Ah akhirnya aku sampai di rumah. Rumah hasil keuletanku dalam bekerja, rumah bertema industrial yang aku gambar dan ku bangun sendiri, pun rumah yang menjadi saksi betapa kacaunya aku saat berpisah dengan Arjuna dulu.
Aku berlari bak hembusan angin, meninggalkan Koswara yang masih sibuk mengemas barang-barangnya dari bagasi mobilku yang tak besar. Ku banting tubuhku sembarang di atas sofa marun empuk yang membuatku sedikit terlempar di udara.
“Permisi.” suara Koswara lirih sedikit membungkukkan badannya.
Koswara melangkah kan kakinya perlahan, melirik ke kiri dan ke kanan seperti ingin menyebrang jalan. Entah apa maksudnya. Aku tak paham.
Aku mengulum senyum melihat Koswara celangak-celinguk. “Masuk Kos sini, duduk dulu! Capek banget uuuuff.” pintaku.
Ku paksa tubuhku beranjak, saat Koswara meletakan diri di atas sofa marun lainnya di sebrangku.
“Saya gak ada ART Kos, jadi semuanya di kerjain sendiri. Paling pake aplikasi online go-bersih untuk bantu bersih-bersih atau go-makan kalau lagi malas masak.” terangku sudah berada di pantry yang masih satu ruangan besar dengan ruang tamu.
Aku hanya meletakan lemari yang tak terlalu besar untuk menyekat pantry dan ruang tamuku. Ini ku lakukan karena pantry adalah dapur bersih yang bisa pula di gunakan sebagai ruang mengobrol di temani makanan ringan atau minuman.
Koswara mengangguk, mengamini ucapanku. “Gak apa-apa Teh, nanti biar saya yang urus rumah. Urusan bersih-bersih mah gampang!”
Aku meneguk air mineral dingin di tangan. “Aku memang mau ngebahas itu Kos sama kamu.” ungkapku meninggalkan pantri dengan botol air mineral dan gelas.
“Bahas apa Teh?” tanya Koswara datar.
Koswara masih tak berkutik dari posisi duduk yang mengapit telapak tangan di antara kedua lututnya, di saat aku menghampirinya dan meletakan botol air mineral dingin di atas meja tepat di hadapannya, ku letakan itu lengkap dengan gelasnya.
Aku segera meraih tas kulit hitam be merk Zoro yang tergeletak di lantai saat aku membanting tubuh sembarang di atas sofa marun kesayanganku. Ku tarik selembar kertas beserta bolpoin hitam dari map plastik tebal yang selalu ku jejalkan ke dalam tas itu.
Aku pun mengubek tas kulit hitam yang ku beli dari Singapura tiga tahun yang lalu, ku keluarkan amplop persegi panjang berwarna coklat yang isinya ku ambil dari beberapa mesin ATM bank dalam perjalanan ke Jakarta. Ya, karena hari ini weekend semua kantor bank tentu saja libur sedangkan menarik tunai dari mesin ATM juga ada batas nominalnya, itu mengapa aku harus menariknya darı beberapa mesin ATM dari nomor akun yang berbeda bank pula.
“Ini lima puluh juta rupiah Kos, ini adalah pembayaran awal untuk sewa kamu sampai saya hamil nanti. Jadi setelah nanti saya benar-benar positif hamil, saya akan lunasi sisa lima puluh juta lainnya dan kamu bisa pulang.” beberku seraya mengulurkan amplop coklat persegi panjang tersebut pada Koswara.
Mata Koswara berbinar, menerima uang tunai itu. “Kesimpulannya kalau Teh Manda lebih cepat hamil, waktu sewa saya juga lebih cepat selesai ya Teh?” katanya berasumsi benar.
“Tepat sekali! Karena tujuan utama saya kan itu. Dan saya akan mengurus perceraian kita setelah saya melahirkan nanti.” “Kenapa mengurus perceraian setelah melahirkan Teh?” sahut Koswara cepat, sesaat setelah aku menyelesaikan kalimatku.
Aku melakukan respirasi sekali, “Pertama supaya ibu gak kaget, kedua supaya nantinya saya tidak di pusingkan dengan urusan pengadilan di masa kehamilan. Saya ingin lebih banyak konsultasi dengan Dokter mengenai penyakit saya dan kehamilan saya nantinya. Ketiga saya pikir jika bercerai di masa kehamilan, pengadilan akan lebih sulit memutuskan. Meskipun untuk ini saya belum yakin sih, ini hanya persepsi saja.” cerocosku menjelaskan detail rencana-rencanaku kedepan.
“Siap Teh, saya mengerti!” aku Koswara mengacungkan jempol tangannya di udara.
“Kita tidak perlu berlebihan dengan perjanjian ini Kos. Saya tidak akan meminta tanda tangan basah di atas materai, saya percaya sama kamu. Lagipula saya juga tidak mau terlalu kaku. Kita jalani saja santai, yang penting kamu mengerti tujuan utama kamu di sini untuk apa." tambahku lagi.
Koswara kembali mengangguk seraya mengacungkan kembali jempolnya.
“Kamu udah dewasa dong dengan masalah ini, maksud saya jangan bilang kamu gak tau caranya berhubungan seks!” sindirku memicingkan mata sebelah. “Eit tenang Teh, pokoknya saya gak akan mengecewakan Teh Manda. Sekali jos pasti langsung dung!” Koswara berkelit angkuh. Tangannya mengepal lalu di acungkan ke udara seperti sedang akting iklan obat kuat pria.
Aku tak bisa menahan untuk tidak tertawa melihat tingkah lucu Koswara. Ternyata bukan hanya usia kami yang jauh berbeda, kepribadian kami pun jomplang.
“Inget satu lagi Kos. Jangan pake perasaan! Karena yang kita butuhkan hanya seks bukan bercinta. Kamu ngerti kan maksud saya?” pintaku menggoyangkan jari telunjuk di iringi anggukan Koswara mengerti.
Aku mengulurkan selembar kertas ukuran A4 yang sudah ku tulis lengkap kalimat tanda terima uang tunai senilai lima puluh juta rupiah. Koswara hanya butuh menanda tanganinya saja.
***
“Semacam kawin kontrak gitu?” tanya Fitria membelalakan matanya di iringi pergerakan alis mata yang mendekat satu sama lain. Aku mengangguk. “Kurang lebih begitu.” jawab ku dingin bersahutan dengan suara kriuk-kriuk keripik pisang renyah yang sedang ku kunyah.
“Gila kamu Man!” kali ini giliran Jenny geleng-geleng kepala seraya menyandarkan punggungnya kasar ke tepian sofa restoran yang melingkar.
Fitria dan Jenny saling melempar pandangan dengan mimik wajah terkaget-kaget. “Kalian ini kenapa? Heboh banget, kek denger kabar bencana alam aja.” balasku santai.
Fitria melipat tangannya di dada. “Kita gak nyangka aja, kamu Amanda William yang aku kenal lima belas tahun ini adalah orang yang teliti pake banget malah, tapi bisa ngambil keputusan penting secepat ini segegabah ini.” “Siapa bilang aku gegabah Fit? Keputusan ini udah aku pikir masak-masak. Kamu pikir bagaimana lagi cara seorang jomblo akut agar bisa hamil?Aku hanya punya dua pilihan, mencari donor sperma atau yang saat ini aku jalani.” terangku mengacungkan tangan yang membentuk huruf V sebagai isyarat kalimatku.
“Tapi kan Man, gak keduanya juga. Kamu bisa punya pacar dulu. Kamu menikahlah bener-bener." sanggah Jenny dengan posisi duduk menyilangkan kakinya. "Maksud aku kamu bisa kan melakukannya dengan orang yang kamu suka, gak sewa orang asing buat tidur sama kamu. Ini sih gila!" lanjut Jenny kembali menggelengkan kepalanya. "Kamu ini masih punya banyak waktu, kan?!” tambahnya lagi.
Aku mendengus kasar. “Nunggu aku jatuh cinta terus pacaran bisa keburu mati aku Jen, uufff udah gak ada waktu! Lebih cepat lebih baik dong untuk kesembuhanku.” aku berkilah santai. Melanjutkan mengunyah makanan lain yang tersaji di atas meja di hadapannku.
“Tapi kan Manda, kamu liat sendiri kan tuh anak sama kita aja cium tangan kek ke tantenya aja. Aku gak kebayang aja, bener-bener gak logis.”
Aku jadi terbahak sendiri saat mengingat Koswara menyalami Jenny dan Fitria dengan mencium punggung tangan keduanya tanpa canggung. Sementara kedua sahabat ku itu hanya bengong terkaget-kaget. “Hahaha, dia itu kebiasaan cium tangan sama orang yang lebih tua.”
“Man kamu yakin bisa melakukannya?” lirih Jenny bertanya lagi, suaranya sayu. Tangannya menepuk pahaku yang di balut jeans belel tepat di bagian lututnya. Dari sorot matanya aku bisa merasakan ia tengah mengkhawatirkan ku.
“Gampang aja Jen, aku tinggal terlentang kok. Dia nanti yang akan kerja dan aku memang bayar dia buat itu. Aku udah gak mau jatuh cinta jatuh cintaan."
penjelasan akhirku membuat Jenny dan Fitria geleng-geleng kepala. Mereka lama sekali saling menatap seperti sedang mengasihaniku.
Selama beberapa menit kami pun sibuk dengan makanan masing-masing, aku menyantap nasi goreng spesial dengan telur mata sapi di temani es teh manis sedangkan Jenny dan Fitria memilih menu yang sama yakni bakso spesial dengan pangsit dan tahu di dampingi es jeruk.
Dari jarak sepuluh meter, kulihat Koswara masih sibuk bermain dengan Alex dan Lexi di tempat khusus bermain anak yang di sediakan management mall.
“Kenapa harus dia Man?” Jenny lagi-lagi mulai mencecarku saat mangkok bakso yang penuh cabai itu hanya menyisakan beberapa sendok kuah.
“Random karena gak nemu yang pas waktu itu, terus Koswara juga tertarik saat dia tahu upahnya seratus juta. Ku pikir dia sedang membutuhkan uang. Lagian dia seperti orang baik, jadi harapanku sih dia tidak akan mencari kesempatan dalam kesempitan.”
"Emang ganteng sih, tapi kekanak-kanakan nya itu loh. Duh...." Fitria mengepalkan tangannya gemas.
"Namanya juga brondong Fit!" jawabku santai seraya mengangkat suapan terakhirku.
***
Bersambung...
Baru saja ku buka pintu kamar tidurku, bau wangi yang menggugah selera menusuk hidungku. Jelas saja aku tau siapa pelakunya. Aku berjalan turun dari kamar ku di lantai dua menuju dapur, penasaran rasanya apa yang di masak Koswara hingga bau nya membuat isi perut meronta seketika. Tanganku masih sibuk mengikat arloji, "Bau nya enak banget Kos, masak apa kamu?" "Eh Teh Manda, selamat pagi Teh. Nih saya siapkan sarapan spesial." katanya mengulurkan sepiring penuh nasi goreng lengkap dengan kerupuknya. Sayangnya ada butiran-butiran sayur hijau dengan bau menyengat. Itu Pete. Dan aku tidak menyukainya. "Yah Kos, aku gak suka pete. Kamu bikin nasi goreng polos gak?" "Oh maaf Teh saya gak tau, kalau mau saya buatkan sekarang Teh." "Gak usah Kos, setengah jam lagi saya udah harus pergi ke kantor. Gak apa-apa
Aku perhatikan dengan seksama, Koswara menunjuka gelagat asing, ada perasaan yang ia sembunyikan dariku. Entahlah. Aku hanya menerka dari jemari tangannya yang panjang ia lipat satu dengan lainnya. Matanya pun terlihat kabur tak berfokus. Ada keragu-raguan yang sangat jelas ketara di setiap gerak-geriknya yang minim. “Kos kamu kenapa? Sejak saya bilang kita akan melakukannya, sikap kamu jadi aneh.” Koswara melirikku sebelum menundukan kepalanya dan telapak kaki yang tak berhenti ia gerakan. Aku yang sibuk di belakang kemudi mulai merasakan kebimbangan Koswara. “Sa-saya deg-degan Teh.” lirih Koswara yang membuatku tertawa seketika. Benar, aku tertawa jelas sekali tepat setelah Koswara mengungkapkan perasaannya, itu karena Koswara begitu polos dan lucu. Dengan tenang aku berkata, “Kan saya udah bilang sama kamu, jangan pake perasaan. Jadi kamu sebetulnya gak ada alasan untuk gugup.”
Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat? Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku. Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari. Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala. “Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja Koswara! Enteng sekali kamu bicara tidak bisa melakukannya setelah menyombongkan diri akan professional. Kamu sudah terlanjur masuk di kehidupanku dan ibu. Dia mungkin bisa bermain-main dengan perasaanku, tapi dengan ibuku, aku tak akan membiarkannya secepat itu." monologku tercekat. Sakit sekali saat seperti ini tiba-tiba bayangan ibu datang. Berkali-kali aku memukul kemudi hanya untuk melepaskan kesal yang bercokol di hati. "Jika bukan karena ibu, sudah ku tendang kau semalam. Hanya membuat kepalaku semakin pening saja.” kali ini aku sudah menahan emosi. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan mengoceh sendiri, seperti membenarkan teori gila pada kitab-kitab lama. “Dasar bocah tak berguna! Impoten!” “Bagaimana bisa aku di permainkan oleh pria seperti Koswara? Sebodoh itukah aku sekarang?” Pagi ini, mobil sedan putihku sudah sesak
Matahari sudah meninggi, sinar hangatnya sudah terasa panas menyengat sejak tadi. Dan aku masih betah membenamkan wajahku di bawah bantal untuk kembali meraih alam mimpi. 'You just want attention, you don't want my heart Maybe you just hate the thought of me with someone new' Aku terpaksa beranjak saat ponselku berdendang lagu milik Charlie Puth yang baru saja ku setel sejak tiga hari lalu. “Ibu! Apa kabar, Bu?” sapaku saat layar ponsel pintarku menampilkan namanya. “Ya ampun Manda, sudah jam setengah sebelas siang ini kamu masih tidur. Keterlaluan kamu ini Man!” seru ibu mengabaikan pertanyaanku tentang kabarnya. Dahiku berkerut sementara alisku meninggi dari tempatnya. “Aku baru bangun Bu, kalau masih tidur mana bisa jawab telpon.” Ibu berdecak. “Ya apalah itu Nak. Intinya kamu ini kan sudah jadi istri orang, mana bisa bangun sesiang ini. Suamimu keman
‘Tok tok tok’ Suara pintu yang di ketuk, nyaring sekali. Aku terlempar keluar dari alam mimpi seketika, padahal saat itu aku tengah bermimpi indah khas 'orang dewasa'. Sial memang! Padahal untuk seorang jomblo sepertiku mimpi langka itu tentu sangat di nantikan. Ralat! Statusku saja yang bersuami nyatanya perasaanku masih kosong melompong persis seorang jomblo. Ku lirik jam dinding putih berdiameter satu meter yang menggantung di kamar tidurku. Jam dinding tiga dimensi yang jarum pendeknya masih di angka enam, sementara jarum panjangnya bertahan di angka dua belas. "Ternyata Koswara tepat waktu juga!" desisku menatap perputaran detik yang bergerak cepat. Ku buka tirai kamar tidurku yang sudah sedikit hangat dengan pancaran sinar matahari yang kemarin sempat aku lewatkan dengan sengaja. Kemarin suasana hatiku sedang anjlok jadi aku tak minat untuk beraktifitas. Sementara Minggu pagi ini aku sudah punya kesep
Koswara tengah sibuk dengan cat warna-warni yang berceceran di lantai, sementara pintu ruangan pribadinya terbuka begitu saja, membuat aku dengan mudahnya melesak ke sana. Lagi-lagi aku menikmati keindahan karya seni tangan dingin Koswara yang melenakan mata. Tak ingin beranjak begitu saja, ku sandarkan tubuhku di ambang pintu tanpa ingin menggangu konsentrasinya. Menyaksikan setiap gerakan kecil yang menghasilkan karya indah nan nyata. ‘Praaak!’ Kuas tipis di tangannya terjatuh ke lantai, saat Koswara terkejut dengan kehadiranku. “Maaf Kos! Saya gak bermaksud ngagetin kamu. Iseng aja mau lihat kamu gambar.” "Mau jemput Mak Edah jam berapa Kos?" tanyaku kemudian setelah Koswara melanjutkan gambarnya. Koswara melirik jam beker hitam berbentuk motor di nakasnya, "Jam delapan malam Teh. Nanti sekalian jemput Ibu juga di stasiun." Aku mengangguk kecil