Hari ini mood bekerjaku sedang tidak baik, tumpukan kertas di meja kerjaku tak tersentuh sedikitpun. Pikiranku melayang-layang, kejadian semalam seperti menamparku akan yang ku jalani saat ini. Apakah aku sedang berada di jalan yang benar atau aku sedang tersesat?
Hubunganku dengan Koswara memang hanya bertujuan untuk mencegah penyakitku mengganas karena aku tidak mungkin menyerah begitu saja dengan penyakit sialan yang datang tiba-tiba ini. Tetapi kini masalah baru muncul menyesakan kepalaku.
Bagaimana jika Koswara tidak bisa ‘melakukannya' lagi? Jika itu terjadi cepat atau lambat ibu akan mengetahui semuanya dan itu yang harus aku hindari.
Kenapa aku merasa ini jadi lebih sulit dari yang aku bayangkan. Argh! Rasanya kepalaku mau pecah memikirkannya. Membawa laki-laki ke dalam kehidupanku memang selalu berhasil membuat pening kepala.
“Astaga Manda, kamu gak kerja? Dari tadi pagi
“Saya tunggu di atas ya Kos!” Malam ini aku dan Koswara akan mencobanya lagi. Aku benar-benar tak ada petunjuk apa yang akan terjadi nanti. Koswara tak bisa ku tebak untuk urusan ini. Aku bersiap dengan model baju tidur yang sama seperti saat pertama kami mencobanya. Ya, model chemise selutut. Hanya saja kali ini aku sedang ingin mengenakan warna putih gading. “Permisi.” Koswara membuka pintu pelan. Pelan sekali. Bola matanya segera meliar sesaat setelah melewati pintu yang sengaja tak ku tutup rapat. Aku melirik sumber suara sekilas. “Masuk Kos.” pintaku seraya menyibukan diri dengan tablet menyala di tanganku. Bukan untuk bekerja. Aku hanya sedang melepas penat dengan bermain game permen yang di silang. Meski seperti bocah, nyatanya berhasil mengusir bosan. Setelah ku matikan dan ku simpan tabletku di laci nakas, aku mulai fokus kembali pada Koswara yang berjalan ke arahku, lagi-lagi pelan.
“Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja Koswara! Enteng sekali kamu bicara tidak bisa melakukannya setelah menyombongkan diri akan professional. Kamu sudah terlanjur masuk di kehidupanku dan ibu. Dia mungkin bisa bermain-main dengan perasaanku, tapi dengan ibuku, aku tak akan membiarkannya secepat itu." monologku tercekat. Sakit sekali saat seperti ini tiba-tiba bayangan ibu datang. Berkali-kali aku memukul kemudi hanya untuk melepaskan kesal yang bercokol di hati. "Jika bukan karena ibu, sudah ku tendang kau semalam. Hanya membuat kepalaku semakin pening saja.” kali ini aku sudah menahan emosi. Entah sejak kapan aku mulai kecanduan mengoceh sendiri, seperti membenarkan teori gila pada kitab-kitab lama. “Dasar bocah tak berguna! Impoten!” “Bagaimana bisa aku di permainkan oleh pria seperti Koswara? Sebodoh itukah aku sekarang?” Pagi ini, mobil sedan putihku sudah sesak
Matahari sudah meninggi, sinar hangatnya sudah terasa panas menyengat sejak tadi. Dan aku masih betah membenamkan wajahku di bawah bantal untuk kembali meraih alam mimpi. 'You just want attention, you don't want my heart Maybe you just hate the thought of me with someone new' Aku terpaksa beranjak saat ponselku berdendang lagu milik Charlie Puth yang baru saja ku setel sejak tiga hari lalu. “Ibu! Apa kabar, Bu?” sapaku saat layar ponsel pintarku menampilkan namanya. “Ya ampun Manda, sudah jam setengah sebelas siang ini kamu masih tidur. Keterlaluan kamu ini Man!” seru ibu mengabaikan pertanyaanku tentang kabarnya. Dahiku berkerut sementara alisku meninggi dari tempatnya. “Aku baru bangun Bu, kalau masih tidur mana bisa jawab telpon.” Ibu berdecak. “Ya apalah itu Nak. Intinya kamu ini kan sudah jadi istri orang, mana bisa bangun sesiang ini. Suamimu keman
‘Tok tok tok’ Suara pintu yang di ketuk, nyaring sekali. Aku terlempar keluar dari alam mimpi seketika, padahal saat itu aku tengah bermimpi indah khas 'orang dewasa'. Sial memang! Padahal untuk seorang jomblo sepertiku mimpi langka itu tentu sangat di nantikan. Ralat! Statusku saja yang bersuami nyatanya perasaanku masih kosong melompong persis seorang jomblo. Ku lirik jam dinding putih berdiameter satu meter yang menggantung di kamar tidurku. Jam dinding tiga dimensi yang jarum pendeknya masih di angka enam, sementara jarum panjangnya bertahan di angka dua belas. "Ternyata Koswara tepat waktu juga!" desisku menatap perputaran detik yang bergerak cepat. Ku buka tirai kamar tidurku yang sudah sedikit hangat dengan pancaran sinar matahari yang kemarin sempat aku lewatkan dengan sengaja. Kemarin suasana hatiku sedang anjlok jadi aku tak minat untuk beraktifitas. Sementara Minggu pagi ini aku sudah punya kesep
Koswara tengah sibuk dengan cat warna-warni yang berceceran di lantai, sementara pintu ruangan pribadinya terbuka begitu saja, membuat aku dengan mudahnya melesak ke sana. Lagi-lagi aku menikmati keindahan karya seni tangan dingin Koswara yang melenakan mata. Tak ingin beranjak begitu saja, ku sandarkan tubuhku di ambang pintu tanpa ingin menggangu konsentrasinya. Menyaksikan setiap gerakan kecil yang menghasilkan karya indah nan nyata. ‘Praaak!’ Kuas tipis di tangannya terjatuh ke lantai, saat Koswara terkejut dengan kehadiranku. “Maaf Kos! Saya gak bermaksud ngagetin kamu. Iseng aja mau lihat kamu gambar.” "Mau jemput Mak Edah jam berapa Kos?" tanyaku kemudian setelah Koswara melanjutkan gambarnya. Koswara melirik jam beker hitam berbentuk motor di nakasnya, "Jam delapan malam Teh. Nanti sekalian jemput Ibu juga di stasiun." Aku mengangguk kecil
Pagi ini mataku perih sekali untuk ku buka sebab seharusnya dalam semalam aku tak boleh kurang tidur dari delapan jam, karena jika sampai itu terjadi aku akan kesulitan membuka mata jika tak di paksa. Kadang kepalaku juga pening dan berat, akibatnya aku jadi sulit konsentrasi untuk bekerja. Persis seperti pagi ini! Aku memang si kerbau yang kuat tidur. Ku raba tempat tidur di sampingku yang sudah kosong dan dingin spreinya, tanda jika penghuninya sudah lama bangkit. Entah kemana! *** Saat menuruni anak tangga menuju lantai bawah aku mengulum senyum. Aku hafal sekali bau ini, setelah dua hari tak menciumnya. Tepat sekali! Nasi goreng pete yang sekarang jadi daftar menu sarapan terfavorit. "Pagi Bu, pagi Mak! Gimana nyenyak tidurnya?" sapaku saat ku lihat semua orang sudah duduk manis di meja makan. Bukannya menjawab Ibu justru mendengus kesal, "Kam
Aku kesulitan untuk berhenti tertawa jika saja ku ingat betapa tak berkutiknya Koswara di meja makan tadi. Semakin mencoba untuk berhenti, bayangan kekalahan Koswara semakin menghantui, lucu sekali! Meski kami tidak pernah terang-terangan menabuh genderang pertandingan, nyatanya aku dan Koswara seperti berlomba mendapatkan perhatian dari kedua orang tua kami.Bahkan saat Koswara sudah masuk ke kamarku dengan muka yang ditekuk jelek sekali aku masih saja menertawakannya. Koswara membanting tubuhnya, membuat aku yang sedari tadi terduduk di kepala ranjang terangkat ke udara untuk sepersekian detik. Wajah Koswara merah padam, rahangnya menguat bahkan suara giginya mengerat keras. Ini adalah ekspresi lain yang baru ku pelajari dari Koswara yang selalu berbangga dengan senyum ramahnya.Koswara mendengus sebelum kemudian dia berkata, "Teh Manda seharusnya tidak perlu membuka urusan ranjang kita kepada orang lain."Aku mengangk
AmandaKos saya minta maaf.Kulirik pesan singkat yang ku kirim pada Koswara di sela-sela jalanan yang padat tergolong macet. Garis centangnya sudah berubah warna dari putih menjadi biru, tapi Koswara tak membalas apapun. Padahal status dia juga sedang online. Aku jadi gelisah pulang ke rumah.Akhirnya aku sampai juga di rumah, meski sebelum turun aku kembali melirik layar handphoneku berharap ada balasan dari Koswara yang bisa memberiku isyarat tentang perasaannya. Masih marahkah dia padaku? Apa dia memaafkanku?Ah pertanyaan konyol itu hanya membuat kepalaku sesak saja. Seharusnya aku tak perlu terlalu risau, biarkan saja Koswara dengan perasaanya. Selama dia tidak membocorkan hubungan kami, perasaan Ibu tentu akan tetap baik-baik saja.Tak ada siapapun yang datang menyambutku, kemana semua penghuni rumah ini?Hingga aku sudah melewati pintu utama, tak ada satupun