Sayangnya, Dipta tampak tak peduli.
Pria itu masih menatap dalam Alina, sang istri pertama. "Aku bisa jelaskan semuanya!" ucapnya serius.
"Kamu sudah gila!" Alina menjawab dengan menunjukkan jari telunjuknya.
Dia lalu segera melangkah menuju ke ruang tengah. Meninggalkan Dipta yang hanya menggenakan celana panjang dengan kemeja yang berantakan. Saat ini tampilannya nampak sangat acak-acakan. "Tuan..Saya pusing...." Suara Lana kembali terdengar.Kali ini begitu lemah.
Tak diduga Lana pingsan."Sialan!" Dipta berteriak ke pengawal atau pembantu agar menolong Lana.
Untungnya, tak lama, seorang pembantu datang."Tolong, dia!"
Begitu memastikan Lana dirawat, Dipta pun berlari keluar tanpa alas kaki mengejar Alina.
"Alina..." Dipta menggedor kaca pintu mobil sedan berwarna putih. "Plisss Alina..Pliss . .Tolong dengarkan penjelasanku.." Berkali-kali Dipta berusaha untuk merayu istrinya yang sedang marah besar. Urung, Alina malah mengunci pintuNamun meski mobilnya dalam keadaan mesin menyala, ia tetap terdiam di tempat.
Alina menempelkan kepalanya ke setir mobil sambil menangis sesugukan. "Penipu!!" teriak Alina di dalam mobil. Sementara ia harus melihat pemandangan di luar, suaminya menggedor-gedor kaca jendela dan memohon-mohon padanya. "Buka Alina!" Dipta makin keras memukul kaca jendela. Hingga akhirnya ia putus harapan dan mengambil sebuah batang besi yang berada di dekat semak-semak. Dengan jelas Alina bisa melihat suaminya akan memukul kaca jendela mobilnya dengan besi itu. Mau tidak mau Alina akhirnya kembali membuka pintu mobilnya. Wajahnya datar dan memalingkan pandangan dari suaminya. "Aku mohon, beri kesempatan aku untuk bicara..." ucap Dipta tiba-tiba. Sambil menyilangkan tangan, Alina mendengarkan Dipta bercerita panjang lebar tentang kejadian tak terduga yang menimpanya kemarin. Alina tertegun mendengarnya.Cukup lama, sebelum dia kembali bersuara, "Aku butuh waktu..."
Setelahnya, wanit itu kembali membuka pintu mobil dan meninggalkan Dipta begitu saja. Di sisi lain, setelah mendapat perawatan, Lana sudah sedikit baikan.Dengan mengendap-endap, Lana segera kabur dari tempat Dipta semalam.
Ia tidak ingin Dipta ataupun istri pertamanya tahu.
Hanya saja, saat Lana melewati rumah Juragan Sabri, ia dihadang oleh seorang pria muda yang baru dilihatnya hari ini. Lana berhenti dan memperhatikan pria itu sejenak."Maaf, permisi Tuan..?" tegurnya.
Namun, pria itu malah berpindah tempat dan berada di tengah pintu masuk dan menghalangi Lana sejenak. "Abimanyu...Panggil saja Bima..."Sebuah uluran tangan berada tepat di depan Lana.
Lana tertegun memperhatikan pria yang kira-kira lebih tua beberapa tahun saja darinya. "Saya Lana.."Begitu mengenalkan diri, Lana langsung melewatinya dan menyelimutkan kembali kain yang menjadi penutup lengan dan bahunya yang terbuka.
Dan ketika mulai memasuki rumah, Lana tersadar jika ia tak memiliki tempat atau ruangan tersendiri untuknya. Ia sedikit kebingungan dan mulai mencari kira-kira dimana tempat kosong yang bisa ia gunakan untuk kamar. "Kamu mencari apa?"Deg!
Rupanya, Bima masih mengikuti Lana dari belakang.
"Maaf sayaa..." Lana ragu-ragu untuk melangkahkan kakinya lebih jauh lagi. "Apakah kamu pembantu baru di sini?" Diam-diam Bima memang memiliki rasa penasaran yang tinggi pada Lana. "Atau kamu mau menempati kamarku saja?" godanya lagi. Lana tidak berani memandang wajah Bima. Ia hanya diam dan menunggu seseorang datang untuk dimintai tolong. "Ayolah.. kalau cuma pembantu, kamu malah lebih enak tinggal di kamarku saja..." tawa Bima terkekeh. "Maaf saya bukan wanita yang seperti itu..." jawab Lana dengan memejamkan kedua matanya. Sejujurnya ia bingung harus berbuat apa. Karena tidak ada seorangpun yang dekat dengannya di rumah ini. "Tetapi, aku bisa memberikanmu sesuatu yang jauh lebih baik dari sekedar jadi pembantu!" Diam-diam Bima mendekati Lana dari arah belakang. Kedua tangannya bersiap memeluk Lana yang ketakutan setengah mati. "Lana.. Namamu cantik..." Bima berbisik dengan pelan. Tangannya mulai bermain dengan perlahan memegang pinggul Lana. "Bukalah selendangmu ini.. Aku ingin melihatmu seperti saat kamu berlarian ke rumah ini..." "Tuan..Maaf..Saya bukan wanita seperti..." "Kenapa kamu takut kalau ada yang melihat?" goda Bima lebih lama. Sekujur tubuh Lana bergetar. Hatinya terus mengatakan agar menjauhi pria yang bernama Bima. Namun raganya lemah, tak kuasa lagi untuk berpindah. Bibir Lana berubah memucat. Wajahnya sayu. Ketakutan yang luar biasa membuatnya terdiam kaku. "Apakah kamu takut padaku?" tanya Bima lagi. Lana hanya bisa mengangguk dengan mata yang memelas. Bima tak kuasa menahan tawanya sendiri. "Hahahaa..Maafkan aku, aku hanya bercanda!" gelak tawa Bima memenuhi seantero rumah Juragan Sabri yang besar. Suara Bima menggema ke mana-mana. "Jangan takut Lana. Aku bukan laki-laki seperti yang kamu pikirkan..." Kalimat yang keluar dari mulut Bima belum bisa membuat Lana percaya sepenuhnya. Ia masih ragu dengan ucapan Bima. "Tenang Lana..Aku hanya memancingmu saja.." kini Bima malah menjadi salah tingkah. Ia takut jika Lana berprasangka yang tidak-tidak padanya. "Iii...iiyyaaa..." Lana menjawab dengan pelan. Selang beberapa saat Mbok Mirah datang dari arah belakang. Ia lari tergopoh-gopoh saat tahu Lana hanya berdiri mematung kebingungan."Lana...." panggilnya. "Sebaiknya kamu ke kamar Tuan Dipta.."
Mbok Mirah segera mengajak Lana untuk masui ke kamar Dipta.
"Jj jaangan Mbok Mirah," tolak Lana. Ia seperti ketakutan saat mendengar nama pria yang menjadi suaminya sendiri. "Ayolah, tidak apa-apa..Kamarnya Tuan Dipta kosong, tidak ada yang menempati.."Bima yang belum sadar situasi malah mengira Mbok Mirah mendukungnya!
"Ayoo..." Tanpa diminta, Bima memegang tangan Lana dan mengajaknya masuk ke kamar Dipta. Tangan Lana masih mengepal--masih menolak diajak masuk ke kamar Dipta. "Tunggu apa lagi?" Genggaman tangan Bima makin kuat. Mau tidak mau Lana harus mengikuti kemana kaki Bima melangkah. Hanya saja, tanpa sepengetahuan Bima, Dipta sudah berdiri tepat di sampingnya."Lepaskan istriku!"
"Jangan kamu dekati dia lagi..." Dipta memperingatkan Bima agar menjauh. "Hei, santai Bang!" Senyum Bima membuat Dipta makin naik pitam. Ia merasa saudara sepupunya itu memang memiliki ketertarikan kepada Lana. "Yang jelas, jauhi dia!" gertak Dipta lagi. Semakin merasa dilarang oleh Dipta, Bima semakin penasaran terhadap Lana. Bagi Bima, Lana adalah wanita kampungan yang sangat menantang untuk ditakhlukkan, Jadi, hampir setiap hari Bima selalu berusaha dekat dengan Lana. Ia menjadi lebih sering mengungi rumah Juragan Sabri dengan berbagai alasan. Entah alasan yang masuk akal atau yang hanya dibuat-buat. Dan betul, kedekatan antara Lana dan Bima segera terjadi seiring berjalannya waktu. Beberapa kali Dipta memergoki Bima yang mengendap-endap ke kamar Lana di saat sepi.Meski Dipta sendiri tidak yakin jika Lana memang sedang berada di sana. Hingga suatu hari Lana secara tidak langsung mencurahkan isi hatinya yang merindukan rumah dan juga kedua orang tuanya yang tel
Cukup lama keduanya mencari. Tak diduga tempat peristirahatan bapaknya berada di samping makam ibunya. Lana memeluk kedua nisan milik orang tuanya. Hanya tangisan yang bisa Lana persembahkan untuk keduanya. "Bapaakkk..." Lana memegang pusara milik sang bapak.Isak tangis Lana pecah. Ia tak kuasa menyeka atau menghentikan air mata yang terus mengalir. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal dirinya yang hidup sebatang kara di dunia. Entah berapa lama dia di sana.Lana sendiri tak tahu, sampai sebuah tangan memegang pundak kiri Lana. "Sudah, ayo kita kembali.." Kepala Lana menengadah ke atas langit. Melihat wajah itu kembali. "Ayo..." Kini tak ada alasan lagi bagi Lana untuk tidak kembali ke rumah yang penuh kemalangan itu. Tak seorangpun bisa melawan takdir! Sejengkal demi sejengkal langkah kaki Lana meninggalkan pemakaman tua di desanya. Matahari memang belum terik. Tetapi mereka takut jika harus pulang kesiangan. Perut Lana berbunyi di sepanjang jalan. Tak ayal, h
"Kenapa kamu melepaskanku??" Lana memicinngkan matanya kepada Dipta.Seolah Dipta memang baru saja kerasukan setan dari antah berantah.Nafasnya tersengal. Kedua tangannya yang tadinya begitu kuat mencengkeram Lana, kini hanya bisa bergetar tanpa sebab."DIAAMMM.." suara lantang Dipta membuat Lana terdiam.Kenapa Dipta tidak menghabisinya saja saat ini. Agar Lana bisa segera bertemu dengan bapak dan ibunya di pusara keabadian?Genggaman tangan Dipta membuat Lana tak percaya. Jika lelaki yang begitu dingin kepadanya kini malah mengajaknya pergi entah kemana,"Aku tidak bisa pergi..." Lana menghentikan langkah dan terdiam.Dipta seolah tak mendengar apapun yang Lana katakan. Ia tetap bersikeras menyeret tangan Lana dengan paksa.Braakkk..Pintu Jeep tertutup dengan kasar. Lana hanya bisa pasrah dan memandangi jalanan yang mulai lengang."Kemana Bima pergi?" Lana berguman lirih."Siapa yang kamu cari?" Dipta m
"BENARKAH??" Dipta seakan ikut tidak mempercayai perkataan Lana yang baru saja ia dengar. "Iya Mas Dipta.." jawab Lana dengan menunduk malu. Jawaban dari Lana bak bara api yang disiramkan di atas kepala Alina. Sebagai wanita normal, ia merasa Tuhan sangat tidak adil. Mengapa Lana bisa hamil dengan begitu cepat? Sementara Alina sudah mengupayakan semuanya agar ia bisa mengandung dan meneruskan garis keturunan Juragan Sabri dan ayahnya, "TIDAAKK..!!!" Alina menyangkal pernyataan Lana. Jika hal itu benar, Alina adalah satu-satunya manusia yang menyangkalnya. "Perempuan ini pasti berdusta!" kata Alina dengan mata berkaca-kaca. "Ini bohong!!" kedua tangan Alina mulai mengacak-acak rambutnya yang lurus. Lana memberanikan diri untuk menatap wajah Alina yang penuh dengan amarah dan kebencian. "Alina...tenangkan dirimu!" pelukan Dipta tetap tidak membuat Alina tenang. Kedua matanya tetap menampakkan kebencian yang nyata untuk Lana. "Jangan sekali-kali kamu mempercayai per
"Lana..."Bima dan Lana secara bersamaan menghadap ke arah Mbok Minah."Iya Mbok.. Ada apa?" nampak Mbok Minah terlihat tergesa-gesa."Tadi Tuan Dipta kemari..."Deg. Lana tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. Benarkah laki-laki itu mendatangi tempatnya di belakang?"Mungkin Mbok Minah salah lihat.." sahut Bima."Tidak, lha wong saya tadi juga menyapa beliau kok.." imbuhnya.Mendengarnya, tiba-tiba saja jantung Lana berdetak dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal."Kenapa Lana?" tanya Bima.Bima terkejut dengan perubahan wajah Lana yang tiba-tiba nampak kurang sehat,"Maaf Bima, aku harus masuk ke dalam rumah.."Beberapa saat kemudian Lana berjalan dengan hati-hati menuju ke dekat pintu masuk rumahnya. Ia merasa pandangannya sedikit berkunang-kunang.Tangannya sedikit gemetar dan ingin meraih sesuatu agar bisa berpegangan.Dan tanpa sebab yang pasti, Lana tiba-tiba ambruk ke lan
"Dipta!" Bima sedikit terkejut saat menoleh ke belakang. "Darimana kamu tahu?" lanjut Bima sedikit gugup. "Sudahlah.. Jangan sembunyikan apapun dariku.." Bagaimana bisa Dipta mengetahui jika Bima membawa kabur Lana ke rumah sakit? Apakah Mbok Minah yang memberitahukan semuanya pada Dipta? Batin Bima berkecamuk! Masalahnya bisa jauh lebih rumit lagi jika Dipta sampai tahu apa yang menyebabkan Lana pingsan dan belum sadarkan diri hingga kini. "Jangan melarikan diri.." bentak Dipta. "Aku aku hanya mencari makanan untuk Mbok Minah saja..." Bima tersenyum sambil terkekeh. Meski ia tak berniat kabur atau meninggalkan Mbok Minah
"Lana.." Dipta memegang tangan Lana yang lemah. Tatapannya nanar. Menatap istrinya yang sedang lemah terkulai dengan balutan infus dan selang oksigen. "Semoga kamu baik-baik saja.." Tak henti-hentinya Dipta mengecup tangan kanan Lana yang ia pegang dengan hati-hati. Tentu tak ada yang menyangka jika lelaki sekeras Dipta bisa luluh ketika melihat Lana tersiksa tanpa kata. "Aku akan menunggumu di sini.." Tidak hanya Lana mungkin. Bahkan Dipta pun juga heran dengan dirinya sendiri yang tak bisa ia kendalikan. Entah apa namanya rasa ini. Ia begitu ingin dekat dan selalu bersama dengan Lana. Meski terkadang egonya masih terlalu tinggi. Kebersamaannya bersama Alina nyatanya belum bisa pudar begitu saja. Dipta benar-benar bimbang. Ia dihadapkan dengan permasalahan hati yang cukup rumit. Yang tak mudah terurai dengan waktu. "Permisi Pak. Maaf Anda siapa?" Lamunan Dipta pudar. Kedatangan perawat membuatnya tersadar. "Saya suaminya.." seolah tanpa ragu ia mengakui jika i
"Dokteerrrr..Dokterrr...." sang perawat yang melihat tangan Lana menjadi histeris.Ia tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Benarkah Lana kembali hidup?"Astaga!" dokter juga tak kalah histeris.Meski sang dokter bisa sedikit menyembunyikan rasa takjubnya pada Lana yang tiba-tiba bisa tersadar dalam kondisi yang kritis."Benar-benar mukjizat!" seru sang dokter.Tak menunggu lama, dokter segera menghubungi Dipta agar kembali ke ruangan Lana."Apakah pasien dan bayinya sama-sama bisa selamat dok?" tanya sang perawat penasaran.Dokter yang terus memantau kesehatan Lana melalui monitor hanya bisa diam dan memberikan kedipan mata.Selama dua puluh tahun ia berpraktek menjadi dokter, baru kali ini ada wanita hamil yang sudah kritis bisa menunjukkan kehidupannya kembali."Suster, terus pantau pasien ini. Sepertinya kita harus lebih serius dalam mengobservasinya..""Baik dok...""Satu jam lagi, saya akan k
Di dalam ruangan sudah terdengar suara Lana dan Bima yang bercengkerama. Mereka tampak tak peduli bahkan tidak sadar kalau ada Dipta yang sudah berdiri di depan pintu."Mas?" Lana kaget dan seketika menutup mulutnya.Bima tampak merasa tidak nyaman karena belum cukup rasanya berduaan dengan istri sepupunya itu."Lain kali kalau mau menjenguk, izin dulu padaku. Jangan sembarangan masuk!" Dipta meraih kursi dan duduk dengan menumpukan kaki kanannya ke paha kiri.Nampak aura kesombongan itu memenuhi ruangan. Arogan!Itu penggambaran sosok Dipta di mata Lana saat ini.Lelaki itu rupanya terbakar api cemburu. Lana tak pernah menunjukkan sifat manja dan bahagianya seperti ini saat berduaan dengannya."Tadi Lana bilang ke Mbok Minah katanya mau dibelikan jus alpukat. Jadi aku bawakan jus sekalian buahnya juga." Bima masih saja bisa mengelak dan membela diri."Ada aku, kenapa meminta kamu membelikan?" Dipta tak terima.Ini sama dengan merendahkannya."Lha katanya kamu sedang keluar. Aku tidak
"Mas.. Mas Dipta!" tangan kanan Lana memegang lengan Dipta.Sementara Dipta masih terpaku, terdiam dengan permintaan Lana yang diluar prediksinya."Tolong saya mas. Bebaskan saya!" Lana mengiba.Wajah Lana terlihat sendu. Entah apa yang Lana rasakan terhadap Dipta,Apakah Lana merasa tidak bahagia dengan semua fasilitas mewah yang Dipta berikan saat ini?Ataukah Lana meminta sesuatu yang lain? Yang lebih dari itu."Kenapa? Apakah uang dan semua yang aku berikan selama ini kurang?" nada bicara Dipta meninggi.Lana tidak berani memandang wajah Dipta. Ia hanya terdiam."Apa kurangku? Bukankah kamu sudah hidup enak dengan kemilau harta-harta itu..."Dipta terus berbicara panjang lebar mengungkit semua pemberian yang ia berikan dan juga pemberian Juragan Sabri, ayahnya."Bukan begitu mas, Lana hanya ingin..."Jari-jemari Dipta memegang dagu Lana. Ia menghadapkan wajah Lana beradu pandang dengan kedua matanya."Apa? Apa lagi yang kamu inginkan?" Ancam Dipta"Saya ingin menikah dengan orang
"Dokteerrrr..Dokterrr...." sang perawat yang melihat tangan Lana menjadi histeris.Ia tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Benarkah Lana kembali hidup?"Astaga!" dokter juga tak kalah histeris.Meski sang dokter bisa sedikit menyembunyikan rasa takjubnya pada Lana yang tiba-tiba bisa tersadar dalam kondisi yang kritis."Benar-benar mukjizat!" seru sang dokter.Tak menunggu lama, dokter segera menghubungi Dipta agar kembali ke ruangan Lana."Apakah pasien dan bayinya sama-sama bisa selamat dok?" tanya sang perawat penasaran.Dokter yang terus memantau kesehatan Lana melalui monitor hanya bisa diam dan memberikan kedipan mata.Selama dua puluh tahun ia berpraktek menjadi dokter, baru kali ini ada wanita hamil yang sudah kritis bisa menunjukkan kehidupannya kembali."Suster, terus pantau pasien ini. Sepertinya kita harus lebih serius dalam mengobservasinya..""Baik dok...""Satu jam lagi, saya akan k
"Lana.." Dipta memegang tangan Lana yang lemah. Tatapannya nanar. Menatap istrinya yang sedang lemah terkulai dengan balutan infus dan selang oksigen. "Semoga kamu baik-baik saja.." Tak henti-hentinya Dipta mengecup tangan kanan Lana yang ia pegang dengan hati-hati. Tentu tak ada yang menyangka jika lelaki sekeras Dipta bisa luluh ketika melihat Lana tersiksa tanpa kata. "Aku akan menunggumu di sini.." Tidak hanya Lana mungkin. Bahkan Dipta pun juga heran dengan dirinya sendiri yang tak bisa ia kendalikan. Entah apa namanya rasa ini. Ia begitu ingin dekat dan selalu bersama dengan Lana. Meski terkadang egonya masih terlalu tinggi. Kebersamaannya bersama Alina nyatanya belum bisa pudar begitu saja. Dipta benar-benar bimbang. Ia dihadapkan dengan permasalahan hati yang cukup rumit. Yang tak mudah terurai dengan waktu. "Permisi Pak. Maaf Anda siapa?" Lamunan Dipta pudar. Kedatangan perawat membuatnya tersadar. "Saya suaminya.." seolah tanpa ragu ia mengakui jika i
"Dipta!" Bima sedikit terkejut saat menoleh ke belakang. "Darimana kamu tahu?" lanjut Bima sedikit gugup. "Sudahlah.. Jangan sembunyikan apapun dariku.." Bagaimana bisa Dipta mengetahui jika Bima membawa kabur Lana ke rumah sakit? Apakah Mbok Minah yang memberitahukan semuanya pada Dipta? Batin Bima berkecamuk! Masalahnya bisa jauh lebih rumit lagi jika Dipta sampai tahu apa yang menyebabkan Lana pingsan dan belum sadarkan diri hingga kini. "Jangan melarikan diri.." bentak Dipta. "Aku aku hanya mencari makanan untuk Mbok Minah saja..." Bima tersenyum sambil terkekeh. Meski ia tak berniat kabur atau meninggalkan Mbok Minah
"Lana..."Bima dan Lana secara bersamaan menghadap ke arah Mbok Minah."Iya Mbok.. Ada apa?" nampak Mbok Minah terlihat tergesa-gesa."Tadi Tuan Dipta kemari..."Deg. Lana tidak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. Benarkah laki-laki itu mendatangi tempatnya di belakang?"Mungkin Mbok Minah salah lihat.." sahut Bima."Tidak, lha wong saya tadi juga menyapa beliau kok.." imbuhnya.Mendengarnya, tiba-tiba saja jantung Lana berdetak dengan cepat. Nafasnya sedikit tersengal."Kenapa Lana?" tanya Bima.Bima terkejut dengan perubahan wajah Lana yang tiba-tiba nampak kurang sehat,"Maaf Bima, aku harus masuk ke dalam rumah.."Beberapa saat kemudian Lana berjalan dengan hati-hati menuju ke dekat pintu masuk rumahnya. Ia merasa pandangannya sedikit berkunang-kunang.Tangannya sedikit gemetar dan ingin meraih sesuatu agar bisa berpegangan.Dan tanpa sebab yang pasti, Lana tiba-tiba ambruk ke lan
"BENARKAH??" Dipta seakan ikut tidak mempercayai perkataan Lana yang baru saja ia dengar. "Iya Mas Dipta.." jawab Lana dengan menunduk malu. Jawaban dari Lana bak bara api yang disiramkan di atas kepala Alina. Sebagai wanita normal, ia merasa Tuhan sangat tidak adil. Mengapa Lana bisa hamil dengan begitu cepat? Sementara Alina sudah mengupayakan semuanya agar ia bisa mengandung dan meneruskan garis keturunan Juragan Sabri dan ayahnya, "TIDAAKK..!!!" Alina menyangkal pernyataan Lana. Jika hal itu benar, Alina adalah satu-satunya manusia yang menyangkalnya. "Perempuan ini pasti berdusta!" kata Alina dengan mata berkaca-kaca. "Ini bohong!!" kedua tangan Alina mulai mengacak-acak rambutnya yang lurus. Lana memberanikan diri untuk menatap wajah Alina yang penuh dengan amarah dan kebencian. "Alina...tenangkan dirimu!" pelukan Dipta tetap tidak membuat Alina tenang. Kedua matanya tetap menampakkan kebencian yang nyata untuk Lana. "Jangan sekali-kali kamu mempercayai per
"Kenapa kamu melepaskanku??" Lana memicinngkan matanya kepada Dipta.Seolah Dipta memang baru saja kerasukan setan dari antah berantah.Nafasnya tersengal. Kedua tangannya yang tadinya begitu kuat mencengkeram Lana, kini hanya bisa bergetar tanpa sebab."DIAAMMM.." suara lantang Dipta membuat Lana terdiam.Kenapa Dipta tidak menghabisinya saja saat ini. Agar Lana bisa segera bertemu dengan bapak dan ibunya di pusara keabadian?Genggaman tangan Dipta membuat Lana tak percaya. Jika lelaki yang begitu dingin kepadanya kini malah mengajaknya pergi entah kemana,"Aku tidak bisa pergi..." Lana menghentikan langkah dan terdiam.Dipta seolah tak mendengar apapun yang Lana katakan. Ia tetap bersikeras menyeret tangan Lana dengan paksa.Braakkk..Pintu Jeep tertutup dengan kasar. Lana hanya bisa pasrah dan memandangi jalanan yang mulai lengang."Kemana Bima pergi?" Lana berguman lirih."Siapa yang kamu cari?" Dipta m
Cukup lama keduanya mencari. Tak diduga tempat peristirahatan bapaknya berada di samping makam ibunya. Lana memeluk kedua nisan milik orang tuanya. Hanya tangisan yang bisa Lana persembahkan untuk keduanya. "Bapaakkk..." Lana memegang pusara milik sang bapak.Isak tangis Lana pecah. Ia tak kuasa menyeka atau menghentikan air mata yang terus mengalir. Tak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal dirinya yang hidup sebatang kara di dunia. Entah berapa lama dia di sana.Lana sendiri tak tahu, sampai sebuah tangan memegang pundak kiri Lana. "Sudah, ayo kita kembali.." Kepala Lana menengadah ke atas langit. Melihat wajah itu kembali. "Ayo..." Kini tak ada alasan lagi bagi Lana untuk tidak kembali ke rumah yang penuh kemalangan itu. Tak seorangpun bisa melawan takdir! Sejengkal demi sejengkal langkah kaki Lana meninggalkan pemakaman tua di desanya. Matahari memang belum terik. Tetapi mereka takut jika harus pulang kesiangan. Perut Lana berbunyi di sepanjang jalan. Tak ayal, h