Matahari pagi ini begitu hangat menerobos kaca jendelaku hingga tepat menyentuh wajahku. Untunglah pagi ini badanku sudah lebih baik.
Dokter Samudera memang selalu bisa di andalkan saat tubuhku rapuh.
I got new rules; I count ‘em
I got new rules; I count ‘em
I gotta tell them to myself
I got new rules; I count ‘em
I gotta tell them to myself
Handphoneku berdering mendendangkan lagu New Rules milik Dua Lipa yang menjadi lagu favoritku. Nama Jenny yang nampak di layarnya.
“Ya Jen, kenapa?” sapaku seraya mencecap teh manis pertamaku pagi itu. “Man ada yang mau di bicarakan sama Samudera.” jelas Jenny di sebrang telepon. Aku terdiam beberapa detik. Heran sebab tidak biasanya Samudera ingin bicara denganku. Untuk apa pikirku? Dan hal itulah yang langsung ku tanyakan pada Jenny. “Ada apa suami mu mau bicara denganku?” “Tentang kesehatan mu Man.” balas Jenny lirih. Aku menaikan sebelah alisku tanpa sadar. Jawaban Jenny semakin membuatku heran sebab aku sudah merasa lebih baik bahkan berkerja seperti biasa. “Kesehatanku? Aku baik-baik saja Jen, aku bahkan akan ke kantor pagi ini. Ada apa sih Jen?” “Ya udah balik kantor ke klinik ya.” pinta Jenny selanjutnya. “Oke.”
Aku menggaruk pelipis mata yang tak gatal. Aku hanya sedang berpikir apa yang terjadi sebenarnya. Lirih suara Jenny seperti mengisyaratkan ada hal yang mengkhawatirkan pada diriku.
***
“Fit balik bareng yuk! Aku mau ke kliniknya Samudera.” pintaku sengaja mencekal Fitria hingga ke ruang kerjanya. Fitria tengah membereskan sisa-sisa kertas yang berserakan di meja kerjanya. “Ke rumah Jenny juga maksudnya?” tanyanya tanpa menoleh ke arahku. “Yap!” balasku cepat. “Kamu sakit Man?” tanya Fitria yang kini sudah beranjak dari kursinya. Kami pun berjalan melewati pantry, toilet, ruang fasilitas sampai akhirnya kami sudah di parkiran kantor. “Kemarin balik dari Surabaya aku gak enak badan, dari bandara aku ke kliniknya Samudera dan sekarang sih aku udah baikan. Tapi Jenny baru saja menelponku kalau ada yang harus di bicarakan sama Samudera.”
Fitria mengacungkan telunjuknya, memberi isyarat bahwa ia tengah mengabarkan suaminya via telpon.
Sebenarnya aku tak perlu meminta Fitria menemani ku, tapi rasanya kali ini aku tak ingin sendirian pergi. Ada rasa khawatir berkecambuk di hatiku. Apalagi jika aku ingat kembali bagaimana lirihnya Jenny berbicara padaku.
Fitria merogoh tasnya yang berbahan kanvas tebal. Mengacungkan kunci mobil di udara dan tersenyum. "Yuk Man!” “Pakai mobilku Fit, mobilmu biar tinggal di kantor. Kamu kan besok bisa di antar suamimu.” jawabku di iringi suara kunci mobil yang kembali di simpan Fitria ke dalam tasnya. “Oke!”
***
“Ada apa sih Sam? Kok aku jadi khawatir begini.” Samudera melirik Jenny saat melihat aku menerobos pintu klinik begitu saja. Aku benar-benar lupa sopan santun saking takutnya. Samudera menarik napas panjang sebelum berseloroh, “Manda, setelah kemarin aku ingat-ingat kembali gejala sakitmu, aku rasa aku harus memastikannya lebih dalam.” “Maksud mu?” tanyaku tak paham. Samudera mendengus halus. “Kamu mau kan test darah, test lumbal pungsi, Evoked potensial test dan MRI?” Aku mulai terkejut. Debaran jantungku mulai berkejaran tak menentu. Tubuhku terasa lemas seketika saat kata-kata asing itu menusuk telingaku sakit sekali. “Kenapa banyak sekali test Sam? Ada apa sebenarnya?” “Itu memang harus di lakukan supaya aku tidak gegabah saat mendiagnosis nanti Man. Aku harap diagnosis ku saat ini salah, tapi untuk meyakinakannya kamu harus menjalani test-test itu." jawab Samudera segera.
Aku masih terdiam. Rasa takut seketika menjalar keseluruh tubuhku. Membuatku sulit untuk bergerak. Bahkan bernapas saja terasa tersegal. “Oke, aku akan coba mengambil cuti dari kantor secepatnya.” balasku lirih. Jenny dan Fitria sudah sejak tadi di sampingku. Sekedar memberi kekuatan padaku yang masih sangat shock. “Oke Man, aku akan mempersiapkan test-test itu dengan temanku.” balas Samudera menepuk bahuku. Kemudian berlalu meninggalkan aku, Jenny dan Fitria.
Ada takut yang kini mengetarkan seluruh tubuhku. Aku merasa pelupuk mataku sudah penuh ada cairan bening yang melesak ingin keluar darinya. “Man, jangan terlalu di pikirkan! Kita akan lakukan yang terbaik buat kamu.” Jenny kembali memeluku saat ia melihat aku membatu di tempatku berpijak. “Ya ampun Man, kamu kenapa sebenarnya? Kok aku jadi takut Man.” Fitria bergabung memeluk kami.
***
Dalam mobil aku tak bisa berkonsentrasi mengemudi, jalanan yang ku lihat terlihat menghitam dan mengecil. Aku merasa mengemudi di dalam gua yang sangat gelap dan jauh. “Man, kamu jangan langsung berpikir negatif ya sama pernyataan Samudera. Pokoknya kamu gak boleh drop Man. Kamu harus semangat, apapun yang terjadi. Aku sama Jenny pasti akan di samping kamu.” beber Fitria menggengam tanganku menenangkan. Aku yang saat itu rapuh, genggaman tangan Fitria seperti besi yang membuatku lebih kuat. “Aku beruntung punya kalian, Fit”
Tik tok tik tok
Suara nada dering handphone Fitria mengagetkanku.
“Jadi!” teriak Fitria membungkam mulutnya yang menganga selepas membuka pesan yang masuk ke handphonenya. Aku seketika menoleh pada Fitria. “Kenapa Fit?” tanyaku penasaran. “Itu Lexi Man.” jawab Fitria yang menggantung membuatku semakin penasaran. Aku mengerutkan dahi atas jawaban menggantung dari Fitria. “Kenapa Lexi?” “Biasa bapaknya kalau jagain anak gak pernah bener. Jadi Lexi rewel.” balas Fitria yang masih sibuk dengan handphonenya. “Oh.”
***
Aku segera bersiap mengambil kunci mobilku, mengunci rumah yang akan aku tinggalkan seharian. Bukan untuk bekerja tetapi untuk menjalani test-test yang sudah di persiapkan Samudera. Ya Samudera mempersiapkan nya untukku karena baginya pun aku sudah seperti keluarga yang akan ia bantu sebaik mungkin. “Gimana Man sudah siap?” tanya Samudera yang sudah terduduk di sampingku memasangkan sabuk pengaman miliknya. Aku mengangguk pelan dan melambaikan tanganku pada Jenny yang berdiri di balik pintu. “Semoga hasilnya bagus ya Jen, dan aku memang hanya Kecapekan aja.” seruku di iringi anggukan pelan Jenny. “Mas lakukan yang terbaik untuk Amanda ya. Aku titip Amanda Mas!” pinta Jenny pada Samudera yang di balas dengan acungan jempol dua. “Makasih ya Sam, aku beruntung punya kalian. Aku percayakan semuanya padamu Sam!”
Aku pun memacu kendaraanku sesuai arahan Samudera. Aku di bawanya ke sebuah klinik laboratorium yang terlihat besar dan modern. Aku sendiri tak mengerti akan seperti apa pemeriksaannya. Ini akan jadi pengalaman pertamaku sebab aku cukup sehat sejak kecil bahkan hingga saat ini, karena aku masih rajin berolahraga dengan alat fitness sederhana di rumahku.
Ku arahkan kemudi untuk berbelok kiri saat Samudera menunjukanku sebuah bangunan mewah yang ku pikir gedung perkantoran sebelumnya. “Man ini klinik sekaligus laboratorium milik temanku, di sini mereka akan mengambil sample darah mu, melakukan MRI dan mengambil sample cairan serebrospinal mu.” jelas Samudera yang segera ku pahami.
***
Tangan kiriku masih sibuk menelan kapas yang di tempel di lengan kananku. Sisa darahnya masih segar. Aku pun mulai merasa sakit di bagian tulang punggung bagian bawahku selepas jarum suntik berhasil menancap di sana.
“Kapan hasil testnya akan keluar Sam?”
“Semua hasil testnya akan keluar 2 hari Man. Akan aku kabari kamu setelah hasil testnya sudah di tanganku.” jawab Samudera yang sudah duduk di sampingku. Aku mengangguk pelan. “Oke. Terima kasih Sam.”
Samudera tersenyum, dia mengelus pundak ku dan berkata, “Tidak perlu begitu Man, kamu adalah keluarga Jenny. Aku tentu saja akan senang bisa membantumu.” sebuah kalimat semangat yang ku balas dengan senyum terbaikku. Aku tak bisa membalas kebaikan Samudera samoai di tahap ini.
Aku melanjutkan konsentrasiku mengemudi sampai ku antar Samudera tepat di halaman depan kliniknya. Kemudian Aku pamit pada mereka agar bisa segera pulang dan beristirahat sejenak.
***
Ku banting tubuhku merebah di atas tempat tidurku. Pikirkan ku melayang bagaimana mungkin aku sakit sampai-sampai harus melewati tiga test yang menyakitkan.
Aku memang menjadi perokok akhir-akhir ini, tapi aku masih bisa mengontrol jumlah rokok yang ku hisap setiap harinya.
Lalu saat pikiranku melayang jauh dan dalam bayangan itu ibuku muncul. Ibu adalah orang terpenting di hidupku. “Hallo Bu, Ibu apa kabar?” “Ibu baik Nak. Kamu bagaimana di Jakarta?” balas ibu dengan suara yang nyaring. Aku jadi merasa tenang mendengarnya. Setidaknya ibu terdengar sehat.
“A-Aku baik Bu.” aku tak mungkin mengatakannya, itu akan membuat ibu khawatir berlebihan. “Aku kangen Ibu.” tambahku lirih. Ada sesak yang aku tahan di dadaku. Sesak kerinduan yang bercampur kekhawatiran. “Ibu juga kangen Nak.” balasnya segera.
“Ibu kapan mau tinggal sama Amanda di Jakarta? Eyang sudah gak ada Bu, apalagi yang Ibu tunggu di sana Bu?” cerocosku pada ibu yang masih juga enggan tinggal bersamaku di Jakarta.
“Ya udah Ibu hati-hati ya di sana. Jaga kesehatan.” “Nduk sebentar, apa sudah ada calon mantu Ibu?” tanya ibu saat aku hendak memutuskan sambungan telpon. Pertanyaan sama yang tak pernah bosan beliau lemparkan. “Masih di cari Bu.” balasku singkat.
“Kamu itu setiap kali di tanya calon mantu jawabnya masih cari terus. Kamu sebenarnya memang tidak pernah mencarinya. Kamu lupa usia mu baru saja menyentuh kepala tiga Nak.” cerocos ibu yang juga sudah mulai ku hafal sejak setahun belakangan. "Memang masih di cari Bu." jawabku yang juga bosan dengan kalimat itu.
“Ya sudah Nak, kamu jaga diri ya Nak.”
Tiit tiit tiit
Sambungan telepon pun terputus.
Rasanya aku sudah lebih baik setelah mendengar suara ibuku. Ibu yang selalu mengulang alasan-alasan agar aku segera menikah. Katanya, ia tak ingin melihatku sendiri seumur hidup karena aku memang anak tunggal. Ibuku yang tidak pernah menikah lagi selepas di tinggalkan papa begitu saja. Katanya lagi, ibu masih berharap papa kembali meski dalam hati terdalamnya ia tahu persis papa tak akan pernah kembali padanya. Dengan polosnya ibu berpikir bahwa ia masih isteri sah papa ku, karena mereka tidak pernah bercerai.
Aku sendiri tak pernah mengenal sosok papa, hanya dari cerita-cerita ibu saja yang kemudian ku bayangkan dengan imaginasiku sendiri. Pun hanya ada beberapa photo usang papa yang ku simpan aman. Menurut cerita ibu, papa itu warga negara Inggris yang pernah menetap di salah satu hotel di Yogyakarta hingga akhirnya mereka bertemu dan saling jatuh cinta lalu menikah. Sialnya setelah ibu mengandungku, keluarga papa di Inggris tidak menerima kehadiranku dan ibu sebagai keluarganya. Hal itu pula lah yang membuat papa di paksa pulang ke negaranya, meninggalkan aku dan ibu begitu saja.
***
Bersambung...
I got new rules; I count 'emI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myselfI got new rules; I count 'emI gotta tell them to myself Lagu favoritku berdering lagi, ada panggilan masuk dari Samudera. Ku biarkan handphoneku berdering beberapa detik. Aku masih butuh melakukan respirasi agar bisa tenang bicara dengan Samudera yang suaranya mendadak ku benci setengah mati. “Ya Sam.” “Amanda, hasil testnya sudah keluar. Kamu bisa ke klinik ku malam ini?” pinta Samudera bahkan tanpa basa-basi. Kalimat ini seperti perintah m
Aku melihat pantulan tubuhku dari cermin besar yang ku pasang di ruang fitness. Tubuh bugarku yang di basahi keringat, yang sama sekali tak menunjukan jika di dalamnya ada penyakit langka. Lagi ku putar tubuhku di depan cermin itu, ada pantulan tubuhku yang rapuh dan sakit-sakitan mengejutkanku. Aku terperanjat menghapus pikiran-pikiran negatif yang tiba-tiba menghantuiku. Bukankah sejak kecil aku gadis kuat? Bukankah aku gadis mandiri? Bukankah aku juga gadis pemberani? Aku akan melewati ini dengan mudah! Mantra-mantra positif yang coba ku jejalkan di kepala. Aku tak ingin terlena dalam duka. I got new rules; I count ‘em I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself I got new rules; I count ‘em I gotta tell them to myself Handphone ku berdering en
“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus. Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan. Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju? Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-
Kami pun duduk bersama di ruang tengah, aku dan Koswara duduk berdampingan, sementara ibu duduk di hadapan kami. Di antara aku dan ibu hanya tersekat meja bambu persegi panjang. “Jadi Bu, Koswara ini calon ku, kita mau menikah secepatnya, di sini." “Loh loh loh ada apa ini Manda, gak ada angin gak ada hujan kamu tiba-tiba datang ke sini membawa lelaki lalu akan menikahnya di sini. Ibu gak mengerti ini.” “Bu kok gak ngerti sih, kan Ibu sendiri yang selalu nanyain calon mantu. Ini aku bawa calon mantu Ibu.” “Ya memang Ibu sengaja jengkelin kamu nanya calon mantu terus, ya itu supaya kamu cepet nikah loh Nak. Tapi ya Ibu gak terpikir akan mendadak seperti ini juga.” “Mau nunggu sampai kapan Bu, usiaku sudah tiga puluh tahun. Jadi lebih cepat lebih baik kan?” “Ya betul Nak. Tapi....” “Bu, mohon maaf kalau kedatangan saya terlalu mendada
Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu. Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara. “Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya. Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham. Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku. Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi