Kepalaku masih sangat panas. Mungkin saja ubun-ubunnya mulai berasap. Jika saja tidak ada pasal tentang kekerasan dalam rumah tangga, mungkin Koswara sudah ku gigit dengan gemas. Kekanak-kanakannya hanya membuatku gila. Aku benar-benar harus mengikatnya secara hukum supaya dia tidak berulah di masa yang akan datang. Apa aku berlebihan? Sepertinya tidak. Bukankah orang yang jatuh cinta akan menghalalkan segala cara? Tentu saja ya. Itulah yang aku takutkan jika Koswara benar jatuh cinta padaku.
Malam sudah mulai pekat. Biasanya aku sudah terlelap pukul sepuluh malam jika esok hari kerja. Sudah berkali-kali aku menghitung domba yang katanya bisa menghantarkan kantuk. Namun tak juga berhasil. Aku bahkan sengaja menelpon Fitria yang ternyata sedang bercinta dengan suaminya. Aku juga menelpon Jenny yang tengah sibuk menidurkan anak keduanya yang masih bayi. Aku tidak mungkin menelpon ibu, sebab jam sepuluh malam adalah waktu maksimum beliau tidur.
<
Aku jadi malas pulang, sejak perselisihan itu, aku jadi tak betah di rumah. Rasanya ingin tinggal lama di luar saja, padahal rumah itu milikku dan yang menumpang itu Koswara, bukan aku!Entah sudah berapa lama aku hanya berdiam diri di balik kemudi, menatap jalanan lurus-lurus. Aku masih tak berniat menyalakan mesin mobilku, sampai akhirnya aku memutuskan untuk meraih ponselku dan menghubungi Koswara. "Halo Kos!" panggilku saat sambungan telpon terangkat. "Iya Teh Manda." jawab Koswara singkat. "Hmm, kamu sudah memasak untuk makan malam?" tanyaku kemudian. "Masih memasak sebenarnya, saya sedang membuat sup ayam dan emping melinjo." jawab Koswara datar. "Ada apa Teh? Teh Manda, mau minta di buatkan sesuatu?" lanjut Koswara. "Gak apa-apa, hanya mau kasih kabar. Saya pulang sekarang." balasku malas.Sial! Koswara sudah memasak ternyata, padahal aku hendak makan malam di luar saja sendiri. Andai saja aku bisa cuek dengan perasaan ora
Akhir pekan ini aku harus bekerja keras, sebab hanya dalam waktu dua hari, aku harus mengevaluasi beberapa gambar desain bangunanku, agar sesuai dengan hasil di lapangan.Dimulai dengan mengemas segala keperluanku di hari Jumat malam selepas bekerja. Aku harus segera tidur, sebab jadwal penerbanganku pagi sekali. Sementara jadwal bekerja sudah menunggu di Surabaya.Aku hanya menyampaikan hal-hal penting saja pada Koswara yang akan tinggal sendiri di rumah. Misalnya agar Koswara tidak melukis di sembarang tempat hingga menyisakan cat-cat di lantai. Atau agar Koswara tidak sembarangan memakai alat-alat fitnes jika dia tak tahu cara menggunakannya.***Aku terbang ke Surabaya bersama Doni, rekan sejawatku. Sebenarnya Doni arsitek junior, dia kaki tanganku di perusahaan, tetapi aku lebih nyaman berinteraksi informal seperti teman dengannya."Lagi kangen ponakan Man?" tany
Setelah akhir pekan kemarin bekerja keras, saatnya untuk senang-senang di akhir pekan yang akan datang. Kebetulan sekali Jenny dan Fitria mengajak kami untuk piknik bersama. Tentu saja aku dan Koswara. Anggap saja acara family gathering, katanya.Koswara tengah memakai bajunya setelah dia kembali 'bekerja profesional'. Dia datang padaku dalam keadaan bagian miliknya sudah berdiri tegak, entah dengan menonton film dewasa atau memang sudah waktunya bagian milik Koswara itu memuntahkan isinya. Yang jelas, dalam keadaan seperti itu, Koswara jadi tak perlu membuang banyak waktu untuk menanamkan benihnya di dalam rahimku. "Kos, akhir Minggu ini bikin makanan spesial bisa?" tanyaku setelah menggunakan kembali celana dalamku. Aku bahkan tak perlu menanggalkan seluruh pakaianku tadi. "Teh Manda, mau saya masak apa memang?" balas Koswara kembali bertanya. "Apa ya?" aku jadi bingung saat Koswara meminta pendapatku. "Jenny dan Fitria ngajakin kita piknik bareng. Anak-
"Ki-kita cuman tanya-tanya resep masakan sama si brondong, Man." ujar Fitria gugup. Jenny di sampingnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat, begitu juga Koswara yang tiba-tiba menduplikat gelagat Jenny. Ketiganya tampak begitu cemas saat aku melayangkan tatapan menelisik untuk beberapa saat. "Ya udah, oke! Terus masalahnya kenapa kalian gugup?" tanyaku lagi. "Gak gugup Man, kita cuman kaget aja tiba-tiba kamu nongol." sahut Jenny mengelak dengan gelak tawa yang di buat-buat. "Harusnya kalian bisa tunggu Koswara balik kan, kalau memang hanya tanya resep masakan." protesku mencari kebenaran. "Ya ampun Man, tengsin kali kalau ketahuan sama suami-suami kita." sahut Fitria berkilah dengan alasan tepat.Aku kembali melebarkan mata, mencari gerakan asing yang bisa ku sanggah. Meski akhirnya kalah dengan ketiganya yang mahir berkilah. "Ya udah, yuk balik!" ajak ku di iringi anggukan dan langkah kaki yang bergerak bersama.Je
Namaku Amanda William. Tadinya aku sudah tidak ingin di pusingkan dengan urusan laki-laki, toh hidupku sudah cukup bahagia sendiri. Karir ku bagus, aku sudah memiliki rumah sendiri meski tak mewah. Kendaraan pun aku punya meski bukan kendaraan wah. Nyatanya saat aku menikmati kesendirianku yang ke lima tahun ini, Ibuku malah terus-menerus menanyakan kabar hatiku. Berharap ada laki-laki yang menggantikan posisi Arjuna, mantan kekasih ku. Terlebih ocehan kedua sahabat baik ku Fitria dan Jenny yang sudah mendahuluiku berkeluarga semakin membuat kepalaku sakit. Menurutnya hidupku tak normal, sebab aku memilih untuk sendiri selamanya. Mereka ingin aku hidup normal katanya. Aku sudah melihat seorang perempuan cantik yang duduk memangku seorang bayi. “Ya ampun Jen, anakmu lucu sekali.” pujiku saat pertama kali melihat putra Jenny mengenakan kemeja rapi bak orang dewasa. Jenny memutar bola matanya, “
Matahari pagi ini begitu hangat menerobos kaca jendelaku hingga tepat menyentuh wajahku. Untunglah pagi ini badanku sudah lebih baik. Dokter Samudera memang selalu bisa di andalkan saat tubuhku rapuh. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphoneku berdering mendendangkan lagu New Rules milik Dua Lipa yang menjadi lagu favoritku. Nama Jenny yang nampak di layarnya. “Ya Jen, kenapa?” sapaku seraya mencecap teh manis pertamaku pagi itu. “Man ada yang mau di bicarakan sama Samudera.” jelas Jenny di sebrang telepon. Aku terdiam beberapa detik. Heran sebab tidak biasanya Samudera ingin bicara denganku. Untuk apa pikirku? Dan hal itulah yang langsung ku tanyakan pada Jenny. “Ada apa suami mu mau bicara denganku?” “Tentang kesehatan
I got new rules; I count 'emI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myselfI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myself Lagu favoritku berdering lagi, ada panggilan masuk dari Samudera. Ku biarkan handphoneku berdering beberapa detik. Aku masih butuh melakukan respirasi agar bisa tenang bicara dengan Samudera yang suaranya mendadak ku benci setengah mati. “Ya Sam.” “Amanda, hasil testnya sudah keluar. Kamu bisa ke klinik ku malam ini?” pinta Samudera bahkan tanpa basa-basi. Kalimat ini seperti perintah m
Aku melihat pantulan tubuhku dari cermin besar yang ku pasang di ruang fitness. Tubuh bugarku yang di basahi keringat, yang sama sekali tak menunjukan jika di dalamnya ada penyakit langka. Lagi ku putar tubuhku di depan cermin itu, ada pantulan tubuhku yang rapuh dan sakit-sakitan mengejutkanku. Aku terperanjat menghapus pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba menghantuiku. Bukankah sejak kecil aku gadis kuat? Bukankah aku gadis mandiri? Bukankah aku juga gadis pemberani? Aku akan melewati ini dengan mudah! Mantra-mantra positif yang coba ku jejalkan di kepala. Aku tak ingin terlena dalam duka. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphone ku berdering en