Matahari sudah meninggi, sinar hangatnya sudah terasa panas menyengat sejak tadi. Dan aku masih betah membenamkan wajahku di bawah bantal untuk kembali meraih alam mimpi.
'You just want attention, you don't want my heart
Maybe you just hate the thought of me with someone new'
Aku terpaksa beranjak saat ponselku berdendang lagu milik Charlie Puth yang baru saja ku setel sejak tiga hari lalu.
“Ibu! Apa kabar, Bu?” sapaku saat layar ponsel pintarku menampilkan namanya.
“Ya ampun Manda, sudah jam setengah sebelas siang ini kamu masih tidur. Keterlaluan kamu ini Man!” seru ibu mengabaikan pertanyaanku tentang kabarnya.
Dahiku berkerut sementara alisku meninggi dari tempatnya. “Aku baru bangun Bu, kalau masih tidur mana bisa jawab telpon.”
Ibu berdecak. “Ya apalah itu Nak. Intinya kamu ini kan sudah jadi istri orang, mana bisa bangun sesiang ini. Suamimu keman
‘Tok tok tok’ Suara pintu yang di ketuk, nyaring sekali. Aku terlempar keluar dari alam mimpi seketika, padahal saat itu aku tengah bermimpi indah khas 'orang dewasa'. Sial memang! Padahal untuk seorang jomblo sepertiku mimpi langka itu tentu sangat di nantikan. Ralat! Statusku saja yang bersuami nyatanya perasaanku masih kosong melompong persis seorang jomblo. Ku lirik jam dinding putih berdiameter satu meter yang menggantung di kamar tidurku. Jam dinding tiga dimensi yang jarum pendeknya masih di angka enam, sementara jarum panjangnya bertahan di angka dua belas. "Ternyata Koswara tepat waktu juga!" desisku menatap perputaran detik yang bergerak cepat. Ku buka tirai kamar tidurku yang sudah sedikit hangat dengan pancaran sinar matahari yang kemarin sempat aku lewatkan dengan sengaja. Kemarin suasana hatiku sedang anjlok jadi aku tak minat untuk beraktifitas. Sementara Minggu pagi ini aku sudah punya kesep
Koswara tengah sibuk dengan cat warna-warni yang berceceran di lantai, sementara pintu ruangan pribadinya terbuka begitu saja, membuat aku dengan mudahnya melesak ke sana. Lagi-lagi aku menikmati keindahan karya seni tangan dingin Koswara yang melenakan mata. Tak ingin beranjak begitu saja, ku sandarkan tubuhku di ambang pintu tanpa ingin menggangu konsentrasinya. Menyaksikan setiap gerakan kecil yang menghasilkan karya indah nan nyata. ‘Praaak!’ Kuas tipis di tangannya terjatuh ke lantai, saat Koswara terkejut dengan kehadiranku. “Maaf Kos! Saya gak bermaksud ngagetin kamu. Iseng aja mau lihat kamu gambar.” "Mau jemput Mak Edah jam berapa Kos?" tanyaku kemudian setelah Koswara melanjutkan gambarnya. Koswara melirik jam beker hitam berbentuk motor di nakasnya, "Jam delapan malam Teh. Nanti sekalian jemput Ibu juga di stasiun." Aku mengangguk kecil
Pagi ini mataku perih sekali untuk ku buka sebab seharusnya dalam semalam aku tak boleh kurang tidur dari delapan jam, karena jika sampai itu terjadi aku akan kesulitan membuka mata jika tak di paksa. Kadang kepalaku juga pening dan berat, akibatnya aku jadi sulit konsentrasi untuk bekerja. Persis seperti pagi ini! Aku memang si kerbau yang kuat tidur. Ku raba tempat tidur di sampingku yang sudah kosong dan dingin spreinya, tanda jika penghuninya sudah lama bangkit. Entah kemana! *** Saat menuruni anak tangga menuju lantai bawah aku mengulum senyum. Aku hafal sekali bau ini, setelah dua hari tak menciumnya. Tepat sekali! Nasi goreng pete yang sekarang jadi daftar menu sarapan terfavorit. "Pagi Bu, pagi Mak! Gimana nyenyak tidurnya?" sapaku saat ku lihat semua orang sudah duduk manis di meja makan. Bukannya menjawab Ibu justru mendengus kesal, "Kam
Aku kesulitan untuk berhenti tertawa jika saja ku ingat betapa tak berkutiknya Koswara di meja makan tadi. Semakin mencoba untuk berhenti, bayangan kekalahan Koswara semakin menghantui, lucu sekali! Meski kami tidak pernah terang-terangan menabuh genderang pertandingan, nyatanya aku dan Koswara seperti berlomba mendapatkan perhatian dari kedua orang tua kami.Bahkan saat Koswara sudah masuk ke kamarku dengan muka yang ditekuk jelek sekali aku masih saja menertawakannya. Koswara membanting tubuhnya, membuat aku yang sedari tadi terduduk di kepala ranjang terangkat ke udara untuk sepersekian detik. Wajah Koswara merah padam, rahangnya menguat bahkan suara giginya mengerat keras. Ini adalah ekspresi lain yang baru ku pelajari dari Koswara yang selalu berbangga dengan senyum ramahnya.Koswara mendengus sebelum kemudian dia berkata, "Teh Manda seharusnya tidak perlu membuka urusan ranjang kita kepada orang lain."Aku mengangk
AmandaKos saya minta maaf.Kulirik pesan singkat yang ku kirim pada Koswara di sela-sela jalanan yang padat tergolong macet. Garis centangnya sudah berubah warna dari putih menjadi biru, tapi Koswara tak membalas apapun. Padahal status dia juga sedang online. Aku jadi gelisah pulang ke rumah.Akhirnya aku sampai juga di rumah, meski sebelum turun aku kembali melirik layar handphoneku berharap ada balasan dari Koswara yang bisa memberiku isyarat tentang perasaannya. Masih marahkah dia padaku? Apa dia memaafkanku?Ah pertanyaan konyol itu hanya membuat kepalaku sesak saja. Seharusnya aku tak perlu terlalu risau, biarkan saja Koswara dengan perasaanya. Selama dia tidak membocorkan hubungan kami, perasaan Ibu tentu akan tetap baik-baik saja.Tak ada siapapun yang datang menyambutku, kemana semua penghuni rumah ini?Hingga aku sudah melewati pintu utama, tak ada satupun
Perjalanan tiga puluh lima menit yang hanya di habiskan untuk diam. Bukan hanya Koswara yang diam, aku juga! Lebih tepatnya aku tak tahu harus mengangkat topik apa setelah kejadian yang membuat hubungan kami canggung, lagi! Hingga mobil terparkir sempurna di teras rumah kami kembali ke kamar masing-masing. Aku segera menguyur tubuh telanjangku dibawah shower yang sudah ku setel suhunya. Menghilangkan debu dan keringat yang menempel sejak siang hari aku dan Koswara mengantar orang tua kami. Tiba-tiba saja ada benda asing yang menarik perhatian mataku. Benda asing yang satu minggu ini ada disana. Meski hanya sebotol shampo mentol dan sebotol sabun mandi dengan wangi yang sama tetap saja aku mengenalinya, sangat! Apalagi berjejer dengan peralatan mandiku yang jauh lebih banyak jenisnya. Setelah ini aku harus mengembalikan dua botol itu pada empunya! *** Aku berlari menurun
Matahari sudah menghilang di bawah garis cakrawala sebelah barat, cahaya jingga indahnya melesak ke sudut-sudut rumah. Sejak Koswara mengurung diri di kamarnya, aku memilih untuk sibuk sendiri dengan melakukan video call dengan sahabat-sahabatku, menelpon Ibu dan Mak Edah hingga berguling-guling di depan TV kemudian terlelap di sana beberapa jam lamanya. Tak lama lagi malam menyapa, aku sedang memerhatikan ponselku yang tengah menyala menampilkan berbagai resep-resep makanan yang mengugah selera. Aku memang belum memutuskan akan masak apa, sebab mungkin saja Koswara sudah punya rencana untuk makan malam kami. Aku hanya menyimpan beberapa resep yang menurutku mudah dan lezat untuk ku tunjukan pada Koswara. Koswara berdiri di belakangku, dengan segelas air putih di tangannya, "Teh Manda mau memasak?" tanyanya yang melihat layar ponselku menampilkan berbagai photo makanan. Aku menoleh ke b
Pagi ini aku tak bangun dari tempat tidurku yang empuk dengan ranjang yang tinggi, tapi dari lantai ruang TV beralaskan karpet tebal dengan tubuh polos terekspos. Mataku masih perih sebenarnya, kepalaku pun masih terasa pening. Jika di hitung-hitung aku hanya tidur empat jam semalam. Aku beranjak untuk pergi ke atas tanpa peduli dengan pakaianku. Lagi pula siapa yang akan melihatku selain Koswara! Aku segera mandi menguyur seluruh tubuhku dengan air hangat yang keluar dari shower yang suhunya sudah kuatur. Butuh waktu setengah jam untuk membersihkan seluruh tubuhku. Hingga aku selesai bersiap, aku menuruni tangga menuju dapur seraya memasangkan arlogi di tangan. Kegiatan serupa yang selalu ku lakukan setiap hari kerja. Koswara menyambutku di dapur dengan senyum semuringah, "Nasi goreng pete!" serunya dengan wajan yang sudah terangkat dari tunggu api. "Teh Manda kalau sudah bosan bilang ya, nanti s