Aku melihat pantulan tubuhku dari cermin besar yang ku pasang di ruang fitness. Tubuh bugarku yang di basahi keringat, yang sama sekali tak menunjukan jika di dalamnya ada penyakit langka.
Lagi ku putar tubuhku di depan cermin itu, ada pantulan tubuhku yang rapuh dan sakit-sakitan mengejutkanku. Aku terperanjat menghapus pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba menghantuiku.
Bukankah sejak kecil aku gadis kuat?
Bukankah aku gadis mandiri?
Bukankah aku juga gadis pemberani?
Aku akan melewati ini dengan mudah!
Mantra-mantra positif yang coba ku jejalkan di kepala. Aku tak ingin terlena dalam duka.
I got new rules; I count ‘em
I got new rules; I count ‘em
I gotta tell them to myself
I got new rules; I count ‘em
I gotta tell them to myself
Handphone ku berdering entah untuk ke berapa kali. Aku sedang tak ingin bicara dengan siapapun sebenarnya. Bahkan saat orang-orang di kantor menelpon aku lebih suka mengabaikannya yang secara otomatis lagu New Rules milik Dua Lipa bisa ku dengarkan lebih lama. Konyol memang! Tapi aku sedang ingin seperti itu.
Ada nama Jenny yang tampil disana. Dia keras kepala meski ku abaikan. Aku jadi jengkel sendiri dengan Jenny yang tak berhenti melakukan panggilan telpon. Aku menarik napas dalam dan berkata, “Ya Jen?” “Amanda, kamu baik-baik saja kan?” tanya Jenny seperti orang panik. "Fitria kasih kabar kalau kamu ambil cuti dan susah dihubungi. Kenapa Man?" tambahnya tak mengijinkanku menjawab pertama. "Man, kamu ambil cuti bukan untuk ngurung diri terus terpuruk sama keadaan, kan?" berondongnya tak berhenti bicara. "Amanda, kamu--" “Aku baik Jen! Ya ampun gantian kek Jen ngomongnya." balasku menyela kalimat Jenny yang tak kunjung berhenti. "Panik Manda! Kamu gak biasa banget ambil cuti tiba-tiba sampe susah di hubungi. Apa-apan coba?!" papar Jenny mulai bicara dengan nada normal. "Aku gak sebego itu kali Jen!" "Syukurlah Man!" balasnya menghela napas mengelus dadanya. Setelah mengobrol kesana-kemari dengan Jenny, kami pun sama-sama memutuskan sambungan telpon. Jenny paham jika aku hanya ingin istirahat sejenak dari rutinitas dan mulai mengatur rencana kedepan.
***
Sekarang saatnya untuk memutuskan, aku akan diam dan menunggu keajaiban datang atau aku akan bergerak menjemput keajaibanku sendiri. Sama seperi pepatah menunggu bola atau menjemput bola. Dan tentu saja aku akan menjemput bola keajaibanku.
Terakhir kali bicara dengan Samudera memang tak ada yang tak mungkin, apalagi kasus multiple sclerosisku belum menggangu aktifitas fisik. Hanya kemungkinan akan kambuh sewaktu-waktu. Jadi aku tidak perlu oanik berlebihan katanya. Tapi aku bukan orang yang diam saja saat masalah datang. Aku termasuk orang yang mau repot untuk berjuang. Memangnya siapa yang mau menyia-nyiakan waktu hidup yang hanya sekali ini?
Well, yang saat ini memenuhi pikiranku adalah terpaksa mengikuti jurnal sialan yang di berikan Samudera. Aku akan merencanakan kehamilan hingga melahirkan tanpa ingin repot terikat perasaan dengan pria. Dan yang ada di otakku saat itu mencari donor sperma.
Mencari donor sperma
Dimana mencari donor sperma
Syarat mendapatkan donor sperma
Yang harus di perhatikan dalam memilih donor sperma
Melahirkan anak hasil donor sperma
Kekuatan hukum anak di luar pernikahan
Melahirkan anak di luar pernikahan
Yang harus di perhatikan saat memilih melahirkan anak hasil donor sperma
Kutipan – kutipan itulah yang aku cari di mesin pencari di internet. Ku kumpulkan setiap sumber atau artikel-artikel penting mengenai topik-topik di atas. Aku ingin mempelajarinya dengan teliti dan seksama, aku tak ingin ceroboh dan atau salah langkah.
Ku habiskan pagi siang malam ku untuk mendapatkan informasi-informasi terpercaya mengenai donor sperma. Sayangnya informasi yang ku dapatkan hanya membuatku semakin mengurungkan niatku. Terlalu banyak resiko yang akan aku hadapi di masa depan jika melakukan ini.
Pertama aku mungkin tidak akan tau siapa ayah dari anak yang akan aku kandung nantinya, jika aku menemui bank sperma.
Kedua aku tidak bisa memastikan kejelasan hukum status anak yang akan aku lahirkan.
Ketiga aku harus ke luar negeri untuk mendapatkan donor sperma.
Keempat status sosialku yang hamil tanpa suami nantinya akan membuat Ibu terguncang.
Kelima aku harus melewati proses rekayasa reproduksi dengan biaya yang tidak murah.
Lima variabel negatif dari donor sperma membuat aku harus berpikir ulang ribuan kali. Aku buntu saat itu!
Pada akhirnya aku memilih melakukan pernikahan kontrak dengan laki-laki sewaan. Kupikir ini jalan terbaik dalam berbagai hal. Aku tak ingin egois dengan tujuan utamaku. Bagaimana pun aku harus memikirkan nasib anak yang akan aku lahirkan. Keputusan ini memberi berbagai kelebihan seperti.
Pertama aku bisa memilih siapa ayah dari anak yang akan aku kandung nantinya.
Kedua aku bisa memastikan kejelasan hukum status anak yang akan aku lahirkan.
Ketiga anak ku mungkin masih bisa menemui ayahnya jika ia telah dewasa.
Keempat aku tak akan membuat ibu ku malu dan curiga.
Kelima aku tidak perlu melewati proses rekayasa reproduksi.
Setelah aku mantap dengan keputusan ku, informasi-informasi yang ku cari di mesin pencari g****e adalah.
Berapa harga pria sewaan
Cara mendapatkan pria sewaan
Dimana mendapatkan pria sewaan
Yang harus di perhatikan saat memilih pria sewaan
***
Aku harus cuti dan fokus pada masalahku yang ini. “Fit, aku bisa kan perpanjang cuti?” tanyaku di sebrang telpon. “Kenapa Man, kamu baik-baik saja kan?” Fitria bahkan tak lekas menjawab pertanyaanku. Mungkin dia khawatir padaku yang kembali meminta jatah cutiku. “Aku baik Fit. Hanya butuh waktu untuk ke Bandung. Ada urusan penting di sana.” “Urusan apa sih Man, sampai harus ke Bandung segala?” kata Fitria yang tak berhenti bertanya. Dia sepertinya lupa tujuan utamaku menghubunginya. “Penting pokoknya, bisakan cuti ku di perpanjang sepuluh hari lagi?" “Iya. Tapi kamu yakin gak apa-apa? Gak mau minta bantuanku atau Jenny gitu?” tawar Fitria. Aku menarik napas dalam dan berseloroh, “Punya kalian udah lebih dari cukup Fit! Bye!” balasku segera menutup layar ponsel. Aku tak punya waktu untuk menjelaskan pada kedua sahabatku, yang mungkin tak akan setuju dengan keputusanku.
***
Ku pacu mobil sedan putihku melesat di jalan tol. Informasi g****e yang membawaku ke Bandung. Di jaman serba digital ini, banyak orang yang mempercayakan hidupnya pada tulisan-tulisan di internet. Dan aku termasuk di dalamnya.
Aku akan menemui agen-agen yang banyak menyediakan laki-laki sewaan. Mereka memang ilegal namun ada. Aku percayakan semua perjalanku pada g****e maps.
Ku telusuri jalanan yang di arahkan g****e maps, tapi aku masih tak menemukan titik terang. Sejak pagi hingga petang aku masih berkutat di belakang kemudi hingga melaju di gang-gang sempit.
“Aduh....” keluh seseorang di belakang mobilku. Aku melirik kaca spion kanan. “Kenapa ya?” gumamku seraya turun dari mobil untuk mengecek secara langsung. “Hati-hati atuh Teh, kaki saya terlindas ini.” keluh seorang laki-laki muda seraya mengangkat kaki kirinya di udara. “Ya ampun, maaf ya Mas. Saya gak lihat.” “Iya di maafkan.” balas laki-laki itu ketus.
“Sakit? Mau saya antar ke klinik aja? Klinik terdekat di sini dimana ya?” tawarku dengan rasa bersalah.
“Gak usah Teh. Nanti juga sembuh sendiri.” jawabnya datar meninggalkanku menuju sebuah bangunan kecil dengan kaki terangkat sebelah.
Aku mengejarnya untuk sekedar bertanya jalan keluar karena aku sudah buntu mencari-cari sendiri. Sialnya, jalan yang kucari masih jauh. Tepatnya karena lokasi yang kucari bukan di jalan utama yang membuatku kesulitan menjangkaunya.
Aku pun perlahan mundur, keluar dari gang sempit yang hanya muat satu jalur mobil saja. Laki-laki muda itu lah yang membantuku. “Sekali lagi saya minta maaf ya Mas. Terima kasih juga udah bantu." ujarku di balik jendela mobil yang terbuka lebar. “Iya Teh.” jawabnya melempar senyum.
Aku biasanya tidak bekerja seceroboh ini, sampai-sampai aku lupa menghubungi nomor telpon yang di tampilkan g****e ternyata tidak bisa di hubungi.
Badanku sudah lelah, kepalaku juga sudah berkedut. Aku memutuskan untuk segera memesan hotel terdekat dengan ponsel pintarku. Beruntung sekali aku mendapatkan hotel murah dengan fasilitas mumpuni, aku jadi bisa berendam air panas untuk menghilangkan penatku.
“Aku tidak mungkin balik ke Jakarta dengan tangan kosong, apalagi semua jatah cutiku tahun ini sudah ku habiskan.” lirihku pada gelembung sabun yang memenuhi bathtub.
***
Udara pagi Bandung memang menyegarkan, apalagi lokasi hotel yang terletak di atas gunung membuat pandangan mata jadi jernih.
Aku memilih sarapan nasi goreng dan kopi pagi ini. Acara sarapan pagi tak tak membuatku berleha-leha. Jari-jemariku sibuk menari-nari di atas layar ponsel untuk mencari alamat agen lainnya. Aku memang menyimpan beberapa agen penyedia jasa laki-laki sewaan.
Saat mataku mulai perih, aku sengaja meliarkan pandangannku. Namun, aku terbelalak setelah memastikan orang yang kulihat beberapa meter di depan adalah pria yang kakinya tak sengaja terlindas ban mobilku kemarin.
Aku semakin mendekatinya dan berkata, “Mas, kerja di sini?” pria itu menoleh ke arahku mengerutkan dahi dalam sekaki. Mungkin dia sedang mengingat-ngingat pertemuan singkat kami kemarin. “Oh Teteh yang kemarin melindas kaki saya ya.” “Saya kan udah minta maaf Mas!” protesku saat laki-laki itu mengingatkan kesalahanku.
Dia melirikku sebentar, menganti kuas di tangannya dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Iya Teh, saya juga sudah memaafkan Teteh. Kenapa sekarang Teteh di sini? Sudah ketemu alamat yang di cari?” “Belum Mas, makanya saya menginap di sini karena saya gak mungkin pulang pergi Bandung-Jakarta hari itu juga.” balasku seraya meneguk kembali kopi hitamku.
Laki-laki yang rambutnya di kucir itu mengganguk pelan. “Memangnya alamat yang Teteh cari itu alamat siapa?” “Alamat ini Mas” ku julurkan layar ponselku agar ia membacanya sendiri.
Matanya menyipit kemudian membulat seketika, dan berkata “Teteh mencari laki-laki sewaan?!” tanyanya sinis.
“Ssssttt.” jangan keras-keras bicaranya.
“Jangan atuh Teh, bahaya! Bagaimana kalau nanti Teteh di apa-apain, sudah Teteh bayar sewa, eh di apa-apain juga. Menang Banyak atuh si AA nya kalau gitu mah. Teteh rugi besar!” beber nya mengeleng-gelengkan kepala seraya kembali sibuk dengan meja-meja usang yang dia cat ulang dengan desain menawan.
Sekilas aku terbuai dengan gambar desain di hadapanku, sungguh karya seni original yang mewah. Dia membuatnya sendiri dengan tangan kosong.
***
Bersambung...
“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus. Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan. Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju? Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-
Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini." “Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.” “Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.” “Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.” “Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?” “Ya betul Nak. Tapi....” “Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendada
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja Koswara! Enteng sekali kamu bicara tidak bisa melakukannya setelah menyombongkan diri akan professional. Kamu sudah terlanjur masuk di kehidupanku dan ibu. Dia mungkin bisa bermain-main dengan perasaanku, tapi dengan ibuku, aku tak akan membiarkannya secepat itu." monologku tercekat. Sakit sekali saat seperti ini tiba-tiba bayangan ibu datang. Berkali-kali aku memukul kemudi hanya untuk melepaskan kesal yang bercokol di hati. "Jika bukan karena ibu, sudah ku tendang kau semalam. Hanya membuat kepalaku semakin pening saja.” kali ini aku sudah menahan emosi. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan mengoceh sendiri, seperti membenarkan teori gila pada kitab-kitab lama. “Dasar bocah tak berguna! Impoten!” “Bagaimana bisa aku di permainkan oleh pria seperti Koswara? Sebodoh itukah aku sekarang?” Pagi ini, mobil sedan putihku sudah sesak