“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus.
Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan. Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju?
Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-hari kamu kerja dimana?" “Dimana aja Teh, saya kan tukang gambar. Jadi kalau ada yang butuh jasa gambar, dimana saja tempatnya pasti saya datengin. Asal di ongkosin! Hehe.” paparnya di balut tawa renyah. Barisan giginya yang rapih terekspos. Aku juga begitu, ikut tertawa bersamanya. Kepolosannya begitu lucu!
Koswara ramah dan santai orangnya, dia tetap meladeniku mengobrol meski tangannya tetap sibuk bekerja. Raut wajahnya sama sekali tak menampilkan bahwa dia terganggu.
Aku kembali mengecap tetesan terakhir kopi hitam di cangkirku. “Kamu keliatan masih muda Kos, berapa umurmu?” tanyaku penasaran. “Dua puluh dua tahun.” balasnya cepat.
Astaga dia delapan tahun lebih muda dariku! Aku tak mungkin menyewanya. Dia terlalu muda untuk menjadi suami sewaanku. "Sudahlah, lupakan saja untuk menyewanya. Masih banyak laki-laki yang akan profesional dalam bekerja." gumamku dalam hati.
“Kos kamu bisa bantu saya carikan alamat-alamat ini kan?” kataku lagi mengulurkan alamat di layar ponselku. Koswara menghentikan pekerjaannya, membaca setiap alamat yang di tampilkan di layar ponselku dan berkata, “Boleh Teh, kalau pekerjaan saya selesai. Kita cari sama-sama alamatnya.” jawabnya yang masih sibuk menggerak-gerakan kuas kecil di tangannya.
***
Siang menjelang sore, pekerjaan Koswara di hotel sudah selesai. Kami pun pergi menyusuri setiap sudut kota Bandung. Aku mengemudi mengikuti arahan Koswara. Di sudah tentu khatam dengan hiruk pikuk kota kelahirannya itu. Aku mulai merasa lebih tenang dengan adanya Koswara, setidaknya aku akan lebih mudah mendapatkan alamat-alamat yang ku cari.
Aku pun tak lupa menjelaskan tujuan mencari laki-laki yang akan kusewa, ku jelaskan tentang keadaanku, penyakitku, tentang sahabat-sahabatku, tentang pekerjaanku juga tentang ibuku. Meskipun aku dan Koswara baru saja saling mengenal, tapi aku jelas tidak ingin di cap buruk. Dan Koswara pun akhirnya paham.
Satu persatu alamat yang di tampilkan g****e ku datangi, tapi aku belum menemukan laki-laki yang cocok dengan kriteriaku. Aku tak ingin menjadi orang yang gegabah dalam melangkah, setiap baik dan buruk selalu aku pikirkan.
Koswara menunggu di dalam mobil, saat aku berkali-kali turun menemui setiap agen yang kucari. “Kenapa lagi Teh?” tanyanya sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil. “Kemahalan Kos. Harga yang mereka tawarkan tinggi banget.” jawabku malas. “Memangnya minta berapa Teh, si AA nya?” “250 juta. Sedangkan budget saya maximum hanya 100 juta.” tambahku seraya menyalakan mesin mobil. “Apa 100 juta!? Apa saya gak salah dengar Teh?” tanya Koswara setengah berteriak. “Enggak Kos, memang rata-rata segitu untuk sewa satu tahun.” terangku datar. “Kalau 100 juta sih saya juga mau Teh!” seru Koswara membuyarkan konsentrasi mengemudiku.
'Cekiiiiiiiit!'
“Aduh! Pelan-pelan atuh Teh remnya!” pintanya saat aku rem mendadak tak terkendali.
Aku tak ingin menengok orang sebelahku saat aku seketika berpikir keras atas kesediaan Koswara menjadi laki-laki sewaan ku. “Serius kamu Kos?” pekikku. Koswara menatapku dengan mata yang bulat. “Serius Teh kalau upahnya 100 juta.” aku nya tenang. Hening pun menyapa kami beberapa detik. Kami saling menatap. Koswara tengah berusaha meyakinkanku dengan netranya.
Koswara mengalihkan pandangannya, dengan lirih dia berkata, "Tapi, saya --" aku menarik alis mataku ke atas menunggu kalimatnya yang tercekat. “Tapi kenapa Kos?” tanyaku penasaran. Koswara kembali menatapku. “Saya kok takut dosa ya Teh, soalnya nanti kan kita harus --” Koswara mendekatkan jari telunjuk kanan dan kirinya, mengisyaratkan sesuatu yang sudah ku pahami. Ada jeda hening kembali membumi sebelum akhirnya aku terbahak tertawa “Hah! Kamu itu lucu ya” balasku yang masih terkekeh sesekali. Dahi Koswara mengerut dalam sekali melihat tingkahku.
Saat aku mulai tenang, ku jelaskan pada Koswara. “Ya gak lah Kos, kan nikah dulu terus jadi suami isteri. Mana ada dosa.” “Begitu ya?!” jawabnya retorik. "Saya butuh kejelasan administrasi nantinya, jadi laki-laki yang akan saya sewa itu harus mau menikah resmi." paparku menjelaskan. Koswara menggaruk tengkuknya dan terkekeh pelan. Mungkin dia baru menyadari tingkah polosnya yang lucu.
Mobilku masih berhenti. Aku masih tak berniat menjalankannya di saat kepalaku tengah berpikir keras seperti ini. “Tapi saya gak bisa sewa kamu Kos.”
Dahi Koswara kembali mencetak kerut yang dalam. Alis tebalnya menyatu. “Kenapa?” tanyanya singkat.
Aku menarik napas dalam dan panjang. Aku harus kembali berpikir jika aku memang memutuskan untuk tidak memilihnya. “Kamu terlalu muda, ibu saya bisa curiga. Saya gak mau ibu tahu tentang multi schelosis saya." kataku saat Koswara masih terlihat berpikir. "Saya ingin memastikan semua rencana berjalan lancar, saya tak ingin pusing di kemudian hari.” tambahku.
Koswara pun kembali terkekeh pelan. “Jangan khawatir Teh, nanti saya bisa akting supaya ibunya Teh Manda gak curiga. Saya ini seniman!” balasnya menepuk dada congkak.
Aku melirik Koswara. “Yakin bisa?” alisku naik sebelah.
Koswara pun mengangguk cepat. Dia begitu percaya diri.
Aku kembali berpikir beberapa saat, sampai akhirnya ku putuskan untuk menerima tawaran Koswara. “Ya udah kita ke Yogyakarta sekarang kalau gitu.” “Ngapain ke Yogyakarta Teh?” tanya Koswara.
“Kita akan menikah di Yogyakarta. Ibu saya juga tinggal di sana.” terangku seraya memutar balik mobil.
Prosesnya begitu cepat antara tawaran Koswara dan keputusanku, aku belum pernah memutuskan sesuatu secepat ini. Tapi kali ini mengalir seperti air. Meskipun dalam hati kecilku ada ragu pada Koswara. Dia terlalu muda dan dia polos. Aku hanya takut ibu yang tahu persis tipe laki-laki impianku akan dengan mudah curiga dengan Koswara.
Pada akhirnya, keraguan itu seimbang dengan mantra-mantra positif yang ku jejalkan di kepala bahwa semuanya akan berjalan lancar seperti yang aku harapkan.
***
Sebelum ketemu ibu, aku persiapkan semuanya matang. Ku belikan Kosawara beberapa potong baju baru agar penampilannya terlihat lebih rapi. Aku pula yang memilih gaya rambutnya yang baru. Koswara tak mungkin tampil di depan ibuku dengan rambut panjang yang di kucir, terlihat kekanak-kanakan sekali. Berewok di wajahnya ku pangkas habis. Wajahnya yang bersih terlihat begitu rapih sekarang.
Koswara kini terlihat lebih rapi dan bersih dan dewasa. Wajahnya memang sudah tampan dan badannya juga bagus. Saat ku tanya apakah dia suka berolahraga, Dia malah terkekeh, katanya badannya kekar dan berat karena dia terbiasa bekerja berat.
Aku pun tak lupa membeli sepasang cincin pernikahan.
***
Sesampainya di Yogyakarta.
“Amanda!” seru ibu saat melihatku turun dari mobil. Ibu lekas meraih badanku, mendekapku erat. Beliau begitu merindukanku. Aku pun sama, sebab sudah hampir empat bulan aku tak pulang.
“Ibu, apa kabar Bu?” tanyaku melepaskan pelukan, meski badan kami masih menempel. Ada air mata haru di kelopak matanya.
“Baik Nak, ini!?” tanya ibu menunjuk Koswara yang seketika mencium punggung tangan Ibuku.
Koswara segera mendekat dan meraih tangan ibuku untuk mencium punggung tangannya. “Saya Koswara Bu.”
Ibu melemparkan pandangannya padaku dan Koswara secara bergantian. “Ayo-ayo Nak masuk dulu.” pinta Ibu mengapitku dan Koswara untuk masuk ke dalam rumah.
***
Note :
Teteh / Teh, sebutan kakak perempuan dalam bahasa sunda.
AA / Kang, sebutan kakak laki-laki dalam bahasa sunda.
Jang / Ujang, sebutan untuk anak laki-laki.
Melet, sebutan untuk orang yang menggunakan ilmu daya pikat.
Bersambung...
Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini." “Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.” “Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.” “Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.” “Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?” “Ya betul Nak. Tapi....” “Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendada
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja Koswara! Enteng sekali kamu bicara tidak bisa melakukannya setelah menyombongkan diri akan professional. Kamu sudah terlanjur masuk di kehidupanku dan ibu. Dia mungkin bisa bermain-main dengan perasaanku, tapi dengan ibuku, aku tak akan membiarkannya secepat itu." monologku tercekat. Sakit sekali saat seperti ini tiba-tiba bayangan ibu datang. Berkali-kali aku memukul kemudi hanya untuk melepaskan kesal yang bercokol di hati. "Jika bukan karena ibu, sudah ku tendang kau semalam. Hanya membuat kepalaku semakin pening saja.” kali ini aku sudah menahan emosi. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan mengoceh sendiri, seperti membenarkan teori gila pada kitab-kitab lama. “Dasar bocah tak berguna! Impoten!” “Bagaimana bisa aku di permainkan oleh pria seperti Koswara? Sebodoh itukah aku sekarang?” Pagi ini, mobil sedan putihku sudah sesak
Matahari sudah meninggi, sinar hangatnya sudah terasa panas menyengat sejak tadi. Dan aku masih betah membenamkan wajahku di bawah bantal untuk kembali meraih alam mimpi. 'You just want attention, you don't want my heart Maybe you just hate the thought of me with someone new' Aku terpaksa beranjak saat ponselku berdendang lagu milik Charlie Puth yang baru saja ku setel sejak tiga hari lalu. “Ibu! Apa kabar, Bu?” sapaku saat layar ponsel pintarku menampilkan namanya. “Ya ampun Manda, sudah jam setengah sebelas siang ini kamu masih tidur. Keterlaluan kamu ini Man!” seru ibu mengabaikan pertanyaanku tentang kabarnya. Dahiku berkerut sementara alisku meninggi dari tempatnya. “Aku baru bangun Bu, kalau masih tidur mana bisa jawab telpon.” Ibu berdecak. “Ya apalah itu Nak. Intinya kamu ini kan sudah jadi istri orang, mana bisa bangun sesiang ini. Suamimu keman