berani memandang wajah Dipta. Ia hanya terdiam."Apa kurangku? Bukankah kamu sudah hidup enak dengan kemilau harta-harta itu..."Dipta terus berbicara panjang lebar mengungkit semua pemberian yang ia berikan dan juga pemberian Juragan Sabri, ayahnya."Bukan begitu mas, Lana hanya ingin..."Jari-jemari Dipta memegang dagu Lana. Ia menghadapkan wajah Lana beradu pandang dengan kedua matanya."Apa? Apa lagi yang kamu inginkan?" Ancam Dipta"Saya ingin menikah dengan orang
"Dokteerrrr..Dokterrr...." sang perawat yang melihat tangan Lana menjadi histeris.Ia tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Benarkah Lana kembali hidup?"Astaga!" dokter juga tak kalah histeris.Meski sang dokter bisa sedikit menyembunyikan rasa takjubnya pada Lana yang tiba-tiba bisa tersadar dalam kondisi yang kritis."Benar-benar mukjizat!" seru sang dokter.Tak menunggu lama, dokter segera menghubungi Dipta agar kembali ke ruangan Lana."Apakah pasien dan bayinya sama-sama bisa selamat dok?" tanya sang perawat penasaran.Dokter yang terus memantau kesehatan Lana melalui monitor hanya bisa diam dan memberikan kedipan mata.Selama dua puluh tahun ia berpraktek menjadi dokter, baru kali ini ada wanita hamil yang sudah kritis bisa menunjukkan kehidupannya kembali."Suster, terus pantau pasien ini. Sepertinya kita harus lebih serius dalam mengobservasinya..""Baik dok...""Satu jam lagi, saya akan k
"Lana.." Dipta memegang tangan Lana yang lemah. Tatapannya nanar. Menatap istrinya yang sedang lemah terkulai dengan balutan infus dan selang oksigen. "Semoga kamu baik-baik saja.." Tak henti-hentinya Dipta mengecup tangan kanan Lana yang ia pegang dengan hati-hati. Tentu tak ada yang menyangka jika lelaki sekeras Dipta bisa luluh ketika melihat Lana tersiksa tanpa kata. "Aku akan menunggumu di sini.." Tidak hanya Lana mungkin. Bahkan Dipta pun juga heran dengan dirinya sendiri yang tak bisa ia kendalikan. Entah apa namanya rasa ini. Ia begitu ingin dekat dan selalu bersama dengan Lana. Meski terkadang egonya masih terlalu tinggi. Kebersamaannya bersama Alina nyatanya belum bisa pudar begitu saja. Dipta benar-benar bimbang. Ia dihadapkan dengan permasalahan hati yang cukup rumit. Yang tak mudah terurai dengan waktu. "Permisi Pak. Maaf Anda siapa?" Lamunan Dipta pudar. Kedatangan perawat membuatnya tersadar. "Saya suaminya.." seolah tanpa ragu ia mengakui jika i
"Dipta!" Bima sedikit terkejut saat menoleh ke belakang. "Darimana kamu tahu?" lanjut Bima sedikit gugup. "Sudahlah.. Jangan sembunyikan apapun dariku.." Bagaimana bisa Dipta mengetahui jika Bima membawa kabur Lana ke rumah sakit? Apakah Mbok Minah yang memberitahukan semuanya pada Dipta? Batin Bima berkecamuk! Masalahnya bisa jauh lebih rumit lagi jika Dipta sampai tahu apa yang menyebabkan Lana pingsan dan belum sadarkan diri hingga kini. "Jangan melarikan diri.." bentak Dipta. "Aku aku hanya mencari makanan untuk Mbok Minah saja..." Bima tersenyum sambil terkekeh. Meski ia tak berniat kabur atau meninggalkan Mbok Minah
"Lana..."Bima dan Lana secara bersamaan menghadap ke arah Mbok Minah."Iya Mbok.. Ada apa?" nampak Mbok Minah terlihat tergesa-gesa."Tadi Tuan Dipta kemari..."Deg. Lana tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. Benarkah laki-laki itu mendatangi tempatnya di belakang?"Mungkin Mbok Minah salah lihat.." sahut Bima."Tidak, lha wong saya tadi juga menyapa beliau kok.." imbuhnya.Mendengarnya, tiba-tiba saja jantung Lana berdetak dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal."Kenapa Lana?" tanya Bima.Bima terkejut dengan perubahan wajah Lana yang tiba-tiba nampak kurang sehat,"Maaf Bima, aku harus masuk ke dalam rumah.."Beberapa saat kemudian Lana berjalan dengan hati-hati menuju ke dekat pintu masuk rumahnya. Ia merasa pandangannya sedikit berkunang-kunang.Tangannya sedikit gemetar dan ingin meraih sesuatu agar bisa berpegangan.Dan tanpa sebab yang pasti, Lana tiba-tiba ambruk ke lan
"BENARKAH??" Dipta seakan ikut tidak mempercayai perkataan Lana yang baru saja ia dengar. "Iya Mas Dipta.." jawab Lana dengan menunduk malu. Jawaban dari Lana bak bara api yang disiramkan di atas kepala Alina. Sebagai wanita normal, ia merasa Tuhan sangat tidak adil. Mengapa Lana bisa hamil dengan begitu cepat? Sementara Alina sudah mengupayakan semuanya agar ia bisa mengandung dan meneruskan garis keturunan Juragan Sabri dan ayahnya, "TIDAAKK..!!!" Alina menyangkal pernyataan Lana. Jika hal itu benar, Alina adalah satu-satunya manusia yang menyangkalnya. "Perempuan ini pasti berdusta!" kata Alina dengan mata berkaca-kaca. "Ini bohong!!" kedua tangan Alina mulai mengacak-acak rambutnya yang lurus. Lana memberanikan diri untuk menatap wajah Alina yang penuh dengan amarah dan kebencian. "Alina...tenangkan dirimu!" pelukan Dipta tetap tidak membuat Alina tenang. Kedua matanya tetap menampakkan kebencian yang nyata untuk Lana. "Jangan sekali-kali kamu mempercayai per
"Kenapa kamu melepaskanku??" Lana memicinngkan matanya kepada Dipta.Seolah Dipta memang baru saja kerasukan setan dari antah berantah.Nafasnya tersengal. Kedua tangannya yang tadinya begitu kuat mencengkeram Lana, kini hanya bisa bergetar tanpa sebab."DIAAMMM.." suara lantang Dipta membuat Lana terdiam.Kenapa Dipta tidak menghabisinya saja saat ini. Agar Lana bisa segera bertemu dengan bapak dan ibunya di pusara keabadian?Genggaman tangan Dipta membuat Lana tak percaya. Jika lelaki yang begitu dingin kepadanya kini malah mengajaknya pergi entah kemana,"Aku tidak bisa pergi..." Lana menghentikan langkah dan terdiam.Dipta seolah tak mendengar apapun yang Lana katakan. Ia tetap bersikeras menyeret tangan Lana dengan paksa.Braakkk..Pintu Jeep tertutup dengan kasar. Lana hanya bisa pasrah dan memandangi jalanan yang mulai lengang."Kemana Bima pergi?" Lana berguman lirih."Siapa yang kamu cari?" Dipta m
Cukup lama keduanya mencari. Tak diduga tempat peristirahatan bapaknya berada di samping makam ibunya. Lana memeluk kedua nisan milik orang tuanya. Hanya tangisan yang bisa Lana persembahkan untuk keduanya. "Bapaakkk..." Lana memegang pusara milik sang bapak.Isak tangis Lana pecah. Ia tak kuasa menyeka atau menghentikan air mata yang terus mengalir. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal dirinya yang hidup sebatang kara di dunia. Entah berapa lama dia di sana.Lana sendiri tak tahu, sampai sebuah tangan memegang pundak kiri Lana. "Sudah, ayo kita kembali.." Kepala Lana menengadah ke atas langit. Melihat wajah itu kembali. "Ayo..." Kini tak ada alasan lagi bagi Lana untuk tidak kembali ke rumah yang penuh kemalangan itu. Tak seorangpun bisa melawan takdir! Sejengkal demi sejengkal langkah kaki Lana meninggalkan pemakaman tua di desanya. Matahari memang belum terik. Tetapi mereka takut jika harus pulang kesiangan. Perut Lana berbunyi di sepanjang jalan. Tak ayal, h